Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA BENGKULU,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||||||||||
a.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 286 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan daerah;
|
||||||||||||
b.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa dasar pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah;
|
||||||||||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
|||||||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||||||||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 55), Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1956 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 56), dan Undang-Undang Darurat Nomor 6 Tahun 1956 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 57), tentang Pembentukan Daerah tingkat II termasuk Kota Praja dalam lingkungan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1821);
|
||||||||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Propinsi Bengkulu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2828);
|
||||||||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
|
||||||||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
||||||||||||
6.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tamba
|
||||||||||||
7.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
||||||||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan Pemerintahan di Provinsi Bengkulu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2854);
|
||||||||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
||||||||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
||||||||||||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
||||||||||||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
||||||||||||
13.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU
dan
WALI KOTA BENGKULU,
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||||||||||||
Menetapkan |
|||||||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||||||||||
1.
|
Daerah adalah Kota Bengkulu.
|
||||||||||||
2.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
||||||||||||
3.
|
Pemerintah Daerah adalah Wali kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
||||||||||||
4.
|
Wali Kota adalah Wali Kota Bengkulu.
|
||||||||||||
5.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
6.
|
Peraturan Wali Kota adalah Peraturan Wali Kota Bengkulu.
|
||||||||||||
7.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
|
||||||||||||
8.
|
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
||||||||||||
9.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
||||||||||||
10.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||||||||||
11.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
||||||||||||
12.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
||||||||||||
13.
|
Nilai Jual Obyek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan Obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
||||||||||||
14.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||||||
15.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||||||||||
16.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
||||||||||||
17.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
||||||||||||
18.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
||||||||||||
19.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
||||||||||||
20.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
||||||||||||
22.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
||||||||||||
22.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
||||||||||||
23.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
||||||||||||
24.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
||||||||||||
25.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
||||||||||||
26.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
||||||||||||
27.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||||||||||
28.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
||||||||||||
29.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
||||||||||||
30.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haqa, collocalia maxima, collocalia esculenta, dan collocalia linchi.
|
||||||||||||
31.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
||||||||||||
32.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.
|
||||||||||||
33.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
||||||||||||
34.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
||||||||||||
35.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
36.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
|
||||||||||||
37.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
|
||||||||||||
38.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||||||||||
39.
|
Pajak terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
||||||||||||
40.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data Obyek dan Subyek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
||||||||||||
41.
|
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
|
||||||||||||
42.
|
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
|
||||||||||||
43.
|
Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
||||||||||||
44.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi tertentu.
|
||||||||||||
45.
|
Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||||||||||
46.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||||||||||
47.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
||||||||||||
48.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
||||||||||||
49.
|
Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan.
|
||||||||||||
50.
|
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
|
||||||||||||
51.
|
Pelayanan Kesehatan Puskesmas yang selanjutnya disebut dengan Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diberikan oleh Puskesmas kepada masyarakat, mencakup perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pencatatan, dan pelaporan yang dituangkan dalam suatu sistem.
|
||||||||||||
52.
|
Retribusi Kebersihan adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa pelayanan kebersihan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan.
|
||||||||||||
53.
|
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
|
||||||||||||
54.
|
Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pengguna kendaraan bermotor.
|
||||||||||||
55.
|
Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
|
||||||||||||
56.
|
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
|
||||||||||||
57.
|
Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.
|
||||||||||||
58.
|
Retribusi Pelayanan Pasar adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana yang berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang.
|
||||||||||||
59.
|
Pasar adalah tempat usaha yang ditata, dibangun, oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, atau los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat atau koperasi serta UMKM dengan proses jual beli barang melalui tawar menawar.
|
||||||||||||
60.
|
Pelayanan Pasar adalah penyediaan atas fasilitas pasar tradisional/sederhana yang berupa kios, los dan pelataran yang dikelola Pemerintah Kota, dan khusus disediakan untuk pedagang.
|
||||||||||||
61.
|
Kios adalah bangunan di dalam pasar yang beratap dan dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan dinding pemisah mulai dari lantai sampai dengan langit-langit yang dipergunakan untuk berjualan.
|
||||||||||||
62.
|
Los adalah bangunan tetap di dalam pasar berbentuk bangunan memanjang tanpa dilengkapi dinding.
|
||||||||||||
63.
|
Pelataran adalah lahan terbuka yang berada dalam lingkungan pasar dalam radius tertentu yang ditetapkan oleh Wali kota dan dapat digunakan sebagai tempat berjualan oleh pedagang kaki lima.
|
||||||||||||
64.
|
Retribusi Rumah Pemotongan Hewan adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa usaha penggunaan rumah pemotongan hewan beserta sarana dan prasarana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang atau badan.
|
||||||||||||
65.
|
Rumah Pemotongan Hewan yang selanjutnya disebut RPH adalah tempat yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pemotongan hewan.
|
||||||||||||
66.
|
Hewan adalah hewan ternak yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.
|
||||||||||||
67.
|
Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemanfaatan aset daerah oleh orang pribadi atau badan.
|
||||||||||||
68.
|
Aset Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
|
||||||||||||
69.
|
Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
|
||||||||||||
70.
|
Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
|
||||||||||||
71.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
||||||||||||
72.
|
Retribusi Izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah pungutan Daerah sebagai dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing.
|
||||||||||||
73.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA, adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
||||||||||||
74.
|
Izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah izin tertulis yang diberikan oleh Wali kota atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TKA.
|
||||||||||||
75.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara Obyektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
|
||||||||||||
76.
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
||||||||||||
77.
|
Badan Layanan Umum daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Sistem yang diterapkan oleh Satuan Kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada Satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
|||||||||||||
(1)
|
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
|
||||||||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
|||||||||||
|
b.
|
BPHTB;
|
|||||||||||
|
c.
|
PBJT atas:
|
|||||||||||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
||||||||||
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
||||||||||
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
||||||||||
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
||||||||||
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
||||||||||
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||||||
|
e.
|
PAT;
|
|||||||||||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||||||||||
|
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
|||||||||||
|
h.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||||||
|
i.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||||||
(2)
|
Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
|
||||||||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
|||||||||||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||||||
|
c.
|
PAT;
|
|||||||||||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||||||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||||||
(3)
|
Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||||||||||
|
a.
|
BPHTB;
|
|||||||||||
|
b.
|
PBJT atas:
|
|||||||||||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
||||||||||
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
||||||||||
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
||||||||||
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
||||||||||
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan;
|
||||||||||
|
c.
|
Pajak MBLB; dan
|
|||||||||||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PBB-P2
Pasal 3 |
|||||||||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
||||||||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
||||||||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
||||||||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||||||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
|||||||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
|||||||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
|||||||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||||||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan perundang undangan;
|
|||||||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
|||||||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali kota; dan
|
|||||||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
|||||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
||||||||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
||||||||||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
||||||||||||
(4)
|
Dalam hat Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
||||||||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
|
||||||||||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
|
||||||||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
||||||||||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
|||||||||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
|||||||||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP yang objektif dan berkeadilan dalam satu wilayah Kota.
|
|||||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||||||||||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
|
||||||||||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan 0,1% (nol koma satu persen).
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||||||||||||
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||||||||||||
(1)
|
Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
||||||||||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
|
||||||||||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
||||||||||||
(4)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
||||||||||||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
||||||||||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BPHTB
Pasal 10 |
|||||||||||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
|||||||||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
||||||||||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
||||||||||
|
|
3.
|
hibah;
|
||||||||||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
||||||||||
|
|
5.
|
wans;
|
||||||||||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lain;
|
||||||||||
|
|
7.
|
pemisahan hak. yang mengakibatkan peralihan;
|
||||||||||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
||||||||||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
||||||||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
||||||||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
||||||||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
||||||||||
|
|
13.
|
hadiah.
|
||||||||||
|
b.
|
pemberian hak. baru karena:
|
|||||||||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
||||||||||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
||||||||||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
hak milik;
|
|||||||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
|||||||||||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
|||||||||||
|
d.
|
hak pak.ai;
|
|||||||||||
|
e.
|
hak. milik atas satuan rumah susun; dan
|
|||||||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
|||||||||||
(4)
|
Dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak. atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
||||||||||||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||||||||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
|||||||||||
|
c.
|
untuk Badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan perundang-undangan;
|
|||||||||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||||||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak. adanya perubahan nama;
|
|||||||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
|||||||||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
|||||||||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
|
||||||||||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
|||||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
|
||||||||||||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
|||||||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
|||||||||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
|||||||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
||||||||||||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
||||||||||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
|||||||||||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
||||||||||||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
||||||||||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
|||||||||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
|||||||||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
|||||||||||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
|||||||||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|||||||||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
|
|||||||||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
|||||||||||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
||||||||||||
(4)
|
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||||||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB
|
||||||||||||
(2)
|
Kepala Kantor yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
||||||||||||
(3)
|
Kepala kantor yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
||||||||||||
(4)
|
Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
|||||||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris wajib:
|
||||||||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wali kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
|||||||||||
(2)
|
Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
|
|||||||||||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||||||
(3)
|
Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disetor ke Kas Daerah.
|
||||||||||||
(4)
|
Kepala Kantor yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pelayanan lelang negara wajib:
|
||||||||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Wali kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
|||||||||||
(5)
|
Kepala Kantor yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan pelaporan risalah lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
|||||||||||||
(1)
|
Kepala Kantor yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
||||||||||||
(2)
|
Kepala Kantor yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pajak Barang dan Jasa Tertentu
Pasal 18 |
|||||||||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
|||||||||||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||||||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
||||||||||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||||||||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
||||||||||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
|||||||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
|
||||||||||||
|
a.
|
restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
|||||||||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
|||||||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
||||||||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
||||||||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan makanan dan/atau minuman:
|
||||||||||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per bulan;
|
|||||||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
|||||||||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
|||||||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi Objek PBJT Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
||||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
|
|||||||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
|||||||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
|||||||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
|||||||||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
||||||||||||
|
a.
|
hotel;
|
|||||||||||
|
b.
|
hostel;
|
|||||||||||
|
c.
|
vila;
|
|||||||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
|||||||||||
|
e.
|
motel;
|
|||||||||||
|
f.
|
losmen;
|
|||||||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
|||||||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
|||||||||||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
|||||||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
|||||||||||
|
k.
|
glamping.
|
|||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
|
|||||||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|||||||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
|||||||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
|||||||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||||||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
|||||||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
|||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
|
|||||||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
|||||||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
|||||||||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
|||||||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
|||||||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
|||||||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
|||||||||||
|
e.
|
pameran;
|
|||||||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
|||||||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
|||||||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
|||||||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
|||||||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
|||||||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
|||||||||||
|
I.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
|||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
||||||||||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
|||||||||||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||||||
|
b.
|
jumlah yang dibayarkan oleh konsumen atas nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||||||||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||||||||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||||||||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
|||||||||||
(2)
|
Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
||||||||||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||||||||||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
|||||||||||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||||||||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
|||||||||||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||||||||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
|
|||||||||||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||||||||||
(4)
|
Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayal (2), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
|||||||||||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
|
||||||||||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
||||||||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
|||||||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
|
||||||||||||
(2)
|
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
||||||||||||
(3)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
||||||||||||
|
a.
|
pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||||||
|
b.
|
konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||||||||||
|
c.
|
pembayaran atau penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||||||||||
|
d.
|
pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||||||||||
|
e.
|
pembayaran atau penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Pasal 29 |
|||||||||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
||||||||||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
|||||||||||
|
b.
|
Reklame kain;
|
|||||||||||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
|||||||||||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
|||||||||||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
|||||||||||
|
f.
|
Reklame udara;
|
|||||||||||
|
g.
|
Reklame apung;
|
|||||||||||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
|||||||||||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
|||||||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
||||||||||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
|||||||||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
|||||||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
|||||||||||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
|
|||||||||||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
|||||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
|||||||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
|
||||||||||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
||||||||||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
||||||||||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||||||||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
|||||||||||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
||||||||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
||||||||||||
(3)
|
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
|
||||||||||||
(4)
|
Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pajak Air Tanah
Pasal 34 |
|||||||||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
||||||||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
|||||||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
|||||||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
|||||||||||
|
d.
|
peternakan rakyat; dan
|
|||||||||||
|
e.
|
keperluan keagamaan.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
|||||||||||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
|||||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
|
||||||||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
||||||||||||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
||||||||||||
(4)
|
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor sebagai berikut:
|
||||||||||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
|||||||||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
|||||||||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
|||||||||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
|||||||||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
|||||||||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
|||||||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
|||||||||||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
|
||||||||||||
(2)
|
PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah
|
||||||||||||
(3)
|
Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak MBLB
Pasal 39 |
|||||||||||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
asbes;
|
|||||||||||
|
b.
|
batu tulis;
|
|||||||||||
|
c.
|
batu setengah pennata;
|
|||||||||||
|
d.
|
batu kapur;
|
|||||||||||
|
e.
|
batu apung;
|
|||||||||||
|
f.
|
batu pennata;
|
|||||||||||
|
g.
|
bentonit;
|
|||||||||||
|
h.
|
dolomit;
|
|||||||||||
|
i.
|
feldspar,
|
|||||||||||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
|||||||||||
|
k.
|
grafit;
|
|||||||||||
|
I.
|
granit/andesit;
|
|||||||||||
|
m.
|
gips;
|
|||||||||||
|
n.
|
kalsit;
|
|||||||||||
|
o.
|
kaolin;
|
|||||||||||
|
p.
|
leusit;
|
|||||||||||
|
q.
|
magnesit;
|
|||||||||||
|
r.
|
mika;
|
|||||||||||
|
s.
|
marmer;
|
|||||||||||
|
t.
|
nitrat;
|
|||||||||||
|
u.
|
obsidian;
|
|||||||||||
|
v.
|
oker;
|
|||||||||||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
|||||||||||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
|||||||||||
|
y.
|
perlit;
|
|||||||||||
|
z.
|
fosfat;
|
|||||||||||
|
aa.
|
talk;
|
|||||||||||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
|||||||||||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
|||||||||||
|
dd.
|
tanah liat;
|
|||||||||||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
|||||||||||
|
ff.
|
tras;
|
|||||||||||
|
gg.
|
yarosit;
|
|||||||||||
|
hh.
|
zeolit;
|
|||||||||||
|
ii.
|
basal;
|
|||||||||||
|
jj.
|
trakhit;
|
|||||||||||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
|||||||||||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
||||||||||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
|||||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
|||||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
||||||||||||
(2)
|
Nilai jual hasil pengambilan MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
||||||||||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||||||||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
||||||||||||
Pasal 42 |
|||||||||||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
||||||||||||
(2)
|
Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
||||||||||||
(3)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 44 |
|||||||||||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
||||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
|||||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
|||||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
|
||||||||||||
(2)
|
Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
|||||||||||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
|
||||||||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
||||||||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Opsen PKB
Pasal 49 |
|||||||||||||
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
|||||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
||||||||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
|||||||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
|||||||||||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak yang terutang.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
|
||||||||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
||||||||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Opsen BBNKB
Pasal 54 |
|||||||||||||
Opsen BBNKB dikenakan atas pajak terutang dari BBNKB.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
|||||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
||||||||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
|||||||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
|||||||||||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak yang terutang.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
|
||||||||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
||||||||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 59 |
|||||||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam Bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
||||||||||||
(2)
|
Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), kecuali untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a.
|
||||||||||||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
||||||||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||||||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak dan tahun Pajak diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keduabelas
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 60 |
|||||||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
||||||||||||
(2)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
||||||||||||
(3)
|
Hasil penerimaan PAT dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
||||||||||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
|||||||||||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
|||||||||||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
|||||||||||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
|||||||||||
(4)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 61 |
|||||||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||||||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||||||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 62 |
|||||||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
|||||||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
|||||||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
|||||||||||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
|||||||||||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||||||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||||||||||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak peraturan Wali Kota ditetapkan.
|
||||||||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||||||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
||||||||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
|||||||||||||
(1)
|
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||||||
(2)
|
Rincian objek pelayanan kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah yang menerapkan BLUD adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
|||||||||||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
|||||||||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
|||||||||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
|||||||||||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
|||||||||||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
|||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
|||||||||||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
|||||||||||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
|||||||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
|||||||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
|||||||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
|
|||||||||||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
|||||||||||
(3)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
|||||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
||||||||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
||||||||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||||||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dengan tarif Retribusi.
|
||||||||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||||||||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
||||||||||||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 70 |
|||||||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||||||||||
|
b.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
|||||||||||
|
c.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
|||||||||||
|
d.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||||||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||||||||||
(6)
|
Peraturan Wali Kota yang mengatur penambahan detail rincian pelayanan pada BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
||||||||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||||||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha,
|
||||||||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||||||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
|||||||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
|||||||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf c, merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
|||||||||||||
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf d, termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
|||||||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||||||
|
a.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||||||||||
|
b.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan temak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
|
|||||||||||
|
c.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
|||||||||||
|
d.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
|||||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
||||||||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
||||||||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
|||||||||||||
(I)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tarif Retribusi.
|
||||||||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||||
(3)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
||||||||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||||||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
|||||||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
|||||||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
|||||||||||
(4)
|
Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
||||||||||||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||||||||||
(6)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
||||||||||||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||||||||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
||||||||||||
(9)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 78 |
|||||||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||||||||||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||||||||||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
|||||||||||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
||||||||||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||||||||||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
|||||||||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
|||||||||||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
|||||||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
||||||||||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
||||||||||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
||||||||||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
||||||||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
||||||||||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
||||||||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
||||||||||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
||||||||||
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
|||||||||||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
|||||||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
|||||||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||||||
|
a.
|
pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
|
|||||||||||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
||||||||||||
|
a.
|
Formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||||||||||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
||||||||||
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
||||||||||
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
||||||||||
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
||||||||||
|
b.
|
Formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||||||||||
|
|
1.
|
Volume;
|
||||||||||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
||||||||||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
|||||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
||||||||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
||||||||||||
(3)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1), biaya penyelenggaraan pelayanan mengacu pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
||||||||||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izm mengacu pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
|||||||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dengan tarif Retribusi.
|
||||||||||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
||||||||||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||||||||||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
|||||||||||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
|||||||||||
(4)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
||||||||||||
(5)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan.
|
||||||||||||
(6)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||||||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||||||||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||||||||
(9)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel HSBGN/SHST dan Indeks Lokalitas.
|
||||||||||||
(10)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
||||||||||||
(11)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 84 |
|||||||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
||||||||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMVNGVTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Pasal 85 |
|||||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
|
||||||||||||
(2)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
||||||||||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
|
||||||||||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
||||||||||||
(5)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(6)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
|
||||||||||||
(7)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
||||||||||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
|||||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (5) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
||||||||||||
(2)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SPTPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
||||||||||||
(3)
|
Besaran sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
|
||||||||||||
(4)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeure).
|
||||||||||||
(5)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
|||||||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
|||||||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
|||||||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
|||||||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
|||||||||||||
(1)
|
Pemungutan pajak dan retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
||||||||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
|||||||||||
|
b.
|
penetapan besaran pajak dan retribusi terutang;
|
|||||||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
|||||||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
|||||||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan dan pembatalan ketetapan;
|
|||||||||||
|
f.
|
pemeriksaan pajak;
|
|||||||||||
|
g.
|
penagihan pajak dan retribusi;
|
|||||||||||
|
h.
|
keberatan;
|
|||||||||||
|
i.
|
gugatan;
|
|||||||||||
|
j.
|
penghapusan piutang pajak dan retribusi oleh Wali Kota; dan
|
|||||||||||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak dan retribusi.
|
|||||||||||
(3)
|
Pembayaran dan penyetoran pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
||||||||||||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
|||||||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
|
||||||||||||
(3)
|
Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
||||||||||||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
||||||||||||
(5)
|
Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling lama:
|
||||||||||||
|
a.
|
1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT.
|
|||||||||||
(6)
|
Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
||||||||||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 89 |
|||||||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
||||||||||||
(3)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
||||||||||||
(4)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(5)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(6)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
||||||||||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
||||||||||||
(8)
|
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) didahului dengan Surat Teguran.
|
||||||||||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
INSENTIF FISKAL
Pasal 90 |
|||||||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
||||||||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
||||||||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wah Kota berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
||||||||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
|||||||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
|||||||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
|||||||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
|||||||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
|||||||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
|
||||||||||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
|
||||||||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 91 |
|||||||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||||||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||||||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
|||||||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
|||||||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
||||||||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
||||||||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 92 |
|||||||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
||||||||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
||||||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 93 |
|||||||||||||
Wali Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dalam rangka efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
|||||||||||||
(1)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dilakukan dalam bentuk:
|
||||||||||||
|
a.
|
sosialisasi dan penyuluhan;
|
|||||||||||
|
b.
|
melakukan penyebaran informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar Pajak dan Retribusi;
|
|||||||||||
|
c.
|
peningkatan kapasitas sumber daya manusia penyelenggara Pajak dan Retribusi;
|
|||||||||||
|
b.
|
fasilitasi mediasi dan konsultasi penyelesaian Pajak dan Retribusi; dan/atau
|
|||||||||||
|
c.
|
pemberian penghargaan.
|
|||||||||||
(2)
|
Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dapat diberikan pada:
|
||||||||||||
|
a.
|
Wajib Pajak dan Retribusi yang tertib dan taat dalam melakukan pembayaran Pajak dan Retribusi;
|
|||||||||||
|
b.
|
aparatur sipil negara dan masyarakat yang berjasa, berkontribusi dan berperan aktif dalam meningkatkan pendapatan daerah melalui Pajak dan Retribusi; dan/atau
|
|||||||||||
|
c.
|
instansi yang berjasa berkontribusi dan berperan aktif dalam meningkatkan pendapatan daerah melalui Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||||
(3)
|
Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk:
|
||||||||||||
|
a.
|
piagam;
|
|||||||||||
|
b.
|
sertifikat;
|
|||||||||||
|
c.
|
pemberian stiker atau pamflet, spanduk atau pengumuman di media massa bahwa Wajib Pajak dan Wajib Retribusi telah tertib dan taat dalam melakukan pembayaran Pajak dan Retribusi;
|
|||||||||||
|
d.
|
uang; dan/atau
|
|||||||||||
|
e.
|
bentuk lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||
(4)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang pendapatan bekerjasama dengan perangkat daerah terkait.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 95 |
|||||||||||||
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dilakukan dalam bentuk:
|
|||||||||||||
a.
|
pemantauan;
|
||||||||||||
b.
|
evaluasi secara berkala; dan/atau
|
||||||||||||
c.
|
penerimaan pengaduan masyarakat.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
|||||||||||||
(1)
|
Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf a dilakukan untuk menjamin sinergi, kesinambungan, dan efektivitas dalam pelaksanaan kebijakan dan penyelenggaraan Pajak dan Retribusi.
|
||||||||||||
(2)
|
Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk mengetahui perkembangan dan hambatan dalam penyelenggaraan Pajak dan Retribusi.
|
||||||||||||
(3)
|
Pemantauan dilakukan secara berkala melalui koordinasi dan pemantauan langsung terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Pajak dan Retribusi.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
|||||||||||||
(1)
|
Evaluasi secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf b dilakukan oleh perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan Daerah di bidang pendapatan bekerjasama dengan perangkat Daerah terkait.
|
||||||||||||
(2)
|
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan evaluasi dalam pengambilan kebijakan dan penganggaran penyelenggaraan Pajak dan Retribusi.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
|||||||||||||
(1)
|
Pengawasan dalam bentuk penerimaan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf c wajib ditindaklanjuti oleh perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang pendapatan.
|
||||||||||||
(2)
|
Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
|
||||||||||||
|
a.
|
pengaduan langsung; dan/atau
|
|||||||||||
|
b.
|
pengaduan secara tidak langsung melalui surat.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
|||||||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 sampai dengan Pasal 98 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 100 |
|||||||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
||||||||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||||||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
|||||||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
|||||||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
|||||||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||||||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
|||||||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
|||||||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 101 |
|||||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (5) sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
|
||||||||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (5) sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
|||||||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
|||||||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 104 |
|||||||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan daerah di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
|||||||||||||
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
|||||||||||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 92 hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
|||||||||||||
Terhadap hak dan kewajiban wajib pajak dan wajib retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang pajak dan retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 108 |
|||||||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
|||||||||||||
1.
|
Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2002 tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Daerah Kota Bengkulu Nomor 27);
|
||||||||||||
2.
|
Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2011 tentang Pajak Sarang Burung Walet (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 04, Tambahan Lembaran Daerah Kota Bengkulu Nomor 03);
|
||||||||||||
3.
|
Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan di Kota Bengkulu (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 05);
|
||||||||||||
4.
|
Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 06, Tambahan Lembaran Daerah Kota Bengkulu Nomor 06);
|
||||||||||||
5.
|
Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 07);
|
||||||||||||
6.
|
Peraturan Daerah Nomor 09 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 9);
|
||||||||||||
7.
|
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 10);
|
||||||||||||
8.
|
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 11);
|
||||||||||||
9.
|
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 12);
|
||||||||||||
10.
|
Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 13);
|
||||||||||||
11.
|
Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2012 tentang Retribusi Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2012 Nomor 02);
|
||||||||||||
12.
|
Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2012 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2012 Nomor 03);
|
||||||||||||
13.
|
Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2012 Nomor 04);
|
||||||||||||
14.
|
Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek Angkutan Kota (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2012 Nomor 06);
|
||||||||||||
15.
|
Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2012 Nomor 07);
|
||||||||||||
16.
|
Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2012 Nomor 08);
|
||||||||||||
17.
|
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Rumah Pemotongan Hewan (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2012 Nomor 10);
|
||||||||||||
18.
|
Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2013 Nomor 02)
|
||||||||||||
19.
|
Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2018 Nomor 02);
|
||||||||||||
20.
|
Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2013 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2013 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Kota Bengkulu Nomor 01);
|
||||||||||||
21.
|
Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2013 Nomor 05);
|
||||||||||||
22.
|
Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2013 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2013 Nomor 06);
|
||||||||||||
23.
|
Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2013 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2013 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah Kota Bengkulu Nomor 03);
|
||||||||||||
24.
|
Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2014 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2014 Nomor 02, Tambahan Lembaran Daerah Kota Bengkulu Nomor 01);
|
||||||||||||
25.
|
Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2016 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2016 Nomor 08);
|
||||||||||||
26.
|
Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2020 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Bengkulu Nomor 1);
|
||||||||||||
27.
|
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2022 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Bengkulu Nomor 1);
|
||||||||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
|||||||||||||
Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
|||||||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Bengkulu.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Bengkulu
pada tanggal 13 Februari 2024
Pj. WALI KOTA BENGKULU,
dto.
ARIF GUNADI
Diundangkan di Bengkulu
pada tanggal 13 Februari 2024
Pj. SEKRETARIS DAERAH KOTA BENGKULU,
dto.
EKA RIKA RINO
LEMBARAN DAERAH KOTA BENGKULU TAHUN 2024 NOMOR 1
|