Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU
    NOMOR 11 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA BANJARBARU,
     
     
     
     
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Banjarbaru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3822);
    2.
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
    3.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
    4.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 224, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    5.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6756);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5888) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    12.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    13.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
    14.
    Peraturan Daerah Kota Banjarbaru Nomor 12 tahun 2022 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2022 Nomor 12);
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BANJARBARU
    dan
    WALI KOTA BANJARBARU
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah, ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    2.
    Daerah adalah Kota Banjarbaru.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    4.
    Wali Kota adalah Wali Kota Banjarbaru.
    5.
    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    6.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    7.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    8.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    9.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    10.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    11.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    12.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    13.
    Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    14.
    Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    15.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    16.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    17.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    18.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    19.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    20.
    Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran.
    21.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    22.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    23.
    Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
    24.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    25.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    26.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    27.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    28.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    29.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    30.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    31.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    32.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    33.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    34.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    35.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    36.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    37.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    38.
    Masa pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Wali Kota paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang menjadi dasar wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terhutang.
    39.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    40.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran Pajak, Objek Pajak, dan/atau bukan Objek Pajak dan/atau Harta dan Kewajiban sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan Daerah;
    41.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak;
    42.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    43.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak dan retribusi, penentuan besarnya pajak dan retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak dan retribusi kepada Wajib Pajak dan Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    44.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
    45.
    Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
    46.
    Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Wali Kota menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah.
    47.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    48.
    Subjek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa dan/atau perizinan.
    49.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi tertentu.
    50.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
    51.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    52.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    53.
    Retribusi pelayanan kesehatan adalah retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan kesehatan di tempat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
    54.
    Retribusi Pelayanan Kebersihan adalah pungutan yang dilakukan kepada setiap orang pribadi atau badan atas jasa pelayanan persampahan, pengolahan limbah cair dan pelayanan penyedotan kakus/tangki septik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
    55.
    Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat parkir di tepi jalan umum.
    56.
    Retribusi Pelayanan Pasar adalah Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas penggunaan fasilitas Pasar Daerah.
    57.
    Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lain.
    58.
    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan dan tempat kegiatan usaha lainnya adalah penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan dan tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
    59.
    Penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan adalah penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    60.
    Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang ditentukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
    61.
    Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa adalah penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    62.
    Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak adalah pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    63.
    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga yang disediakan, dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    64.
    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah adalah penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah termasuk penyediaan barang dan/atau jasa pelayanan umum.
    65.
    Pemanfaatan Aset Daerah adalah pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai pengelolaan Barang Milik Daerah dengan tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum.
    66.
    Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat Retribusi PBG adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    67.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    68.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    69.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan bangunan gedung.
    70.
    Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah pungutan atas pemberian izin penggunaan tenaga kerja asing kepada pemberi kerja tenaga kerja asing.
    71.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
    72.
    Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kota Banjarbaru.
    73.
    Peraturan Wali Kota adalah Peraturan Wali Kota Banjarbaru.
    74.
    Keputusan Wali Kota adalah Keputusan Wali Kota Banjarbaru.
     
     
     
     
     
    BAB II
    JENIS PAJAK
     

    Pasal 2

    (1)
    Jenis Pajak Daerah, terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT;
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak yang ditetapkan oleh Wali Kota terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak, terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT;
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
     
    c.
    Pajak Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB-P2
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib PBB-P2
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit) atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut PBB oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan PBB-P2
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (6)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
    (7)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (8)
    Wali Kota menetapkan besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (9)
    Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
    (10)
    Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan dan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    Untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma dua persen) per tahun;
    b.
    Untuk NJOP lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun;
    c.
    Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,09% (nol koma nol sembilan persen) per tahun.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Masa Pajak dan Saat Terutangnya PBB-P2
     

    Pasal 8

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan ariff PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (2)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (3)
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang merupakan letak objek PBB-P2.
    (4)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah daerah kabupaten atau kota tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BPHTB
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib BPHTB
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah.
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    diluar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; perlu penjelasan;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan BPHTB
     

    Pasal 12

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan Objek Pajak.
    (2)
    Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk:
     
     
    1.
    tukar menukar;
     
     
    2.
    hibah;
     
     
    3.
    hibah wasiat;
     
     
    4.
    waris;
     
     
    5.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
     
     
    6.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    7.
    peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    8.
    pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
     
    9.
    pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    pemekaran usaha;
     
     
    12.
    peleburan usaha;
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    c.
    penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Saat Terutangnya Pajak
     

    Pasal 15

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (3)
    Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PBJT
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib PBJT
     

    Pasal 16

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Makanan dan/atau Minuman
     

    Pasal 18

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) setiap bulannya;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Tenaga Listrik
     

    Pasal 19

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara Negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Jasa Perhotelan
     

    Pasal 20

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    villa;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Jasa Parkir
     

    Pasal 21

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Jasa Kesenian dan Hiburan
     

    Pasal 22

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan PBJT
     

    Pasal 23

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Saat Terutangnya PBJT
     

    Pasal 26

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
    (2)
    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
    (3)
    Saat terutangnya PBJT dihitung pada saat:
     
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 27

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan
     
    e.
    Penyelenggaraan reklame yang semata-mata mengenai kepemilikan dan peruntukan tanah, reklame yang memuat nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau tempat usaha atau profesi yang ukurannya tidak melebihi 1 m2 (satu) meter persegi dan hanya satu objek saja.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklame dari nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak
     

    Pasal 29

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan Sebesar 25%.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Saat Terutangnya Pajak
     

    Pasal 31

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
    (2)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (3)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    PAT
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib PAT
     

    Pasal 33

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan; dan
    (3)
    Peternakan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d adalah Peternakan Rakyat skala kecil.
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan PAT
     

    Pasal 35

    (1)
    Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Saat Terutangnya PAT
     

    Pasal 37

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
    (2)
    PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (3)
    Saat terutang PAT ditetapkan pada saat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Sarang Burung Walet
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 38

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak
     

    Pasal 40

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual Sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Saat Terutangnya Pajak
     

    Pasal 42

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Opsen
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Opsen PKB
     

    Pasal 45

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Opsen PKB
     

    Pasal 47

    Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB dengan tarif Opsen PKB.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Saat Terutangnya Opesen PKB
     

    Pasal 50

    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Objek, Subjek dan Wajib Opsen BBNKB
     

    Pasal 52

    Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Opsen BBNKB
     

    Pasal 54

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB dengan tarif Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Saat Terutangnya Opsen BBNKB
     

    Pasal 57

    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Wilayah Pungutan Opsen BBNKB
     

    Pasal 58

    Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
    BAB III
    TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN PAJAK
     

    Pasal 59

    (1)
    Pembayaran Pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh Wali Kota sesuai waktu yang ditentukan dalam SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD.
    (2)
    Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, hasil penerimaan pajak harus disetor ke Kas Daerah paling lambat 1 x 24 jam atau dalam waktu yang telah ditentukan oleh Wali Kota.
    (3)
    Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan menggunakan SSPD.
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas.
    (2)
    Wali Kota dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur pajak terutang pada kurun waktu tertentu, setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
    (3)
    Angsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara teratur dan berturut-turut dengan dikenakan bunga 2% (dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang bayar.
    (4)
    Wali Kota dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak menunda pembayaran pajak sampai batas waktu yang ditentukan setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dengan dikenakan bunga 2% (dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang bayar.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Persyaratan untuk mengangsur dan menunda pembayaran serta tata cara pembayaran angsuran dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    (1)
    Wali Kota menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutang pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
    (2)
    Wali Kota menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 10 (sepuluh) hari kerja untuk PBJT, sarang burung walet, setelah saat terutang pajak.
    (3)
    Wali Kota menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama tanggal terakhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak untuk Pajak Reklame dan PAT.
    (4)
    SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
    (5)
    Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
    (6)
    Ketentuan lebih mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran, serta penagihan pajak diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    (1)
    Pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
    (2)
    BPHTB yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, STPD, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang tidak atau kurang bayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
    (3)
    Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN PAJAK
     

    Pasal 63

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak.
    (2)
    Wali Kota dalam memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan permohonan Wajib Pajak dan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak.
    (3)
    Wali Kota dapat menunjuk pejabat pengelola Pajak Daerah untuk memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB V
    TATA CARA PEMBETULAN, PEMBATALAN PENGURANGAN KETETAPAN DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI
     

    Pasal 64

    (1)
    Wali Kota melalui pejabat pengelola Pajak Daerah atas permohonan Wajib Pajak dapat:
     
    a.
    membetulkan SKPD dan SKPDKB dan SKPDKBT atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penetapan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah;
     
    b.
    membatalkan atau mengurangkan ketetapan pajak yang tidak benar;
     
    c.
    mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan pajak yang terutang dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kehilangan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya.
    (2)
    Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atau SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD dengan memberikan alasan yang jelas.
    (3)
    Wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima sudah harus memberikan keputusan.
    (4)
    Apabila setelah lewat 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah tidak memberikan keputusan, Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi dianggap dikabulkan.
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KEBERATAN DAN BANDING
     

    Pasal 65

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah yang ditunjuk atas suatu:
     
    a.
    SKPD;
     
    b.
    SKPDKB;
     
    c.
    SKPDKBT;
     
    d.
    SKPDLB; dan
     
    e.
    SKPDN.
    (2)
    Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD diterima oleh wajib pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan.
    (3)
    Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
    (4)
    Wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima sudah memberikan putusan.
    (5)
    Apabila setelah lewat 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah tidak memberikan keputusan, permohonan keberatan dianggap dikabulkan.
    (6)
    Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda kewajiban membayar pajak.
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya keputusan keberatan.
    (2)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keberatan tersebut.
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Apabila pengajuan keberatan atau banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambahkan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan untuk paling lambat selama 24 (dua puluh empat) bulan.
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
     

    Pasal 68

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah secara tertulis dengan menyebutkan paling sedikit:
     
    a.
    nama dan alamat Wajib Pajak;
     
    b.
    masa pajak;
     
    c.
    besarnya kelebihan pembayaran pajak;
     
    d.
    alasan yang jelas.
    (2)
    Wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.
    (3)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampaui, Wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah tidak memberikan keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    (4)
    Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak dimaksud.
    (5)
    Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB dengan menerbitkan SPMKP.
    (6)
    Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB, Wali Kota atau pejabat pengelola pajak daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan kelebihan pembayaran pajak.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    Apabila kelebihan pembayaran pajak diperhitungkan dengan utang pajak lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, pembayarannya dilakukan dengan cara pemindahbukuan dan bukti pemindahbukukan juga berlaku sebagai bukti pembayaran.
     
     
     
     
     

    BAB VIII

    KEDALUWARSA PENAGIHAN

     

    Pasal 70

    (1)
    Hak untuk melakukan penagihan pajak, kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah.
    (2)
    Kadaluarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
     
    b.
    ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kadaluarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
    (4)
    Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah wajib pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Piutang pajak dan retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Wali Kota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kadaluarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kadaluarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB IX
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 72

    (1)
    Setiap pejabat pengelola pajak daerah dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dan Retribusi dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat pengelola pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dan Wajib Retribusi kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat pengelola pajak dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
    BAB X
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi Daerah
     

    Pasal 73

    Jenis Retribusi terdiri dari:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Jenis Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 74

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum;
     
    d.
    pelayanan pasar; dan
     
    e.
    pengendalian lalu lintas.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dibidang Keuangan Negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
    (8)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (9)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Retribusi Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 75

    Objek Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a adalah setiap pelayanan kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui Puskesmas, Puskesmas keliling, Puskesmas pembantu, Rumah Sakit Umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Retribusi Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 76

    (1)
    Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam 74 ayat (1) huruf b adalah pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan/pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi jalan Umum
     

    Pasal 77

    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73/74 ayat (1) huruf c adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Retribusi Pelayanan Pasar
     

    Pasal 78

    Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf d adalah penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana yang berupa peralatan, los yang dikelola Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Rincian Obyek dan Subjek Retribusi Pengendalian Lalu Lintas Paragraf 1
     

    Pasal 79

    (1)
    Pengendalian Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf e adalah pengguna ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh kendaraan bermotor perseorangan dan barang.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai mengenai pengendalian lalu lintas diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 80

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir;
     
    d.
    pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar; dan
     
    e.
    pengendalian lalu lintas diukur berdasarkan lokasi ruas jalan tempat pemberian pelayanan, waktu penggunaan pelayanan, dan/atau jenis Kendaraan Bermotor.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Tarif Retribusi
     

    Pasal 81

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 84

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    h.
    pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 85

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha
     

    Pasal 86

    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha berupa pasar grosir, pertokoan dan Tempat Usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a adalah penyediaan fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penyedian Tempat Pelelangan
     

    Pasal 87

    (1)
    Hasil Bumi dan Hasil Hutan termasuk Fasilitas Lainnya Dalam Lingkungan Tempat Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi dan Hasil Hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir Diluar Badan Jalan
     

    Pasal 88

    Objek Retribusi Tempat Khusus Parkir diluar badan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf c adalah pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
     

    Pasal 89

    Objek Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf d adalah pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     

    Pasal 90

    Objek Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf e adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga
     

    Pasal 91

    Objek Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf f adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     

    Pasal 92

    Objek Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf g adalah penjualan hasil produksi usaha yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Pemanfaatan Aset Daerah
     

    Pasal 93

    Pemanfaatan asset daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf h merupakan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 94

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    h.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah
     
     
     
     
     
    Paragraf 12
    Tarif Retribusi
     

    Pasal 95

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur, tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
    (4)
    Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (5)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 13
    Tata Cara Penghitungan Besaran Tarif Pelayanan Pemanfaatan Aset Daerah Berupa Pemanfaatan Barang Milik Daerah
     

    Pasal 98

    (1)
    Tata cara penghitungan besaran tarif pelayanan pemanfaatan barang milik daerah ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    besaran tarif sewa barang milik daerah berupa hasil perkalian dari tarif pokok sewa dan faktor penyesuaian sewa;
     
    b.
    hasil KSP berupa pendapatan daerah yang terdiri atas kontribusi tetap dan pembagian keuntungan ditetapkan oleh Tim berdasarkan hasil perhitungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    hasil BGS/BSG berupa kontribusi tahunan yang merupakan pendapatan daerah dihitung oleh Tim yang dibentuk oleh Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
     
    d.
    besaran pendapatan daerah dari kerja sama penyediaan infrastruktur berupa pembagian kelebihan keuntungan (clawback) dihitung berdasarkan hasil kajian oleh Tim KSPI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghitungan besaran tarif pelayanan pemanfaatan barang miliki daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Jenis Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 99

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf c meliputi:
     
    a.
    persetujuan bangunan gedung; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 100

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Persetujuan Bangunan Gedung
     

    Pasal 101

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
     
    a.
    pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan PBG;
     
    c.
    inspeksi Bangunan Gedung;
     
    d.
    penerbitan SLF dan SBKBG; dan
     
    e.
    pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    Pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
     
    d.
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing
     

    Pasal 102

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) huruf b adalah pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, instansi Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 103

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Luas Total Lantai;
     
     
    2.
    Indeks Lokalitas;
     
     
    3.
    Indeks Terintegrasi; dan
     
     
    4.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Volume;
     
     
    2.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Tarif Retribusi
     

    Pasal 104

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (5)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
    (7)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (8)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB XI
    PENINJAUAN TARIF RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 107

    (1)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB XII
    WILAYAH PEMUNGUTAN RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 108

    Retribusi Daerah dipungut di wilayah Daerah dan di tempat pemanfaatan obyek retribusi.
     
     
     
     
     
    BAB XXIII
    PEMBAYARAN DAN PENYETORAN
     

    Pasal 109

    (1)
    SKPD penghasil menerbitkan SKRD yang kemudian, yang dapat dibayarkan melalui bendahara penerima dan/atau ke Kas Daerah.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pembayaran dan penyetoran Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    PENGURANGAN, PEMBETULAN, DAN PEMBATALAN KETETAPAN RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 110

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan Pengurangan, Pembetulan dan Pembatalan atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam ketetapan Retribusi.
    (2)
    Pemberian Pengurangan, Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan Retribusi Daerah dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengurangan, Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan Retribusi Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    BAB XV
    PENAGIHAN RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 111

    (1)
    Penagihan Retribusi terhutang didahului dengan Surat Teguran.
    (2)
    Pengeluaran Surat Teguran/Peringatan/Surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan segera setelah 7 (tujuh) hari saat jatuh tempo pembayaran.
    (3)
    Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal hari Surat teguran/Peringatan/Surat lain yang sejenis, wajib retribusi harus melunasi retribusi yang terhutang.
    (4)
    Surat teguran sebagaimana dimaksud ayat (1) dikeluarkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
    (5)
    Tata cara penagihan dan penerbitan Surat Teguran/peringatan/surat lain yang sejenis diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB XVI
    KEBERATAN
     

    Pasal 112

    (1)
    Wajib Retribusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
     
    a.
    SKRD;
     
    b.
    SKRDKB;
     
    c.
    SKRDKBT;
     
    d.
    SKRDLB; dan
     
    e.
    SKRDN.
    (2)
    Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD, SKRDKB, SKRDKBT dan STRD diterima oleh wajib pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan.
    (3)
    Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara keberatan diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB XVII
    PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 113

    (1)
    Atas kelebihan pembayaran Retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali Kota.
    (2)
    Wali Kota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (3)
    Wali Kota dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (4)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Wali Kota tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    (5)
    Apabila Wajib Retribusi mempunyai utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Retribusi tersebut.
    (6)
    Pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
    (7)
    Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Wali Kota memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan Retribusi.
    (8)
    Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB XVIII
    PENGHAPUSAN PIUTANG RETRIBUSI
     

    Pasal 114

    (1)
    Piutang retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Wali Kota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang retribusi yang sudah kadaluarsa.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang retribusi yang sudah kadaluarsa diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB XIX
    PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 115

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi.
    (2)
    Pengurangan dan keringanan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan kemampuan wajib retribusi.
    (3)
    Pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat diberikan dengan memperhatikan fungsi objek retribusi.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi, diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
    BAB XX
    INSENTIF PEMUNGUTAN
     

    Pasal 116

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali kota dan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    BAB XXI
    INSENTIF FISKAL PAJAK DAN RETRIBUSI BAGI PELAKU USAHA
     

    Pasal 117

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1).
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
    BAB XXI
    KERJA SAMA OPTIMALISASI PEMUNGUTAN PAJAK DAN PEMANFAATAN DATA
     
    Paragraf 1
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
     

    Pasal 120

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
     
    a.
    Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Daerah lain; dan/atau
     
    c.
    pihak ketiga.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    c.
    pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
    (4)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat:
     
    a.
    mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1); dan
     
    b.
    menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1).
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
    (3)
    Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
    (4)
    Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
     
    a.
    subjek kerja sama;
     
    b.
    maksud dan tujuan;
     
    c.
    ruang lingkup;
     
    d.
    hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
     
    e.
    jangka waktu perjanjian;
     
    f.
    sumber pembiayaan;
     
    g.
    penyelesaian perselisihan;
     
    h.
    sanksi;
     
    i.
    korespondensi; dan
     
    j.
    perubahan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
     

    Pasal 122

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
     
     
     
     
     
    BAB XXII
    PENGGUNAAN HASIL PENERIMAAN PAJAK UNTUK KEGIATAN YANG TELAH DITENTUKAN
     

    Pasal 123

    (1)
    Hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup Di Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
    BAB XXIII
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 124

    (1)
    Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan retribusi daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan retribusi daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan dan retribusi daerah Daerah;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan retribusi daerah Daerah;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan retribusi daerah;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan retribusi daerah;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan dan retribusi daerah;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Po1isi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
    BAB XXIV
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 125

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    (1)
    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dan Pasal 123 merupakan pendapatan negara.
    (2)
    Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dan Pasal 123 adalah pelanggaran.
     
     
     
     
     
    BAB XXV
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 129

    (1)
    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
     
    a.
    terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
    b.
    Peraturan Wali Kota pelaksanaan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah ada masih tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Wali Kota berdasarkan Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    ketentuan terkait pungutan atas pelayanan yang merupakan objek Retribusi oleh BLUD dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Wali Kota mengenai pengelolaan BLUD dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881) paling lama sampai dengan tanggal 4 Januari 2024;
    b.
    ketentuan terkait penerimaan atas pemanfaatan aset daerah berupa barang milik daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Wali Kota mengenai pengelolaan barang milik daerah dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini paling lama sampai dengan tanggal 4 Januari 2024; dan
    c.
    ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 115 ayat (1), hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    Pada saat ketentuan Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6842) berlaku, maka:
    a.
    pidana kurungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dan Pasal 119 diganti dengan pidana denda paling banyak kategori II; dan
    b.
    pidana denda kategori II sebagaimana dimaksud pada huruf a, Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
     
     
     
     
     
    BAB XXVI
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 133

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2000 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2000 Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2000 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2003 Nomor 6);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Trayek dan Operasi Angkutan Orang (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2000 Nomor 23);
    c.
    Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2001 tentang Retribusi Pengawasan Sanitasi Tempat-tempat Umum dan Tempat Pengelolaan Makanan dan Minuman (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2001 Nomor 10);
    d.
    Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Gangguan;
    e.
    Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2008 Nomor 12);
    f.
    Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Puskesmas se Kota Banjarbaru (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 8);
    g.
    Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 9) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2021 Nomor 11);
    h.
    Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar dan Retribusi Pasar Pertokoan (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar dan Retribusi Pasar Pertokoan (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2021 Nomor 5);
    i.
    Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 13);
    j.
    Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 24);
    k.
    Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 25) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2021 Nomor 11);
    l.
    Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 26);
    m.
    Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kota Banjarbaru (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 28) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kota Banjarbaru (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2016 Nomor 12);
    n.
    Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di RSUD Banjarbaru (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 29);
    o.
    Peraturan Daerah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 30);
    p.
    Peraturan Daerah Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah Bidang Perikanan (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 31) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah Bidang Perikanan (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2019 Nomor 14);
    q.
    Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan dan Pengelolaan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2011 Nomor 32) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan dan Pengelolaan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2016 Nomor 3);
    r.
    Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2016 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Atas Laboratorium Lingkungan pada Badan Lingkungan Hidup Kota Banjarbaru (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2016 Nomor 1);
    s.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2018 Nomor 4);
    t.
    Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2018 Nomor 5);
    u.
    Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2020 Nomor 5);
    v.
    Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Retribusi Penyedotan Kakus dan Retribusi Pengolahan Limbah Cair Domestik (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2020 Nomor 6); dan
    w.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Banjarbaru Tahun 2022 Nomor 4),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    Peraturan Wali Kota sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     

    Pasal 135

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
    Agar setiap Orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Kota Banjarbaru.
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Banjarbaru
    pada tanggal 29 Desember 2023
    WALI KOTA BANJARBARU,
    ttd.
    M. ADITYA MUFTI ARIFFIN
     
    Diundangkan di Banjarbaru
    pada tanggal 29 Desember 2023
    SEKRETARIS DAERAH,
    ttd.
    SAID ABDULLAH
     
    LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARBARU TAHUN 2023 NOMOR 11

    Perda Nomor: 11 TAHUN 2023