Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN
NOMOR 15 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA BANJARMASIN,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
bahwa untuk melak anakan ket ntuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dan Ketentuan Pasal 94 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
|||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
|
|||||||
6.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6858);
|
|||||||
7.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
8.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||||||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 6848);
|
|||||||
13.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
14.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036), sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 157);
|
|||||||
15.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
|
|||||||
16.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Banjarmasin (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2016 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 40) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Banjarmasin (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2021 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 63);
|
|||||||
17.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2021 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 66);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BANJARMASIN
dan
WALI KOTA BANJARMASIN
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
2.
|
Provinsi adalah Provinsi Kalimantan Selatan.
|
|||||||
3.
|
Gubernur adalah Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan.
|
|||||||
4.
|
Daerah adalah Kota Banjarmasin.
|
|||||||
5.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
6.
|
Pemerintah Daerah adalah Wall Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||||||
7.
|
Wali Kota adalah Wall Kota Banjarmasin.
|
|||||||
8.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
9.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wall Kota dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
|||||||
10.
|
Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kota Banjarmasin.
|
|||||||
11.
|
Peraturan Wali Kota adalah Peraturan Wali Kota Banjarmasin.
|
|||||||
12.
|
Keputusan Wali Kota adalah Keputusan Wali Kota Banjarmasin.
|
|||||||
13.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
14.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
15.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
16.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
17.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||||||
18.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
19.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribUsi tertentu.
|
|||||||
20.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
21.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
22.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||||||
23.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||||||
24.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
25.
|
Hale atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
|||||||
26.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||||||
27.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||||||
28.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh ua pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||||||
29.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||||||
30.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di lu badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
31.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||||||
32.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
33.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||||||
34.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||||
35.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchilap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi
|
|||||||
36.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
37.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
38.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
39.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
|||||||
40.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
|||||||
41.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||||||
42.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
43.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
44.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||||||
45.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wall Kota.
|
|||||||
46.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||||||
47.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya Jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran Pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar:
|
|||||||
48.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanJutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||||
49.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
50.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
51.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
52.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
53.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
54.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
55.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
56.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
57.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
|
|||||||
58.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Subyek Pajak atau Penanggung Pajak melunasi· utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||||||
59.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Subyek Pajak atau Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
|||||||
60.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
61.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk mene ajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak tau utan Retribusi.
|
|||||||
62.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||||||
63.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
|||||||
64.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
65.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
66.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
67.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasamya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
68.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
69.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||||||
70.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
71.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
72.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||
73.
|
Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, Pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya.
|
|||||||
74.
|
Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
|
|||||||
75.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||||||
76.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
|
|||||||
77.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah Sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
|||||||
78.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
|||||||
79.
|
Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
80.
|
Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||||||
Jenis Pajak terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
PBB-P2;
|
|||||||
b.
|
BPHTB;
|
|||||||
c.
|
PBJT atas:
|
|||||||
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||||||
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
||||||
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||
e.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
|||||||
f.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||
g.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||||||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||||||
|
c.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||
|
d.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
BPHTB;
|
||||||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||||||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan; dan
|
|||||
|
c.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PBB-P2
Paragraf 1
Subjek, Wajib, dan Objek PBB-P2
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wall Kota; dan
|
||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan PBB-P2
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
|
|||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||||||
(3)
|
NJOP tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota dengan Keputusan Wali Kota.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif PBB-P2
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
untuk NJOP sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun;
|
||||||
|
b.
|
untuk NJOP di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun;
|
||||||
|
c.
|
untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) per tahun.
|
||||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen) per tahun.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Cara Perhitungan
Pasal 9 |
||||||||
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang PBB-P2
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan PBB-P2
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||||||
(2)
|
Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
||||||
|
b.
|
Bangunan yang berada di luar taut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BPHTB
Paragraf 1
Subjek, Wajib, dan Objek BPHTB
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Objek BPHTB yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|||||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|||||
|
|
3.
|
hibah;
|
|||||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|||||
|
|
5.
|
waris;
|
|||||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|||||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|||||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|||||
|
|
13.
|
hadiah.
|
|||||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|||||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|||||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
hak milik;
|
||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||||||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||||||
|
d.
|
hak pakai;
|
||||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||||||
|
c.
|
untuk Badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) diatur dalam Peraturan Wall Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan BPHTB
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk:
|
||||||
|
|
1.
|
tukar menukar;
|
|||||
|
|
2.
|
hibah;
|
|||||
|
|
3.
|
hibah wasiat;
|
|||||
|
|
4.
|
waris;
|
|||||
|
|
5.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
|
|||||
|
|
6.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||
|
|
7.
|
peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||
|
|
8.
|
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|||||
|
|
9.
|
pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak;
|
|||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; dan
|
|||||
|
|
13.
|
hadiah.
|
|||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak perts.ma Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, tennasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||||||
(6)
|
Atas perolehan hak karena hibah wasiat dan waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut pengelolaan dan pemungutan BPHTB diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif BPHTB
Pasal 15 |
||||||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Cara Perhitungan
Pasal 16 |
||||||||
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang BPHTB
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
||||||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan BPHTB
Pasal 18 |
||||||||
Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Lain-lain
Pasal 19 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
|||||||
(2)
|
Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
|||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||||||
|
b.
|
melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||||||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PBJT
Paragraf 1
ObjekPBJT
Pasal 21 |
||||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Makanan dan/atau Minuman
Pasal 22 |
||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||||||
|
a.
|
restoran yang paling sedikit menyediakan pelayanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha di bawah atau sama dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan;
|
||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tenaga Listrik
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi objek PBJT tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b yaitu penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
|
||||||
|
e.
|
masyarakat berpenghasilan rendah dengan konsumsi listrik 450 kwh.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Jasa Perhotelan
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||||||
|
a.
|
hotel;
|
||||||
|
b.
|
hostel;
|
||||||
|
c.
|
vila;
|
||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||||||
|
e.
|
motel;
|
||||||
|
f.
|
losmen;
|
||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||||||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||||||
|
k.
|
glamping.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Jasa Parkir
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Jasa Kesenian dan Hiburan
Pasal 26 |
||||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||||
|
e.
|
pameran;
|
||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||||||
|
1.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
kegiatan pelayanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Subjek dan Wajib PBJT
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Dasar Pengenaan PBJT
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai Rupiah atau mata uang lain.
|
|||||||
(3)
|
Dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai Rupiah atau mata uang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||||||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||||||
(2)
|
Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||||||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||||||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
|
||||||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||||||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||||||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
||||||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Tarif PBJT
Pasal 30 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
tarif Pajak Makanan dan/atau Minuman ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
b.
|
tarif atas Jasa Perhotelan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
c.
|
tarif atas Jasa Parkir ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen); dan
|
||||||
|
d.
|
tarif atas Jasa Kesenian dan Hiburan ditetapkan sebesar 100% (sepuluh persen).
|
||||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen),
|
|||||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Cara Perhitungan
Pasal 31 |
||||||||
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 11
Saat Terutang PBJT
Pasal 32 |
||||||||
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
||||||||
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||||||
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||||||
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||||||
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 12
Wilayah Pemungutan
Pasal 33 |
||||||||
Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Paragraf 1
Subjek, Wajib, dan Subjek Pajak Reklame
Pasal 34 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||||||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||||||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||||||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||||||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||||||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||||||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||||||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||||||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||||||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan
Pasal 36 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hak Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan:
|
|||||||
|
a.
|
faktor jenis;
|
||||||
|
b.
|
bahan yang digunakan;
|
||||||
|
c.
|
lokasi penempatan;
|
||||||
|
d.
|
waktu penayangan;
|
||||||
|
e.
|
jangka waktu penyelenggaraan;
|
||||||
|
f.
|
jumlah; dan
|
||||||
|
g.
|
ukuran media Reklame.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif Pajak Reklame
Pasal 37 |
||||||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Cara Perhitungan Pajak Reklame
Pasal 38 |
||||||||
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang Pajak Reklame
Pasal 39 |
||||||||
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Pajak Reklame
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pajak Sarang Burung Walet
Paragraf 1
Subjek, Wajib, dan Objek Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 41 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 43 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual Sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 44 |
||||||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Cara Perhitungan Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 45 |
||||||||
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 46 |
||||||||
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Walet
Pasal 47 |
||||||||
Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Opsen PKB
Paragraf 1
Subjek, Wajib, dan Objek Pajak Opsen PKB
Pasal 48 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||||
Objek opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Opsen PKB
Pasal 50 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif Pajak Opsen PKB
Pasal 51 |
||||||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Cara Perhitungan Pajak Opsen PKB
Pasal 52 |
||||||||
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang Pajak Opsen PKB
Pasal 53 |
||||||||
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pungutan
Pasal 54 |
||||||||
Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Opsen BBNKB
Paragraf 1
Wajib Pajak Opsen BBNKB
Pasal 55 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
|||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Opsen BBNKB
Pasal 57 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif Pajak Opsen BBNKB
Pasal 58 |
||||||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Cara Perhitungan Pajak Opsen BBNKB
Pasal 59 |
||||||||
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBKNB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dengan tarif Opsen BBKNB sebagaimana dimaksud pada Pasal 58.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang Pajak Opsen BBNKB
Pasal 60 |
||||||||
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Pajak Opsen BBNKB
Pasal 61 |
||||||||
Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wall Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan Peraturan Wall Kota.
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wall Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 63 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||||||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 64 |
||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Subjek, Wajib, dan Objek Retribusi Jasa Umum
Pasal 65 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar; dan
|
||||||
|
e.
|
pengen alian lalu lintas.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan
Pasal 67 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
|||||||
(2)
|
Tarif retribusi pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai rupiah yang besarannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan Kebersihan
Pasal 68 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||||||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||||||
(3)
|
Tarif retribusi pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa nilai rupiah yang besarannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum
Pasal 69 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Tarif retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai rupiah yang besarannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Pasar
Pasal 70 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Besaran tarif retribusi pelayanan pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa nilai rupiah yang besarannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pengendalian Lalu Lintas
Pasal 71 |
||||||||
(1)
|
Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna kendaraan bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Jasa Umum
Pasal 72 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis/kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian parkir; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar, jenis pemakaian fasilitas pasar dan/atau luas fasilitas pasar yang digunakan.
|
||||||
(3)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 73 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan:
|
|||||||
|
a.
|
biaya penyediaan jasa yang bersangkutan;
|
||||||
|
b.
|
kemampuan masyarakat;
|
||||||
|
c.
|
aspek keadilan; dan
|
||||||
|
d.
|
efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
biaya operasional dan pemeliharaan;
|
||||||
|
b.
|
biaya bunga; dan
|
||||||
|
c.
|
biaya modal.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif banya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Subjek, Wajib, dan Objek Retribusi Jasa Usaha
Pasal 75 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, basil bumi, dan basil butan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||||||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||||||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
h.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
||||||
|
i.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
j.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota disampaikan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha
Pasal 77 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya
Pasal 78 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan basil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||||||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan
Pasal 79 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Penyediaan Tempat Penginapan atau Pesanggrahan atau Vila
Pasal 80 |
||||||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
Pasal 81 |
||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
Pasal 82 |
||||||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
Pasal 83 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang Dengan Menggunakan Kendaraan di Air
Pasal 84 |
||||||||
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
Pasal 85 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 11
Pemanfaatan Aset Daerah
Pasal 86 |
||||||||
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf j merupakan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 12
Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Jasa Usaha
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
|
||||||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan;
|
||||||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
h.
|
pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air;
|
||||||
|
i.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||||||
|
j.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 13
Prinsip Dan Sasaran Dalam Penetapan Besarnya Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditunjukkan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 14
Besaran Retribusi Jasa Usaha
Pasal 89 |
||||||||
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran V, Lampiran VI, Lampiran VII, Lampiran VIII, Lampiran IX, Lampiran X, Lampiran XI, Lampiran XII, Lampiran Xlll dan Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 15
Lain-lain
Pasal 91 |
||||||||
(1)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur, tata cara perhitungan tarifnya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
||||||
(2)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wall Kota.
|
|||||||
(3)
|
Penetapan Peraturan Wall Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Subjek, Wajib, dan Objek Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 92 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
PBG; dan
|
||||||
|
b.
|
PTKA.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan PBG
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
|
|||||||
|
a.
|
layanan konsultasi pemenuhan standar teknis;
|
||||||
|
b.
|
penerbitan PBG;
|
||||||
|
c.
|
inspeksi Bangunan Gedung;
|
||||||
|
d.
|
penerbitan SLF dan SBKBG; dan
|
||||||
|
e.
|
pencetakan plakat SLF.
|
||||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||||||
|
a.
|
pembangunan baru;
|
||||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
||||||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|||||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|||||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|||||
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||||||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan dan peribadatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan TKA
Pasal 95 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu PTKA oleh instansi Pemerintah Pusat, instansi Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, Sadan Internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Perizinan Tertentu
Pasal 96 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan penggunaan TKA diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
|
||||||
(3)
|
Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
|||||
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
|
|||||
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Volume;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Prinsip Dan Sasaran Dalam Penetapan Besarnya Tarif Retribusi Pelayanan Perizinan Tertentu
Pasal 97 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya:
|
|||||||
|
a.
|
penerbitan dokumen izin;
|
||||||
|
b.
|
pengawasan;
|
||||||
|
c.
|
penegakan hukum;
|
||||||
d. | Penatausahaan; dan/atau | |||||||
|
e.
|
biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
||||||
(3)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Besaran Retribusi Pelayanan Perizinan Tertentu
Pasal 98 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
||||||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran XV dan Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 100 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 101 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan;
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
|
||||||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 103 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wall Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||||||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||||||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
|
||||||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||||||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
|||||||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 106 |
||||||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau Objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi dan/atau sanksinya diatur dalam Peraturan Wall Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 107 |
||||||||
(1)
|
Wall Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak berupa:
|
|||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wall Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wall Kota.
|
|||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
|||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||
(7)
|
Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau pemindaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
|
||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 108 |
||||||||
(1)
|
Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wall Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wall Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Pennintaan hakim yang mendapatkan izin dari Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
PENINJAUAN TARIF RETRIBUSI
Pasal 109 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
||||||||
(1)
|
Peninjauan tarif Retribusi khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel HSBGN/SHST dan Indeks Lokalitas.
|
|||||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 111 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 112 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||||||
(1)
|
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal 114 adalah pelanggaran.
|
|||||||
(2)
|
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal 114 merupakan pendapatan negara.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116 |
||||||||
(1)
|
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
|||||||
|
a.
|
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
||||||
|
b.
|
Peraturan Wali Kota pelaksanaan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah ada masih tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Wali Kota berdasarkan Peraturan Daerah ini;
|
||||||
|
c.
|
ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada 5 Januari 2025.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 117 |
||||||||
Pada saat ketentuan Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6842) berlaku, maka:
|
||||||||
a.
|
pidana kurungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 diganti dengan pidana denda paling banyak kategori II.
|
|||||||
b.
|
pidana denda kategori II sebagaimana dimaksud pada huruf a, Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
|
|||||||
c.
|
Pidana kurungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 diganti dengan pidana denda paling banyak kategori I.
|
|||||||
d.
|
pidana denda kategori I sebagaimana dimaksud pada huruf c, Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 118 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 20 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2010 Nomor 21) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 28 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2014 Nomor 28);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2010 Nomor 21) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 12 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2018 Nomor 12);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2010 Nomor 24);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 1 Tahun 2011 tentang Retribusi di Bidang Pelayanan Pertanian dan Perikanan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 Nomor 1);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Sarang Burung Walet (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Sarang Burung Walet (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2016 Nomor 3);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 Nomor 7);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 Nomor 8) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2016 Nomor 2);
|
|||||||
h.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 Nomor 9) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 29 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2014 Nomor 29);
|
|||||||
i.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2017 Nomor 16);
|
|||||||
j.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 Nomor 11);
|
|||||||
k.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 Nomor 12);
|
|||||||
l.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 Nomor 17) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2018 Nomor 4);
|
|||||||
m.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2015 Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2015 Nomor 10);
|
|||||||
n.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 3);
|
|||||||
o.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 4);
|
|||||||
p.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2018 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 51);
|
|||||||
q.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 7);
|
|||||||
r.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 8 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 8);
|
|||||||
s.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 12 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 12);
|
|||||||
t.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 27);
|
|||||||
u.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 16 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 16) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 8 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 16 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2019 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 55);
|
|||||||
v.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 17 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 17);
|
|||||||
w.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 23 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2012 Nomor 23);
|
|||||||
x.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 7 Tahun 2017 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2017 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 47);
|
|||||||
y.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 7 Tahun 2019 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2019 Nomor 7);
|
|||||||
z.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 9 Tahun 2019 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2019 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 56);
|
|||||||
aa.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 6 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2020 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 61);
|
|||||||
bb.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 6 Tahun 2023 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2023 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 76);
|
|||||||
cc.
|
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 7 Tahun 2023 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2023 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Nomor 77);
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 119 |
||||||||
Peraturan Wali Kota sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini sudah harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 120 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2024.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Banjarmasin.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Banjarmasin
pada tanggal 29 Desember 2023
WALI KOTA BANJARMASIN,
dto.
IBNU SINA
Diundangkan di Banjarmasin
pada tanggal 29 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH KOTA BANJARMASIN,
dto.
IKHSAN BUDIMAN
LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TAHUN 2023 NOMOR 15
|
||||||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN
NOMOR 15 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
I.
|
UMUM
|
||
|
Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut pajak dan retribusi dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan undang-undang yang mengatur tentang cipta kerja.
Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
Dasar pengenaan, saat terutang, dan wilayah pemungutan Pajak merupakan beberapa komponen utama dalam penghitungan pajak terutang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa penetapan besaran pengenaan Pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
Untuk meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan, dan kepastian hukum, penerimaan atas pelayanan objek Retribusi sesuai undang undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai Retribusi. Meskipun demikian, penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, seluruh pungutan atas pemanfaatan barang milik daerah menjadi bagian dari Retribusi jasa usaha atas pemanfaatan aset daerah.
Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasaan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Jumlah atas Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah.
|
||
|
|||
|
|||
|
|||
|
|||
|
|||
|
|
|
|
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu" adalah waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu dimana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pasar tradisional atau sederhana" adalah suatu area tertentu tempat bertemunya pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dengan proses jual bell berbagai jenis barang konsumsi melalui tawar menawar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
|
||
|
|
|
|
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 82
|