Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA DEPOK,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3828);
|
|||||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DEPOK
dan
WALI KOTA DEPOK
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||||
Menetapkan |
||||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1 |
||||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
1.
|
Daerah Kota adalah Daerah Kota Depok.
|
|||||||||
2.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||||
3.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||||
4.
|
Pemerintah Daerah Kota adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||||||||
5.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
|||||||||
6.
|
Gubernur adalah Gubernur Jawa Barat.
|
|||||||||
7.
|
Wali Kota adalah Wali Kota Depok.
|
|||||||||
8.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Pajak dan/atau Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
9.
|
Peraturan Daerah Kota Depok yang selanjutnya disebut Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Wali Kota.
|
|||||||||
10.
|
Peraturan Wali Kota Depok yang selanjutnya disebut Peraturan Wali Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Wali Kota.
|
|||||||||
11.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan Perda.
|
|||||||||
12.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||||
13.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
|
|||||||||
14.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||||
15.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
16.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||||
17.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
|
|||||||||
18.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||||
19.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||||
20.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||||||||
21.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||||||||
22.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||||
23.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
|||||||||
24.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||||||||
25.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
|||||||||
26.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh Restoran.
|
|||||||||
27.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||||||||
28.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||||||||
29.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||||||||
30.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
31.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||||||||
32.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||||||||
33.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||||||||
34.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||||
35.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||||||||
36.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||||||
37.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||||||||
38.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||||||
39.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
|
|||||||||
40.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||||
41.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
42.
|
penguasaan Kendaraan Bermotor. gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||||
43.
|
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||||
44.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
45.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||||
46.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||||||||
47.
|
serta pengawasan penyetorannya. Daerah.
|
|||||||||
48.
|
terutang. Kota.
|
|||||||||
49.
|
kepada Wajib Pajak. denda.
|
|||||||||
50.
|
telah disita. ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||||
51.
|
melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi. waktu tertentu.
|
|||||||||
52.
|
1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||||
53.
|
dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||||
54.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||||
55.
|
melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi. waktu tertentu.
|
|||||||||
56.
|
1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
|
|||||||||
57.
|
tahun kalender. waktu tertentu.
|
|||||||||
58.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||||
59.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||||
60.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||||
61.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah Kota dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||||
62.
|
Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
|
|||||||||
63.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||||||||
64.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
|||||||||
65.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
|
|||||||||
66.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Daerah Kota.
|
|||||||||
67.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||||||||
68.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||||
69.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||||
70.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||||||||
71.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan Perpajakan dan Retribusi Daerah.
|
|||||||||
72.
|
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara.
|
|||||||||
73.
|
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
|
|||||||||
74.
|
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan waktu tertentu.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Maksud Dan Tujuan
Pasal 2 |
||||||||||
(1)
|
Maksud ditetapkannya Perda ini adalah untuk memberikan dasar hukum Pemungutan Pajak dan Retribusi bagi Pemerintah Daerah Kota, serta memberikan kepastian hukum atas Pemungutan Pajak dan Retribusi bagi masyarakat.
|
|||||||||
(2)
|
Tujuan ditetapkannya Perda ini adalah untuk optimalisasi tata kelola Pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 3 |
||||||||||
Ruang lingkup Perda ini meliputi:
|
||||||||||
a.
|
Jenis Pajak dan rincian Pajak;
|
|||||||||
b.
|
Jenis Retribusi dan rincian Retribusi;
|
|||||||||
c.
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||||
d.
|
Pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi;
|
|||||||||
e.
|
Penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD;
|
|||||||||
f.
|
Kerahasiaan data Wajib Pajak;
|
|||||||||
g.
|
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||||
h.
|
Penyidikan; dan
|
|||||||||
i.
|
Ketentuan pidana.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 4 |
||||||||||
Jenis pajak yang dipungut Pemerintah Daerah Kota terdiri atas:
|
||||||||||
a.
|
PBB-P2;
|
|||||||||
b.
|
BPHTB;
|
|||||||||
c.
|
PBJT atas:
|
|||||||||
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||||
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||||||||
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||||||
|
4.
|
Jasa Parkir;
|
||||||||
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||||
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||||
e.
|
PAT;
|
|||||||||
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||||||||
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
|||||||||
h.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||||
i.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||||||
Jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
|
||||||||||
a.
|
PBB-P2;
|
|||||||||
b.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||||
c.
|
PAT;
|
|||||||||
d.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||||
e.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||||
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||||||||
a.
|
BPHTB;
|
|||||||||
b.
|
PBJT atas;
|
|||||||||
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||||
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||||||||
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||||||
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
||||||||
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||||
c.
|
Pajak MBLB;
|
|||||||||
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 7 |
||||||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintah Daerah Kota, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
|
||||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
|||||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||||||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||||||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
|
|||||||||
(2)
|
Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
|||||||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||||||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||||||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
|
||||||||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||||||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||||
|
a.
|
sebesar 0,1% (nol koma satu persen) untuk NJOP sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);
|
||||||||
|
b.
|
sebesar 0,125% (nol koma seratus dua puluh lima persen) untuk NJOP di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
|
||||||||
|
c.
|
sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen) untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
|
||||||||
|
d.
|
sebesar 0,2% (nol koma dua persen) untuk NJOP di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
|
||||||||
|
e.
|
sebesar 0,225% (nol koma dua ratus dua puluh lima persen) untuk NJOP di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
|
||||||||
|
f.
|
sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) untuk NJOP di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan
|
||||||||
|
g.
|
sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) untuk:
|
||||||||
|
|
1.
|
NJOP di atas Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan
|
|||||||
|
|
2.
|
objek pajak khusus berupa jalan tol.
|
|||||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen).
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||||||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
|||||||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||||||||
(4)
|
Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||||||||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||||||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
||||||||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 13 |
||||||||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||||||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|||||||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|||||||
|
|
3.
|
hibah;
|
|||||||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|||||||
|
|
5.
|
waris;
|
|||||||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|||||||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|||||||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|||||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|||||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|||||||
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
|||||||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||||||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|||||||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|||||||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
hak milik;
|
||||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||||||||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||||||||
|
d.
|
hak pakai;
|
||||||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||||||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||||||||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah, Pemerintah Daerah Kota, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||||||||
|
c.
|
untuk Badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur sesuai dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||||||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||||||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||||||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||||||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||||||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||||||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
|
|||||||||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||||||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||||||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
||||||||
|
d.
|
Pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||||||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||||||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
|
||||||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||||||||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||||||||
(4)
|
Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib:
|
|||||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||||||||
|
b.
|
melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||||||||
(2)
|
Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||||||||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
|
||||||||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||||||
(3)
|
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 20 |
||||||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||||||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||||||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||||||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|||||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|||||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||||||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) per bulan.
|
||||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||||||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah Kota dan penyelenggara negara lainnya;
|
||||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
||||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||||||||
|
a.
|
hotel;
|
||||||||
|
b.
|
hostel;
|
||||||||
|
c.
|
vila;
|
||||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||||||||
|
e.
|
motel;
|
||||||||
|
f.
|
losmen;
|
||||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||||||||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalow/resort/cottage;
|
||||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||||||||
|
k.
|
glamping.
|
||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah Kota;
|
||||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Kota;
|
||||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
||||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||||||
|
e.
|
pameran;
|
||||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||||||||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||||||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||||||||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
||||||||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah Kota menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah Kota dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||||||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||||||||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||||||||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||||||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||||||||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
||||||||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||||
(4)
|
Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh Restoran yang menggunakan sistem pencatatan omzet dalam jaringan berbasis elektronik yang terintegrasi dengan sistem informasi Pajak ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen).
|
|||||||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa Perhotelan yang menggunakan sistem pencatatan omset dalam jaringan berbasis elektronik yang terintegrasi dengan sistem informasi Pajak ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen).
|
|||||||||
(4)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa Kesenian dan Hiburan yang menggunakan sistem pencatatan omset dalam jaringan berbasis elektronik yang terintegrasi dengan sistem informasi Pajak ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen).
|
|||||||||
(5)
|
Khusus tarif PBJT atas Jasa parkir yang menggunakan sistem pencatatan omset dalam jaringan berbasis elektronik yang terintegrasi dengan sistem informasi Pajak ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen).
|
|||||||||
(6)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa Hiburan pada:
|
|||||||||
|
a.
|
mandi uap/spa dan karaoke ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen); dan
|
||||||||
|
b.
|
diskotek, kelab malam, bar ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
|
||||||||
(7)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik ditetapkan sebesar:
|
||||||||
|
|
1.
|
cluster 250 – 1000 VA : 3%
|
|||||||
|
|
2.
|
cluster 1001 – 3500 VA : 4%
|
|||||||
|
|
3.
|
cluster di atas 3500 VA : 7%
|
|||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
||||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
|
|||||||||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||||||||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 31 |
||||||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||||||||
|
b.
|
reklame kain;
|
||||||||
|
c.
|
reklame melekat/stiker;
|
||||||||
|
d.
|
reklame selebaran;
|
||||||||
|
e.
|
reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||||||||
|
f.
|
reklame udara;
|
||||||||
|
g.
|
reklame apung;
|
||||||||
|
h.
|
reklame film/slide; dan
|
||||||||
|
i.
|
reklame peragaan.
|
||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
|||||||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||||||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||||||||
|
d.
|
reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah Kota; dan
|
||||||||
|
e.
|
reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||||||||
Pasal 32 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
|
|||||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||||
(4)
|
Khusus untuk reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAT
Pasal 36 |
||||||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
|||||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
||||||||
|
e.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||||||
|
f.
|
kegiatan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Kota.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||||||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
|
|||||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||||||||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||||||||
(4)
|
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan faktor-faktor berikut:
|
|||||||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||||||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||||||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||||||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||||||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||||||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||||||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||||||
(1)
|
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||||||||
(2)
|
Khusus tarif PAT yang menggunakan sistem pencatatan omzet dalam jaringan berbasis elektronik yang terintegrasi dengan sistem informasi Pajak ditetapkan sebesar 17% (tujuh belas persen).
|
|||||||||
(3)
|
Khusus tarif PAT yang menggunakan sistem pencatatan omzet dalam jaringan berbasis elektronik yang terintegrasi dengan sistem informasi Pajak dan melakukan upaya konservasi air tanah berupa penyediaan sumur imbuhan, sumur pantau, dan mengurangi pemakaian air tanah ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen).
|
|||||||||
(4)
|
Khusus tarif PAT yang melakukan Upaya konservasi air tanah berupa penyediaan sumur imbuhan, sumur pantau dan mengurangi pemakaian air tanah ditetapkan sebesar 18%.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
|
|||||||||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak MBLB
Pasal 41 |
||||||||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
asbes;
|
||||||||
|
b.
|
batu tulis;
|
||||||||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||||||||
|
d.
|
batu kapur;
|
||||||||
|
e.
|
batu apung;
|
||||||||
|
f.
|
batu permata;
|
||||||||
|
g.
|
bentonit;
|
||||||||
|
h.
|
dolomit;
|
||||||||
|
i.
|
feldspar;
|
||||||||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||||||||
|
k.
|
grafit;
|
||||||||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||||||||
|
m.
|
gips;
|
||||||||
|
n.
|
kalsit;
|
||||||||
|
o.
|
kaolin;
|
||||||||
|
p.
|
leusit;
|
||||||||
|
q.
|
magnesit;
|
||||||||
|
r.
|
mika;
|
||||||||
|
s.
|
marmer;
|
||||||||
|
t.
|
nitrat;
|
||||||||
|
u.
|
obsidian;
|
||||||||
|
v.
|
oker;
|
||||||||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||||||||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||||||||
|
y.
|
perlit;
|
||||||||
|
z.
|
fosfat;
|
||||||||
|
aa.
|
talk;
|
||||||||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||||||||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
||||||||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||||||||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
||||||||
|
ff.
|
tras;
|
||||||||
|
gg.
|
yarosit;
|
||||||||
|
hh.
|
zeolit;
|
||||||||
|
ii.
|
basal;
|
||||||||
|
jj.
|
trakhit;
|
||||||||
|
kk.
|
belerang;
|
||||||||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
||||||||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
|||||||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
|
||||||||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
|
||||||||
|
c.
|
untuk keperluan pembangunan rumah ibadah yang dibiayai oleh masyarakat.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
|||||||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||||||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
|
|||||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
|||||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 46 |
||||||||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||||
|
a.
|
pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan
|
||||||||
|
b.
|
kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet untuk kepentingan sosial.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual sarang Burung Walet.
|
|||||||||
(2)
|
Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
|
|||||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen
Pasal 51 |
||||||||||
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB. | ||||||||||
Pasal 52 |
||||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||||||||
Pasal 53 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||||||||
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB dengan tarif Opsen PKB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||||||||
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||||||||
Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan wajib Pajak BBNKB.
|
|||||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang BBNKB.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||||
Opsen BBKNB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||||
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB dengan tarif Opsen BBNKB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||||||
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||||||||
Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 65 |
||||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||||
(2)
|
Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, kecuali untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a.
|
|||||||||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
|||||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||||
(5)
|
Masa Pajak dan Tahun Pajak ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penerimaan Pajak Yang Diarahkan Penggunaannya
Pasal 66 |
||||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h dialokasikan paling sedikit:
|
|||||||||
|
a.
|
10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum;
|
||||||||
|
b.
|
1,5% (satu koma lima persen) untuk operasional penunjang pemungutan PKB.
|
||||||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c atas Tenaga Listrik, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||||||||
(3)
|
Hasil penerimaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf I, dialokasikan 1,5% (satu koma lima persen) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pemungutan BBNKB.
|
|||||||||
(4)
|
Penggunaan hasil penerimaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB untuk mendukung kegiatan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) digunakan antara lain untuk:
|
|||||||||
|
a.
|
sosialisasi atau edukasi untuk meningkatkan kepatuhan Masyarakat dalam membayar pajak;
|
||||||||
|
b.
|
penyelenggaraan pelayanan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT);
|
||||||||
|
c.
|
penegakan hukum atau operasi gabungan penertiban administrasi kendaraan bermotor; dan/atau
|
||||||||
|
d.
|
penelusuran Kendaraan Tidak Melakukan Daftar Ulang (KTMDU) atau penagihan tunggakan PKB/pendataan Wajib Pajak.
|
||||||||
(5)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||||||||
(6)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
|||||||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||||||||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||||||||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||||||||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 67 |
||||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 68 |
||||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
|
||||||||
|
d.
|
pelayanan pasar; dan
|
||||||||
|
e.
|
pengendalian lalu lintas.
|
||||||||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri Keuangan, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
|||||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Pelayanan Kesehatan
Pasal 69 |
||||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum Daerah, laboratorium kesehatan Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu layanan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kesehatan, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Layanan Kesehatan BLUD sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Kebersihan
Pasal 72 |
||||||||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota, meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||||||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||||||||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kebersihan diukur berdasarkan:
|
||||||||||
a.
|
jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah/kakus/limbah cair;
|
|||||||||
b.
|
jenis sampah sebagaimana dimaksud pada huruf a, adalah sampah organik dan non organik.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||||
TPA di Daerah Kota tertutup bagi pembuangan sampah yang berasal dari luar Daerah Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Pelayanan Kebersihan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum
Pasal 76 |
||||||||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Pasar
Pasal 79 |
||||||||||
Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Pasar sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pengendalian Lalu Lintas
Pasal 82 |
||||||||||
(1)
|
Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna kendaraan bermotor.
|
|||||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pengendalian lalu lintas diukur berdasarkan lokasi ruas jalan tempat pemberian layanan, waktu penggunaan layanan, dan/atau jenis kendaraan bermotor.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas pengendalian lalu lintas sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga dan biaya modal.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif, hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutupi sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 88 |
||||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
|
||||||||
|
d.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||||||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Kota; dan
|
||||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah Kota; dan
|
||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
|||||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, Dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
Pasal 89 |
||||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi jasa Usaha atas penyediaan tempat kegiatan usaha, diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar, grosir, pertokoan dan/atau tempat usaha lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan
Pasal 92 |
||||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila
Pasal 95 |
||||||||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi jasa Usaha atas penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
Pasal 98 |
||||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, pemeriksaan hewan ternak, fasilitas lainnya dan/atau jangka waktu pemakaian rumah potong hewan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi jasa Usaha atas Pelayanan rumah potong hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, Dan Olahraga
Pasal 101 |
||||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi jasa Usaha atas Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah Kota
Pasal 104 |
||||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pemanfaatan Aset Daerah Yang Tidak Mengganggu Penyelenggaraan Tugas Dan Fungsi Perangkat Daerah Dan/Atau Optimalisasi Aset Daerah Dengan Tidak Mengubah Status Kepemilikan
Pasal 108 |
||||||||||
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf g termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume, metode, kapasitas, luas, fasilitas, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
||||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan aset Daerah Kota yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah kota dan/atau optimalisasi aset Daerah kota dengan tidak mengubah status kepemilikan, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur,
|
||||||||
|
tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||
(3)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
(4)
|
Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||||||||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||||
(6)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||||
(9)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 115 |
||||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf c meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
PBG; dan
|
||||||||
|
b.
|
penggunaan TKA.
|
||||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Pelayanan PBG
Pasal 116 |
||||||||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
|||||||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||||||||
|
a.
|
pembangunan baru;
|
||||||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
||||||||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|||||||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|||||||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|||||||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|||||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|||||||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|||||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|||||||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya,
|
|||||||
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||||||||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah Kota, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 117 |
||||||||||
(1)
|
Besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat pengguna jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan Retribusi Perizinan Tertentu atas PBG.
|
|||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
|
|||||||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi Perizinan Tertentu atas PBG sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
|
|||||||||
|
a.
|
indeks lokalitas dan standar harga satuan tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
|
||||||||
|
b.
|
harga satuan retribusi untuk prasarana Bangunan Gedung.
|
||||||||
(4)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk:
|
|||||||||
|
a.
|
bangunan Gedung; dan
|
||||||||
|
b.
|
prasarana Bangunan Gedung.
|
||||||||
(5)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas:
|
|||||||||
|
1.
|
luas total lantai;
|
||||||||
|
2.
|
indeks terintegrasi; dan
|
||||||||
|
3.
|
indeks Bangunan Gedung terbangun.
|
||||||||
(6)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
|
|||||||||
|
1.
|
volume;
|
||||||||
|
2.
|
indeks prasarana Bangunan Gedung; dan
|
||||||||
|
3.
|
indeks Bangunan Gedung terbangun.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 118 |
||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif Retribusi PBG didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan penerbitan PBG dan SLF.
|
|||||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen PBG dan SLF, inspeksi Penilik bangunan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari penerbitan PBG dan SLF.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 119 |
||||||||||
(1)
|
Struktur dan besarnya tarif Perizinan Tertentu atas PBG ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan layanan konsultasi untuk:
|
|||||||||
|
a.
|
Bangunan Gedung
|
||||||||
|
|
Tarif Perizinan Tertentu atas PBG untuk Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
|
||||||||
|
|
|
||||||||
|
b.
|
Prasarana Bangunan Gedung
|
||||||||
|
|
Tarif Perizinan Tertentu atas PBG untuk prasarana Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan Retribusi prasarana Bangunan Gedung (HSpbg) atau dengan rumus:
|
||||||||
|
|
|
||||||||
(2)
|
Ketentuan mengenai Harga Satuan Retribusi Prasarana (HSpbg) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
(3)
|
Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus:
|
|||||||||
|
|
|||||||||
(4)
|
Rincian perhitungan struktur dan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran XIII Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Penggunaan TKA
Pasal 120 |
||||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
|||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan TKA oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 121 |
||||||||||
(1)
|
Besarnya Retribusi Perizinan Tertentu atas Penggunaan TKA yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas pemberian layanan dengan tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas Penggunaan TKA.
|
|||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pemberian layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah penerbitan dan jangka waktu Penggunaan TKA.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 122 |
||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas Penggunaan TKA didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan.
|
|||||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
Penerbitan dokumen izin pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan;
|
||||||||
|
b.
|
Pengawasan di lapangan;
|
||||||||
|
c.
|
Penegakan hukum;
|
||||||||
|
d.
|
Penatausahaan;
|
||||||||
|
e.
|
Biaya dampak negatif dari pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan; dan
|
||||||||
|
f.
|
Kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal.
|
||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 123 |
||||||||||
(1)
|
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas Penggunaan TKA ditetapkan berdasarkan penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121.
|
|||||||||
(2)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas Penggunaan TKA dibayarkan dengan rupiah berdasarkan nilai tukar pada saat diterbitkannya SKRD.
|
|||||||||
(3)
|
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan di muka ke Kas daerah saat pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi.
|
|||||||||
(4)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas penggunaan TKA, sebagaimana tercantum Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 124 |
||||||||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 125 |
||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||||
(3)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1), biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
|
|||||||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 126 |
||||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||||||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||||||||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
||||||||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
||||||||
(4)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||||||||
(5)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||||
(6)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel harga satuan bangunan gedung negara (HSBGN)/standar harga satuan tertinggi (SHST) dan indeks lokalitas.
|
|||||||||
(9)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus layanan penggunaan TKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||||||
(10)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penerimaan Retribusi Yang Diarahkan Penggunaannya
Pasal 127 |
||||||||||
(1)
|
Penggunaan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||||
(2)
|
Penggunaan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
Pasal 128 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||||
(2)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
|
|||||||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
|
|||||||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
|||||||||
(5)
|
Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
|
|||||||||
(6)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
|
|||||||||
(7)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||||||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 129 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||||
(2)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
|
|||||||||
(3)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
|
|||||||||
(4)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||||
(5)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||||||||
(6)
|
Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
|
|||||||||
(7)
|
Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dikenakan jika Wajib pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||||
(8)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 130 |
||||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 131 |
||||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (3), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
|||||||||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||||||||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||||||||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah Kota.
|
|||||||||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||||
(7)
|
Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 132 |
||||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
|||||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||||||||
|
b.
|
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
|||||||||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah Kota.
|
|||||||||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
Pasal 133 |
||||||||||
(1)
|
Wali Kota melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||||||||
(2)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota.
|
|||||||||
(5)
|
Keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) atau ayat (2), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
|||||||||
(6)
|
Penetapan Keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah Daerah.
|
|||||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 134 |
||||||||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||||
(2)
|
Wali Kota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||||
(3)
|
Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak dan Retribusi
Pasal 135 |
||||||||||
(1)
|
Atas kelebihan pembayaran Pajak dan Retribusi, Wajib Pajak dan Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali Kota.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal permohonan pengembalian Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Wali Kota menerbitkan Keputusan.
|
|||||||||
(3)
|
Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemeriksaan Pajak Dan Retribusi
Pasal 136 |
||||||||||
(1)
|
Wali Kota berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||||||||
|
a.
|
Wajib Pajak dan Wajib Retribusi mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak dan retribusi;
|
||||||||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak dan retribusi yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
|
||||||||
|
c.
|
Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Sanksi Administratif
Pasal 137 |
||||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Besaran sanksi administratif berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) per bulan jika Wajib Retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar.
|
|||||||||
(3)
|
Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap SPTPD jika wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD.
|
|||||||||
(4)
|
Besaran sanksi administratif berupa bunga ditetapkan sebesar 1% (satu persen) atas SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran.
|
|||||||||
(5)
|
Besaran sanksi administratif berupa bunga ditetapkan sebesar 1% (satu persen) jika wajib pajak dengan kemauan sendiri melakukan pembetulan atas SPTPD.
|
|||||||||
(6)
|
Besaran sanksi administratif berupa bunga ditetapkan sebesar 1% (satu persen) terhadap STPD atas hasil penelitian SPTPD.
|
|||||||||
(7)
|
Besaran sanksi administratif berupa bunga ditetapkan sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) atas SKPDKB hasil Pemeriksaan.
|
|||||||||
(8)
|
Besaran sanksi administratif berupa bunga ditetapkan sebesar 2,2% (dua koma dua persen) atas SKPDKB hasil penghitungan secara jabatan secara Jabatan.
|
|||||||||
(9)
|
Penambahan sanksi administratif pada SKPDKB hasil penghitungan secara jabatan berupa kenaikan sebesar:
|
|||||||||
|
a.
|
50% (lima puluh persen) untuk jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c
|
||||||||
|
b.
|
25% (dua puluh lima persen) untuk jenis pajak selain yang dimaksud pada huruf a.
|
||||||||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(11)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), tidak dikenakan jika Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mengalami keadaan kahar.
|
|||||||||
(12)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (11) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Keberatan dan Banding
Paragraf 1
Keberatan Pajak
Pasal 138 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
|
|||||||||
(2)
|
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
|
|||||||||
(3)
|
Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SPPI, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau tanggal pemotongan atau Pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
|
|||||||||
(4)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
||||||||
(5)
|
Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
|
|||||||||
(6)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan.
|
|||||||||
(7)
|
Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
|
|||||||||
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||||
(9)
|
Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (7).
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 139 |
||||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1).
|
|||||||||
(2)
|
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
|||||||||
(3)
|
Keputusan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (7).
|
|||||||||
(4)
|
Keputusan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
|
|||||||||
|
a.
|
menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
|
||||||||
|
b.
|
menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
|
||||||||
|
c.
|
menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
|
||||||||
|
d.
|
menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
||||||||
(5)
|
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
|
|||||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 140 |
||||||||||
(1)
|
Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Keberatan Retribusi
Pasal 141 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||||
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
|
|||||||||
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD dikirim, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
|
|||||||||
(4)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala.
|
||||||||
(5)
|
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 142 |
||||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan keberatan.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
|||||||||
(3)
|
Keputusan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||||||
(4)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 143 |
||||||||||
(1)
|
Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
|
|||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Banding
Pasal 144 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||||
(2)
|
Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan yang jelas.
|
|||||||||
(3)
|
Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
|
|||||||||
(4)
|
Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 145 |
||||||||||
(1)
|
Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (3) tidak dikenakan.
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 146 |
||||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya.
|
|||||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 147 |
||||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||||||
(4)
|
Kondisi objek Pajak atau objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM APBD
Pasal 148 |
||||||||||
(1)
|
Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
|||||||||
|
a.
|
kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
|
||||||||
|
b.
|
potensi Pajak dan Retribusi.
|
||||||||
(2)
|
Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
|
|||||||||
(3)
|
Kebijakan makro ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan APBN.
|
|||||||||
(4)
|
Penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 149 |
||||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 150 |
||||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan Pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 151 |
||||||||||
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah Kota diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah Kota yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Pajak dan Retribusi;
|
||||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
|
||||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
|
||||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
|
||||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
|
||||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 152 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 153 |
||||||||||
Tindak pidana di bidang Pajak tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau Masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 154 |
||||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 155 |
||||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 156 |
||||||||||
Pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152, Pasal 154, dan Pasal 155 merupakan pendapatan negara.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 157 |
||||||||||
(1)
|
Pada saat Perda ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Perda ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Perda ini.
|
|||||||||
(2)
|
Pada saat Perda ini mulai berlaku, besaran persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sebesar:
|
|||||||||
|
a.
|
untuk objek PBB-P2 selain objek khusus jalan tol ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen);
|
||||||||
|
b.
|
untuk objek PBB-P2 objek khusus jalan tol ditetapkan sebesar 85% (delapan puluh lima persen), sampai dengan ditetapkan Peraturan Wali Kota yang mengatur tentang besaran persentase dan pertimbangan sebagai dasar pengenaan untuk perhitungan pembayaran PBB-P2.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 158 |
||||||||||
Pada saat Perda ini mulai berlaku:
|
||||||||||
a.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2010 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 07) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 8);
|
|||||||||
b.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 06 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 06, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 70);
|
|||||||||
c.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2011 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 71);
|
|||||||||
d.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 08 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 08, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 72) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 08 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2013 Nomor 07);
|
|||||||||
e.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 75) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2017 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 10);
|
|||||||||
f.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 04 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 04 Nomor 2012, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 78);
|
|||||||||
g.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 05 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 05, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 79) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2019 Nomor 5);
|
|||||||||
h.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 06 Tahun 2012 tentang Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 06, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 80);
|
|||||||||
i.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 81);
|
|||||||||
j.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 09 Tahun 2012 tentang Retribusi Bidang Perhubungan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 09, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 83) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Bidang Perhubungan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 4);
|
|||||||||
k.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 11 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 85);
|
|||||||||
l.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 06 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2013 Nomor 06, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 87) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 5 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 06 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2017 Nomor 5);
|
|||||||||
m.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tarif Pelayanan Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2015 Nomor 8) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tarif Pelayanan Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 3);
|
|||||||||
n.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2016 Nomor 01, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 01);
|
|||||||||
o.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 10 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Laboratorium Kesehatan Daerah pada Dinas Kesehatan Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2018 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 10);
|
|||||||||
p.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 12 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2022 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 22);
|
|||||||||
q.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Wali Kota Depok Nomor 20 Tahun 2015 tentang Tata cara Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Terminal (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2015 Nomor 20);
|
|||||||||
r.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Wali Kota Depok Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penetapan Tarif Layanan Kesehatan Non Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2016 Nomor 7) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Wali Kota Depok Nomor 20 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Wali Kota Depok Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penetapan Tarif Layanan Kesehatan Non Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2019 Nomor 20);
|
|||||||||
s.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Wali Kota Depok Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2018 Nomor 2);
|
|||||||||
t.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Wali Kota Depok Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pemberian Insentif Retribusi Daerah berupa Pembebasan Sanksi Administratif Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor dan Pembebasan Retribusi Terminal Dalam Masa Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 di Kota Depok (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 26);
|
|||||||||
u.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Wali Kota Depok Nomor 61 Tahun 2020 tentang Peninjauan Kembali Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah pada Objek Retribusi Penyewaan Gedung atau Bangunan berupa Gedung Balai Rakyat atau Gedung Lain yang Sejenis dan Stadion Olah Raga (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 62);
|
|||||||||
v.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Wali Kota Depok Nomor 30 Tahun 2022 tentang Peninjauan Kembali Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah pada Objek Retribusi Penyewaan Gedung atau Bangunan berupa Gedung Balai Rakyat atau Gedung Lain yang Sejenis untuk Kegiatan Olah Raga (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2022 Nomor 30);
|
|||||||||
w.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Wali Kota Depok Nomor 36 Tahun 2022 tentang Peninjauan Kembali Tarif Retribusi Rumah Potong Hewan (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2022 Nomor 36);
|
|||||||||
x.
|
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Wali Kota Depok Nomor 64 Tahun 2023 tentang Pedoman Umum dan Penetapan Tarif Pelayanan Badan Layanan Umum Daerah Puskesmas pada Dinas Kesehatan Kota Depok (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2023 Nomor 65), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Perda ini.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 159 |
||||||||||
Pada saat Perda ini mulai berlaku:
|
||||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2010 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 07) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 8);
|
|||||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 06 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 06, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 70);
|
|||||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2011 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 71);
|
|||||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 08 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 08, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 72) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 08 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2013 Nomor 07);
|
|||||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 75) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2017 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 10);
|
|||||||||
f.
|
Ketentuan mengenai retribusi yang terdapat dalam Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 04 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 04 Nomor 2012, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 78);
|
|||||||||
g.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 05 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 05, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 79) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2019 Nomor 5);
|
|||||||||
h.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 06 Tahun 2012 tentang Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 06, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 80);
|
|||||||||
i.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 81);
|
|||||||||
j.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 09 Tahun 2012 tentang Retribusi Bidang Perhubungan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 09, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 83) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Bidang Perhubungan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 4);
|
|||||||||
k.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 11 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 85);
|
|||||||||
l.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 06 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2013 Nomor 06, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 87) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 5 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 06 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2017 Nomor 5);
|
|||||||||
m.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tarif Pelayanan Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2015 Nomor 8) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tarif Pelayanan Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 3);
|
|||||||||
n.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2016 Nomor 01, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 01);
|
|||||||||
o.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 10 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Laboratorium Kesehatan Daerah pada Dinas Kesehatan Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2018 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 10);
|
|||||||||
p.
|
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 12 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2022 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 22);
|
|||||||||
q.
|
Peraturan Wali Kota Depok Nomor 20 Tahun 2015 tentang Tata cara Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Terminal (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2015 Nomor 20);
|
|||||||||
r.
|
Peraturan Wali Kota Depok Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penetapan Tarif Layanan Kesehatan Non Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2016 Nomor 7) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Wali Kota Depok Nomor 20 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Wali Kota Depok Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penetapan Tarif Layanan Kesehatan Non Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2019 Nomor 20);
|
|||||||||
s.
|
Peraturan Wali Kota Depok Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2018 Nomor 2);
|
|||||||||
t.
|
Peraturan Wali Kota Depok Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pemberian Insentif Retribusi Daerah berupa Pembebasan Sanksi Administratif Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor dan Pembebasan Retribusi Terminal Dalam Masa Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 di Kota Depok (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 26);
|
|||||||||
u.
|
Peraturan Wali Kota Depok Nomor 61 Tahun 2020 tentang Peninjauan Kembali Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah pada Objek Retribusi Penyewaan Gedung atau Bangunan berupa Gedung Balai Rakyat atau Gedung Lain yang Sejenis dan Stadion Olah Raga (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2020 Nomor 62);
|
|||||||||
v.
|
Peraturan Wali Kota Depok Nomor 30 Tahun 2022 tentang Peninjauan Kembali Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah pada Objek Retribusi Penyewaan Gedung atau Bangunan berupa Gedung Balai Rakyat atau Gedung Lain yang Sejenis untuk Kegiatan Olah Raga (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2022 Nomor 30);
|
|||||||||
w.
|
Peraturan Wali Kota Depok Nomor 36 Tahun 2022 tentang Peninjauan Kembali Tarif Retribusi Rumah Potong Hewan (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2022 Nomor 36);
|
|||||||||
x.
|
Peraturan Wali Kota Depok Nomor 64 Tahun 2023 tentang Pedoman Umum dan Penetapan Tarif Pelayanan Badan Layanan Umum Daerah Puskesmas pada Dinas Kesehatan Kota Depok (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2023 Nomor 65),
|
|||||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 160 |
||||||||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 150, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 161 |
||||||||||
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 162 |
||||||||||
Peraturan pelaksanaan dari Perda ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Perda ini mulai berlaku.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 163 |
||||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Depok.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Depok
pada tanggal 2 Januari 2024
WALI KOTA DEPOK,
ttd.
MOHAMMAD IDRIS
Diundangkan di Depok
pada tanggal 2 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH,
ttd.
SUPIAN SURI
LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||||||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Melalui Undang-Undang tersebut, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi Pemungutan Pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya Pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan Pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
Pemerintah juga memberikan kewenangan Pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya Pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
Sejalan dengan perubahan paradigma di bidang Pajak dan Retribusi tersebut, perlu dilakukan pengaturan mengenai penyelenggaraan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Depok tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang merupakan peraturan perundang-undangan terbaru yang mencabut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
|
|||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Yang dimaksud “bentuk badan lainnya” pada pengertian “Badan”, termasuk rukun tetangga, gabungan rukun tetangga, dan rukun warga.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (mass rapid transit), lintas raya terpadu (light rail transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten/Kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Wali Kota atau pejabat dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka Panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Termasuk pelayanan administrasi antara lain pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan. Pelayanan administrasi tidak dikenakan Retribusi.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Yang dimaksud “kendaraan bermotor” merupakan kendaraan bermotor angkutan penumpang dan kendaraan bermotor angkutan barang. Kendaraan bermotor angkutan penumpang meliputi:
Kendaraan bermotor angkutan barang meliputi semua kendaraan umum angkutan barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota, seperti pada pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah Kota.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perangkat Daerah (PD), yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang milik Daerah” adalah pendayagunaan barang milik Daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi PD dan/atau optimalisasi barang milik Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 32
|