Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI
NOMOR 2 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA JAMBI,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||||||||
a.
|
bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
||||||||||
b.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana disebutkan bahwa dasar pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah;
|
||||||||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan b perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
|||||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||||||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Kota Besar Dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 20);
|
||||||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
|
||||||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
|
||||||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601);
|
||||||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
||||||||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 5161);
|
||||||||||
6.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);
|
||||||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 66322);
|
||||||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6628);
|
||||||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6646);
|
||||||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6848);
|
||||||||||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6881);
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI
dan
WALI KOTA JAMBI
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||||||||||
Menetapkan |
|||||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
|||||||||||
1.
|
Daerah adalah Kota Jambi.
|
||||||||||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Kota Jambi.
|
||||||||||
3.
|
Wali kota adalah Wali Kota Jambi.
|
||||||||||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah DPRD Kota Jambi.
|
||||||||||
5.
|
Badan adalah Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah Kota Jambi.
|
||||||||||
6.
|
Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Jambi.
|
||||||||||
7.
|
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
|
||||||||||
8.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau Retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
9.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
||||||||||
10.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
||||||||||
11.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
||||||||||
12.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
13.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
||||||||||
14.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
|
||||||||||
15.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
||||||||||
16.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB Perkotaan adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||||||||
17.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
||||||||||
18.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
||||||||||
19.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||||
20.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
||||||||||
21.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
||||||||||
22.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
||||||||||
23.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
||||||||||
24.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
||||||||||
25.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
||||||||||
26.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
||||||||||
27.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
||||||||||
28.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
||||||||||
29.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
||||||||||
30.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||||||||
31.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
||||||||||
32.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
||||||||||
33.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Kota Jambi atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
34.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Kota Jambi atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
35.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
||||||||||
36.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
||||||||||
37.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
||||||||||
38.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
||||||||||
39.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||||||||
40.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB PERKOTAAN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||||||||
41.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
||||||||||
42.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali kota.
|
||||||||||
43.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
||||||||||
44.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
||||||||||
45.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
||||||||||
46.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
||||||||||
47.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
||||||||||
48.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||||||||
49.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
||||||||||
50.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
||||||||||
51.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
||||||||||
52.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
|
||||||||||
53.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
||||||||||
54.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
||||||||||
55.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
||||||||||
56.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
||||||||||
57.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
||||||||||
58.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
||||||||||
59.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
|
||||||||||
60.
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
||||||||||
61.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||||||||
62.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||||||||
63.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
||||||||||
64.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
||||||||||
65.
|
Bangungan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
|
||||||||||
66.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
||||||||||
67.
|
Sertifikat Layak Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
||||||||||
68.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
|
||||||||||
69.
|
Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi dan diberi tugas oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung.
|
||||||||||
70.
|
Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung
|
||||||||||
71.
|
Standar Harga Satuan Tertinggi yang selanjutnya disingkat SHST adalah biaya paling banyak per meter persegi pelaksanaan konstruksi pekerjaan standar untuk pembangunan bangunan gedung negara.
|
||||||||||
72.
|
Harga Satuan Bangunan Gedung Negara yang selanjutnya disingkat HSBGN adalah standar harga satuan tertinggi untuk biaya pelaksanaan konstruksi fisik pembangunan bangunan gedung negara yang diberlakukan sesuai dengan klasifikasi, lokasi dan tahun pembangunannya.
|
||||||||||
73.
|
Indeks Lokalitas adalah persentase pengali terhadap SHST yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||||
74.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
||||||||||
75.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
||||||||||
76.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||||||||
77.
|
Badan Pelayanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
|||||||||||
Jenis Pajak terdiri atas:
|
|||||||||||
a.
|
PBB Perkotaan;
|
||||||||||
b.
|
BPHTB;
|
||||||||||
c.
|
PBJT atas:
|
||||||||||
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||||
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||||||
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||||||
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||||||
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
|||||||||
d.
|
Pajak Reklame;
|
||||||||||
e.
|
PAT;
|
||||||||||
f.
|
Pajak MBLB;
|
||||||||||
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||||||||||
h.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||||||
i.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
|||||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
|
||||||||||
|
a.
|
PBB Perkotaan;
|
|||||||||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||||
|
c.
|
PAT;
|
|||||||||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||||||||
|
a.
|
BPHTB;
|
|||||||||
|
b.
|
PBJT atas;
|
|||||||||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||||
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||||||||
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||||||
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
||||||||
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB Perkotaan
Pasal 4 |
|||||||||||
(1)
|
Objek PBB Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
||||||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
||||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB Perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
||||||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
|||||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
|||||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
|||||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
|||||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
|||||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
|
|||||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek PBB Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib PBB Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB Perkotaan merupakan NJOP.
|
||||||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB Perkotaan.
|
||||||||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
||||||||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB Perkotaan, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB Perkotaan untuk setiap Tahun Pajak.
|
||||||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah Kota.
|
||||||||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
|
||||||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penilaian PBB Perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
||||||||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB Perkotaan ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
|||||||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
|||||||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota.
|
|||||||||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||||||||||
(1)
|
Tarif PBB Perkotaan ditetapkan:
|
||||||||||
|
a.
|
Untuk NJOP di bawah Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,11% (nol koma satu satu persen);
|
|||||||||
|
b.
|
Untuk NJOP Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sampai dengan 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen);
|
|||||||||
|
c.
|
Untuk NJOP di atas Rp3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
|
|||||||||
(2)
|
Tarif PBB Perkotaan atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBB Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau ayat (2).
|
||||||||||
(2)
|
Saat terutang PBB Perkotaan ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
|
||||||||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB Perkotaan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB Perkotaan pada tanggal 1 Januari.
|
||||||||||
(4)
|
PBB Perkotaan yang terutang dipungut di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB Perkotaan.
|
||||||||||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB Perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah daerah Kota Jambi tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
||||||||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya, dan
|
|||||||||
|
b.
|
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 10 |
|||||||||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
|||||||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
||||||||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
||||||||
|
|
3.
|
hibah;
|
||||||||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
||||||||
|
|
5.
|
waris;
|
||||||||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
||||||||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
||||||||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
||||||||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
||||||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
||||||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
||||||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
||||||||
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
||||||||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
|||||||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
||||||||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
||||||||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
hak milik;
|
|||||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
|||||||||
|
c.
|
hak guna bangunan
|
|||||||||
|
d.
|
hak pakai;
|
|||||||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
|||||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
|||||||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
||||||||||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
|
|||||||||
|
b.
|
oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
|||||||||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
|||||||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
|||||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
|||||||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
|||||||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
|
||||||||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
|
||||||||||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
|||||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
|||||||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
||||||||||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah.
|
||||||||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
|||||||||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||||||||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
||||||||||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
||||||||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
|||||||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
|||||||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
|||||||||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
|||||||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|||||||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
|||||||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
||||||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
||||||||||
|
a.
|
jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
|
|||||||||
|
b.
|
jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
|
|||||||||
(5)
|
BPHTB yang terutang atas pemindahan hak karena jual beli paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
|
||||||||||
(6)
|
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||||||||||
Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
|||||||||||
(1)
|
Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
||||||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
|
|||||||||
|
b.
|
melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya;
|
|||||||||
|
c.
|
dalam ha pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa:
|
|||||||||
|
|
1)
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
|
||||||||
|
|
2)
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||||||||
(2)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
||||||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
|||||||||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
|||||||||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
|||||||||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
||||||||||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT Pajak Barang Jasa Tertentu
Pasal 18 |
|||||||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
|||||||||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
||||||||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||||||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
||||||||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
|||||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
||||||||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan pelayanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
|||||||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
|||||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
||||||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
||||||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
||||||||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) per tahun.
|
|||||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
|||||||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
|||||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
||||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
|||||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
|||||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|||||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait;
|
|||||||||
|
e.
|
konsumsi tenaga listrik daya 450 Va dan 900 Va (sosial/fasilitas umum)
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
|||||||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
||||||||||
|
a.
|
hotel;
|
|||||||||
|
b.
|
hostel;
|
|||||||||
|
c.
|
vila;
|
|||||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
|||||||||
|
e.
|
motel;
|
|||||||||
|
f.
|
losmen;
|
|||||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
|||||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
|||||||||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
|||||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel atau rumah sewa; dan
|
|||||||||
|
k.
|
glamping.
|
|||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
|||||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|||||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
|||||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
|||||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
|||||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
|||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah;
|
|||||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
|||||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
|||||||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
|||||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
|||||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
|||||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
|||||||||
|
e.
|
pameran;
|
|||||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
|||||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
|||||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
|||||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
|||||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
|||||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
|||||||||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
|||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
||||||||||
|
a.
|
Promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
|||||||||
|
b.
|
Kegiatan pelayanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||||||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||||||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||||||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
||||||||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||||||||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
|||||||||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||||||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
|||||||||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
|||||||||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||||||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
|||||||||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
|
|||||||||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
||||||||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
|||||||||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
|||||||||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
|||||||||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
|||||||||||
(1)
|
Tarif PBJT Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||||
(2)
|
Tarif PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b ditetapkan berdasarkan daya sebagai berikut:
|
||||||||||
|
a.
|
900 Va sampai dengan <2.200 Va ditetapkan 8% (delapan persen); dan
|
|||||||||
|
b.
|
2.200 Va ke atas ditetapkan 9% (sembilan persen).
|
|||||||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
||||||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan 3% (tiga persen); dan
|
|||||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling 1,5% (satu koma lima persen).
|
|||||||||
(4)
|
Tarif PBJT Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||||
(5)
|
Tarif PBJT Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||||
(6)
|
Tarif PBJT Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
c.
|
kontes kecantikan sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
d.
|
kontes binaraga sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
e.
|
pameran sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang sebesar 10% (sepuluh persen);
|
|||||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi sebesar 10% (sepuluh persen); dan
|
|||||||||
|
l.
|
diskotek, karaoke eksekutif, kelab malam, bar/pub, dan mandi uap/spa sebesar 40%.
|
|||||||||
|
m.
|
karaoke keluarga sebesar 40% (tujuh puluh persen)
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
|||||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
|
||||||||||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
||||||||||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||||||||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||||||||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||||||||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||||
(3)
|
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 29 |
|||||||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
||||||||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
|||||||||
|
b.
|
Reklame kain;
|
|||||||||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
|||||||||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
|||||||||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
|||||||||
|
f.
|
Reklame udara;
|
|||||||||
|
g.
|
Reklame apung;
|
|||||||||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
|||||||||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
|||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||||||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
|||||||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
|||||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
|||||||||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
|||||||||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
|||||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
||||||||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
||||||||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
||||||||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||||||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
|||||||||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen)
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
|||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
||||||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
||||||||||
(3)
|
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
|
||||||||||
(4)
|
Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAT Pajak Air Tanah
Pasal 34 |
|||||||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
||||||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
|||||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
|||||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
|||||||||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
|||||||||
|
e.
|
keperluan keagamaan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
|||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
|
||||||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
||||||||||
(3)
|
Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
||||||||||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
||||||||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
|||||||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
|||||||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
|||||||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
|||||||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
|||||||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
|||||||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah Kota ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai peraturan Perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
|||||||||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
|||||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
|
||||||||||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||||||||
(3)
|
PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Opsen PKB
Pasal 39 |
|||||||||||
Objek Opsen PKB adalah PKB terutang
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Opsen PKB merupakan Subjek PKB.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
||||||||||
(3)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
|||||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
|||||||||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen), dihitung dari besaran Pajak yang terutang.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
|||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
||||||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
||||||||||
(3)
|
Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen BBNKB
Pasal 44 |
|||||||||||
Objek Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Opsen BBNKB merupakan Subjek Pajak BBNKB.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
||||||||||
(3)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
|||||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
|||||||||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen), dihitung dari besaran Pajak yang terutang.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
|||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 46 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 47.
|
||||||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
||||||||||
(3)
|
Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 49 |
|||||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
|
||||||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
|
||||||||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
||||||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 50 |
|||||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
||||||||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum. (angka 10% belum sesuai dengan pembahasan Anggota Pansus)
|
||||||||||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
||||||||||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
|||||||||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
|||||||||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
|||||||||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Jenis Pajak Yang Dipungut
Pasal 51 |
|||||||||||
Jenis Pajak yang dipungut terdiri atas:
|
|||||||||||
a.
|
PBB Perkotaan;
|
||||||||||
b.
|
BPHTB;
|
||||||||||
c.
|
PBJT atas:
|
||||||||||
|
●
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||||
|
●
|
Tenaga Listrik;
|
|||||||||
|
●
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||||||
|
●
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||||||
|
●
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
|||||||||
d.
|
Pajak Reklame;
|
||||||||||
e.
|
PAT;
|
||||||||||
f.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||||||
g.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||||||
Jenis Pajak yang tidak dipungut terdiri atas:
|
|||||||||||
a.
|
Pajak MBLB:
|
||||||||||
b.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 52 |
|||||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 53 |
|||||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
|||||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
|||||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
|
|||||||||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
|||||||||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
(5)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||||||||
(6)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||||||||
(7)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan negara, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
|
||||||||||
(8)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
|||||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah, Puskesmas dan Laboratorium Kesehatan Daerah yang belum BLUD, kecuali pelayanan administrasi.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
|||||||||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
Pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
|||||||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
|||||||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
|
|||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
|||||||||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
|||||||||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
|||||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
|
|||||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah;
|
|||||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis/kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir;
|
|||||||||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
|||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
||||||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
||||||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
|||||||||||
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
|||||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
||||||||||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||||||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
||||||||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 63 |
|||||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
|||||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||||||||
|
c.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
|||||||||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
|||||||||
|
e.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
|||||||||
|
f.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||||||||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan Urusan di bidang keuangan negara, Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
|
||||||||||
(7)
|
dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
|||||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
|||||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
|||||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
|||||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
|||||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf e merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
|||||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
|||||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||||||||
|
c.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jumlah hewan ternak, jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
|
|||||||||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga;
|
|||||||||
|
e.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
|||||||||
|
f.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
||||||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
||||||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
|||||||||||
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
|||||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
||||||||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
||||||||||
|
a.
|
Sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
|||||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
|||||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur,
|
|||||||||
(3)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
(4)
|
Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
||||||||||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||||||||
(6)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah
|
||||||||||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||||||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
||||||||||
(9)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 74 |
|||||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf c meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
|||||||||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing;
|
|||||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
|||||||||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
||||||||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||||||||
|
a.
|
Pembangunan baru
|
|||||||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
|||||||||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
|||||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
||||||||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
||||||||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
||||||||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
||||||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
||||||||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
||||||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
||||||||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
||||||||
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
|||||||||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
|||||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
|||||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
|||||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||||
|
a.
|
pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
|
|||||||||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
|
|||||||||
(3)
|
Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
||||||||||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||||||||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
||||||||
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
||||||||
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
||||||||
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
|
||||||||
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||||||||
|
|
1.
|
Volume;
|
||||||||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
||||||||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
|||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
||||||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
||||||||||
(3)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
|
||||||||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
|||||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
||||||||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||||||||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
|||||||||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
|||||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
||||||||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
||||||||||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
||||||||||
(4)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||||||||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||||||
(6)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
|
||||||||||
(7)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
||||||||||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 82 |
|||||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
||||||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pasal 83 |
|||||||||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang membidangi dan/atau melakukan pemungutan retribusi wajib:
|
||||||||||
|
a.
|
melaporkan hasil penerimaan retribusi setiap bulannya paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya kepada koordinator Perang Daerah pemungut retribusi
|
|||||||||
|
b.
|
menerima hasil evaluasi pemungutan retribusi dari koordinator Perangkat Daerah pemungut retribusi
|
|||||||||
(2)
|
Perangkat Daerah yang membidangi dan/atau melakukan pemungutan retribusi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 84 |
|||||||||||
(1)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
|
||||||||||
(2)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
|
||||||||||
(3)
|
Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
|||||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||||||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
||||||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
|||||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
|||||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
|||||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
|||||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
|||||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
|||||||||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||||
|
h.
|
keberatan;
|
|||||||||
|
i.
|
gugatan;
|
|||||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
|
|||||||||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||
|
l.
|
Pembayaran dan Penyetoran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||||||||
|
m.
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 86 |
|||||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
||||||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
||||||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
|
||||||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
|||||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
|||||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
|||||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
|||||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
|||||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
||||||||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
||||||||||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
|||||||||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
|||||||||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
|||||||||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
|
|||||||||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
||||||||||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
||||||||||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
|||||||||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
|
||||||||||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
|
||||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
|||||||||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
|
||||||||||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan ayat (5).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 89 |
|||||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
||||||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kriteria berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
||||||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
||||||||||
|
a.
|
lahan pertanian yang sangat terbatas;
|
|||||||||
|
b.
|
tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu;
|
|||||||||
|
c.
|
nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu; atau
|
|||||||||
|
d.
|
objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 90 |
|||||||||||
(1)
|
Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
||||||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
|||||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
|||||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
||||||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
||||||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
||||||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
||||||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
||||||||||
(7)
|
Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
||||||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
|||||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
|||||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
|||||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat
|
||||||||||
(7)
|
huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
||||||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||||||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
|||||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
|||||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
|||||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
|||||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
|||||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 91 |
|||||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
|||||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
|||||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
||||||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
||||||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama wajib pajak atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
PENYIDIKAN
Pasal 92 |
|||||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
||||||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat adalah:
|
||||||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
|||||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
|||||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
|||||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya;
|
|||||||||
|
j.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Pidana
Pasal 93 |
|||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya atau kesengajaannya sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
|||||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
|||||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
|||||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
|||||||||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dan Pasal 95 merupakan pendapatan negara.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 98 |
|||||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
||||||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
|||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
||||||||||
(2)
|
Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) dengan STPD untuk setiap SPTPD.
|
||||||||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
||||||||||
(4)
|
Kriteria kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
|
||||||||||
|
a.
|
Bencana alam;
|
|||||||||
|
b.
|
Kebakaran;
|
|||||||||
|
c.
|
Kerusuhan masal atau huru hara;
|
|||||||||
|
d.
|
Wabah Penyakit dan/atau;
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pasal 100 |
|||||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
||||||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
|
||||||||||
(3)
|
Pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 101 |
|||||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang masih terutang berdasarkan:
|
|||||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 10 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
|
||||||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah;
|
||||||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan;
|
||||||||||
masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
|||||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari:
|
|||||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
|
||||||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah;
|
||||||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum;
|
||||||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha;
|
||||||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu;
|
||||||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan,
|
||||||||||
dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
|||||||||||
Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB berlaku paling lama mulai tanggal 5 Januari 2025
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
|||||||||||
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
|||||||||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 100, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
|||||||||||
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
|||||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksana di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dan belum diatur dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 108 |
|||||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
|||||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
|
||||||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah;
|
||||||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum;
|
||||||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha;
|
||||||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu;
|
||||||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan,
|
||||||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
|||||||||||
Perda ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Jambi.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jambi
Pada tanggal, 4 Januari 2024 Pj. WALI KOTA JAMBI, ttd. SRI PURWANINGSIH Diundangkan di Jambi Pada tanggal, 4 Januari 2024 SEKRETARIS DAERAH KOTA JAMBI ttd. A. RIDWAN LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI TAHUN 2024 NOMOR 2 |