Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI
NOMOR 8 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA CIMAHI,
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (3), Pasal 41 ayat (3), Pasal 46 ayat (8), Pasal 58 ayat (4), Pasal 63 ayat (2), Pasal 69 ayat (2), Pasal 83 ayat (2), dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pembentukan Kota Cimahi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4116);
|
|||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
|
|||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA CIMAHI
dan
WALI KOTA CIMAHI
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan |
||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||
1.
|
Wali Kota adalah Wali Kota Cimahi.
|
|||||
2.
|
Daerah Kota yang selanjutnya disebut Daerah adalah Daerah Kota Cimahi.
|
|||||
3.
|
Pemerintah Daerah Kota adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||||
4.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Kota.
|
|||||
5.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||
6.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||
7.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||
8.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
9.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||
10.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
|
|||||
11.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||
12.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||||
13.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||||
14.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||||
15.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||
16.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
|||||
17.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||
18.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||
19.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
|||||
20.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||||
21.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||||
22.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||||
23.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||||
24.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
|
|||||
25.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||||
26.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||||
27.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||||
28.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan Reklame.
|
|||||
29.
|
Nilai Sewa Reklame yang selanjutnya disebut NSR adalah keseluruhan pembayaran yang dikeluarkan oleh pemilik dan/atau penyelenggara reklame yang diperhitungkan dengan memperhatikan lokasi penempatan, jenis, jangka waktu penyelenggaraan, dan ukuran media reklame.
|
|||||
30.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||||
31.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
32.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||||
33.
|
Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan MBLB dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||
34.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
|
|||||
35.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||
36.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||
37.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||
38.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||||
39.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik Kendaraan Bermotor sebagai akibat perjanjian 2 (dua) pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||
40.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||
41.
|
Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
42.
|
Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
43.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||
44.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||
45.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||
46.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||
47.
|
Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
|
|||||
48.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||||
49.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
|||||
50.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
|
|||||
51.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
|||||
52.
|
Rencana Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
|
|||||
53.
|
Pengesahan RPTKA adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
|
|||||
54.
|
Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 2 |
||||||
Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Kota terdiri atas:
|
||||||
a.
|
PBB-P2;
|
|||||
b.
|
BPHTB;
|
|||||
c.
|
PBJT atas:
|
|||||
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
||||
|
2.
|
tenaga listrik;
|
||||
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
||||
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
||||
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
||||
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||||
e.
|
PAT;
|
|||||
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||||
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
|||||
h.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||
i.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
|
|||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||||
|
c.
|
PAT;
|
||||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||
|
a.
|
BPHTB;
|
||||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|||
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|||
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|||
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
|||
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
|||
|
c.
|
Pajak MBLB; dan
|
||||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PBB-P2
Pasal 4 |
||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
|
||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan
|
||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 meliputi orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 meliputi orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
|||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||||
(3)
|
NJOP tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak PBB-P2.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak PBB-P2 memiliki atau menguasai lebih dari 1 (satu) objek PBB-P2 di 1 (satu) wilayah Daerah, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||||
(6)
|
Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan:
|
|||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota.
|
||||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar:
|
|||||
|
a.
|
untuk ketetapan NJOP Rp0 (nol rupiah) sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0% (nol persen);
|
||||
|
b.
|
untuk ketetapan NJOP Rp60.000.001,00 (enam puluh juta satu rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,105% (nol koma satu nol lima persen);
|
||||
|
c.
|
untuk ketetapan NJOP Rp500.000.001,00 (lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,125% (nol koma satu dua lima persen);
|
||||
|
d.
|
untuk ketetapan NJOP Rp1.000.000.001,00 (satu miliar satu rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,150% (nol koma satu lima nol persen);
|
||||
|
e.
|
untuk ketetapan NJOP Rp2.000.000.001,00 (dua miliar satu rupiah) sampai dengan Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,175% (nol koma satu tujuh lima persen);
|
||||
|
f.
|
untuk ketetapan NJOP Rp3.000.000.001,00 (tiga miliar satu rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,201% (nol koma dua nol satu persen); atau
|
||||
|
g.
|
untuk ketetapan NJOP Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), ditetapkan tarif sebesar 0,225% (nol koma dua dua lima persen).
|
||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar:
|
|||||
|
a.
|
untuk ketetapan NJOP Rp60.000.001,00 (enam puluh juta satu rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
|
||||
|
b.
|
untuk ketetapan NJOP Rp500.000.001,00 (lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,123% (nol koma satu dua tiga persen);
|
||||
|
c.
|
untuk ketetapan NJOP Rp1.000.000.001,00 (satu miliar satu rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,148% (nol koma satu empat delapan persen);
|
||||
|
d.
|
untuk ketetapan NJOP Rp2.000.000.001,00 (dua milar satu rupiah) sampai dengan Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,173% (nol koma satu tujuh tiga persen);
|
||||
|
e.
|
untuk ketetapan NJOP Rp3.000.000.001,00 (tiga miliar satu rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,199% (nol koma satu sembilan sembilan persen); atau
|
||||
|
f.
|
untuk ketetapan NJOP Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), ditetapkan tarif sebesar 0,220% (nol koma dua dua nol persen).
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 dengan tarif PBB-P2.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
|||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||||
(1)
|
Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||||
(2)
|
Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
||||
|
b.
|
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BPHTB
Pasal 11 |
||||||
(1)
|
Objek BPHTB meliputi Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|||
|
|
3.
|
hibah;
|
|||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|||
|
|
5.
|
waris;
|
|||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|||
|
|
13.
|
hadiah.
|
|||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
hak milik;
|
||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||||
|
d.
|
hak pakai;
|
||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB meliputi Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, pemerintahan daerah, penyelenggara negara, dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB meliputi orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB meliputi orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek Pajak.
|
|||||
(2)
|
Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:
|
|||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan merupakan NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus 1 (satu) derajat ke atas atau 1 (satu) derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami atau istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar BPHTB setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak dengan tarif BPHTB.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
||||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
|
||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||||
(4)
|
Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PBJT
Pasal 16 |
||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||
b.
|
tenaga listrik;
|
|||||
c.
|
jasa perhotelan;
|
|||||
d.
|
jasa parkir; dan
|
|||||
e.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan;
|
||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b merupakan penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c seperti jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat atau pertemuan pada penyedia jasa perhotelan yang seperti:
|
|||||
|
a.
|
hotel;
|
||||
|
b.
|
hostel;
|
||||
|
c.
|
vila;
|
||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||||
|
e.
|
motel;
|
||||
|
f.
|
losmen;
|
||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||||
|
i.
|
rumah penginapan, guest house, bungalo, resort, atau cottage;
|
||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||||
|
k.
|
glamping.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
|
||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d seperti:
|
|||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan atau parkir valet.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
|
||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e meliputi:
|
|||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||
|
e.
|
pameran;
|
||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
||||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||||
|
c.
|
pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||
(2)
|
Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah Kota menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah Kota dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan 75% (tujuh puluh lima persen).
|
|||||
(3)
|
Tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri dan pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||||
|
b.
|
Tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
|
||||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
|||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
||||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT dengan tarif PBJT.
|
|||||
(2)
|
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah Kota tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||
(3)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||||
|
a.
|
pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||
|
b.
|
konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||
|
c.
|
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||
|
d.
|
pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||
|
e.
|
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Pasal 27 |
||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame meliputi semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
Reklame papan, billboard, videotron, atau megatron;
|
||||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||||
|
c.
|
Reklame melekat atau stiker;
|
||||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||||
|
h.
|
Reklame film atau slide; dan
|
||||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada Bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi sesuai ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Kota; dan
|
||||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame dengan tarif Pajak Reklame.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||||
(3)
|
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
|
|||||
(4)
|
Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggaraan Reklame terdaftar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PAT
Pasal 32 |
||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan untuk:
|
|||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
||||
|
e.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||
|
f.
|
kegiatan pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||||
(4)
|
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas:
|
|||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok saat terutang PAT dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT dengan tarif PAT.
|
|||||
(2)
|
PAT yang terutang ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
(3)
|
PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak MBLB
Pasal 37 |
||||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB:
|
|||||
|
a.
|
asbes;
|
||||
|
b.
|
batu tulis;
|
||||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||||
|
d.
|
batu kapur;
|
||||
|
e.
|
batu apung;
|
||||
|
f.
|
batu permata;
|
||||
|
g.
|
bentonit;
|
||||
|
h.
|
dolomit;
|
||||
|
i.
|
feldspar;
|
||||
|
j.
|
garam batu;
|
||||
|
k.
|
grafit;
|
||||
|
l.
|
granit atau andesit;
|
||||
|
m.
|
gips;
|
||||
|
n.
|
kalsit;
|
||||
|
o.
|
kaolin;
|
||||
|
p.
|
leusit;
|
||||
|
q.
|
magnesit;
|
||||
|
r.
|
mika;
|
||||
|
s.
|
marmer;
|
||||
|
t.
|
nitrat;
|
||||
|
u.
|
obsidian;
|
||||
|
v.
|
oker;
|
||||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||||
|
y.
|
perlit;
|
||||
|
z.
|
fosfat;
|
||||
|
aa.
|
talk;
|
||||
|
bb.
|
tanah serap;
|
||||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
||||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||||
|
ee.
|
tawas;
|
||||
|
ff.
|
tras;
|
||||
|
gg.
|
yarosit;
|
||||
|
hh.
|
zeolit;
|
||||
|
ii.
|
basal;
|
||||
|
jj.
|
trakhit;
|
||||
|
kk.
|
belerang;
|
||||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
||||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengambilan MBLB:
|
|||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan atau dipindahtangankan;
|
||||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik atau telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
|
||||
|
c.
|
untuk keperluan pembangunan rumah ibadah yang dibiayai oleh masyarakat.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB.
|
|||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah Kota.
|
|||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok Saat terutang Pajak MBLB dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB dengan tarif Pajak MBLB.
|
|||||
(2)
|
Pajak MBLB yang terutang ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
|||||
(3)
|
Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 42 |
||||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet meliputi pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet meliputi orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet meliputi orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual sarang Burung Walet.
|
|||||
(2)
|
Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||
(3)
|
Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Opsen PKB dan Opsen BBNKB
Pasal 47 |
||||||
(1)
|
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak atas PKB.
|
|||||
(3)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersamaan dengan pemungutan PKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB dengan tarif Opsen PKB.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||
(1)
|
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
|||||
(3)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersamaan dengan pemungutan BBNKB.
|
|||||
(4)
|
Pembayaran Opsen BBNKB dilakukan sekaligus dengan pembayaran BBNKB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB dan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dialokasikan 2,0% (dua koma nol persen) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pemungutan PKB dan BBNKB.
|
|||||
(2)
|
Penggunaan hasil penerimaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB untuk mendukung kegiatan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan antara lain untuk:
|
|||||
|
a.
|
sosialisasi atau edukasi untuk meningkatkan kepatuhan Masyarakat dalam membayar pajak;
|
||||
|
b.
|
penyelenggaraan pelayanan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT);
|
||||
|
c.
|
penegakan hukum atau operasi gabungan penertiban administrasi kendaraan bermotor; dan/atau
|
||||
|
d.
|
penelusuran Kendaraan Tidak Melakukan Daftar Ulang (KTMDU) atau penagihan tunggakan PKB/pendataan Wajib Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB dengan tarif Opsen BBNKB.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 56 |
||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Retribusi
Paragraf 1
Retribusi Jasa Umum
Pasal 57 |
||||||
Subjek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||
Wajib Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 59 |
||||||
Subjek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||||
Wajib Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 61 |
||||||
Subjek Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf c adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf c adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Objek Retribusi
Paragraf 1
Retribusi Jasa Umum
Pasal 63 |
||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum meliputi:
|
|||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
||||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
||||
(2)
|
Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
|
|||||
(3)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(4)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal terjadi penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(6)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||
(7)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
|
|||||
(8)
|
Yang dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||||
(1)
|
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota, kecuali pelayanan administrasi.
|
|||||
(2)
|
Kegiatan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan tarif, dikelompokan berdasarkan jenis pelayanan.
|
|||||
(3)
|
Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pelayanan:
|
|||||
|
a.
|
medis; dan
|
||||
|
b.
|
penunjang medis.
|
||||
(4)
|
Besaran Tarif Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian dari peraturan daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||||
(1)
|
Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf b yaitu Pelayanan Kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota meliputi:
|
|||||
|
a.
|
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga.
|
||||
(2)
|
Pengangkutan sampah dari sumbernya ke tempat pengolahan akhir sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu pelayanan kebersihan:
|
|||||
|
a.
|
pengangkutan sampah dari perumahan yang berpengelola; dan
|
||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari industri, pasar modern, rumah sakit, institusi pendidikan, pendidikan tinggi, hotel/penginapan dan apartemen, pusat perbelanjaan/mall, restoran, rumah makan, klinik, Puskesmas, tempat hiburan dan keramaian umum, tempat pariwisata, jasa perkantoran, stasiun kereta api, apotek, dan perusahaan angkutan barang/gudang.
|
||||
(3)
|
Pengangkutan sampah dari sumbernya ke tempat pembuangan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu pelayanan kebersihan bagi setiap orang yang melakukan pembuangan sampah pada tempat pembuangan sampah sementara.
|
|||||
(4)
|
Penyediaan tempat pembuangan/pemusnahan/pengolahan akhir sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu pelayanan kebersihan terhadap pelayanan penyediaan tempat pembuangan/pemusnahan/pengolahan akhir sampah.
|
|||||
(5)
|
Yang dikecualikan dari pelayanan kebersihan pengangkutan sampah dari sumbernya ke tempat pembuangan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu pelayanan pengangkutan sampah bagi industri, pasar modern, rumah sakit, institusi pendidikan tinggi, hotel/penginapan dan apartemen.
|
|||||
(6)
|
Yang dikecualikan dari Pelayanan Kebersihan, yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan fasilitas umum lainnya.
|
|||||
(7)
|
Tarif Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||
(1)
|
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf c yaitu penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(2)
|
Tarif pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||||
(1)
|
Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf d yaitu penyediaan fasilitas pasar rakyat, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola Pemerintah Daerah Kota dan khusus disediakan untuk pedagang.
|
|||||
(2)
|
Tarif pelayanan pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 68 |
||||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
|
|||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||
|
c.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Kota; dan
|
||||
|
d.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan.
|
|||||
(7)
|
Yang dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||
(8)
|
Rincian dan tarif objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a diberikan terhadap penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||
(1)
|
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b adalah penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan terhadap pelayanan Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan untuk Pegawai ASN dan Pegawai Non ASN pada Pemerintah Daerah Kota, TNI, dan POLRI.
|
|||||
(3)
|
Rincian dan Tarif Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||||
(1)
|
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c diberikan terhadap penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah Kota meliputi:
|
|||||
|
a.
|
penjualan Benih Ikan, Calon Induk Ikan, Induk Ikan, dan/atau Afkiran pada BBIAT;
|
||||
|
b.
|
pemakaian Air Minum yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah Kota;
|
||||
|
c.
|
hasil produk jasa pelayanan kesehatan hewan oleh Pusat Kesehatan Hewan; dan
|
||||
|
d.
|
hasil produk jasa pengujian dan pengambilan sampel oleh laboratorium lingkungan.
|
||||
(2)
|
Rincian dan Tarif Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf d termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum meliputi:
|
|||||
|
a.
|
penggunaan lantai bangunan, ruangan, sarana, dan/atau prasarana di kawasan Rusunawa;
|
||||
|
b.
|
penggunaan lantai bangunan, ruangan, sarana, dan/atau prasarana di Gedung Baros Information Technology and Creative (BITC);
|
||||
|
c.
|
penggunaan barang milik daerah lainnya; dan
|
||||
|
d.
|
penggunaan tanah di tepi jalan yang tidak mengubah fungsi dari tanah.
|
||||
(2)
|
Rincian dan tarif objek Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian dari peraturan daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||||
(1)
|
Selain Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), terdapat pula tata cara pemanfaatan dan perhitungan tarif pemanfaatan barang milik Daerah Retribusi Jasa Usaha Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian dari peraturan daerah ini.
|
|||||
(2)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||
(3)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||
(4)
|
Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||
(6)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||
(7)
|
Tarif Retribusi Jasa Usaha ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||
(9)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 74 |
||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
|
|||||
|
a.
|
Persetujuan Bangunan Gedung; dan
|
||||
|
b.
|
Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
|
||||
(2)
|
Jenis Retribusi Jasa tertentu yang mempunyai potensi dan dapat dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||
|
a.
|
Persetujuan Bangunan Gedung; dan
|
||||
|
b.
|
Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||
(1)
|
Pelayanan pemberian PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(2)
|
Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||||
|
a.
|
pembangunan baru;
|
||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG; atau
|
||||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau Kesehatan;
|
|||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|||
(3)
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
|||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari pelayanan pemberian persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah khusus untuk bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
|||||
(5)
|
Rincian dan tarif objek PBG sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) huruf b adalah pelayanan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan di wilayah kerja Kota Cimahi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari pengenaan Retribusi pelayanan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah khusus untuk Penggunaan Tenaga Kerja Asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Tingkat Penggunaan Jasa
Paragraf 1
Retribusi Jasa Umum
Pasal 77 |
||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan klasifikasi tempat, volume sampah, kapasitas daya listrik dan jumlah ritase pengangkutan sampah;
|
||||
|
b.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan dan jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
|
||||
|
c.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan klasifikasi dan kelas pasar yang digunakan serta jangka waktu penggunaan fasilitas pasar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||
(2)
|
Tarif Retribusi Jasa Umum ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 80 |
||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||
|
c.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||
|
d.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis produk jasa, kelompok pelanggan, volume, dan/atau jumlah produksi usaha Daerah yang dijual; dan
|
||||
|
e.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, jumlah layanan, jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah dan/atau parameter tertentu pemanfaatan aset Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 82 |
||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
|
||||
|
b.
|
pelayanan penggunaan Tenaga Kerja Asing diukur berdasarkan jumlah frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
|
||||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||||
|
a.
|
Harga satuan retribusi PBG terdiri atas:
|
||||
|
|
1.
|
Standar Harga Satuan Tertinggi untuk Bangunan Gedung negara sederhana; atau
|
|||
|
|
2.
|
Harga Satuan Retribusi Prasarana Bangunan Gedung untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
|||
|
b.
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
||||
|
|
1.
|
Bangunan Gedung; dan
|
|||
|
|
2.
|
Prasarana Bangunan Gedung.
|
|||
|
c.
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 1 terdiri atas:
|
||||
|
|
1.
|
Luas total lantai;
|
|||
|
|
2.
|
Indeks lokalitas;
|
|||
|
|
3.
|
Indeks terintegritas; dan
|
|||
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung terbangun.
|
|||
|
d.
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 2 terdiri atas:
|
||||
|
|
1.
|
Volume;
|
|||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung terbangun.
|
|||
(4)
|
Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari hal tersebut.
|
|||||
(5)
|
Khusus untuk pelayanan PBG, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
|||||
(6)
|
Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan, biaya penyelenggaraan mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing.
|
|||||
(7)
|
Masa retribusi pelayanan perpanjangan penggunaan Tenaga Kerja Asing paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Wilayah Pemungutan Retribusi
Paragraf 1
Retribusi Jasa Umum
Pasal 83 |
||||||
Retribusi Jasa Umum dipungut di Wilayah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 84 |
||||||
Retribusi Jasa Usaha dipungut di Wilayah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 85 |
||||||
Retribusi Perizinan Tertentu dipungut di Wilayah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Tarif Retribusi
Pasal 86 |
||||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||
(4)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
|
|||||
(5)
|
Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||
(6)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif retribusi PBG ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan layanan konsultasi untuk:
|
|||||
|
a.
|
Bangunan Gedung
|
||||
|
|
Tarif retribusi PBG untuk Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
|
||||
|
|
|
||||
|
b.
|
Prasarana Bangunan Gedung
|
||||
|
|
Tarif retribusi PBG untuk Prasarana Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung (HSpbg) atau dengan rumus:
|
||||
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus:
|
|||||
|
||||||
(3)
|
Rincian perhitungan struktur dan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||
(4)
|
SHST sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan SHST sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai standar harga Pemerintah Daerah Kota.
|
|||||
(5)
|
Komponen Retribusi dan Perhitungan Besaran Retribusi PBG tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||
(6)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||
(8)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
|
|||||
(9)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||
(10)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) huruf b adalah pelayanan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing di wilayah kerja Kota Cimahi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing.
|
|||||
(2)
|
Struktur dan besarnya tarif retribusi perpanjangan Penggunaan Tenaga Kerja Asing ditetapkan sebesar USD100 (seratus dollar Amerika Serikat) per jabatan per orang per bulan.
|
|||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari pengenaan Retribusi pelayanan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah khusus untuk penggunaan Tenaga Kerja Asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 89 |
||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||
(2)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
|
|||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Surat Ketetapan Pajak Daerah dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliput Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.
|
|||||
(5)
|
Khusus untuk BPHTB, Surat Setoran Pajak Daerah dipersamakan sebagai Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.
|
|||||
(6)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
|||||
(7)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||||
(8)
|
Pembayaran dan penyetoran Pajak dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronifikasi.
|
|||||
(9)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran dan/atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat (2) wajib mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.
|
|||||
(2)
|
Pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak.
|
|||||
(3)
|
Pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya.
|
|||||
(4)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||
(5)
|
Sanksi Administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Surat Tagihan Pajak Daerah dalam satuan rupiah untuk setiap Surat Pemberitahuan Pajak Daerah;
|
|||||
(6)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
|
|||||
(7)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||
(8)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yaitu:
|
|||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati atau Wali Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 91 |
||||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan layanan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dan aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||
(3)
|
Pembayaran dan penyetoran Retribusi dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronifikasi.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran dan/atau penyetoran Retribusi dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 92 |
||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota mempedomani Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 93 |
||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya, Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 94 |
||||||
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud Pasal 93 ayat (1) hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku ketentuan mengenal pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||
Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KEMUDAHAN PERPAJAKAN DAERAH
Pasal 97 |
||||||
(1)
|
Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan Kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajaknya.
|
|||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Kepala Daerah secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
|||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Kepala Daerah berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota.
|
|||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||
(7)
|
Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||
(8)
|
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||
|
b.
|
Kebakaran;
|
||||
|
c.
|
Kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||
|
d.
|
Wabah penyakit; dan/atau
|
||||
|
e.
|
Keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, PEMBEBASAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN
Pasal 98 |
||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenal administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 99 |
||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku:
|
||||||
1.
|
Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Cimahi Tahun 2011 Nomor 122 Seri B) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Cimahi Tahun 2014 Nomor 175);
|
|||||
2.
|
Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Cimahi Tahun 2012 Nomor 139) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Cimahi Tahun 2019 Nomor 259);
|
|||||
3.
|
Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Cimahi Tahun 2012 Nomor 140) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 11 Tahun 2021 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Cimahi Tahun 2021 Nomor 284); dan
|
|||||
4.
|
Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Cimahi Tahun 2012 Nomor 141) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Cimahi Tahun 2017 Nomor 211),
|
|||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||||
Pada saat peraturan daerah ini berlaku:
|
||||||
a.
|
seluruh Peraturan Wali Kota mengenai pelaksanaan dari Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 99; dan
|
|||||
b.
|
seluruh Peraturan Wali Kota mengenai Tarif Retribusi dari Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 99,
|
|||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Cimahi.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Cimahi
pada tanggal 29 Desember 2023
Pj. WALI KOTA CIMAHI,
dto.
DICKY SAROMI
Diundangkan di Cimahi
pada tanggal 29 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH KOTA CIMAHI
dto.
DIKDIK SURATNO NUGRAHAWAN
LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI TAHUN 2023 NOMOR 303
|