Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG
    NOMOR 12 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI TEMANGGUNG,
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintah daerah;
    b.
    bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah;
    c.
    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pajak daerah dan retribusi daerah perlu diatur dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi landasan hukum dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Tengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 42);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG
    dan
    BUPATI TEMANGGUNG
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    2.
    Pemerintah Provinsi adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Provinsi yang memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    3.
    Daerah adalah Kabupaten Temanggung.
    4.
    Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    5.
    Bupati adalah Bupati Temanggung.
    6.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
    7.
    Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat.
    8.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    9.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
    10.
    Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    11.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    12.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    13.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    14.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    15.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    16.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    17.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    18.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    19.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    20.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    21.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    22.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    23.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    24.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    25.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    26.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    27.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    28.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    29.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    30.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    31.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    32.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    33.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    34.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    35.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    36.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    37.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    38.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    39.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    40.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    41.
    Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    42.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    43.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
    44.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
    45.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    46.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    47.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    48.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    49.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    50.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    51.
    Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya.
    52.
    Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
    53.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    54.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    55.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan bangunan Gedung.
    56.
    Standar Harga Satuan Tertinggi yang selanjutnya disingkat SHST adalah biaya paling banyak per meter persegi pelaksanaan konstruksi fisik pekerjaan standar untuk pembangunan bangunan gedung.
    57.
    Harga Satuan Prasarana Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat HSPBG adalah pedoman dalam perhitungan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung yang dihitung dengan faktor pengali yaitu indeks Prasarana Bangunan Gedung.
    58.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    59.
    Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
    60.
    Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
    61.
    Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat Pengesahan RPTKA adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
    62.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya.
    63.
    Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
    64.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan Subjek Pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
    65.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 2

    (1)
    Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai dasar hukum pemungutan Pajak dan Retribusi bagi Daerah serta memberikan kepastian hukum atas pemungutan Pajak dan Retribusi bagi masyarakat.
    (2)
    Peraturan Daerah ini bertujuan untuk mewujudkan tata kelola yang baik atas pemungutan Pajak dan Retribusi sebagai sumber pendanaan pembangunan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
    a.
    Pajak;
    b.
    Retribusi;
    c.
    pemungutan Pajak dan Retribusi;
    d.
    pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan;
    e.
    kemudahan perpajakan daerah;
    f.
    pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi dalam rangka mendukung kemudahan berinvestasi;
    g.
    kerahasiaan data Wajib Pajak;
    h.
    insentif pemungutan Pajak dan Retribusi;
    i.
    sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
    j.
    pembinaan dan pengawasan;
    k.
    sistem informasi;
    l.
    penyidikan; dan
    m.
    sanksi.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 4

    (1)
    Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Opsen PKB; dan
     
    g.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak yang tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
     
    a.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; dan
     
    b.
    Pajak Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
    a.
    PBB-P2;
    b.
    Pajak Reklame;
    c.
    PAT;
    d.
    Opsen PKB; dan
    e.
    Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
    a.
    BPHTB; dan
    b.
    PBJT atas:
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB-P2
     

    Pasal 7

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengerukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintah Provinsi, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan Bangunan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (6)
    Besaran NJOP ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
    (2)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
    (3)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar:
     
    a.
    0,1% (nol koma satu persen) per tahun untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
     
    b.
    0,2% (nol koma dua persen) per tahun untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
    (2)
    Khusus bagi lahan produksi pangan dan ternak, tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar:
     
    a.
    0,09% (nol koma nol sembilan persen) per tahun untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
     
    b.
    0,15% (nol koma satu lima persen) per tahun untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau Pasal 11 ayat (2).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 merupakan jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BPHTB
     

    Pasal 15

    (1)
    Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (6)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) atau Pasal 17 ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (3)
    Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
     
    a.
    jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
     
    b.
    jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
    (4)
    BPHTB yang terutang atas pemindahan hak karena jual beli paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat tanah dan/atau bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PBJT
     

    Pasal 25

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum; dan
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha/omset di bawah Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir dalam pemukiman penduduk yang disediakan bagi warga kompleks pemukiman bersangkutan; dan
     
    d.
    jasa tempat parkir dalam kegiatan sosial keagamaan yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan Kendaraan Bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran;
     
    c.
    kesenian dan hiburan yang diselenggarakan dalam rangka upacara adat; dan/atau
     
    d.
    bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b ditetapkan:
     
    a.
    untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran, nilai jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan:
     
     
    1.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pasca bayar; dan
     
     
    2.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
     
    b.
    untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, nilai jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan:
     
     
    1.
    kapasitas tersedia;
     
     
    2.
    tingkat penggunaan listrik;
     
     
    3.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
     
    4.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas Jasa Hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
    (4)
    Khusus tarif PBJT Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh Restoran ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat:
    a.
    pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
    c.
    pembayaran/penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
    d.
    pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
    e.
    pembayaran/penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Wilayah pemungutan PBJT yang terutang yaitu di wilayah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     

    Pasal 38

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    jenis;
     
    b.
    bahan yang digunakan;
     
    c.
    lokasi penempatan;
     
    d.
    waktu penayangan;
     
    e.
    jangka waktu penyelenggaraan;
     
    f.
    jumlah; dan
     
    g.
    ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    Saat terutangnya Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    (1)
    Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    PAT
     

    Pasal 45

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan; dan
     
    f.
    pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah yang tidak akan dikomersilkan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    (1)
    Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur yang berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Opsen PKB
     

    Pasal 52

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Dasar pengenaan Opsen PKB adalah PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    Saat terutangnya Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 59

    Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Dasar pengenaan Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    Saat terutangnya Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 66

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
     

    Pasal 67

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 68

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 69

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    pelayanan pasar.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan Jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 75

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan dihitung atas komponen biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan layanan kesehatan diantaranya sarana prasarana kesehatan dan bahan medis/bahan habis pakai;
     
    b.
    pelayanan kebersihan dihitung atas komponen biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan layanan kebersihan diantaranya sarana prasarana kebersihan, petugas kebersihan, asuransi, dan pajak kendaraan bermotor;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur menurut zona parkir, jenis kendaraan, frekuensi, dan waktu penggunaan tempat parkir; dan
     
    d.
    pelayanan pasar dihitung atas komponen biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan layanan pasar diantaranya biaya pemeliharaan pasar, keamanan, kebersihan, dan petugas pasar.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Tarif Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 76

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (3)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
    (4)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 79

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa usaha yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf g termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 88

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    f.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Tarif Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 89

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur,
     
    tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
    (4)
    Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (5)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (7)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (8)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
    (9)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 92

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf c meliputi:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    penggunaan TKA.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    Pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    (1)
    Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh:
     
    a.
    instansi pemerintah;
     
    b.
    instansi pemerintah daerah;
     
    c.
    perwakilan negara asing;
     
    d.
    badan internasional;
     
    e.
    lembaga sosial;
     
    f.
    lembaga keagamaan; dan
     
    g.
    jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 96

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Luas Total Lantai;
     
     
    2.
    Indeks Lokalitas;
     
     
    3.
    Indeks Terintegrasi;
     
     
    4.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Volume;
     
     
    2.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 97

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Khusus untuk pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung.
    (4)
    Khusus untuk pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (5)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
    (7)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan penggunaan TKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (8)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 100

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 101

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah dapat membentuk dan mengembangkan sistem informasi Pajak dan Retribusi secara elektronik.
    (2)
    Pemerintah Daerah melakukan pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah secara elektronik dalam rangka efisiensi dan efektivitas pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembangan sistem informasi dan pemungutan Pajak dan Retribusi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
     

    Pasal 103

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja Daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, DAN PEMBEBASAN
     

    Pasal 104

    (1)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KEMUDAHAN PERPAJAKAN DAERAH
     

    Pasal 105

    (1)
    Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERINVESTASI
     

    Pasal 106

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha kecil, mikro, dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha kecil, mikro, dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha kecil, mikro, dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    (1)
    Pemberian Insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan melampirkan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 109

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yaitu:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 110

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 111

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
    (3)
    Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
     
    a.
    pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    penanganan piutang Pajak dan Retribusi;
     
    c.
    melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi Pajak dan Retribusi;
     
    d.
    optimalisasi pelaksanaan Opsen Pajak;
     
    e.
    pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
     
    f.
    penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
     
    g.
    mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
     
    h.
    pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektifitas pemungutan Pajak dan Retribusi;
     
    i.
    pelaksanaan kerja sama teknis; dan
     
    j.
    pertukaran data dan informasi;
     
    k.
    hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    (1)
    Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
     
    a.
    PKB dan Opsen PKB; dan
     
    b.
    BBNKB dan Opsen BBNKB.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
     

    Pasal 113

    (1)
    Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Bupati.
    (2)
    Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
     
    a.
    koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi; dan
     
    c.
    perencanaan, pemantauan, dan evaluasi.
    (3)
    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan Daerah.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    SISTEM INFORMASI
     

    Pasal 114

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
    (3)
    Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek Pajak dan Retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    (1)
    Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan di bidang keuangan Daerah lainnya.
    (3)
    Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak dan Retribusi Terintegrasi.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 116

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Po1isi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    SANKSI
     
    Bagian Kesatu
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 117

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SPTPD sebesar Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
    (3)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (4)
    Kriteria kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sanksi Pidana
     

    Pasal 119

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD atau dokumen yang dipersamakan dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD atau dokumen yang dipersamakan dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 120

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119, Pasa1 121, dan Pasal 122 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XV
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 124

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Bupati yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2009 Nomor 18) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 79);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2010 Nomor 6);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2010 Nomor 7);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2010 Nomor 8);
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2010 Nomor 9);
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 7 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 7) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 7 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2017 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 84);
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 9 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 9);
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 11);
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah di Bidang Perikanan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 9 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah di Bidang Perikanan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2017 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 77);
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 16 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 16);
    k.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 18) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2017 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 78);
    l.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 19) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2018 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 91);
    m.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 30 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 30) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 30 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2016 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 61);
    n.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2020 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 121);
    o.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 3);
    p.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 4);
    q.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2016 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 66);
    r.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 6) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2019 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 106);
    s.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 8 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 8);
    t.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 9);
    u.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11);
    v.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 13) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2019 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 107);
    w.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 16 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 16);
    x.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 19, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 19);
    y.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2013 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 26) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2020 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 122);
    z.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2013 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2013 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 30);
    aa.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2018 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 92);
    bb.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2022 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 144); dan
    cc.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 15 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2022 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 151),
    dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XVI
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 126

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2009 Nomor 18) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 79);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2010 Nomor 6);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2010 Nomor 7);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2010 Nomor 8);
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2010 Nomor 9);
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 7 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 7) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 7 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2017 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 84);
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 9 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 9);
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 11);
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah di Bidang Perikanan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 9 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah di Bidang Perikanan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2017 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 77);
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 16 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 16);
    k.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 18) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2017 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 78);
    l.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 19) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2018 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 91);
    m.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 30 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2011 Nomor 30) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 30 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2016 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 61);
    n.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2020 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 121);
    o.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 3);
    p.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 4);
    q.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2016 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 66);
    r.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 6) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2019 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 106);
    s.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 8 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 8);
    t.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 9);
    u.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 11);
    v.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 13) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2019 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 107);
    w.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 16 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 16);
    x.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Nomor 19, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 19);
    y.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2013 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 26) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2020 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 122);
    z.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2013 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2013 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 30);
    aa.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 5 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2018 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 92);
    bb.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2022 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 144); dan
    cc.
    Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 15 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2022 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 151),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    Ketentuan mengenai Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan huruf g, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Temanggung.
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Temanggung
    pada tanggal 29 Desember 2023
    Pj. BUPATI TEMANGGUNG,
    ttd.
    HARY AGUNG PRABOWO
     
    Diundangkan di Temanggung
    pada tanggal 29 Desember 2023
    Pj. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG,
    ttd.
    AGUS SUJARWO
     
    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2023 NOMOR 12
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG
    NOMOR 12 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Temanggung selaku daerah otonom mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah.
     
    Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan peraturan perundang-undangan, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
     
    Berdasarkan ketentuan Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa: Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pasal 94 mengatur bahwa jenis pajak dan retribusi, subjek pajak dan wajib pajak, subjek retribusi dan wajib retribusi, objek pajak dan retribusi, dasar pengenaan pajak, tingkat penggunaan jasa retribusi, saat terutang pajak, wilayah pemungutan pajak, serta tarif pajak dan retribusi, untuk seluruh jenis pajak dan retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) perda dan menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di Daerah. Sehingga, untuk menjalankan aturan tersebut, pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah adalah dengan penetapan 1 (satu) peraturan daerah (single tax regulation) yang tertuang dalam Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Ayat (1)
    PBB-P2 untuk kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan ditatausahakan oleh Pemerintah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Contoh: terdapat ruas jalan tol yang melintas di suatu Kabupaten. Pemungutan PBB-P2 atas jalan tol yang membentang dalam wilayah Kota X dan Kabupaten Y wilayah pemungutannya akan dibagi dua sesuai batas administratif kota dan kabupaten dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mall X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT, bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, billiard, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan semua jenis olahraga yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf I
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
     
    Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah yaitu tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
     
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 161

    Perda Nomor: 12 TAHUN 2023