Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO
    NOMOR 11 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH 
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI WONOSOBO,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa untuk terlaksananya prinsip akuntabilitas dan prinsip efektifitas dalam pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten Wonosobo maka perlu disusun peraturan daerah yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah;
    b.
    bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian daerah yang berdasarkan demokrasi, pemerataan dan keadilan dengan memperhatikan potensi daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka pengaturan tentang pajak daerah dan retribusi daerah disusun dalam satu peraturan daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 42);
    3.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    4.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6853);
    5.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN WONOSOBO
    dan
    BUPATI WONOSOBO
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuatan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    2.
    Daerah adalah Kabupaten Wonosobo.
    3.
    Bupati adalah Bupati Wonosobo.
    4.
    Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Otonom.
    5.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah.
    6.
    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    7.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
    8.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    9.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    10.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
    11.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    12.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    13.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    14.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    15.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    16.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    17.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    18.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan Bangunan.
    19.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    20.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    21.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    22.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    23.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    24.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    25.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
    26.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknis berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    27.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    28.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    29.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    30.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    31.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    32.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    33.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    34.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    35.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    36.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan Daerah atas pokok Pajak Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    37.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan Daerah atas pokok bea balik nama kendaraan bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    38.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    39.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    40.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    41.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    42.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    43.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    44.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 2

    Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
    a.
    Pajak;
    b.
    Retribusi;
    c.
    Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi;
    d.
    Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan atas Pokok Pajak/Retribusi
    e.
    Kerahasiaan data Wajib Pajak;
    f.
    Sinergitas;
    g.
    Ketentuan penyidikan; dan
    h.
    Sanksi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 3

    Jenis Pajak yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
    a.
    PBB-P2;
    b.
    BPHTB;
    c.
    PBJT;
    d.
    Pajak Reklame;
    e.
    PAT;
    f.
    Pajak MBLB;
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
    h.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor; dan
    i.
    Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas;
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir;
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
     
    c.
    Pajak MBLB; dan
     
    d.
    Pajak Sarang Burung Walet.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
    (5)
    Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 5

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    PBB-P2
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 6

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah Pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam/kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu, lintas raya terpadu atau sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 7

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 8

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
    (6)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam Daerah.
    (7)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
    (8)
    Besaran NJOP ditetapkan oleh Keputusan Bupati.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Bupati yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    Untuk NJOP kurang dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar 0,12% (nol koma satu dua persen); dan
     
    b.
    Untuk NJOP lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar 0,24% (nol koma dua empat persen).
    (2)
    Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    Untuk NJOP kurang dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar 0,1% (nol koma satu persen); dan
     
    b.
    Untuk NJOP lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 11

    Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 12

    (1)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    BPHTB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 13

    (1)
    Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor pemerintah, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut sebagaimana diatur sesuai dengan Peraturan Menteri yang membidangi keuangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 14

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 15

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 18

    BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 19

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikat jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan/atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tata Cara Pelaporan
     

    Pasal 20

    Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris sesuai kewenangannya wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    PBJT
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 23

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau catering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir;
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawan sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik;
     
    d.
    jasa tempat parkir dalam pemukiman penduduk yang disediakan bagi warga kompleks pemukiman bersangkutan;
     
    e.
    jasa tempat parkir yang disediakan oleh pemilik toko/usaha dan/atau sejenisnya untuk konsumen dengan tidak dipungut bayaran; dan
     
    f.
    jasa tempat parkir berupa penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan Kendaraan Bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan
     
    c.
    hiburan yang diselenggarakan dalam pernikahan, khitanan, upacara adat dan/atau kegiatan keagamaan dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 29

    (1)
    Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 30

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    Jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variable yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    Jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), penyedia tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 34

    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 35 

    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
    a.
    pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
    c.
    pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
    d.
    pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
    e.
    pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Saat terutang PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif PBJT atas Tenaga Listrik dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak dan retribusi daerah.
    (2)
    Masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan PBJT atas Tenaga Listrik yang terutang.
    (3)
    Masa Pajak dan Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 37

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 38

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 39

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    jenis;
     
    b.
    bahan yang digunakan;
     
    c.
    lokasi penempatan;
     
    d.
    waktu penayangan;
     
    e.
    jangka waktu penyelenggaraan;
     
    f.
    jumlah; dan
     
    g.
    ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dengan Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 42

    (1)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (2)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 43

    Saat terutangnya Pajak Reklame dihitung sejak saat Reklame diselenggarakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    PAT
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 44

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan; dan
     
    f.
    kegiatan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 45

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 46

    (1)
    Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis dan sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah ditetapkan dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur Provinsi Jawa Tengah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 49

    PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 50

    Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pajak MBLB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 51

    (1)
    Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu;
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap;
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas;
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit; 
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
     
    c.
    untuk keperluan pembangunan rumah ibadah yang dibiayai oleh masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 52

    (1)
    Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 53

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah.
    (4)
    Harga Patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dengan Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 56

    Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 57

    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Pajak Sarang Burung Walet
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 58

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 59

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 60

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 63

    Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 64

    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Opsen PKB
     

    Pasal 65 

    Objek opsen PKB adalah PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    Tarif Opsen PKB ditetapkan 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB dengan tarif Opsen PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 72 

    Objek opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB dengan tarif Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keduabelas
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 79

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk Pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketigabelas
    Kerahasiaan Data Wajib Pajak
     

    Pasal 80

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi dan Besaran Retribusi Terutang
     
    Paragraf 1
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 81

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Besaran Retribusi Terutang
     

    Pasal 82

    (1)
    Besaran Retribusi terutang penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum dihitung berdasarkan perkalian antara Tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan Kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan dan frekuensi layanan; dan
     
    d.
    pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
    (4)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Kesehatan bagi penjamin badan penyelenggaraan jaminan sosial Kesehatan atau badan penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (6)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan badan layanan umum Daerah dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    (1)
    Besaran Retribusi terutang penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha dihitung berdasarkan perkalian antara Tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
     
    d.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    e.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    f.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
    (4)
    Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (5)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan badan layanan umum Daerah dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari retribusi terutang yang tidak atau kurang bayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih menggunakan surat tagihan retribusi daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Peninjauan Tarif Retribusi
     

    Pasal 85

    (1)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 86

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    Pelayanan kebersihan;
     
    c.
    Pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    Pelayanan pasar.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh Badan layanan umum daerah.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh Badan layanan umum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek jenis retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
    (3)
    Dalam hal Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Bupati dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan surat tagihan retribusi daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh Badan layanan umum daerah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Badan layanan umum daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 89

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di pusat kesehatan masyarakat, pusat kesehatan masyarakat keliling, pusat kesehatan masyarakat pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah dan tempat pelayanan Kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    Ketentuan mengenai Tarif Retribusi pelayanan Kesehatan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 92

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b adalah pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan/pembuangan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    pengelolaan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    Ketentuan mengenai Tarif Retribusi pelayanan Kebersihan tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum
     

    Pasal 95

    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf c adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    Ketentuan mengenai Tarif Retribusi Pelayanan parkir di tepi jalan umum tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pelayanan Pasar
     

    Pasal 98

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, los, kios, hamparan/dasaran yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    Ketentuan mengenai Tarif Retribusi Pelayanan pasar tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 101

    (1)
    Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf b yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    d.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    e.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    f.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh badan layanan umum Daerah.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan Badan layanan umum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) penyesuaian detail rincian objek diatur dalam peraturan bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Dikecualikan dari objek jenis retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
    (3)
    Dalam hal Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Bupati dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan surat tagihan retribusi daerah.
       

    Pasal 103

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh badan layanan umum daerah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, Dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     

    Pasal 104

    Objek Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a adalah penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang, fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, dan fasilitas tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    Ketentuan mengenai tarif Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 107

    Objek Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    Ketentuan mengenai tarif Retribusi penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     

    Pasal 110

    Objek Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    Ketentuan mengenai tarif Retribusi Jasa Usaha berupa Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     

    Pasal 113

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kepada orang pribadi atau Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    Ketentuan mengenai tarif Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     

    Pasal 116

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf e merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    Ketentuan mengenai tarif Retribusi Jasa Usaha berupa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    Retribusi Jasa Usaha berupa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pemanfaatan Aset Daerah
     

    Pasal 119

    (1)
    Objek Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf f merupakan Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari pengertian pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.
    (3)
    Penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain pemancangan tiang listrik/telepon atau penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 120

    (1)
    Khusus Retribusi Jasa Usaha berupa Pemanfaatan aset Daerah untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    Sewa dengan masa pemanfaatan barang milik daerahnya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    Kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    Bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    Kerja sama penyediaan infrastruktur.
     
    Tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
    (3)
    Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (4)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    Ketentuan mengenai tarif Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 123

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf c yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    persetujuan bangunan gedung; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Khusus untuk pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf a, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
    (4)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 khusus pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel Harga Standar Bangunan Gedung Negara atau Standar Harga Satuan Tertinggi dan Indeks Lokalitas.
    (5)
    Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf b, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 85 khusus pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Persetujuan Bangunan Gedung
     

    Pasal 126

    (1)
    Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf a meliputi: penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan persetujuan bangunan gedung;
     
    c.
    inspeksi bangunan gedung;
     
    d.
    penerbitan sertifikat laik fungsi dan surat bukti kepemilikan bangunan gedung; dan
     
    e.
    pencetakan plakat sertifikat laik fungsi.
    (3)
    Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki persetujuan bangunan gedung dan/atau sertifikat laik fungsi;
     
    c.
    persetujuan bangunan gedung perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi bangunan gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis bangunan gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas bangunan gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak bangunan gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan bangunan gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    Persetujuan bangunan gedung perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (5)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan bangunan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    Ketentuan mengenai Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan Gedung tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    Pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    Formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Luas Total Lantai;
     
     
    2.
    Indeks Lokalitas;
     
     
    3.
    Indeks Terintegrasi;
     
     
    4.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
     
    b.
    Formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi;
     
     
    1.
    Volume;
     
     
    2.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan persetujuan bangunan gedung, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan persetujuan bangunan gedung dengan harga satuan Retribusi persetujuan bangunan gedung.
    (3)
    Harga satuan Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    standar harga satuan tertinggi untuk bangunan gedung; atau
     
    b.
    harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung untuk prasarana bangunan gedung.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing
     

    Pasal 131

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, Lembaga sosial, Lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di Lembaga Pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    (1)
    Besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing untuk setiap orang per jabatan perbulan sebesar US$100 (seratus dolar Amerika Serikat) sesuai dengan jangka waktu pengesahan Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan dan dibayarkan di muka.
    (2)
    Dalam hal pemberi kerja tenaga kerja asing yang mempekerjakan tenaga kerja asing kurang dari 1 (satu) bulan dikenakan Retribusi Perizinan Tertentu berupa pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebesar US$100 (seratus dolar Amerika Serikat) untuk setiap orang per jabatan per bulan.
    (3)
    Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan dimuka dengan mata uang Rupiah berdasarkan nilai tukar yang berlaku pada saat penerbitan Surat Keterangan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 133

    Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari Penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh badan layanan umum Daerah dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan badan layanan umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai badan layanan umum Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 135

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 136

    (1)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 137

    (1)
    Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak dan ditetapkan dalam keputusan Bupati.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak dan ditetapkan dalam keputusan Bupati.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PEMBERIAN INSENTIF FISKAL PAJAK DAN RETRIBUSI BAGI PELAKU USAHA
     

    Pasal 138

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, antara lain:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah mengenai Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 141

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 142

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    SANKSI
     

    Pasal 143

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 144

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 145

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 146

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2), Pasal 102 ayat (2) dan Pasal 124 ayat (2) sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 148

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Surat Tagihan Pajak Daerah sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.
    (3)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (4)
    Kriteria kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
     
    a.
    peperangan;
     
    b.
    kerusuhan;
     
    c.
    bencana alam;
     
    d.
    kebakaran;
     
    e.
    pandemi; dan
     
    f.
    bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144, pasal 146 dan Pasal 147 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 150

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
    (3)
    Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
     
    a.
    pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    penanganan piutang pajak dan retribusi;
     
    c.
    melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi pajak dan retribusi;
     
    d.
    optimalisasi pelaksanaan opsen pajak;
     
    e.
    pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
     
    f.
    penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
     
    g.
    pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektivitas pemungutan pajak dan retribusi;
     
    h.
    pelaksanaan kerja sama teknis;
     
    i.
    pertukaran data dan informasi;
     
    j.
    hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 151

    (1)
    Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
     
    a.
    PKB dan Opsen PKB;
     
    b.
    BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
     
    c.
    Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN LAIN-LAIN
     

    Pasal 152

    (1)
    Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Bupati.
    (2)
    Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
     
    a.
    koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi; dan
     
    c.
    perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
    (3)
    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan pengelolaan pendapatan daerah.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 153

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
    (3)
    Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek pajak dan retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 154

    (1)
    Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya.
    (3)
    Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 155

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 156

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku ketentuan mengenai Pajak MBLB yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 16) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2018 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 10) masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 157

    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen Pajak Kendaraan Bermotor dan Opsen bea balik nama Kendaraan Bermotor sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 158

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 159

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 9 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat Dan Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 9 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat Dan Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2018 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 10 Tahun 2009 tentang Retribusi Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 16) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2018 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 10);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 12 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 17);
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 18) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 2);
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 14 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 19, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 19);
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 3) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 1);
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2011 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4);
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2022 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 2);
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4 Tahun 2019 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4 Tahun 2019 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2022 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 1),
    dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 160

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 8 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Setjonegoro Wonosobo (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 8);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 9 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat Dan Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 9 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat Dan Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2018 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 10 Tahun 2009 tentang Retribusi Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 16) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2018 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 10);
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 12 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 17);
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 18) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 2);
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 14 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2010 Nomor 19, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 19);
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 3) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 1);
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2011 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4);
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2022 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 2); dan
    k.
    Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4 Tahun 2019 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 4 Tahun 2019 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2022 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 1).
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 161

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 162

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Wonosobo
    pada tanggal 18 Desember 2023
    BUPATI WONOSOBO,
    ttd
    AFIF NURHIDAYAT
     
    Diundangkan di Wonosobo
    pada tanggal 19 Desember 2023
    SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN WONOSOBO,
    ttd
    ONE ANDANG WARDOYO
     
    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO TAHUN 2023 NOMOR 11
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO
    NOMOR 11 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pajak dan Retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang penting guna meningkatkan kemandirian Daerah dalam rangka percepatan perwujudan kesejahteraan dengan memperhatikan potensi Daerah dan kemampuan masyarakat. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo dalam hal ini telah memiliki regulasi mengenai Pajak dan Retribusi yang tersebar dalam berbagai Peraturan Daerah. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah lah yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo dalam menyusun Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Dalam prakteknya, pengaturan Pajak dan Retribusi masih terdapat beberapa permasalahan dan tantangan diantaranya: basis Pajak masih terbatas; beberapa pengaturan Retribusi diantaranya merupakan pungutan atas layanan publik yang pada dasarnya wajib disediakan Pemerintah Daerah kepada masyarakat, sehingga apabila tetap dipungut dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) bagi masyarakat; serta terdapat beberapa norma yang dalam pelaksanaanya mengalami hambatan karena beririsan dengan peraturan perundang-undangan lain, sehingga menimbulkan multi interpretasi di lapangan.
     
    Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mencabut beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Wonosobo perlu disesuaikan. Penyesuaian pengaturan Pajak dan Retribusi diantaranya adalah restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, serta penyederhanaan jenis Retribusi.
     
    Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk: (i) menyelaraskan objek pajak antara pajak pusat dan Pajak Daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
     
    Pemerintah Daerah juga diberikan kewenangan pemungutan Opsen. Opsen atas pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut dibandingkan dengan skema bagi hasil. Opsen pajak juga mendorong peran daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik.
     
    Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah.
     
    Peraturan Daerah ini mengatur antara lain: jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, tarif Pajak dan Retribusi, pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi, penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi, serta insentif pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek Pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan.
     
    Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/Badan yang bergerak dalam bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan “Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis” adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    NJOP sebelum diterapkan tarif Pajak, dikurangi terlebih dahulu dengan NJOP tidak kena pajak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
     
    Contoh:
    Wajib Pajak A mempunyai objek Pajak berupa:
    Tanah seluas 200m2 dengan nilai jual Rp1.500.000,00/m2
     
    Bangunan seluas 150m2 dengan nilai jual Rp2.000.000,00/m2
     
    Besarnya pokok Pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
    Jika Dasar Pengenaan PBB-P2: 100%
    NJOP:
     
     
     
    NJOP Bumi
     
     
     
    200 x Rp1.500.000,00
    =
    Rp300.000.000,00
     
    NJOP Bangunan
     
     
     
    150 x Rp2.000.000,00
    =
    Rp300.000.000,00
    +
    Total NJOP
    =
    Rp600.000.000,00
     
    NJOP tidak kena Pajak
    =
    Rp10.000.000,00
    -
    NJOP kena Pajak
    =
    Rp590.000.000,00
     
    NJOP PBB-P2:
     
     
     
    100% x Rp590.000.000,00
    =
    Rp590.000.000,00
     
    Tarif PBB-P2: 0,12%
     
     
     
    Pokok PBB-P2 terutang:
     
     
     
    0,12% x Rp590.000.000,00
    =
    Rp708.000,00 
     
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
     
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
     
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
     
    Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan selayaknya Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel” adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan “permainan ketangkasan” adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan “olahraga permainan” adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Ayat (1)
    Cukup jelas..
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel.
     
    Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 30
    Ayat (1)
    Cukup jelas..
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “bentuk lain” dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Ayat (1)
    Cukup jelas..
    Ayat (2)
    Cukup jelas..
    Ayat (3)
    Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    “Nilai perolehan Air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur Provinsi Jawa Tengah berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintah di bidang energi dan sumber daya mineral”
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    “Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan pelayanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan Kerjasama antara pemerintah dan badan usaha”
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Cukup jelas.
    Pasal 155
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Cukup jelas.
    Pasal 157
    Cukup jelas.
    Pasal 158
    Cukup jelas.
    Pasal 159
    Cukup jelas.
    Pasal 160
    Cukup jelas.
    Pasal 161
    Cukup jelas.
    Pasal 162
    Cukup jelas.
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 9

    Perda Nomor: 11 TAHUN 2023