Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KOTA BATAM
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA BATAM,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa sesuai ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||
b.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengamanatkan seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3902) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Palalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4880);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
6.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6228);
|
|||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6630);
|
|||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6652);
|
|||
13.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||
14.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
15.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 157);
|
|||
16.
|
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Bersumber Dari Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1148);
|
|||
17.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 98) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2019 Nomor 7);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BATAM
dan
WALI KOTA BATAM
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah adalah Kota Batam.
|
|||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Batam.
|
|||
3.
|
Wali Kota adalah Wali Kota Batam.
|
|||
4.
|
Gubernur adalah Gubernur Kepulauan Riau.
|
|||
5.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
6.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.
|
|||
7.
|
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
|
|||
8.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
9.
|
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
|
|||
10.
|
Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah Kota Batam.
|
|||
11.
|
Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah Kota Batam yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
|
|||
12.
|
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
|
|||
13.
|
Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Perda Kota Batam.
|
|||
14.
|
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
15.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
16.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
17.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||
18.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
19.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||
20.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
21.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
22.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
23.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||
24.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||
25.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||
26.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
27.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||
28.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||
29.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||
30.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
31.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
|
|||
32.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||
33.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
|||
34.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||
35.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||
36.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||
37.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||
38.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||
39.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||
40.
|
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||
41.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial dengan cara memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||
42.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||
43.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||
44.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||
45.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||
46.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||
47.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
|
|||
48.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
49.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
50.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
51.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
52.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
|||
53.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
|||
54.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||
55.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan Subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||
56.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
57.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
58.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||
59.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
|
|||
60.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||
61.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
|
|||
62.
|
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
|
|||
63.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
|||
64.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
65.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||
66.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||
67.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
|
|||
68.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
69.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
70.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
71.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
72.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||
73.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
74.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
75.
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang selanjutnya disingkat NPOPTKP adalah besaran nilai yang merupakan batas tertinggi nilai/harga objek pajak yang tidak dikenakan pajak.
|
|||
76.
|
Harga Satuan Bangunan Gedung Negara selanjutnya disingkat HSBGN adalah harga satuan tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan hasil perhitungan menggunakan aplikasi perhitungan HSBGN yang disediakan oleh pemerintah pusat.
|
|||
77.
|
Standar Harga Satuan Tertinggi yang selanjutnya disingkat SHST adalah standar harga satuan tertinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil perhitungan menggunakan aplikasi perhitungan SHST yang disediakan oleh pemerintah pusat.
|
|||
78.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan bangunan gedung.
|
|||
79.
|
Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah atau pemerintah pusat untuk menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung sebelum bangunan gedung tersebut dimanfaatkan.
|
|||
80.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||
81.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga Negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
|||
82.
|
Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
|
|||
83.
|
Tenaga Kerja Pendamping TKA adalah Tenaga Kerja Indonesia yang ditunjuk oleh Pemberi Kerja TKA dan dipekerjakan sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan dalam rangka alih teknologi dan ahli keahlian.
|
|||
84.
|
Retribusi Daerah adalah Pungutan Daerah sebagai Pembayaran atas Jasa atau pemberian Izin Tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan Orang Pribadi atau Badan.
|
|||
85.
|
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
|
|||
86.
|
Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA Perpanjangan adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
|
|||
87.
|
Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah.
|
|||
88.
|
Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga asing.
|
|||
89.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||
90.
|
Keadaan kahar adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
|
|||
91.
|
Hari adalah hari kerja.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini untuk memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta memberikan kepastian hukum atas Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kepada masyarakat.
|
|||
(2)
|
Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 3 |
||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
|
||||
a.
|
Pajak Daerah;
|
|||
b.
|
Retribusi Daerah;
|
|||
c.
|
Tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
d.
|
Pemberian Insentif fiskal dan kemudahan perpajakan Daerah;
|
|||
e.
|
Kerahasiaan data Wajib Pajak;
|
|||
f.
|
Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan
|
|||
g.
|
Ketentuan penyidikan dan pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak
Paragraf 1
Jenis Pajak
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak, terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
BPHTB;
|
||
|
c.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
|
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
e.
|
PAT;
|
||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
||
|
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||
|
h.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
i.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(3)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota (official assessment), terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
c.
|
PAT;
|
||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(4)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak (self assessment), terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
BPHTB;
|
||
|
b.
|
PBJT terdiri atas:
|
||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
|
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|
|
c.
|
Pajak MBLB; dan
|
||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) yaitu SKPD dan SPPT.
|
|||
(2)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) adalah SPTPD.
|
|||
(3)
|
Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat tidak dipungut, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
potensinya kurang memadai; dan/atau
|
||
|
b.
|
Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut.
|
||
(3)
|
Jenis Pajak yang tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
|
|||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah, kantor pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam/kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
|
||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a merupakan NJOP.
|
|||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak PBB-P2 ditetapkan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||
(5)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||
(6)
|
Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
|
|||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
|
||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
(8)
|
Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek PBB-P2 tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||
(9)
|
Besaran NJOP ditetap oleh Wali Kota.
|
|||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
|
|||
(2)
|
Tarif PBB-P2 berupa lahan produksi pangan dan lahan produksi ternak ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
|||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
|||
(2)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang adalah wilayah Daerah tempat objek PBB-P2 berada.
|
|||
(3)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berada pada:
|
|||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
||
|
b.
|
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa, dan kabel bawah laut.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|
|
|
3.
|
hibah;
|
|
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|
|
|
5.
|
waris;
|
|
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
|
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|
|
|
2.
|
diluar pelepasan hak.
|
|
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
hak milik;
|
||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||
|
d.
|
hak pakai;
|
||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||
(4)
|
Dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yaitu:
|
|||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah, pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
|
|||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||
(4)
|
Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(5)
|
Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||
(6)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, besaran nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
|||
(7)
|
Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak lebih tinggi dari nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Penelitian SSPD BPHTB, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NOPD yang tercantum:
|
||
|
|
1.
|
dalam SPPT atau bukti pembayaran PBB-P2 lainnya; dan
|
|
|
|
2.
|
pada basis data PBB-P2.
|
|
|
b.
|
kesesuaian NJOP Bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bumi per meter persegi pada basis data PBB-P2;
|
||
|
c.
|
kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP bangunan per meter persegi pada basis data PBB-P2;
|
||
|
d.
|
kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi nilai perolehan objek pajak, NJOP, NJOP tidak kena pajak, tarif, pengenaan atas objek pajak tertentu, BPHTB terutang atau yang harus dibayar;
|
||
|
e.
|
kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; dan
|
||
|
f.
|
kesesuaian kriteria objek pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
|
||
(2)
|
Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat.
|
|||
(3)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
|
|||
(4)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
(5)
|
Proses penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) Hari sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat.
|
|||
(6)
|
Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
|
|||
(2)
|
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan yang diperoleh berada.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Saat terutang BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak; dan
|
||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||
(2)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pajak Barang dan Jasa Tertentu
Pasal 21 |
||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu, meliputi:
|
||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugas.
|
|
(2)
|
Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) per bulan.
|
||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas sampai dengan 500 (lima ratus) kilowatt yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
|
||
|
e.
|
konsumsi Tenaga Listrik di Kawasan hinterland/pulau kecil di luar Daerah dengan menggunakan pembangkit tenaga listrik dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||
|
a.
|
hotel;
|
||
|
b.
|
hostel;
|
||
|
c.
|
vila;
|
||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||
|
e.
|
motel;
|
||
|
f.
|
losmen;
|
||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||
|
k.
|
glamping.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d, meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
|
||
|
d.
|
jasa tempat parkir dalam pemukiman penduduk yang disediakan bagi warga komplek perumahan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e, meliputi:
|
|||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||
|
e.
|
pameran;
|
||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||
|
c.
|
perlombaan/permainan tradisional yang tidak dipungut bayaran.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di Daerah.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
|
||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||
|
c.
|
jangka waktu sesuai pemakaian listrik, dan
|
||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di Daerah.
|
||
(4)
|
Berdasarkan Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas Makanan dan/atau Minuman pada jasa boga dan catering ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen).
|
|||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan 40% (empat puluh persen).
|
|||
(4)
|
Khusus tarif PBJT atas Pengguna Tenaga Listrik ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
pengguna golongan sosial, tarif pajak ditetapkan sebesar 6% (enam persen);
|
||
|
b.
|
pengguna rumah tangga, tarif pajak ditetapkan 7% (tujuh persen); dan
|
||
|
c.
|
pengguna bisnis, tarif pajak ditetapkan sebesar 8% (delapan persen).
|
||
(5)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
|
|||
(2)
|
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||
(3)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
|||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan:
|
|||
|
a.
|
faktor jenis;
|
||
|
b.
|
bahan yang digunakan;
|
||
|
c.
|
lokasi penempatan;
|
||
|
d.
|
waktu penayangan;
|
||
|
e.
|
jangka waktu penyelenggaraan;
|
||
|
f.
|
jumlah; dan
|
||
|
g.
|
ukuran media Reklame.
|
||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||
(2)
|
Khusus untuk reklame rokok dan minuman beralkohol tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen)
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|||
|
a.
|
asbes;
|
||
|
b.
|
batu tulis;
|
||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||
|
d.
|
batu kapur;
|
||
|
e.
|
batu apung;
|
||
|
f.
|
batu permata;
|
||
|
g.
|
bentonit;
|
||
|
h.
|
dolomit;
|
||
|
i.
|
feldspar;
|
||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||
|
k.
|
grafit;
|
||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||
|
m.
|
gips;
|
||
|
n.
|
kalsit;
|
||
|
o.
|
kaolin;
|
||
|
p.
|
leusit;
|
||
|
q.
|
magnesit;
|
||
|
r.
|
mika;
|
||
|
s.
|
marmer;
|
||
|
t.
|
nitrat;
|
||
|
u.
|
obsidian;
|
||
|
v.
|
oker;
|
||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||
|
y.
|
perlit;
|
||
|
z.
|
fosfat;
|
||
|
aa.
|
talk;
|
||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
||
|
ff.
|
tras;
|
||
|
gg.
|
yarosit;
|
||
|
hh.
|
zeolit;
|
||
|
ii.
|
basal;
|
||
|
jj.
|
trakhit;
|
||
|
kk.
|
belerang;
|
||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
|||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
|
||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
|
||
|
c.
|
pembangunan rumah ibadah yang dibiayai masyarakat dan pematangan lahan fasilitas umum seperti area pemakaman.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
|||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah.
|
|||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
|
|||
(2)
|
Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
(3)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di lokasi atau mulut tambang.
|
|||
(4)
|
Wilayah pemungutan MBLB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d merupakan nilai jual sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang adalah wilayah Daerah yang akan ditetapkan lebih lanjut melalui Peraturan Wali Kota, tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 47 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||
(4)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok bagian Daerah, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||
(5)
|
Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut.
|
|||
(6)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah tidak melaksanakan kewajiban dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis dan Objek Retribusi Daerah
Pasal 48 |
||||
(1)
|
Jenis Retribusi Daerah terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||
(2)
|
Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(3)
|
Subjek Retribusi merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
|||
(5)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Jenis Pelayanan Retribusi
Paragraf 1
Pelayanan Retribusi Jasa Umum
Pasal 49 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Subjek Retribusi Jasa umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(8)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(9)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan Jasa Umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Retribusi Jasa Usaha
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b, meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
h.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
||
|
i.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
j.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak diundangkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan Jasa Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf c, meliputi:
|
|||
|
a.
|
PBG; dan
|
||
|
b.
|
penggunaan TKA.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Objek, Subjek Retribusi, Wajib Retribusi, Tingkat Penggunaan Jasa, dan Tarif Retribusi
Paragraf 1
Retribusi Jasa Umum
Pasal 52 |
||||
(1)
|
Objek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan administrasi.
|
|||
(3)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan kesehatan.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan kesehatan.
|
|||
(5)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan kesehatan ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(6)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(7)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||
(8)
|
Struktur besaran tarif Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(9)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
|
|||
|
a.
|
Pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||
(3)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan kebersihan.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan kebersihan.
|
|||
(5)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi atas pelayanan kebersihan ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(6)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(7)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||
(8)
|
Struktur besaran tarif Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(9)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan kebersihan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan parkir di tepi jalan umum.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan parkir di tepi jalan umum.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi atas pelayanan parkir di tepi jalan umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(5)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(6)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
|||
(7)
|
Struktur besaran tarif Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(8)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan parkir di tepi jalan umum diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan pasar.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan pasar.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi atas pelayanan pasar ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(5)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(6)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
|||
(7)
|
Struktur besaran tarif Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(8)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan pasar diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya yang dikontrakkan, disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(5)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(6)
|
Tata cara penyelenggaraan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewakan oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||
(3)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(5)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(6)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(7)
|
Tata cara penyelenggaraan penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Objek Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(5)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(6)
|
Struktur besaran tarif Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(7)
|
Tata cara penyelenggaraan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(5)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(6)
|
Tata cara penyelenggaraan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(5)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(6)
|
Tingkat penggunaan jasa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis dan berat hewan yang dipotong dan diperiksa kesehatan hewannya, jumlah daging sampel hewan yang diperiksa, jumlah hari penitipan hewan, dan jarak tempuh pengangkutan daging hewan dari dan ke rumah potong hewan.
|
|||
(7)
|
Struktur besaran tarif Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(8)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan jasa kepelabuhanan merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan jasa kepelabuhanan merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(5)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(6)
|
Struktur besaran tarif Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(7)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan jasa kepelabuhanan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||
(1)
|
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh pelayanan.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(5)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(6)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga dihitung atas komponen biaya yang dikeluarkan dalam pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diantaranya biaya pelayanan.
|
|||
(7)
|
Struktur besaran tarif Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(8)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota Batam.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(5)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(6)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air dihitung atas komponen biaya yang dikeluarkan dalam pelayanan penyeberangan orang atau barang diantaranya biaya pelayanan.
|
|||
(7)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(5)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah keuntungan yang diperoleh apabila penjualan hasil produksi usaha tersebut dilakukan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(6)
|
Tingkat penggunaan jasa atas penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah dihitung atas komponen biaya yang dikeluarkan dalam produksi usaha Pemerintah Daerah diantaranya biaya produksi.
|
|||
(7)
|
Struktur besaran tarif harga penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(8)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Kota Batam diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf j termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||
(2)
|
Bentuk Pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
bangunan guna serah atau bangunan serah guna; atau
|
||
|
c.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||
(3)
|
Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(5)
|
Pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
(6)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(7)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(8)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(9)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(10)
|
Pemanfaatan aset daerah adalah pemanfaatan barang milik daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum.
|
|||
(11)
|
Struktur besaran tarif Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(12)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan pemanfaatan aset Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 66 |
||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
|||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||
|
a.
|
pembangunan baru;
|
||
|
b.
|
bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||
|
|
1.
|
perubahan fungsi bangunan gedung;
|
|
|
|
2.
|
perubahan lapis bangunan gedung;
|
|
|
|
3.
|
perubahan luas bangunan gedung;
|
|
|
|
4.
|
perubahan tampak bangunan gedung;
|
|
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|
|
|
6.
|
perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan bangunan gedung cagar budaya; atau
|
|
|
|
8.
|
perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(6)
|
Biaya pelayanan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung.
|
|||
(7)
|
Pelayanan pemberian izin PBG meliputi penerbitan persetujuan bangunan gedung dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(8)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) merupakan pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
|||
(9)
|
Rincian perhitungan struktur dan besaran tarif pelayanan PBG tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||
(10)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan pemberian izin persetujuan bangunan gedung meliputi penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
Pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan;
|
||
|
b.
|
Pelayanan penggunaan TKA diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
|
||
(3)
|
Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
formula untuk bangunan gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
luas total lantai;
|
|
|
|
2.
|
indeks lokalitas;
|
|
|
|
3.
|
indeks terintegrasi; dan
|
|
|
|
4.
|
indeks bangunan gedung terbangun.
|
|
|
b.
|
formula untuk prasarana bangunan gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
volume;
|
|
|
|
2.
|
indeks prasarana bangunan gedung; dan
|
|
|
|
3.
|
indeks bangunan gedung terbangun.
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(3)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian perizinan tertentu.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian perizinan tertentu.
|
|||
(5)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(6)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
(7)
|
Biaya pelayanan pengecahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
|||
(8)
|
Struktur tarif Retribusi PTKA ditetapkan berdasarkan tingkat penggunaan jasa.
|
|||
(9)
|
Besarnya tarif Retribusi PTKA dipungut dan diperhitungan dalam bentuk rupiah setara dengan US$ 100 (seratus dolar Amerika Serikat) per bulan untuk setiap TKA pada saat diterbitkannya SKRD dan dibayarkan dimuka.
|
|||
(10)
|
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibayarkan dalam rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat pembayaran Retribusi.
|
|||
(11)
|
Pelayanan penggunaan TKA adalah pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan di Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA
|
|||
(12)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan TKA oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||
(13)
|
Tata cara penyelenggaraan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Peninjauan Tarif Retribusi
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Pembayaran dan Penyetoran
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangan wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(2)
|
Dalam hal pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
|
||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||
Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Keringanan, Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan Pajak dan Retribusi
Paragraf 1
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 75 |
||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Opsen
Paragraf 1
Pemungutan
Pasal 76 |
||||
(1)
|
Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
|
|||
|
a.
|
PKB; dan
|
||
|
b.
|
BBNKB.
|
||
(2)
|
Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di wilayah Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak untuk Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a merupakan wajib PKB.
|
|||
(3)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan pajak terutang dari PKB.
|
|||
(4)
|
Subjek Pajak untuk Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
|
|||
(5)
|
Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) merupakan PKB terutang.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) merupakan BBNKB terutang.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||
Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
a.
|
Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
|
|||
b.
|
Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen), dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB dengan tarif opsen PKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB dan BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pemungutan Retribusi
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
|||
(6)
|
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran.
|
|||
(7)
|
Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
|
|||
(3)
|
Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
|
|||
(4)
|
Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum Daerah secara bruto.
|
|||
(5)
|
Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja Daerah.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pembukuan
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
|
||
|
b.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
|
||
(2)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
|||
(3)
|
Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
|
|||
(4)
|
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
|
|||
(5)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMBERIAN INSENTIF FISKAL DAN KEMUDAHAN PERPAJAKAN DAERAH
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal dan Kemudahan Perpajakan Daerah
Paragraf 1
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksi.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
|
|||
|
a.
|
Kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan Daerah.
|
|||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah; dan/atau
|
||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
|
||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah Daerah.
|
|||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Wali Kota dapat memberikan pengurangan, keringanan, pembebasan dan penundaan atas Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah.
|
|||
(2)
|
Pengurangan, keringanan, pembebasan dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
|
|||
(3)
|
Pengurangan, keringanan, dan pembebasan atas Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa pengurangan BPHTB dan pengurangan PBB-P2.
|
|||
(4)
|
Pengurangan Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling rendah 50% (lima puluh persen) dan paling tinggi l00% (seratus persen).
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengurangan, keringanan, dan pembebasan dan penundaan atas Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||
|
a.
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||
|
b.
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dengan keputusan Wali Kota.
|
|||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
|||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||
(7)
|
Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||
(10)
|
Keadaan kahar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||
|
a.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Wali Kota berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Ketentuan Penyidikan
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana denda berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 95, dan Pasal 96 merupakan pendapatan daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 98 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 99 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Ketentuan Pasal 35 sampai dengan Pasal 78, Pasal 83 sampai dengan Pasal 85, dan Pasal 86 ayat (4) sepanjang terkait dengan Pajak dan Retribusi Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 1 Tahun 2008 tentang Kepelabuhanan di Kota Batam (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2008 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 56) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 12 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 1 Tahun 2008 tentang Kepelabuhanan di Kota Batam (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 80);
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 5 Tahun 2009 tentang Retribusi Penggunaan Tanah dan/atau Bangunan yang Dikuasai Pemerintah Daerah untuk Pemasangan Reklame (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 61);
|
|||
c.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 71);
|
|||
d.
|
Ketentuan Pasal 66 dan Pasal 67 Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 73);
|
|||
e.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kota Batam (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 77) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kota Batam (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2016 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 105);
|
|||
f.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 78);
|
|||
g.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 79);
|
|||
h.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Terminal dan Retribusi Izin Trayek Kota Batam (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 83);
|
|||
i.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 84);
|
|||
j.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kota Batam (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2012 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 85);
|
|||
k.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 8 Tahun 2013 tentang Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 93) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, Dan Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2019 Nomor 9);
|
|||
l.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 7 tahun 2017 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2017 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 112 );
|
|||
m.
|
Ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 55 sepanjang terkait dengan Retribusi Parkir Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Parkir (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2018 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 115);
|
|||
n.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 1 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2022 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 123);
|
|||
o.
|
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2022 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 124);
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 91, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Batam.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Batam
pada tanggal 5 Januari 2024
WALI KOTA BATAM
ttd.
MUHAMMAD RUDI
Diundangkan di Batam
pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH KOTA BATAM
ttd.
JEFRIDIN
LEMBARAN DAERAH KOTA BATAM TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA BATAM
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan peraturan pelaksanaan yang melengkapi pokok-pokok kebijakan Pajak dan Retribusi sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta menjadi dasar dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam rangka Pemungutan Pajak dan Retribusi, termasuk sistem dan prosedur Pemungutan, dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan Daerah.
Perda ini mencakup berbagai aspek pengelolaan Pajak dan Retribusi, khususnya pelaksanaan Pemungutan antara lain pendaftaran dan pendataan, penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang, pembayaran dan penyetoran, pelaporan, pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan Pajak, Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak dan Retribusi, keberatan, gugatan, penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota, dan pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi. Selain itu, Perda ini juga mengatur mengenai pelaksanaan bagi hasil Pajak dan penerimaan Pajak yang diarahkan penggunaannya. Sejalan dengan kebijakan Pajak dan Retribusi dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, Perda ini memuat pengaturan pelaksanaan dalam rangka mendukung kemudahan berusaha dan iklim investasi, di antaranya mengenai mekanisme pemberian dukungan insentif, penyesuaian tarif, evaluasi atas rancangan Perda, dan peraturan pelaksanaannya.
Adapun salah satu perubahan fundamental mengenai dasar pengenaan Pajak adalah kebijakan terkait dasar pengenaan PBB-P2 yaitu melalui pengaturan bahwa dasar pengenaan PBB-P2 yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan, dan kepastian hukum, Perda ini mengatur bahwa penerimaan atas pelayanan objek Retribusi sesuai Undang-Undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai Retribusi. Meskipun demikian, penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Perda ini juga mengatur bahwa seluruh pungutan atas pemanfaatan barang milik daerah menjadi bagian dari Retribusi jasa usaha atas pemanfaatan aset daerah.
Pemerintah Daerah hanya dapat menerbitkan 1 (satu) NPWPD untuk seluruh jenis Pajak yang dihubungkan dengan nomor induk kependudukan untuk Wajib Pajak orang pribadi dan nomor induk berusaha untuk Wajib Pajak Badan. Hal ini sebagai langkah integrasi data perpajakan guna memberikan kemudahan administrasi perpajakan. Selain itu, Pemerintah Daerah tetap didorong agar terus mengedepankan penggalian potensi Pajak secara optimal, salah satunya melalui kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dan pemanfaatan data dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, maupun pihak ketiga dengan tetap menjaga kerahasiaan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama tersebut merupakan langkah optimalisasi pemanfaatan data-data yang semakin memiliki peran vital dalam mendorong peningkatan kinerja fiskal Pemerintah Daerah.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kawasan” adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberikan hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten/kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Nilai jual untuk tanah dan/atau bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) kemudian dikalikan dengan besaran persentase dasar yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 misalnya sebesar 70% (tujuh puluh persen).
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai objek pajak berupa:
Besaran pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Karena tahun pajak dimulai tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak terutang.
Contoh:
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Contoh: Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas bumi dan/atau bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
Wilayah pemungutan PBB-P2 atas Tol A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
Angka 7
Yang dimaksud dengan pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
Angka 8
Yang dimaksud dengan penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Angka 9
Sebagaimana penjelasan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
Angka 10
Yang dimaksud dengan penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
Angka 11
Yang dimaksud dengan peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung tersebut.
Angka 12
Yang dimaksud dengan pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
Angka 13
Yang dimaksud dengan hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
Angka 2
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan
Huruf d
Yang dimaksud dengan hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, bangunan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Untuk “perbuatan hukum lain” yang tidak merubah Subjek Pajak, misal berupa perubahan nama orang pribadi dan/atau Badan berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak merubah status sebagai Subjek Pajak dan Wajib Pajak karena objek pajak masih dimiliki oleh orang pribadi dan/atau Badan, maka dapat dikecualikan sebagai objek BPHTB.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak” adalah surat keputusan (akta) pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Contoh: Tuan A memiliki hak milik atas tanah seluas 5000 m2, kemudian Tuan A memberikan hak guna bangunan di atas tanah tersebut kepada PT XYZ, maka saat terutangnya BPHTB untuk transaksi tersebut adalah pada saat ditandatanganinya surat keputusan (akta) pemberian hak guna bangunan tersebut atas nama PT XYZ.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan)
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara Pemerintah dan badan usaha.
Ayat (4)
Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah dan dapat disinergikan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
Contoh:
Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan Kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) sebagai berikut:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detil rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukakan sepanjang detil rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh:
Pada tahun 2025, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan pemotongan hewan ternak berupa pelayanan pemotongan sapi dan pelayanan pemotongan kambing. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2027, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan pengemasan dan pelayanan ruang pendingin yang merupakan bagian dari pelayanan pemotongan kambing. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Perkada sebagai berikut:
Perkada:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah atau notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Contoh:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi” adalah Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh: Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di suatu daerah pada bulan Juni 2025, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni 2025 yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli 2025 untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 September 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 September 2025 untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di daerah tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Contoh:
Wajib Pajak memiliki Utang Pajak sebesar Rp100.000.000,00 untuk masa Pajak April 2025 yang disetujui oleh Kepala Daerah pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2025 dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan daerah, antara lain:
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.
Identitas Wajib Pajak meliputi:
Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
Ayat (4)
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Wali Kota harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak.
Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal yang dipandang perlu oleh Wali Kota.
Ayat (5)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan daerah, demi kepentingan peradilan, Wali Kota memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (6)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan daerah dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 131 |