Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA BINJAI,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||
b.
|
bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||||||
c.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di daerah;
|
|||||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Darurat Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-Kota Kecil dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1092);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
|
|||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
|||||||
6.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||
8.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2023 tentang Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6864);
|
|||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
|
|||||||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||||||
13.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6648);
|
|||||||
14.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||||||
15.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH BINJAI
dan
WALI KOTA BINJAI
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Daerah adalah Kota Binjai.
|
|||||||
2.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
3.
|
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
4.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Binjai.
|
|||||||
5.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah DPRD Kota Binjai.
|
|||||||
6.
|
Wali Kota adalah Wali Kota Binjai.
|
|||||||
7.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
8.
|
Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Perda Kota Binjai.
|
|||||||
9.
|
Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah Peraturan Wali Kota Binjai.
|
|||||||
10.
|
Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada Pemerintah Daerah Kota Binjai yang bertanggung jawab kepada Wali Kota Binjai dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di Kota Binjai.
|
|||||||
11.
|
Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah Kota Binjai.
|
|||||||
12.
|
Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
|
|||||||
13.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
|
|||||||
14.
|
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
15.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
16.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
17.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
18.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
19.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
|
|||||||
20.
|
Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada Daerah berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja di bidang dapat berupa tata kelola keuangan Daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar yang mendukung kebijakan strategis nasional dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional.
|
|||||||
21.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
22.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||
23.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
24.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
25.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Kota.
|
|||||||
26.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
|
|||||||
27.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||||||
28.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
29.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
|
|||||||
30.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||||||
31.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||||||
32.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||||||
33.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||||||
34.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||||||
35.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
36.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||||||
37.
|
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
38.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang atau badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
|
|||||||
39.
|
Nilai strategis penyelenggaraan reklame adalah ukuran nilai yang ditetapkan pada titik lokasi pemasangan reklame tersebut berdasarkan kriteria kepadatan, pemanfaatan tata ruang untuk berbagai aspek kegiatan di bidang usaha.
|
|||||||
40.
|
Nilai jual obyek pajak reklame adalah, keseluruhan pembayaran/pengeluaran hingga biaya yang dikeluarkan oleh pemilik dan/atau penyelenggaraan reklame termasuk dalam hal ini adalah biaya/harga beli bahan reklame, konstruksi instalasi listrik, pembayaran/ongkos perakitan, pemancaran, peragaan, penayangan, pengecatan, pemasangan dan transportasi pengangkutan, sampai dengan bangunan reklame selesai, dipancarkan, diperagakan, ditayangkan dan/atau terpasang di tempat yang diizinkan.
|
|||||||
41.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
42.
|
Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||||||
43.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||||
44.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
|
|||||||
45.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
46.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
47.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
48.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
|||||||
49.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
|||||||
50.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||||||
51.
|
Pajak yang Terutang, adalah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
52.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
53.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
54.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
55.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||||||
56.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
|
|||||||
57.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||||||
58.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||||
59.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||||
60.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
61.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
62.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
63.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
64.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
65.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
66.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
|
|||||||
67.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||||||
68.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
|||||||
69.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
70.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||||||
71.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||||||
72.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
|||||||
73.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan retribusi Daerah.
|
|||||||
74.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu.
|
|||||||
75.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
76.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
77.
|
Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
|
|||||||
78.
|
Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dilaksanakan pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas Rujukan, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling atau di Laboratorium Kesehatan Daerah.
|
|||||||
79.
|
Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat atas jasa pelayanan kesehatan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
80.
|
Pelayanan kebersihan adalah kegiatan yang meliputi pengambilan, pengangkutan dan pembuangan serta penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan sampah rumah tangga, industri dan perdagangan, tidak termasuk pelayanan kebersihan jalan umum, taman dan ruangan/tempat umum.
|
|||||||
81.
|
Retribusi Pelayanan Kebersihan adalah pembayaran atas jasa pelayanan kebersihan yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
82.
|
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
|
|||||||
83.
|
Pengangkutan adalah kegiatan membawa sampah dari sumber atau tempat penampungan sementara menuju tempat pengolahan sampah terpadu atau pemrosesan akhir.
|
|||||||
84.
|
Pengolahan adalah kegiatan mengubah karakteristik, komposisi, dan/atau jumlah sampah.
|
|||||||
85.
|
Pemrosesan akhir sampah adalah kegiatan mengembalikan sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
|
|||||||
86.
|
Tempat penampungan sampah sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu.
|
|||||||
87.
|
Tempat Pembuangan Akhir yang selanjutnya disingkat TPA adalah tempat untuk menampung, mengelola dan memusnahkan sampah.
|
|||||||
88.
|
Tempat pengolahan sampah terpadu yang selanjutnya disingkat TPST adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan dan pemrosesan akhir.
|
|||||||
89.
|
Tempat pemrosesan akhir yang selanjutnya dapat disingkat TPA adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
|
|||||||
90.
|
Komposisi sampah adalah perbandingan sampah berdasarkan jumlah/volume, karakteristik, dan/atau sumber sampah.
|
|||||||
91.
|
Kebersihan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih seperti penyapuan, pengumpulan, pembuangan dan pemusnahan sampah.
|
|||||||
92.
|
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah Retribusi atau Pungutan Daerah yang dipungut atas penggunaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
93.
|
Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya pada wilayah perparkiran di Kota Binjai.
|
|||||||
94.
|
Parkir Umum adalah parkir yang diselenggarakan di tepi jalan umum dan tempat khusus parkir.
|
|||||||
95.
|
Parkir Elektronik adalah pemungutan retribusi parkir di tepi jalan umum dengan sistem elektronik yang menggunakan transaksi non tunai untuk pembayarannya.
|
|||||||
96.
|
Satuan Ruang Parkir yang selanjutnya disingkat SRP adalah ukuran luas efektif untuk meletakkan kendaraan dalam hal ini mobil penumpang, bus/truk, atau sepeda motor, baik parkir paralel dipinggir jalan, pelataran Parkir, ataupun gedung Parkir.
|
|||||||
97.
|
Kendaraan Bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan dengan peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel, yang meliputi Mobil Jeep, Pick Up, Mikro Bus, Sedan, Bus, Truk dan Sejenisnya.
|
|||||||
98.
|
Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.
|
|||||||
99.
|
Jalan Umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
|
|||||||
100.
|
Berhenti/Stop adalah keadaan kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.
|
|||||||
101.
|
Retribusi Jasa Usaha adalah Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha.
|
|||||||
102.
|
Tempat Khusus Parkir adalah tempat memarkir kendaraan yang disediakan khusus oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
103.
|
Retribusi Tempat Khusus Parkir adalah Pungutan Daerah yang dipungut atas penggunaan pelayanan tempat khusus parkir yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
104.
|
Retribusi Rumah Potong Hewan adalah pembayaran atas pelayanan penyediaan fasilitas rumah potong hewan meliputi pemakaian kandang (karantina), pemeriksaan hewan sebelum dipotong, pemeriksaan daging dan pemakaian tempat pemotongan, serta pemakaian tempat pelayuan daging. Fasilitas rumah potong hewan termasuk pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah pemotongan hewan, yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
105.
|
Hewan Potong adalah jenis hewan potong yang dimanfaatkan untuk dikonsumsi, meliputi sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, babi dan unggas.
|
|||||||
106.
|
Tempat Olahraga adalah tempat yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk berolahraga.
|
|||||||
107.
|
Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga adalah pembayaran atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga milik Pemerintah Daerah.
|
|||||||
108.
|
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas hasil produksi usaha daerah yang dijual oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
109.
|
Kekayaan Daerah adalah kekayaan yang dimiliki oleh Daerah meliputi tanah, bangunan, gedung termasuk sarana dan prasarana penunjang dan peralatan yang terdapat dalam gedung, jalan dan tiang penerangan jalan umum.
|
|||||||
110.
|
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah adalah Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas Pemakaian Kekayaan Daerah yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
111.
|
Tanah adalah tanah penguasaan Pemerintah Kota Binjai.
|
|||||||
112.
|
Izin Pemakaian Tanah adalah izin yang diberikan oleh Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk untuk memakai tanah dan bukan merupakan pemberian hak pakai atau hak-hak atas tanah lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
|
|||||||
113.
|
Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
|
|||||||
114.
|
Fasilitas umum adalah pemakaian tanah yang digunakan untuk kepentingan umum antara lain untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, peribadatan, sosial budaya, olahraga dan rekreasi.
|
|||||||
115.
|
Perdagangan dan/atau jasa komersial adalah pemakaian tanah yang digunakan untuk kegiatan bersifat komersial antara lain tempat bekerja, tempat berusaha, serta hiburan dan rekreasi.
|
|||||||
116.
|
Gedung adalah bangunan yang dikuasai Pemerintah Daerah.
|
|||||||
117.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
118.
|
Retribusi Perizinan Tertentu adalah Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
119.
|
Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
|
|||||||
120.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||||||
121.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
|||||||
122.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
|
|||||||
123.
|
Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi dan diberi tugas oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung.
|
|||||||
124.
|
Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.
|
|||||||
125.
|
Standar Harga Satuan Tertinggi yang selanjutnya disingkat SHST adalah biaya paling banyak per-meter persegi pelaksanaan konstruksi pekerjaan standar untuk pembangunan bangunan gedung negara.
|
|||||||
126.
|
Harga Satuan Bangunan Gedung Negara yang selanjutnya disingkat HSBGN adalah standar harga satuan tertinggi untuk biaya pelaksanaan konstruksi fisik pembangunan bangunan gedung negara yang diberlakukan sesuai dengan klasifikasi, lokasi dan tahun pembangunannya.
|
|||||||
127.
|
Indeks Lokalitas adalah persentase pengali terhadap SHST yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
128.
|
Retribusi Persetujuan Bangunan adalah retribusi perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar jenis Bangunan Gedung.
|
|||||||
129.
|
Masyarakat adalah perseorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang Bangunan Gedung, serta masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan Penyelenggaraan Bangunan Gedung.
|
|||||||
130.
|
Rencana Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat RTB adalah dokumen yang berisi hasil identifikasi kondisi terbangun Bangunan Gedung dan lingkungannya, metodologi pembongkaran, mitigasi risiko pembongkaran, gambar rencana teknis Pembongkaran, dan jadwal pelaksanaan pembongkaran.
|
|||||||
131.
|
Pemilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Pemilik adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai Pemilik Bangunan Gedung.
|
|||||||
132.
|
Pemohon adalah Pemilik Bangunan Gedung atau yang diberi kuasa untuk mengajukan permohonan penerbitan PBG, SLF, RTB, dan/atau SBKBG.
|
|||||||
133.
|
Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SIMBG adalah sistem elektronik berbasis web yang digunakan untuk melaksanakan proses penyelenggaraan PBG, SLF, SBKBG, RTB, dan Pendataan Bangunan Gedung disertai dengan informasi terkait Penyelenggaraan Bangunan Gedung.
|
|||||||
134.
|
Standar Teknis Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Standar Teknis adalah acuan yang memuat ketentuan, kriteria, mutu, metode, dan/atau tata cara yang harus dipenuhi dalam proses penyelenggaraan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.
|
|||||||
135.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga Negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
|||||||
136.
|
Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
|
|||||||
137.
|
Tenaga Kerja Pendamping TKA adalah Tenaga Kerja Indonesia yang ditunjuk oleh Pemberi Kerja TKA dan dipekerjakan sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan dalam rangka ahli teknologi dan ahli keahlian.
|
|||||||
138.
|
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
|
|||||||
139.
|
Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA Perpanjangan adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
140.
|
Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah.
|
|||||||
141.
|
Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga asing.
|
|||||||
142.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||||||
143.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
144.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
145.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||
146.
|
Kas Umum Daerah, adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Wali Kota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah.
|
|||||||
147.
|
Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
|
|||||||
148.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
|||||||
149.
|
Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
|
|||||||
150.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
151.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
152.
|
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
153.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
154.
|
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2 |
||||||||
(1)
|
Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bagi Pemerintah Daerah, serta memberikan kepastian hukum atas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bagi masyarakat
|
|||||||
(2)
|
Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||||||
|
b.
|
BPHTB;
|
||||||
|
c.
|
PBJT atas:
|
||||||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|||||
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|||||
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|||||
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
|||||
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
|||||
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
||||||
|
e.
|
PAT;
|
||||||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
||||||
|
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||||||
|
h.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||
|
i.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, huruf h dan huruf i, dipungut Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, tidak dipungut Pemerintah Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri dari:
|
|||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||||||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||||||
|
c.
|
PAT;
|
||||||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri dari:
|
|||||||
|
a.
|
BPHTB;
|
||||||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||||||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|||||
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|||||
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|||||
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
|||||
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
|||||
|
c.
|
Pajak Sarang Burung Walet
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
|
||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
|
|||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Perkada yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||||
a.
|
untuk NJOP sampai dengan Rp999.999.999,00 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah) sebesar 0,100% (nol koma seratus persen)
|
|||||||
b.
|
untuk NJOP Rp1.000.000.000,00 (satu milyar) sampai dengan Rp1.999.999.999,00 (satu milyar sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah) sebesar 0,200% (nol koma dua ratus persen); dan
|
|||||||
c.
|
untuk NJOP lebih besar atau sama dengan Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) sebesar 0,250% (nol koma dua ratus lima puluh persen).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
|
|||||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||||||
(4)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||||||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
|
||||||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak BPHTB adalah Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|||||
|
|
2.
|
tukar menukar;
|
|||||
|
|
3.
|
hibah;
|
|||||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|||||
|
|
5.
|
waris;
|
|||||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|||||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|||||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|||||
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
|||||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|||||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|||||
(3)
|
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
hak milik;
|
||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||||||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||||||
|
d.
|
hak pakai;
|
||||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||||||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan Lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan Negara;
|
||||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk:
|
||||||
|
|
1)
|
tukar menukar;
|
|||||
|
|
2)
|
hibah;
|
|||||
|
|
3)
|
hibah wasiat;
|
|||||
|
|
4)
|
waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
|
|||||
|
|
5)
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||
|
|
6)
|
peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||
|
|
7)
|
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|||||
|
|
8)
|
pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha;
|
|||||
|
|
9)
|
peleburan usaha;
|
|||||
|
|
10)
|
pemekaran usaha, dan;
|
|||||
|
|
11)
|
hadiah; dan
|
|||||
|
c.
|
Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||||
(4)
|
Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama setiap Wajib Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b angka 3 dan angka 4 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami atau istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
||||||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
|
||||||
|
b.
|
jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
|
||||||
(5)
|
BPHTB yang terutang atas pemindahan hak karena jual beli paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
|
|||||||
(6)
|
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||
Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
|||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||||||
|
b.
|
melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||||||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
|
||||||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
|||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
||||||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||||||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur lebih lanjut dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||||||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 19 |
||||||||
Objek PBJT adalah penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||||||
a.
|
Makanan dan Minuman;
|
|||||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||||
d.
|
Jasa Parkir;
|
|||||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tertentu yang diatur dalam peraturan Wali Kota.
|
||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi Objek PBJT Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||||||
|
a.
|
hotel;
|
||||||
|
b.
|
hostel;
|
||||||
|
c.
|
villa;
|
||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||||||
|
e.
|
motel;
|
||||||
|
f.
|
losmen;
|
||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||||||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||||||
|
k.
|
glamping.
|
||||||
(2)
|
yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||||
|
e.
|
pameran;
|
||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||||||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
||||||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||||||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||||||
(2)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||||||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
||||||
(3)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||||||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||||||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
||||||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran, penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen);
|
||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber selain yang diatur pada huruf a dan huruf b, ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
b.
|
pameran yang bersifat non komersial sebesar 0% (nol persen);
|
||||||
|
c.
|
pameran yang bersifat komersial sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
d.
|
sirkus, akrobat, dan sulap sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
e.
|
permainan bilyar yang menggunakan Air Conditioner (AC) dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dan permainan bilyar yang tidak menggunakan Air Conditioner (AC) dikenakan pajak sebesar 5% (lima persen);
|
||||||
|
f.
|
pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0% (nol persen);
|
||||||
|
g.
|
pagelaran kesenian, musik tari dan/atau busana yang berkelas nasional dan internasional sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
h.
|
pertandingan olahraga yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0% (nol persen);
|
||||||
|
i.
|
pertandingan olahraga yang berkelas nasional dan internasional sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
j.
|
kontes kecantikan yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0% (nol persen);
|
||||||
|
k.
|
kontes kecantikan yang berkelas nasional dan internasional sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
l.
|
panti pijat, refleksi, dan pusat kebugaran (fitness centre) sebesar 20% (dua puluh persen);
|
||||||
|
m.
|
diskotik, karaoke, klub malam, bar dan mandi uap/spa sebesar 40% (empat puluh persen);
|
||||||
|
n.
|
pacuan kuda yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0% (nol persen);
|
||||||
|
o.
|
pacuan kuda yang berkelas nasional dan internasional sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
p.
|
pacuan kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan lainnya sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||||||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 30 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||||||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||||||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||||||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||||||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||||||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||||||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||||||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||||||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Perkada dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||||||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||||
Tarif pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
(4)
|
Khusus untuk reklame berjalan, pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAT
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
||||||
|
e.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||||
|
f.
|
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah oleh pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||||||
(3)
|
Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perkada dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) oleh Gubernur dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual Sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen PKB
Pasal 45 |
||||||||
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen BBNKB
Pasal 50 |
||||||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
|||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 55 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Kepala Daerah untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 56 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||||||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||||||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
|||||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||||||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||||||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||||||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 57 |
||||||||
Jenis Retribusi Daerah terdiri dari:
|
||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha;
|
|||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 58 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Perkada sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||||||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 67 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
d.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
e.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
|
||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Perkada sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||||||
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf e termasuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara perhitungan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
d.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||||||
|
e.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota untuk Pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atas bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(3)
|
Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
(9)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 77 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf c meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
||||||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
|||||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||||||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
||||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
||||||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|||||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|||||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|||||
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||||||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah Pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
|
||||||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
|||||
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|||||
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Volume;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a, biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b, biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
||||||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||||||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(6)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel HSBGN/SHST dan Indeks Lokalitas.
|
|||||||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dan ayat (7) ditetapkan dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 85 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pendaftaran dan Pendataan Pajak
Pasal 86 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan:
|
|||||||
|
a.
|
Surat Pendaftaran Objek Pajak, untuk jenis Pajak:
|
||||||
|
|
1.
|
Pajak Reklame;
|
|||||
|
|
2.
|
PAT;
|
|||||
|
|
3.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||
|
|
4.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||
|
b.
|
SPOP untuk jenis Pajak PBB-P2
|
||||||
(2)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) oleh Wajib Pajak untuk jenis Pajak:
|
|||||||
|
a.
|
BPHTB; dan
|
||||||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||||||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||
(3)
|
Atas pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(4)
|
Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
|
|||||||
(5)
|
NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan untuk Badan dihubungkan dengan Nomor Induk Berusaha (NIB).
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah untuk PBB-P2.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui
|
|||||||
(4)
|
Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
|
|||||||
|
a.
|
tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, Pasal 87 dan Pasal 88 diatur dengan Perkada.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penilaian PBB P-2
Pasal 90 |
||||||||
(1)
|
NJOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||||||
(2)
|
Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek PBB-P2 tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
|
|||||||
(3)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
|
|||||||
|
a.
|
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
|
||||||
|
b.
|
nilai perolehan baru; atau
|
||||||
|
c.
|
nilai jual pengganti.
|
||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan berdasarkan proses penilaian.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penetapan Besaran Pajak dan Retribusi Terutang
Pasal 91 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(4)
|
Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif.
|
|||||||
(6)
|
Penetapan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(7)
|
Untuk Opsen PKB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan PBB-P2 terutang berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SPPT.
|
|||||||
(2)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
SPOP tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
|
|||||||
(6)
|
Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(7)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pembayaran dan Penyetoran
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
|
|||||||
(3)
|
Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||||
(5)
|
Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) paling lama:
|
|||||||
|
a.
|
1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1); dan
|
||||||
|
b.
|
6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
|
||||||
(6)
|
Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per-bulan dari pajak terutang yang tidak atau kurang bayar atau disetor, dihitung dari tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
|
|||||||
(8)
|
Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dari jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan ayat (3) berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak.
|
|||||||
(9)
|
Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah BPHTB lebih bayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
|
||||||
|
b.
|
jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
|
||||||
(10)
|
Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) huruf b paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penelitian SSPD BPHTB
Pasal 95 |
||||||||
(1)
|
Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NOPD yang tercantum:
|
||||||
|
|
1.
|
dalam SPPT atau bukti pembayaran PBB-P2 lainnya; dan
|
|||||
|
|
2.
|
pada basis data PBB-P2.
|
|||||
|
b.
|
kesesuaian NJOP Bumi per-meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bumi per-meter persegi pada basis data PBB-P2;
|
||||||
|
c.
|
kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP bangunan per-meter persegi pada basis data PBB-P2;
|
||||||
|
d.
|
kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi nilai perolehan objek pajak, NJOP, NJOP tidak kena pajak, tarif, pengenaan atas objek pajak tertentu, BPHTB terutang atau yang harus dibayar;
|
||||||
|
e.
|
kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; dan
|
||||||
|
f.
|
kesesuaian kriteria objek pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
|
||||||
(2)
|
Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat.
|
|||||||
(3)
|
Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f adalah untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||||||
(4)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||||
(5)
|
Proses Penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat.
|
|||||||
(6)
|
Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pajak Yang Dapat Dibayarkan oleh Pemerintah
Pasal 96 |
||||||||
(1)
|
PAT dan PBJT atas Tenaga Listrik dapat dibayarkan oleh Pemerintah.
|
|||||||
(2)
|
PAT dan PBJT yang dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Wajib Pajak yang menandatangani perjanjian dengan Pemerintah di bidang kegiatan tenaga listrik yang Pajak terutangnya dibebaskan dan ditanggung oleh Pemerintah.
|
|||||||
(3)
|
Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari jumlah tertentu yang merupakan bagian penerimaan negara atas setiap kegiatan usaha sebagaimana yang dilakukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pemungutan Retribusi
Pasal 97 |
||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (6) ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga 1% (satu persen) per-bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran. Untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
|||||||
(6)
|
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran.
|
|||||||
(7)
|
Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
Pasal 98 |
||||||||
(1)
|
Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas pemungutan Retribusi.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Pembukuan
Pasal 99 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per-tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
|
||||||
|
b.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per-tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
|
||||||
(2)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
|||||||
(3)
|
Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
|
|||||||
(4)
|
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
|
|||||||
(5)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Pelaporan
Paragraf 1
Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD
Pasal 100 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||
(2)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(3)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu Masa Pajak.
|
|||||||
(4)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wali Kota setelah berakhirnya Masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
|
|||||||
(6)
|
SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||||||
(1)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dilakukan setiap Masa Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
|
|||||||
(3)
|
Berdasarkan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wali Kota menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak atau selambat-lambatnya tanggal 20 pada bulan berikutnya.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1), penentuan Masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
Untuk besaran pajak sampai dengan Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) denda ditetapkan sebesar Rp50.000,- (lima puluh ribu rupiah);
|
||||||
|
b.
|
Untuk besaran pajak Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) sampai dengan Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), denda ditetapkan sebesar Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah);
|
||||||
|
c.
|
Untuk besaran pajak Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) denda ditetapkan sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah); dan
|
||||||
|
d.
|
Untuk besaran pajak diatas Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) denda ditetapkan sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap SPTPD.
|
||||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeure).
|
|||||||
(4)
|
Force majeure sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru hara; dan
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga.
|
|||||||
(4)
|
Sanksi administratif berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung sebesar 1% (satu persen) per-bulan dari jumlah Pajak yang kurang bayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(5)
|
Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penelitian SPTPD
Pasal 104 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan Penelitian dan verifikasi atas SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1).
|
|||||||
(2)
|
Penelitian dan verifikasi atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
|
||||||
|
b.
|
kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
|
||||||
|
c.
|
kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.
|
||||||
(3)
|
Apabila berdasarkan hasil Penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan STPD.
|
|||||||
(4)
|
STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per-bulan dari jumlah pajak yang kurang bayar, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal hasil Penelitian dan verifikasi SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Pemeriksaan Pajak dan Retribusi
Pasal 105 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
||||||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
||||||
(3)
|
Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pemberian NPWPD secara jabatan;
|
||||||
|
b.
|
penghapusan NPWPD;
|
||||||
|
c.
|
penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
|
||||||
|
d.
|
pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
|
||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur lebih lanjut dalam Perkada dengan berpedoman pada peraturan menteri mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||||||
(1)
|
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105, kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang diperiksa meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak dan objek Retribusi yang terutang;
|
||||||
|
b.
|
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
memberikan keterangan yang diperlukan.
|
||||||
(2)
|
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105, hak Wajib Pajak yang diperiksa antara lain:
|
|||||||
|
a.
|
meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
|
||||||
|
b.
|
meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
|
||||||
|
c.
|
menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak dan Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan.
|
|||||||
Bagian Kedua
Belas Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
Paragraf 1
Surat Ketetapan Pajak
Pasal 107 |
||||||||
(1)
|
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105;
|
||||||
|
b.
|
penghitungan secara jabatan karena:
|
||||||
|
|
1.
|
Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) dan telah ditegur secara tertulis namun tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
|
|||||
|
|
2.
|
Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) atau Pasal 102 ayat (1).
|
|||||
(3)
|
SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT.
|
|||||||
(4)
|
SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||||||
Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 terdapat kelebihan pembayaran Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan SKPDLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
||||||||
(1)
|
Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) huruf a dan huruf b angka 1 dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per-bulan dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) huruf b angka 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per-bulan dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
|
|||||||
|
a.
|
kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a; atau
|
||||||
|
b.
|
kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a.
|
||||||
(3)
|
Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak tersebut.
|
|||||||
(4)
|
SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Surat Tagihan Pajak
Pasal 110 |
||||||||
(1)
|
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD.
|
|||||||
(2)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
|
||||||
|
b.
|
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||||
(3)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||||
(4)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, dan ayat (2) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per-bulan dihitung dari pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(5)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per-bulan dari pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga Belas
Penagihan Pajak
Pasal 111 |
||||||||
(1)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan imbauan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) Wali Kota berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
|
|||||||
(2)
|
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
|||||||
|
a.
|
mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
menerbitkan:
|
||||||
|
|
1.
|
Surat Teguran;
|
|||||
|
|
2.
|
surat perintah penagihan seketika dan sekaligus;
|
|||||
|
|
3.
|
Surat Paksa;
|
|||||
|
|
4.
|
surat perintah melaksanakan penyitaan;
|
|||||
|
|
5.
|
surat perintah penyanderaan;
|
|||||
|
|
6.
|
surat pencabutan sita;
|
|||||
|
|
7.
|
pengumuman lelang;
|
|||||
|
|
8.
|
surat penentuan harga limit;
|
|||||
|
|
9.
|
pembatalan lelang; dan
|
|||||
|
|
10.
|
surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.
|
|||||
(3)
|
Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||||||
(1)
|
Tata cara Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) diawali dengan penerbitan Surat Teguran.
|
|||||||
(2)
|
Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajaknya, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa.
|
|||||||
(4)
|
Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran.
|
|||||||
(6)
|
Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 jam (dua kali dua puluh empat jam) sejak Surat Paksa disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
|
|||||||
(8)
|
Apabila Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita.
|
|||||||
(9)
|
Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak pengumuman lelang.
|
|||||||
(10)
|
Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak dilakukan penyitaan.
|
|||||||
(11)
|
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||||||
(1)
|
Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus apabila:
|
|||||||
|
a.
|
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
|
||||||
|
b.
|
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
|
||||||
|
c.
|
terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
|
||||||
|
d.
|
badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
|
||||||
|
e.
|
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan itikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran minimal tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan.
|
|||||||
(2)
|
Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Pencegahan dan/atau penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 116 |
||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penagihan diatur dalam Perkada dengan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai pedoman Penagihan Pajak.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat Belas
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 117 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) dan Pasal 92 ayat (1), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
|||||||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||||||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 118 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||||||
|
b.
|
terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
|||||||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima Belas
Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
Pasal 119 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3).
|
|||||||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
|||||||
(5)
|
Keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
|||||||
(6)
|
Penetapan keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 120 |
||||||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(2)
|
Wali Kota menetapkan keputusan penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||
(3)
|
Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam Belas
Keberatan dan Banding
Paragraf 1
Keberatan Pajak
Pasal 121 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
|
|||||||
(2)
|
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
|
|||||||
(3)
|
Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat atau tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
|
|||||||
(4)
|
Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
||||||
(5)
|
Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
|
|||||||
(6)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan.
|
|||||||
(7)
|
Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
(9)
|
Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 122 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1).
|
|||||||
(2)
|
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
(3)
|
Keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (7).
|
|||||||
(4)
|
Keputusan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
|
||||||
|
c.
|
menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
d.
|
menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
||||||
(5)
|
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 123 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per-bulan dihitung dari pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Keberatan Retribusi
Pasal 124 |
||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
|
|||||||
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
|
|||||||
(4)
|
Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
||||||
(5)
|
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 125 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan surat keputusan keberatan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
(3)
|
Keputusan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(4)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 126 |
||||||||
(1)
|
Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per-bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan Retribusi diatur dalam Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Banding
Pasal 127 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
|
|||||||
(3)
|
Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
|
|||||||
(4)
|
Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 128 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3) tidak dikenakan.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh Belas
Gugatan Pajak
Pasal 129 |
||||||||
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
|
||||||||
a.
|
pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
|
|||||||
b.
|
keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
|
|||||||
c.
|
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 121 ayat (3) dan Pasal 122; dan
|
|||||||
d.
|
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 130 |
||||||||
Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan Belas
Pengurangan Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi dan/atau Sanksinya
Paragraf 1
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 131 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan, antara lain:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor antara lain:
|
|||||||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||||||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
|
||||||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||||||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
|||||||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 132 |
||||||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) ditetapkan dengan Perkada dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 133 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1).
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat
|
|||||||
(3)
|
dan ayat (5).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2 |
||||||||
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 134 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 135 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan
|
||||||
|
|
pembayaran Pajak terutang.
|
||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
|||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||
(7)
|
Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pokok Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per-bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(10)
|
Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah.
|
||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya diatur dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan Belas
Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
Pasal 136 |
||||||||
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan Penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam rangka Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
|
|||||||
(6)
|
Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
|
|||||||
|
a.
|
mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau
|
||||||
|
b.
|
membatalkan STPD atau membatalkan hasil pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua Puluh
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak atau Retribusi
Pasal 137 |
||||||||
(1)
|
Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(2)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
|||||||
(3)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
|||||||
(4)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(5)
|
Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya tersebut.
|
|||||||
(6)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
|
|||||||
(7)
|
Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per-bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
|
|||||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perkada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua Puluh Satu
Opsen
Paragraf 1
Pemungutan
Pasal 138 |
||||||||
(1)
|
Opsen dikenakan atas pokok Pajak terutang dari PKB dan BBNKB;
|
|||||||
(2)
|
Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di wilayah Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 66% (enam puluh enam persen) dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 54.
|
|||||||
(4)
|
Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB dan BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penetapan, Pembayaran, dan Penyetoran Opsen PKB dan Opsen BBNKB
Pasal 139 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (3) ditetapkan oleh Gubernur dan dicantumkan di dalam SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1).
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Opsen PKB dan Opsen BBNKB membayar Pajak terutang menggunakan SSPD berdasarkan SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||
(3)
|
SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa dokumen penetapan dan pembayaran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem administrasi manunggal satu atap kendaraan bermotor.
|
|||||||
(4)
|
Pembayaran Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke kas Daerah dilakukan bersamaan dengan pembayaran PKB dan BBNKB ke kas Daerah provinsi.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, Gubernur melakukan Penagihan.
|
|||||||
(6)
|
Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk Penagihan sanksi administratif atas Opsen PKB dan/atau Opsen BBNKB.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal Gubernur telah menerima pembayaran atas Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bagian Opsen PKB dan/atau Opsen BBNKB disetorkan ke kas Daerah paling lama 3 (tiga) hari kerja.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Opsen PKB dan Opsen BBNKB
Pasal 140 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran PKB dan/atau kelebihan pembayaran BBNKB, pengembalian kelebihan pembayaran PKB dan/atau BBNKB termasuk memperhitungkan pengembalian kelebihan pembayaran Opsen PKB dan/atau Opsen BBNKB.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Gubernur menerbitkan SKPDLB PKB dan/atau SKPDLB BBNKB dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 137.
|
|||||||
(3)
|
Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Wali Kota, pada hari penerbitan atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan.
|
|||||||
(4)
|
Berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wali Kota mengembalikan kelebihan pembayaran Opsen PKB, atau Opsen BBNKB kepada Gubernur paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Sinergi Pemungutan Opsen
Pasal 141 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi penerimaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB, Pemerintah Daerah bersinergi dengan Pemerintah provinsi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara Daerah dengan pemerintah provinsi dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB, diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Rekonsiliasi Pajak
Pasal 142 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota dan bank tempat pembayaran PKB, BBNKB, melakukan rekonsiliasi data penerimaan Opsen PKB, Opsen BBNKB setiap triwulan.
|
|||||||
(2)
|
Rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit membandingkan:
|
|||||||
|
a.
|
SKPD atau SPTPD;
|
||||||
|
b.
|
SSPD;
|
||||||
|
c.
|
rekening koran bank; dan
|
||||||
|
d.
|
dokumen penyelesaian kekurangan pembayaran Pajak dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua Puluh Satu
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data
Paragraf 1
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
Pasal 143 |
||||||||
(1)
|
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dengan:
|
|||||||
|
a.
|
Pemerintah;
|
||||||
|
b.
|
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota lain; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
pihak ketiga.
|
||||||
(2)
|
Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
b.
|
pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
c.
|
pemanfaatan program/kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
|
||||||
|
d.
|
pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
|
||||||
|
e.
|
peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur/sumber daya manusia di bidang perpajakan;
|
||||||
|
f.
|
penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
|
||||||
|
g.
|
bentuk kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
|
||||||
(3)
|
Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan huruf g dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah kabupaten/kota lain.
|
|||||||
(4)
|
Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 144 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat:
|
|||||||
|
a.
|
mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1); dan
|
||||||
|
b.
|
menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1).
|
||||||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati.
|
|||||||
(3)
|
Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
subjek kerja sama;
|
||||||
|
b.
|
maksud dan tujuan;
|
||||||
|
c.
|
ruang lingkup;
|
||||||
|
d.
|
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
|
||||||
|
e.
|
jangka waktu perjanjian;
|
||||||
|
f.
|
sumber pembiayaan;
|
||||||
|
g.
|
penyelesaian perselisihan;
|
||||||
|
h.
|
sanksi;
|
||||||
|
i.
|
korespondensi; dan
|
||||||
|
j.
|
perubahan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
Pasal 145 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
|
|||||||
(2)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki omzet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA DAN BERINVESTASI
Bagian Kesatu
Penyesuaian Tarif Pajak dan Retribusi
Pasal 146 |
||||||||
(1)
|
Dalam upaya mendukung kemudahan berusaha dan berinvestasi, Pemerintah Daerah melaksanakan pemungutan Pajak dan/atau Retribusi mengikuti besaran tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal jangka waktu penyesuaian tarif Pajak dan/atau Retribusi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden berakhir, tarif yang ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan/atau Retribusi dapat diberlakukan kembali.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 147 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 148 |
||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diberikan insentif pemungutan dari realisasi penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disetorkan ke Kas Daerah atas dasar pencapaian kinerja tertentu yaitu pencapaian target penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah ditetapkan.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara pemberian insentif pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perkada berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 149 |
||||||||
(1)
|
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 148, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan Barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||||||
(3)
|
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(4)
|
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan di bidang Pajak dan Retribusi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 150 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 151 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dan Pasal 101 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dan Pasal 101 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 152 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 153 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 154 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 155 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Perda ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan Perda di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Perda ini;
|
|||||||
b.
|
Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 5 Januari 2024.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 156 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Binjai Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Binjai Nomor 2);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Binjai Tahun 2011 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Binjai Nomor 3);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Binjai Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Binjai Nomor 4);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 6 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Binjai Tahun 2011 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Binjai Nomor 5);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 13 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Binjai Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kota Binjai Nomor 10);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 14 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Binjai Tahun 2011 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Binjai Nomor 11);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 6 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Binjai Tahun 2016 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Binjai Nomor 14); dan
|
|||||||
h.
|
Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Binjai Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Binjai Nomor 23),
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 157 |
||||||||
Ketentuan mengenai Opsen PKB, dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 158 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Binjai.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Binjai
pada tanggal 2 Januari 2024
WALI KOTA BINJAI,
ttd.
AMIR HAMZAH
Diundangkan di Binjai
pada tanggal 2 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH KOTA BINJAI,
ttd.
IRWANSYAH NASUTION
LEMBARAN DAERAH KOTA BINJAI TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang. Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan setelah dua dasawarsa, pemerintah melakukan perubahan besar melalui pengundangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah. Pada hakikatnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengatur mengenai pokok-pokok kebijakan Pajak dan Retribusi sebagai bagian dari ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, pengaturan pelaksanaan dalam rangka pemungutan Pajak dan Retribusi diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah. Untuk itu, Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai instrumen pengaturan pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah ini menjadi dasar dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan Pajak dan Retribusi, termasuk sistem dan prosedur pemungutan, dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan Daerah. Pengaturan dalam Peraturan Daerah ini mencakup berbagai aspek pengelolaan Pajak dan Retribusi, khususnya pelaksanaan pemungutan antara lain pendaftaran dan pendataan, penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang, pembayaran dan penyetoran, pelaporan, pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan Pajak, pemeriksaan Pajak, penagihan Pajak dan Retribusi, keberatan, gugatan, penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota, dan pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi. Dasar pengenaan, saat terutang, dan wilayah pemungutan Pajak merupakan beberapa komponen utama dalam penghitungan Pajak terutang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa penetapan besaran dasar pengenaan Pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya. Salah satu perubahan fundamental mengenai dasar pengenaan Pajak adalah kebijakan terkait dasar pengenaan PBB-P2 yaitu melalui pengaturan bahwa dasar pengenaan PBB-P2 yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. Dalam rangka memberikan pedoman bagi Pemerintah Daerah, Peraturan Daerah ini mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan penetapan dasar pengenaan, saat terutang, dan wilayah pemungutan Pajak guna melengkapi pengaturan yang telah ada dalam Undang-Undang. Selain ketentuan mengenai pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi, Peraturan Daerah ini juga mengatur mengenai penerimaan Pajak yang diarahkan penggunaannya. Restrukturisasi Pajak yang dilakukan melalui Opsen atas PKB dan Opsen BBNKB diharapkan akan menjadi solusi dalam pelaksanaan bagi hasil pajak provinsi yang selama ini sering mengalami keterlambatan. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur lebih teknis mengenai besaran dan kegiatan yang harus didanai dari penerimaan Opsen PKB dan PBJT atas Tenaga Listrik. Untuk meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan, dan kepastian hukum, Peraturan Daerah ini mengatur bahwa penerimaan atas pelayanan objek Retribusi sesuai Undang-Undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai Retribusi. Meskipun demikian, penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur bahwa seluruh pungutan atas pemanfaatan barang milik daerah menjadi bagian dari Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan Aset Daerah. Pendaftaran Wajib Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam pelaksanaan pemungutan Pajak, utamanya apabila dilakukan secara sederhana sebagai salah satu langkah simplifikasi administrasi perpajakan. Untuk itu, Pemerintah Daerah hanya dapat menerbitkan 1 (satu) NPWPD untuk seluruh jenis Pajak yang dihubungkan dengan nomor induk kependudukan untuk Wajib Pajak orang pribadi dan nomor induk berusaha untuk Wajib Pajak Badan. Hal ini sebagai langkah integrasi data perpajakan guna memberikan kemudahan administrasi perpajakan. Sejalan dengan kebijakan Pajak dan Retribusi dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah ini juga memuat pengaturan pelaksanaan dalam rangka mendukung kemudahan berusaha dan iklim investasi, diantaranya mengenai mekanisme pemberian dukungan insentif dan penyesuaian tarif. Selain itu, dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak melalui penggalian potensi, Peraturan Daerah ini juga mengatur kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dan pemanfaatan data dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, maupun pihak ketiga dengan tetap menjaga kerahasiaan data sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama tersebut merupakan langkah optimalisasi pemanfaatan data-data yang semakin memiliki peran vital dalam mendorong peningkatan kinerja fiskal Pemerintah Daerah. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
ayat (1)
Yang dimaksud dengan ‘kawasan’ adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Yang dimaksud dengan ‘tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan’ adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari sosial/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Cukup jelas.
huruf f
Cukup jelas.
huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
huruf h
Cukup jelas.
huruf i
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP:
ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
ayat (1)
Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Contoh: Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa:
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak yang terhutang.
Contoh:
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
huruf a
angka 1
Cukup jelas.
angka 2
Cukup jelas.
angka 3
Cukup jelas.
angka 4
Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
angka 5
Cukup jelas.
angka 6
Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
angka 7
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
angka 8
Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
angka 9
Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
angka 10
Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
angka 11
Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
angka 12
Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
angka 13
Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
huruf b
angka 1
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
angka 2
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ayat (3)
huruf a
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
huruf b
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
huruf c
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
huruf d
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
huruf e
Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
huruf f
Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, bangunan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
ayat (4)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Yang dimaksud dengan tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
huruf c
Yang dimaksud dengan Badan atau perwakilan lembaga internasional adalah badan atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah.
Contoh:
Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru.
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama, antara lain memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama.
Contoh:
Perpanjangan Hak Guna Bangunan yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya Hak Guna Bangunan.
huruf f
Yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa hak milik tanah dan/atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
huruf g
Cukup jelas.
huruf h
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan ’surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak’ adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Pasal 16
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB.
Contoh: Wali Kota atau pejabat dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan ‘tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel’ adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ‘persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel’ adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 23
ayat (1)
huruf a
huruf b
Yang dimaksud ‘parkir vallet’ adalah suatu bentuk pelayanan jasa parkir dengan pelaksanaan parkir yang dilakukan oleh petugas parkir, sehingga memberikan kemudahan bagi pengguna jasa parkir.
ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan pameran adalah segala bentuk kegiatan yang mempertunjukkan, mempertontonkan, memperagakan, memperkenalkan dan/atau menyebarluaskan informasi mengenai satwa, tumbuhan, otomotif, elektronik, seni budaya, seni ukir, barang seni, property, dan hasil produksi barang dan/atau jasa lainnya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ‘permainan ketangkasan’ adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ‘olahraga permainan’ adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucer antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucer atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a
huruf b
Yang dimaksud dengan ‘Reklame Kain’ adalah reklame yang tujuan materinya jangka pendek atau mempromosikan suatu even atau kegiatan yang bersifat insidentil menggunakan bahan kain, termasuk plastik atau bahan lain yang sejenis, termasuk didalamnya adalah spanduk, umbulumbul, bendera, flag chain (rangkaian bendera), tenda, crey, banner, giant banner, standing banner dan baliho.
huruf c
Yang dimaksud dengan ‘Reklame Melekat, Stiker’ adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas diselenggarakan dengan cara ditempelkan, dilekatkan, dipasang atau digantung pada suatu benda.
huruf d
Yang dimaksud dengan ‘Selebaran’ adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan atau dapat diminta dengan ketentuan tidak untuk ditempelkan, dilekatkan, dipasang, digantung pada suatu benda lain, termasuk didalamnya adalah brosur, leafleat, dan reklame dalam undangan.
huruf e
Yang dimaksud dengan ‘Reklame berjalan’ adalah reklame yang ditempatkan pada kendaraan atau benda yang dapat bergerak, yang diselenggarakan dengan menggunakan kendaraan atau dengan cara dibawa/didorong/ditarik oleh orang. Termasuk didalamnya reklame pada gerobak/rombong, kendaraan baik bermotor ataupun tidak.
huruf f
Yang dimaksud dengan ‘Reklame udara’ adalah reklame yang diselenggarakan di udara dengan menggunakan balon, gas, laser, pesawat atau alat lain yang sejenis.
huruf g
Yang dimaksud dengan ‘Reklame Apung’ adalah reklame yang diselenggarakan di atas air dengan menggunakan balon, perahu, kapal atau alat lain yang sejenis.
huruf h
Yang dimaksud dengan ‘Reklame Film/Slide’ adalah Reklame yang diselenggarakan dengan cara menggunakan klise (celluloide) berupa kaca atau film, ataupun bahan-bahan lain yang sejenis, sebagai alat untuk diproyeksikan dan/atau dipancarkan.
huruf i
Yang dimaksud dengan ‘Reklame Peragaan’ adalah Reklame yang diselenggarakan dengan cara memperagakan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara.
ayat (3)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Yang dimaksud dengan reklame dalam rangka kegiatan politik, sosial dan keagamaan adalah reklame yang memuat tentang kegiatan politik, sosial dan keagamaan yang tidak bersifat komersial. Untuk memastikan lembaga sosial dan keagamaan tersebut tidak bersifat komersial antara lain dapat diketahui dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari lembaga tersebut.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga dan pengairan pertanian dan perikanan rakyat tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Pasal 56
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Yang dimaksud dengan ‘tempat khusus parkir di luar badan jalan’ adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang dimaksud dengan ‘pemanfaatan barang milik daerah’ adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi OPD dan/atau optimalisasi barang milik daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Pemberian NPWPD kepada Wajib Pajak digunakan untuk seluruh kewajiban jenis Pajak.
ayat (4)
Contoh: Orang pribadi ‘A’ memiliki sebuah rumah (tanah dan bangunan), mengusahakan sebuah restoran, serta dan membuka usaha rekreasi wahana air (waterboom). Ketiga objek dimaksud berada di kota ‘B’. Atas objek-objek dimaksud, orang pribadi ‘A’ hanya memiliki 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD), namun dapat memiliki beberapa nomor objek Pajak/nomor registrasi/jenis penomoran lain yang dipersamakan sesuai dengan kebutuhan profiling dan pendataan perpajakan daerah:
ayat (5)
Setiap Wajib Pajak orang pribadi hanya memiliki 1 nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan dihubungkan dengan nomor induk kependudukan Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) pemerintah daerah.
ayat (6)
Setiap Wajib Pajak Badan hanya memiliki 1 nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan dihubungkan dengan nomor induk berusaha Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) pemerintah daerah.
ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Yang dimaksud dengan ‘SPPT’ adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar bagi Wajib Pajak untuk membayar PBB-P2 terutang dan bukan merupakan dokumen bukti kepemilikan atas suatu objek PBBP-2
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Yang dimaksud dengan ‘dilarang diborongkan’ adalah bahwa seluruh proses kegiatan Pemungutan Pajak yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya Pajak terutang, pengawasan, penyetoran, dan penagihan Pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan Pemungutan Pajak, antara lain pengiriman surat kepada Wajib Pajak atau penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Yang dimaksud dengan ‘pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi’ adalah pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemda, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ‘kedaluwarsa penetapan’ adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Analisis risiko dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Yang dimaksud dengan ‘penghitungan secara jabatan’ adalah penghitungan besaran Pajak terutang berdasarkan data dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah.
Contoh:
Dalam hal Wajib Pajak tidak melaporkan SPTPD, tidak menyelenggarakan pembukuan, atau tidak kooperatif dalam mengungkapkan data, keterangan, dan/atau informasi saat pemeriksaan, maka Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menghitung dan menetapkan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data, keterangan, dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah, yang dapat diperoleh dari hasil penelitian, pendataan, konfirmasi pihak ketiga, uji petik lapangan, maupun cara lainnya untuk memperoleh data, keterangan, dan/atau informasi.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a
Contoh:
Wajib Pajak Restoran A melaporkan SPTPD PBJT masa Pajak Januari 2O25 dengan Pajak terutang yang telah dibayar dan dilaporkan sebesar Rp100.000.000,00. Pembayaran dan pelaporan Pajak dilakukan pada hari yang sama pada tanggal 21 Februari 2O25, sementara batas waktu pembayaran dan pelaporan PBJT dalam Perda PDRD adalah tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa Pajak. Namun demikian, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh fiskus daerah terdapat indikasi ketidakbenaran penghitungan Pajak terutang dalam SPTPD yang dilaporkan, sehingga terhadap Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Pajak dalam rangka menguji kepatuhan perpajakan pada bulan Maret 2025.
Dalam proses Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak kooperatif, tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, dan tidak mengizinkan pemeriksa Pajak memasuki ruangan tempat penyimpanan pembukuan Wajib Pajak. Hal tersebut menyebabkan pemeriksa Pajak tidak dapat menghitung besaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman terutang yang sebenarnya. Oleh karena itu, pemeriksa Pajak melakukan penghitungan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh melalui konfirmasi data pihak ketiga dan informasi yang dikumpulkan melalui uji petik. Besaran Pajak terutang yang seharusnya menurut Wali Kota adalah sebesar Rp250.000.000,- Pemeriksaan selesai pada bulan April 2025 dan pada tanggal 21 April 2025 terbit SKPDKB untuk menetapkan kekurangan pembayaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman sesuai penghitungan secara jabatan oleh pemeriksa Pajak sebesar Rp150.000.000.- (Rp250.000.000.- - Rp100.000.000,00). Maka isi SKPDKB PBJT dimaksud adalah sebagai berikut:
Jumlah Pajak yang masih harus dibayar dalam SKPDKB = Rp234.900.000,-
huruf b
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Yang dimaksud dengan ‘imbauan’ adalah pemberian informasi kepada penanggung Pajak sebagai pengingat agar penanggung Pajak dapat melunasi utang Pajaknya sebelum diterbitkannya surat teguran. Imbauan dapat diberikan melalui surat imbauan atau melalui media lainnya.
ayat (3)
Yang dimaksud dengan ‘ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan’ adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
ayat (1)
Yang dimaksud dengan ‘Surat Teguran’ adalah surat peringatan atau bentuk lain yang fungsinya untuk menegur dan mengingatkan Penanggung Pajak untuk melunasi Utang Pajaknya dalam upaya Penagihan Pajak sebelum Surat Paksa diterbitkan
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
ayat (6)
Cukup jelas.
ayat (7)
Yang dimaksud dengan ‘surat perintah melaksanakan penyitaan’ merupakan surat perintah yang diterbitkan untuk melaksanakan penyitaan.
ayat (8)
Yang dimaksud dengan ‘biaya Penagihan Pajak’ merupakan biaya pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan Pajak.
ayat (9)
Cukup jelas.
ayat (10)
Cukup jelas.
ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 1120
Cukup jelas.
Pasal 121
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Yang dimaksud dengan ‘keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota’ merupakan keadaan di luar kemampuan Wajib Pajak berdasarkan penilaian objektif Wali Kota yang menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat memenuhi batas waktu pengajuan keberatan, contohnya adalah Wajib Pajak berada di remote area atau adanya akuisisi Wajib Pajak oleh pihak lain yang menyebabkan Wajib Pajak terkendala mengajukan keberatan dan melengkapi dokumen pendukung pengajuan keberatan.
ayat (5)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan. Contoh: Pada 2021, Wajib Pajak X melaporkan Pajak terutang sebesar Rp10.000.000.000. Kemudian, Pemerintah Daerah melaksanakan pemeriksaan atas Pajak terutang yang dilaporkan oleh Wajib Pajak X. Atas hasil pemeriksaan tersebut, Pemerintah Daerah menerbitkan SKPDKB dengan jumlah Pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak X senilai Rp1.500.000.000. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak X menyetujui Pajak yang masih harus dibayar senilai Rp500.000.000. Wajib Pajak X dapat mengajukan keberatan apabila telah melunasi sebagian SKPDKB yang telah disetujui dalam pembahasan akhir pemeriksaan tersebut senilai Rp500.000.000,-
ayat (6)
Cukup jelas.
ayat (7)
Cukup jelas.
ayat (8)
Cukup jelas.
ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Contoh:
Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di suatu daerah pada bulan Juni 2025, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 September untuk pembayaran dan tanggal 15 September untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di daerah tersebut.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
ayat (6)
Cukup jelas.
ayat (7)
Cukup jelas.
ayat (8)
Cukup jelas.
ayat (9)
Contoh:
Wajib Pajak memiliki Pajak terutang sebesar Rp100.000.000,- untuk masa Pajak April 2025 yang disetujui oleh Kepala Daerah pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2025 dengan pembayaran prorata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
ayat (10)
Cukup jelas.
ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Yang dimaksud dengan ‘Utang Pajak atau Utang Retribusi lainnya’ merupakan Utang Pajak atau Utang Retribusi lain yang masih belum dibayar oleh Wajib pajak atau Wajib Retribusi selain jenis Pajak atau Retribusi yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
ayat (6)
Cukup jelas.
ayat (7)
Cukup jelas.
ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 138
ayat (1)
Yang dicantumkan dalam SKPD merupakan besaran pokok PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB dalam satu ketetapan.
ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Yang dimaksud dengan ‘bersamaan’ merupakan pembayaran Opsen PKB atau Opsen BBNKB dilakukan sekaligus dengan pembayaran PKB atau BBNKB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
ayat (1)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Yang dimaksud dengan ‘pihak ketiga’ merupakan pihak-pihak di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan Pajak.
ayat (2)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Yang dimaksud ‘pengawasan Wajib Pajak bersama’ merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.
Contoh:
Fiscus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Cukup jelas.
huruf e
Cukup jelas.
huruf f
Contoh Penggunaan jasa layanan pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik/PPMSE.
huruf g
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 144
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Contoh kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak yang dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama misal, kerja sama antara pemerintah (kementerian) dan Pemerintah Daerah dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak pusat dan Pajak.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 50
|