Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA CIREBON,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan penunjang pelaksanaan pembangunan dibidang ekonomi dan kesejahteraan sosial serta merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
b.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||
c.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di daerah;
|
|||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 57 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6866);
|
|||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
11.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Cirebon (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2021 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 107);
|
|||
12.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 3 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah Daerah Kota Cirebon (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2023 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 128);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA CIREBON
dan
WALI KOTA CIREBON
|
||||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah Kota adalah Daerah Kota Cirebon.
|
|||
2.
|
Pemerintah Daerah Kota adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||
3.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
|
|||
4.
|
Wali Kota adalah Wali Kota Cirebon.
|
|||
5.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
|
|||
6.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah Kota bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
7.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
8.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||
9.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap diatas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||
10.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||
11.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||
12.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
13.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang bidang pertanahan dan bangunan.
|
|||
14.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||
15.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||
16.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran
|
|||
17.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||
18.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||
19.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
|
|||
20.
|
Jasa Kesenian dan hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukkan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||
21.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||
22.
|
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||
23.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||
24.
|
Pajak Air Tanah selanjutnya yang disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||
25.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collacolia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
|
|||
26.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung wallet.
|
|||
27.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||
28.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||
29.
|
Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
30.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut opsen PKB adalah opsen yang dikenakan oleh Kabupaten atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
31.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
32.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai pajak.
|
|||
33.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
34.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
35.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
36.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
37.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||
38.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
|
|||
39.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||
40.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||
41.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||
42.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||
43.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
44.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
|
|||
45.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||
46.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
|||
47.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
48.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||
49.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||
50.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
|||
51.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||
52.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
53.
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
|||
54.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
55.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa dan/atau perizinan.
|
|||
56.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
57.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
58.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
59.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah Kota dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
60.
|
Penyediaan Tempat Penginapan/pasanggrahan/vila adalah penyediaan tempat penginapan/pasanggrahan/vila yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
|||
61.
|
Pemanfaatan Aset Daerah adalah Pemanfaatan barang milik daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah dengan tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum.
|
|||
62.
|
Bangungan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
|
|||
63.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||
64.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
|||
65.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
|
|||
66.
|
Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi dan diberi tugas oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung.
|
|||
67.
|
Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.
|
|||
68.
|
Badan Pelayanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Maksud dari peraturan daerah ini, yaitu sebagai pedoman Pemerintah Daerah Kota dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah.
|
|||
(2)
|
Tujuan dari peraturan daerah ini, yaitu untuk optimalisasi pendapatan asli Daerah dalam mendukung tugas-tugas Pemerintah Daerah Kota di bidang pembangunan, pemerintahan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan menggali pendapatan asli Daerah yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 3 |
||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini, meliputi:
|
||||
a.
|
wewenang Daerah Kota;
|
|||
b.
|
pajak;
|
|||
c.
|
retribusi;
|
|||
d.
|
tata cara pemungutan pajak dan retribusi;
|
|||
e.
|
pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan atas pokok pajak/retribusi;
|
|||
f.
|
kerahasiaan data wajib pajak;
|
|||
g.
|
insentif pemungutan pajak dan retribusi;
|
|||
h.
|
pembinaan dan pengawasan;
|
|||
i.
|
ketentuan penyidikan;
|
|||
j.
|
sanksi; dan
|
|||
k.
|
ketentuan peralihan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
BPHTB;
|
||
|
c.
|
PBJT atas:
|
||
|
d.
|
makanan dan/atau minuman;
|
||
|
e.
|
tenaga listrik;
|
||
|
f.
|
jasa perhotelan;
|
||
|
g.
|
jasa parkir; dan
|
||
|
h.
|
jasa kesenian dan hiburan;
|
||
|
i.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
j.
|
PAT;
|
||
|
k.
|
Pajak MBLB;
|
||
|
l.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||
|
m.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
n.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, tidak dipungut.
|
|||
(3)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
c.
|
PAT;
|
||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
e.
|
Opsen BBNKB;
|
||
(4)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
BPHTB;
|
||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman.
|
|
|
|
2.
|
Tenaga Listrik.
|
|
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan.
|
|
|
|
4.
|
Jasa Parkir.
|
|
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|
|
c.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah Pusat, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara dan barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
|
||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 yaitu NJOP.
|
|||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||
(5)
|
Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah Kota.
|
|||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan:
|
|||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota.
|
||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk NJOP Rp0 sampai dengan Rp500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun;
|
||
|
b.
|
untuk NJOP Rp500.000.001,00 (Lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp750.000.000,00 (Tujuh ratus lima puluh juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,125% (nol koma satu dua lima persen) per tahun;
|
||
|
c.
|
untuk NJOP Rp750.000.001,00 (Tujuh ratus lima puluh juta rupiah satu rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma satu lima persen) per tahun;
|
||
|
d.
|
untuk NJOP Rp1.000.000.001,00 (satu milyar satu rupiah) sampai dengan Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun;
|
||
|
e.
|
untuk NJOP Rp1.500.000.001,00 (satu milyar lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp1.750.000.000,00 (satu milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen) per tahun;
|
||
|
f.
|
untuk NJOP Rp1.750.000.001,00 (satu milyar tujuh ratus lima puluh juta satu rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) per tahun;
|
||
|
g.
|
untuk NJOP Rp2.000.000.001,00 (dua milyar satu rupiah) sampai dengan Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,4% (nol koma empat persen) per tahun; dan
|
||
|
h.
|
untuk NJOP mulai dari Rp3.000.000.001,00 (tiga milyar satu rupiah) ke atas ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
||
(2)
|
Tarif PBB-P2 atas objek pajak berupa lahan produksi pangan dan ternak tarif ditetapkan sebesar 0,07%.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
|||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||
(4)
|
PBB-P2 yang terutang dipungut di wilayah Daerah Kota yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4), merupakan wilayah Daerah Kota tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada pada:
|
|||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
||
|
b.
|
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
Pemindahan hak karena:
|
||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|
|
|
2.
|
tukar menukar;
|
|
|
|
3.
|
hibah;
|
|
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|
|
|
5.
|
waris;
|
|
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|
|
|
12.
|
pemekaran usaha;
|
|
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
|
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
hak milik;
|
||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||
|
d.
|
hak pakai;
|
||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||
|
f.
|
hak pengelolaaan.
|
||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik Negara dan barang milik Daerah Kota;
|
||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
|
||
|
c.
|
untuk badan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h, yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB, yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB, yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB, yaitu nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah Kota.
|
|||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5, yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||
(2)
|
Saat terutangnya Pajak BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
|||
|
a.
|
jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
|
||
|
b.
|
jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
|
||
(5)
|
Pembayaran atau penyetoran paling lama dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
|
|||
(6)
|
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah Kota tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota, paling lama pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(2)
|
Dalam hal pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
|
||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah, setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 19 |
||||
Objek PBJT yaitu penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan, Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a, meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT atas Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per bulan;
|
||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||
|
a.
|
hotel;
|
||
|
b.
|
hostel;
|
||
|
c.
|
vila;
|
||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||
|
e.
|
motel;
|
||
|
f.
|
losmen;
|
||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||
|
k.
|
glamping;
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau Pemerintah Daerah Kota;
|
||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Kota;
|
||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
|
||
|
d.
|
jasa tempat parkir di rumah peribadatan dan pendidikan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e, meliputi:
|
|||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||
|
e.
|
pameran;
|
||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||
|
c.
|
bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan Pemerintah Daerah Kota yang tidak dipungut bayaran.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Subjek PBJT yaitu konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib PBJT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
|
||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah Kota.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah Kota menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah Kota dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b, ditetapkan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Tenaga Listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
|
||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah Kota.
|
||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Tarif atas Makanan dan/atau Minuman Jasa Parkir dan Jasa Perhotelan ditetapkan masing-masing sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(2)
|
Khusus Tarif PBJT atas Tenaga Listrik ditetapkan untuk:
|
|||
|
a.
|
penggunaan tenaga listrik yang berasal dari perusahaan listrik negara untuk rumah tangga sebesar 5% (lima persen).
|
||
|
b.
|
Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari Perusahaan listrik negara untuk industri sebesar 3% (tiga persen).
|
||
|
c.
|
penggunaan tenaga listrik yang berasal dari Perusahaan listrik negara untuk bisnis sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||
|
d.
|
penggunaan tenaga listrik yang berasal dari Perusahaan listrik negara untuk rumah sakit, perguruan tinggi dan sekolah sebesar 3% (tiga persen).
|
||
|
e.
|
penggunaan tenaga listrik yang berasal dari Perusahaan listrik negara untuk kegiatan insidentil sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||
|
f.
|
penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam sebesar 3% (tiga persen).
|
||
|
g.
|
penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||
(3)
|
Khusus Tarif PBJT atas jasa Kesenian dan Hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen).
|
|||
(4)
|
Tarif PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan selain Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
(3)
|
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah Kota tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
|
|||
|
a.
|
penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan dan sejenisnya;
|
||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, Pemerintah Daerah Kota, dan/atau pemerintah negara lainnya; dan
|
||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame, yaitu orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame, yaitu orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame, berdasarkan nilai sewa Reklame.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Reklame dilakukan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Reklame dilakukan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara, mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||
(3)
|
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah Kota.
|
|||
(4)
|
Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang yaitu wilayah Daerah Kota tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAT
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Objek PAT yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari objek PAT yakni pengambilan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
peternakan rakyat; dan
|
||
|
e.
|
keperluan keagamaan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Subjek PAT, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Wajib PAT, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PAT, adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berasal dari hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||
(3)
|
Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam Daerah Kota ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang, dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAT, ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(3)
|
PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah Kota tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet, yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet, yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Sarang Burung Walet, yaitu nilai jual sarang burung walet.
|
|||
(2)
|
Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di Daerah Kota dengan volume Sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara, mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet, ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
|
|||
(3)
|
Pajak Sarang Burung Walet yang terutang, dipungut di wilayah Daerah Kota tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen PKB
Pasal 45 |
||||
Opsen PKB dikenakan Pajak terutang dari PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB, merupakan Wajib PKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB, merupakan PKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
Tarif opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara, mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB, ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||
(3)
|
Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah Kota tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen BBNKB
Pasal 50 |
||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB, merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB, merupakan BBNKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
Tarif opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara, mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB, ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||
(3)
|
Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah Kota tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak, ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang, untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
|
|||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan modal dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah Kota yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
|
|||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB dan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dialokasikan 2% (dua persen) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan penunjang pemungutan PKB dan BBNKB.
|
|||
(2)
|
Penggunaan hasil penerimaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB untuk mendukung kegiatan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan antara lain untuk:
|
|||
|
a.
|
sosialisasi atau edukasi untuk meningkatkan kepatuhan Masyarakat dalam membayar pajak;
|
||
|
b.
|
penyelenggaraan pelayanan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT)
|
||
|
c.
|
penegakan hukum atau operasi gabungan penertiban administrasi kendaraan bermotor; dan/atau
|
||
|
d.
|
penelusuran Kendaraan Tidak Melakukan Daftar Ulang (KTMDU) atau penagihan tunggakan PKB/pendataan Wajib Pajak.
|
||
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Jenis retribusi terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||
(2)
|
Objek Retribusi, yaitu penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi, yaitu meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a, meliputi pelayanan:
|
|||
|
a.
|
kesehatan;
|
||
|
b.
|
kebersihan; dan
|
||
|
c.
|
parkir di tepi jalan umum.
|
||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan kewenangan Daerah Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah Kota; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a, merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota, meliputi:
|
|||
|
a.
|
Pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
|
||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari retribusi atas pelayanan kebersihan, yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c, merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair; dan
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis/kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
|
||
(3)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 68 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b, meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Kota; dan
|
||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah Kota yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah Kota dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah Kota; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a, merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b, merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah Kota untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah Kota dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c, merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf d, merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf e, merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf f, merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah Kota oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
|
||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga;
|
||
|
f.
|
penjualan produksi usaha Daerah Kota diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah Kota; dan
|
||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah Kota diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah Kota.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||
|
Tata cara penghitungan tarif diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(3)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik Daerah Kota dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
(4)
|
Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah Kota.
|
|||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah Kota; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah Kota.
|
|||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||
(9)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 80 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf c, meliputi:
|
|||
|
a.
|
PBG; dan
|
||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
|||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||
|
a.
|
pembangunan gedung baru;
|
||
|
b.
|
bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah Kota, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Daerah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
|
||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
|
||
(3)
|
Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
|
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
|
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
|
|
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Volume;
|
|
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
(3)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
|
|||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(4)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
(6)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
|
|||
(7)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengaturan mengenai:
|
|||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||
|
d.
|
pelaporan;
|
||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
h.
|
keberatan;
|
||
|
i.
|
gugatan;
|
||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
|
||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif Pajak dan/atau Retribusi kepada pelaku usaha yang berusaha di wilayah Daerah Kota.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
|
||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
|||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e, dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 94 |
||||
(1)
|
Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah Kota kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar, sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
|||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar, Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
|||
(6)
|
Dalam hal pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||
(7)
|
Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b, paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 95 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahuinya, atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yaitu:
|
|||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan Daerah Kota.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah Kota, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 96 |
||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan melalui APBD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 97 |
||||
(1)
|
Wali Kota menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
(2)
|
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan:
|
|||
|
a.
|
urusan pajak daerah oleh Badan; dan
|
||
|
b.
|
urusan retribusi daerah oleh Perangkat Daerah pengampu retribusi.
|
||
(3)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan meliputi:
|
|||
|
a.
|
sosialisasi;
|
||
|
b.
|
bimbingan teknis; dan
|
||
|
c.
|
pelatihan.
|
||
(4)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan meliputi:
|
|||
|
a.
|
monitoring;
|
||
|
b.
|
evaluasi;
|
||
|
c.
|
pengendalian; dan
|
||
|
d.
|
pelaporan.
|
||
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 98 |
||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah Kota diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah Kota yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan pelanggaran Peraturan Daerah ini;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan pelanggaran Peraturan Daerah ini;
|
||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan pelanggaran Peraturan Daerah ini;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini;
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan pelanggaran Peraturan Daerah ini;
|
||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan terhadap Peraturan Daerah ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Pidana
Pasal 99 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah Kota, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah Kota, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah Kota, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101 merupakan pendapatan daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 104 |
||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebesar Rp25.000.000,00 (Dua Puluh Lima Juta Rupiah) untuk setiap SPTPD.
|
|||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2,) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||
(4)
|
Kriteria kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
|
|||
|
a.
|
keadaan luar biasa di luar kekuasaan Wajib Pajak atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
tidak adanya itikad buruk dari Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
||
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106 |
||||
Ketentuan mengenai Opsen PKB, dan Opsen BBNKB berlaku paling lama mulai tanggal 5 Januari 2025.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 108 |
||||
(1)
|
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
|||
|
a.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 5 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2010 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 30);
|
||
|
b.
|
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 39);
|
||
|
c.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 41);
|
||
|
d.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 42);
|
||
|
e.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2012 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 43);
|
||
|
f.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2014 Nomor 2);
|
||
|
g.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2014 Nomor 3);
|
||
|
h.
|
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2014 Nomor 4);
|
||
|
i.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 3 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2019 Nomor 3);
|
||
|
j.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Menara Bersama Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2020 Nomor 2);
|
||
|
k.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2021 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 105);
|
||
|
l.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 4 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2021 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 106);
|
||
|
m.
|
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 6 Tahun 2023 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Cirebon Tahun 2023 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Cirebon Nomor 131);
|
||
|
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||
(2)
|
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2024.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Cirebon.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Cirebon
pada tanggal 2 Januari 2024
Pj. WALI KOTA CIREBON,
ttd.
AGUS MULYADI
Diundangkan di Cirebon
pada tanggal 2 Januari 2024
Pj. SEKRETARIS DAERAH KOTA CIREBON,
ttd.
MUHAMMAD ARIF KURNIAWAN
LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||
|
|
|
|
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pajak dan retribusi mempunyai peranan yang strategis dalam pembangunan ekonomi daerah dan menjadi sumber penerimaan daerah yang penting. Pajak dan retribusi yang diperoleh daerah akan menjadi sumber pendapatan daerah, serta digunakan untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk pengeluaran dan pembangunan daerah. Fungsi pajak dan retribusi sebagai redistribusi pendapatan dapat digunakan sebagai modal untuk membuka lapangan pekerjaan baru, sehingga uang yang diperoleh dari sektor pajak dan retribusi akan terus mengalami perputaran. Hal ini dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya berdampak pada perkembangan ekonomi daerah khususnya dan negara pada umumnya.
Pajak dan retribusi menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah, serta merupakan pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengelolaan Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kota untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah Daerah Kota.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah memberikan ruang yang luas kepada Pemerintah Daerah Kota untuk mengatur pajak dan retribusi berdasarkan kewenangan yang telah diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut dalam bentuk penyelenggaraan pemungutan terhadap 8 (delapan) jenis pajak daerah yaitu: PBB-P2, BPHTB, PBJT, Pajak Reklame, PAT dan Pajak Sarang Burung Walet, serta pemberian sumber perpajakan yang baru yaitu opsen PKB dan opsen BBNKB. Demikian halnya dengan jenis retribusi daerah yang ditetapkan menjadi 12 (dua belas) jenis retribusi daerah.
Peraturan Daerah ini dibentuk dalam rangka melaksanakan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang mengamanatkan jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi, ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah Kota.
Dalam hal kewenangan, pembentukan Peraturan Daerah ini berdasarkan pada Pasal 18 A ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, antara lain diamanatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Pemerintah Daerah Kota membentuk peraturan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Hal yang sama juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Proses pembentukan Peraturan Daerah ini berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhhir dengang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah.
Materi muatan Peraturan Daerah ini merupakan penjabaran dari pelaksanaan atas peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kewenangan yang melekat pada daerah otonom serta beberapa pengaturan lain dalam rangka penegakan Peraturan Daerah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Istilah-istilah dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksankan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten atau Kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y. Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB.Sebagai contoh, Wali Kota atau pejabat dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri di dalam hotel.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Contoh Penghitungan:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan pelayanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud “keadaan luar biasa” yaitu bencana yang disebabkan oleh alam atau non alam, antara lain gunung meletus, tsunami, gempa, banjir dan kebakaran.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 138
|