Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN
    NOMOR 7 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
    BUPATI SLEMAN,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
    b.
    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 44);
    3.
    Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SLEMAN
    dan
    BUPATI SLEMAN
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    2.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    3.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
    4.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    5.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    6.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    7.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk Badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    8.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    9.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    10.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    11.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    12.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    13.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    14.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    15.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    16.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    17.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    18.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    19.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    20.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    21.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    22.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    23.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    24.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    25.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    26.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    27.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    28.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    29.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    30.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    31.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    32.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    33.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    34.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    35.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    36.
    Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    37.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data obyek dan subyek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
    38.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, obyek pajak dan atau bukan obyek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    39.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    40.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
    41.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
    42.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    43.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
    44.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administratif berupa bunga dan atau denda.
    45.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
    46.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak daerah atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    47.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
    48.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
    49.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    50.
    Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah pusat kesehatan masyarakat di wilayah Kabupaten Sleman yang terdiri dari Puskesmas rawat jalan/tidak dengan rawat inap dan Puskesmas dengan rawat inap.
    51.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    52.
    Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disebut Retribusi PBG adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemberian persetujuan bangunan gedung, sertifikat laik fungsi, dan surat bukti kepemilikan bangunan gedung.
    53.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG, adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi dan/atau merawat bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    54.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    55.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    56.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya di singkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    57.
    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    58.
    Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    59.
    Bupati adalah Bupati Sleman.
    60.
    Pejabat yang ditunjuk adalah Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
    61.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
    62.
    Daerah adalah Kabupaten Sleman.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    (1)
    Jenis Pajak terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    makanan dan/minuman;
     
     
    2.
    tenaga listrik
     
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h dan i dipungut oleh Daerah.
    (3)
    Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak dipungut oleh Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas;
     
     
    1.
    makanan dan/minuman;
     
     
    2.
    tenaga listrik;
     
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
     
    c.
    Pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB P-2
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib PBB P-2
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PBB-P2 merupakan Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan usulan pemerintah di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek PBB-P2 meliputi orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib PBB-P2 meliputi orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Ketetapan, Tarif, dan Cara Penghitungan PBB P-2
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
    (6)
    Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (2)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
     
    a.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak;
     
    b.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah; dan
     
    c.
    kenaikan NJOP hasil penilaian.
    (3)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Tarif PBB P-2 ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar 0,1% (nol koma satu persen); dan
     
    b.
    untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
    (2)
    Tarif PBB P-2 bagi lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    lahan produksi pangan dan ternak dengan luas sampai dengan 1000 m2 (seribu meter persegi) sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen);
     
    b.
    lahan produksi pangan dan ternak dengan luas lebih dari 1000 m2 (seribu meter persegi) sampai dengan 5000 m2 (lima ribu meter persegi) sebesar 0,02% (nol koma nol dua persen); dan
     
    c.
    lahan produksi pangan dan ternak dengan luas lebih dari 5000 m2 (lima ribu meter persegi) sebesar 0,03% (nol koma nol tiga persen).
    (3)
    Pemberlakuan tarif bagi lahan produksi pangan dan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan setelah data yang berkaitan dengan lahan produksi pangan dan ternak tersedia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Tahun Pajak dan PBB P-2 Terutang
     

    Pasal 9

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 merupakan jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau ayat (2).
    (3)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (4)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (5)
    PBB-P2 yang terutang dipungut di wilayah Daerah letak objek Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak BPHTB
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BPHTB meliputi perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    hak milik
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna Bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    Dikecualikan dari objek Pajak BPHTB berupa perolehan tanah dan Bangunan:
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB meliputi orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB meliputi orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan BPHTB
     

    Pasal 13

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek Pajak.
    (2)
    Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk:
     
     
    1.
    tukar menukar;
     
     
    2.
    hibah;
     
     
    3.
    hibah wasiat;
     
     
    4.
    waris;
     
     
    5.
    pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya;
     
     
    6.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    7.
    peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    8.
    pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak; dan
     
     
    9.
    penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan merupakan NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (2)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    (1)
    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
    (2)
    Tarif BPHTB yang didasarkan hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dengan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 setelah dikurangi dengan nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
    (2)
    Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada nilai jual objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, besaran pokok Pajak dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dengan nilai jual objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    BPHTB Terutang
     

    Pasal 17

    BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli merupakan pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (3)
    Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (3)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (4)
    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pajak Barang Dan Jasa Tertentu
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib PBJT
     

    Pasal 22

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Tidak termasuk objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    yang nilai penjualannya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 huruf b meliputi penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
     
    d.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan untuk kegiatan keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Subjek PBJT meliputi konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
    (2)
    Wajib PBJT meliputi orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan PBJT
     

    Pasal 29

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Tarif PBJT Makanan dan/atau Minuman, Jasa Perhotelan, Jasa Parkir, Jasa Kesenian dan Hiburan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Tarif PBJT atas Tenaga Listrik ditetapkan sebesar 8% (delapan persen).
    (4)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen);
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Masa PBJT dan PBJT Terutang
     

    Pasal 32

    Masa PBJT ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender sebagai dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan Pajak yang terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
    (2)
    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak Reklame
     

    Pasal 34

    (1)
    Objek Pajak Reklame meliputi semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame meliputi:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada Bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
    (4)
    Jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Subjek Pajak Reklame meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame meliputi orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Reklame
     

    Pasal 36

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Reklame meliputi nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Masa Pajak Reklame, Pajak Reklame Terutang dan Pemungutan Pajak Reklame
     

    Pasal 38

    Masa Pajak Reklame merupakan jangka waktu penyelenggaraan Reklame yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan Pajak yang terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
    (2)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
    (3)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (4)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pajak Air Tanah
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib PAT
     

    Pasal 40

    (1)
    Objek PAT meliputi pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT meliputi pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    sekolah dasar negeri dan sekolah menengah pertama negeri;
     
    f.
    kegiatan perkantoran Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan
     
    g.
    keperluan keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    (1)
    Subjek PAT meliputi orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT meliputi orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan PAT
     

    Pasal 42

    (1)
    Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    Besarnya nilai perolehan Air Tanah yang digunakan sebagai dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Masa PAT dan PAT Terutang
     

    Pasal 45

    Masa PAT ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan Pajak yang terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
    (2)
    PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (3)
    Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak MBLB
     

    Pasal 47

    (1)
    Objek Pajak MBLB merupakan kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang; dan
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral.
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Subjek Pajak MBLB meliputi orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB meliputi orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak MBLB
     

    Pasal 49

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan setiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata setiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Masa Pajak MBLB, Pajak MBLB Terutang dan Pemungutan Pajak MBLB
     

    Pasal 51

    Masa pajak MBLB ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan Pajak yang terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
    (2)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB.
    (3)
    Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Opsen PKB
     
    Paragraf 1
    Wajib Pajak Opsen PKB
     

    Pasal 53

    Objek Opsen PKB dikenakan atas pajak terutang PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Opsen PKB
     

    Pasal 55

    Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Opsen BBNKB
     
    Paragraf 1
    Wajib Pajak Opsen BBNKB
     

    Pasal 58

    Objek Opsen BBNKB dikenakan atas pajak terutang BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Opsen BBNKB
     

    Pasal 60

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    (1)
    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 63

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 64

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 65

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan obyek Retribusi Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    pelayanan pasar.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari obyek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    (1)
    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan Kesehatan di Puskesmas, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. kecuali pelayanan administrasi.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kesehatan di Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan ibu anak pemeriksaan ibu hamil pada kunjungan antenatal care terpadu sesuai standar; dan
     
    b.
    pelayanan penanggulangan korban kejadian luar biasa, keracunan makanan dan kejadian luar biasa penyakit potensi wabah yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyedotan kakus dan/atau penyediaan pembuangan lumpur tinja; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga yang berasal dari rumah tangga, perkantoran, dan industri yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan meliputi pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kendaraan tidak bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar rakyat berupa pelataran los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan Kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, alat yang digunakan, jenis tindakan, biaya farmasi, bahan medis habis pakai, bahan non medis habis pakai, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
     
    d.
    pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam pendapatan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Umum yang tertuang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (4)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
    (5)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 74

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    b.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    c.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    d.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (8)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati atau Wali Kota ditetapkan.
    (9)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek retribusi tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    tempat khusus parkir di luar badan jalan pada kantor pelayanan Pemerintah Daerah kecuali pada kantor pelayanan Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh Bupati sebagai objek retribusi; dan
     
    b.
    kendaraan tidak bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk penggunaan kandang hewan ternak, pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, pemeriksaan daging hasil pemotongan, dan pelayuan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf d merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf e termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (2)
    Pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (4)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf e meliputi penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    b.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
     
    c.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    d.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    e.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan lokasi dan luas tanah, jenis layanan, frekuensi layanan, harga bahan penunjang dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (4)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
    (5)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 84

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c meliputi:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    penggunaan TKA.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
     
    d.
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Bangunan Gedung:
     
    a.
    milik Pemerintah yang memiliki fungsi perkantoran;
     
    b.
    milik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki fungsi perkantoran;
     
    c.
    milik Pemerintah Daerah yang memiliki fungsi perkantoran:
     
    d.
    milik Pemerintah Kelurahan yang memiliki fungsi perkantoran; dan
     
    e.
    yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
    (5)
    Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan yang bekerja di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penggunaan TKA oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan persetujuan Bangunan Gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan dan harga satuan Retribusi PBG; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan TKA diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
    (3)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    luas total lantai;
     
     
    2.
    indeks terintegrasi;
     
     
    3.
    indeks lokalitas; dan
     
     
    4.
    indeks Bangunan Gedung terbangun, dan
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung,meliputi:
     
     
    1.
    volume;
     
     
    2.
    indeks prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    indeks Bangunan Gedung terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a, biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b, biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 91

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan setiap jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Pemungutan Pajak
     

    Pasal 92

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
    (2)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
    (5)
    Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
    (6)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
    (7)
    Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, dan putusan banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 93

    (1)
    Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (2)
    Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
    (3)
    Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 94

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
    (2)
    Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (3), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
    (3)
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
     
    b.
    ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (4)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
    (5)
    Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yaitu Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (6)
    Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (7)
    Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksudpada ayat (1) tertangguh jika:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran; atau
     
    b.
    ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
    (4)
    Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penghapusan Piutang Pajak Dan Retribusi
     

    Pasal 96

    (1)
    Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
    (2)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (4)
    Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (5)
    Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) atau Pasal 92 ayat (1), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan Penagihan.
    (6)
    Penetapan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah Daerah.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    (1)
    Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
     

    Pasal 98

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (3)
    Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
    (4)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 100

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dan ayat (2) meliputi:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Kepala Daerah dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PENEGAKAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 101

    (1)
    Pemerintah Daerah berwenang melakukan penegakan atas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    (2)
    Penegakan atas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
    (3)
    Penegakan atas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kewajiban Wajib Pajak untuk:
     
     
    1.
    mengisi SPTPD dengan benar dan lengkap;
     
     
    2.
    menyampaikan SPTPD kepada Bupati setiap masa Pajak;
     
     
    3.
    membayar Pajak tepat pada waktu sesuai besaran Pajak terutang; dan
     
     
    4.
    melunasi utang Pajak sesuai besaran Pajak terutang.
     
    b.
    kewajiban wajib Retribusi untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan jasa yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), Pasal 73 ayat (1), dan Pasal 82 ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    SANKSI ADMINISTRATIF
     

    Pasal 102

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi Daerah.
    (3)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan administratif berupa denda.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 103

    (1)
    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
    (2)
    Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (4)
    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 104

    (1)
    Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku:
     
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2004 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sleman (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2004 Nomor 7 Seri C);
     
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 5 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Pembuangan Air Limbah (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2006 Nomor 1 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 5);
     
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2010 Nomor 3 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 35);
     
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2010 Nomor 1 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 33);
     
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2010 Nomor 2 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 34);
     
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 1 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 36);
     
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 2 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 37);
     
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 3 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 38);
     
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 4 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 39);
     
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 6 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 42);
     
    k.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 7 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 43);
     
    l.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 8 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 44);
     
    m.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 9 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 45);
     
    n.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 11 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 47);
     
    o.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 16 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengolahan Limbah Cair (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 12 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 48);
     
    p.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2012 Nomor 1 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 49);
     
    q.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2012 Nomor 2 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 50);
     
    r.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2012 Nomor 3 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 51);
     
    s.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2012 Nomor 5 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 53);
     
    t.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2012 Nomor 6 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 54);
     
    u.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2012 Nomor 9 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 55);
     
    v.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2012 Nomor 9 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 57);
     
    w.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2012 Nomor 10 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 58);
     
    x.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2012 Nomor 11 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 59);
     
    y.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 13 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2013 Nomor 3 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 75);
     
    z.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 15 Tahun 2013 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2013 Nomor 5 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2010 Nomor 77);
     
    aa.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan daerah No 1 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2015 Nomor 1 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 96);
     
    bb.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2015 Nomor 2 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 97);
     
    cc.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2016 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 104);
     
    dd.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2016 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 105);
     
    ee.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 3 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2018 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 128);
     
    ff.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2018 tentang Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2018 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 129);
     
    gg.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2018 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 133);
     
    hh.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2018 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 134);
     
    ii.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2020 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 161);
     
    jj.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2021 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 187);
     
    kk.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 13 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2022 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2022 Nomor 197),
     
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
    (2)
    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua Peraturan Bupati yang terkait dengan pelaksanaan Pajak dan Retribusi Daerah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Sleman.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Diundangkan di Sleman
    pada tanggal 28 Desember 2023 
    BUPATI SLEMAN,
    ttd.
    KUSTINI SRI PURNOMO
     
    Diundangkan di Sleman
    pada tanggal 28 Desember 2023
    SEKRETARIS DAERAH
    KABUPATEN SLEMAN,
    ttd.
    HARDA KISWAYA
     
    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2023 NOMOR 7
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN
    NOMOR 7 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan pendapatan daerah yang berfungsi mempunyai fungsi sebagai sumber anggaran daerah, stabilitas ekonomi daerah serta pemerataan pendapatan masyarakat daerah. Melalui optimalisasi pendapatan daerah, Daerah diharapkan akan mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah sesuai dengan potensinya.
     
    Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, mengubah tata kelola kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah.
     
    Kebijakan “omnibus law” dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, menuntut Pemerintah Daerah untuk lebih cermat dan antisipatif dalam proses penyusunan “legislative drafting” rancangan peraturan daerah di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menggabungkan seluruh pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada dengan memperhatikan kebijakan baru Pemerintah dalam satu Peraturan Daerah diperlukan koordinasi yang cermat dan terpadu.
     
    Melalui Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah menetapkan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dalam rangka meningkatkan kewenangan Daerah dalam mengatur dan memberlakukan ketentuan pajak daerah dengan tetap menjaga iklim kemudahan berusaha di Daerah.
     
    Perubahan jenis dan struktur pajak daerah, perluasan pajak daerh, dan rasionalisasi beberapa retribusi daerah menjadi arah kebijakan diberlakukannya Undang-Undang Hak Keuangan Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Tidak bisa dipungkiri bahwa potensi penerimaan pendapatan Daerah akan mengalami penurunan, akan tetapi aspek kemudahan berusaha yang diperkuat diharapkan akan mampu mendorong peningkatan kinerja pembangunan Daerah secara keseluruhan yang pada akhirnya mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
     
    Melalui rancangan peraturan daerah ini, Pemerintah Kabupaten Sleman berupaya menyelaraskan pengaturan kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan kebijakan Pemerintah. Kemudahan investasi di Kabupaten Sleman diharapkan akan semakin berkembang untuk mendukung kemajuan pembangunan Daerah yang pada akhirnya mampu meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “penetapan kepala daerah” adalah penetapan oleh Bupati untuk PBB P-2, Pajak Reklame, PAT dan penetapan oleh Gubernur untuk Opsen PKB dan Opsen BBNKB.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan “objek pajak tertentu” adalah objek yang terjadi perubahan fungsi, misal dari tanah kosong menjadi perumahan atau sejenisnya.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya” adalah terdapat layanan antara lain:
    a. pembayaran harian;
    b. fasilitas kamar layaknya kamar hotel;
    c. menyediakan layanan makan dan minum (restoran);
    d. menyediakan house keeping;
    e. menyediakan fasilitas hiburan seperti televisi kabel, kolam renang; dan/atau
    f. memiliki jumlah kamar dan tipe kamar yang variatif. 
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Yang dimaksud dengan “Surat Keputusan Pembetulan” adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tertulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan atau Surat Keputusan Keberatan.
     
    Yang dimaksud dengan “Surat Keputusan Keberatan” adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan Wajib Pajak.
     
    Yang dimaksud dengan “Putusan Banding” adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 204

    Perda Nomor: 7 TAHUN 2023