Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI SIDOARJO,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan pendapatan asli daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan;
    b.
    bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten di Djawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 41), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Jogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
    3.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    4.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
    5.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    12.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SIDOARJO
    dan
    BUPATI SIDOARJO
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kabupaten Sidoarjo.
    2.
    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    3.
    Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
    4.
    Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
    5.
    Bupati adalah Bupati Sidoarjo.
    6.
    Perangkat Daerah adalah organisasi perangkat daerah di Kabupaten Sidoarjo yang melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dan bertanggung jawab kepada Bupati dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
    7.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    8.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    9.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masyarakat, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    10.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    11.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    12.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap diatas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    13.
    Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bila mana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    14.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
    15.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
    16.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang bidang pertanahan dan bangunan.
    17.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    18.
    Barang dan jasa tertentu adalah barang dan jasa yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    19.
    Makanan dan/atau minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    20.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
    21.
    Tenaga listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    22.
    Jasa perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    23.
    Jasa parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
    24.
    Jasa kesenian dan hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukkan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    25.
    Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
    26.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    27.
    Pajak Air Tanah selanjutnya yang disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    28.
    Air tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    29.
    Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
    30.
    Opsen pajak kendaraan bermotor yang selanjutnya disebut opsen PKB adalah opsen yang dikenakan oleh kabupaten atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    31.
    Opsen bea balik nama kendaraan bermotor yang selanjutnya disebut opsen BBNKB adalah opsen yang dikenakan oleh kabupaten atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    32.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan Pajak.
    33.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    34.
    Saat terutang Pajak adalah saat ditetapkannya orang pribadi atau Badan yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    35.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    36.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    37.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, obyek pajak dan/atau bukan obyek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    38.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang kepada Wajib Pajak.
    39.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    40.
    Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas umum daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
    41.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
    42.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
    43.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    44.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
    45.
    Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    46.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi utang Pajak atau Utang Retribusi
    47.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang Pajak dan biaya penagihan Pajak.
    48.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    49.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    50.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    51.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
    52.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
    53.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
    54.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    55.
    Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Bupati menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah.
    56.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    57.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah di Kabupaten Sidoarjo dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya.
    58.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    59.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    60.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    61.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    62.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    63.
    Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
    64.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
    65.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar dari pada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    66.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    RUANG LINGKUP
     

    Pasal 2

    Ruang lingkup dari Peraturan Daerah ini terdiri dari:
    a.
    pajak daerah;
    b.
    retribusi daerah;
    c.
    tata cara pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah;
    d.
    sanksi administratif bagi wajib pajak;
    e.
    kerahasiaan data wajib pajak;
    f.
    insentif pemungutan;
    g.
    sistem informasi pajak dan retribusi daerah;
    h.
    penyidikan;
    i.
    ketentuan pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 3

    Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
    a.
    PBB-P2;
    b.
    BPHTB;
    c.
    PBJT, terdiri atas:
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
    2.
    tenaga listrik;
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
    4.
    jasa parkir;
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
    d.
    Pajak Reklame;
    e.
    PAT;
    f.
    Opsen PKB; dan
    g.
    Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dan huruf c, merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Pemerintah Daerah dilarang memungut pajak selain jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
    (2)
    Jenis Pajak yang tidak dipungut karena potensinya kurang memadai yaitu:
     
    a.
    Pajak MBLB; dan
     
    b.
    Pajak Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB-P2
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak, Subjek Pajak, dan Wajib Pajak
     

    Pasal 6

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    bumi dan/atau bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
     
    b.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
     
    g.
    bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
     
    i.
    bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 8

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian Pajak PBB-P2.
    (3)
    NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek Pajak PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek Pajak PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (6)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
    (7)
    Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
     
    a.
    perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
     
    b.
    nilai perolehan baru; atau
     
    c.
    nilai jual pengganti.
    (8)
    Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
    (2)
    Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    Klasterisasi NJOP dalam satu wilayah daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    Untuk NJOP sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,100% (nol koma seratus persen);
     
    b.
    Untuk NJOP Rp500.000.001,00 (lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,150% (nol koma seratus lima puluh persen);
     
    c.
    Untuk NJOP Rp2.000.000.001,00 (dua milyar satu rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,200% (nol koma dua ratus persen);
     
    d.
    Untuk NJOP Rp5.000.000.001,00 (lima milyar satu rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,250% (nol koma dua ratus lima puluh persen);
     
    e.
    Untuk NJOP Rp10.000.000.001,00 (sepuluh milyar satu rupiah) ke atas ditetapkan sebesar 0,300% (nol koma tiga ratus persen).
    (2)
    Dalam hal objek pajak berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,070% (nol koma nol tujuh puluh persen).
    (3)
    Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau merupakan bangunan atau lingkungan cagar budaya, maka ditetapkan sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Tahun Pajak, Saat Terutang Pajak, dan Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 12

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang merupakan menurut keadaan objek pajak PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (3)
    Saat terutang Pajak PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan bumi dan/atau bangunan.
    (4)
    Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (5)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BPHTB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak, Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 13

    (1)
    Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha, atau
     
     
    13.
    hadiah.
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak, atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Masyarakat berpenghasilan rendah yang dikecualikan dari objek pajak BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h, adalah untuk kepemilikan rumah pertama sesuai kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
    (7)
    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati atau pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, dan dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 15

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah; atau
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan, maka dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (6)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
    (7)
    Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, ditetapkan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut terkait hibah wasiat atau waris tertentu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Saat Pajak Terutang dan Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 18

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, pelaburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (3)
    Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PBJT
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak dan Subjek Pajak
     

    Pasal 19

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    makanan dan/atau minuman;
    b.
    tenaga listrik;
    c.
    jasa perhotelan;
    d.
    jasa parkir; dan
    e.
    jasa kesenian dan hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha yang nilai penjualan/omsetnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) setiap bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    Konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    Konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    Konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    Konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Jasa perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Jasa parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
     
    d.
    penyelenggaraan tempat parkir untuk keperluan penyelenggaraan ibadah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jasa kesenian dan hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, Cara Penghitungan Pajak, Saat Terutang, dan Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 26

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan Pajak PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam rangka mendukung penetapan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Bupati dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum penyedia parkir memberikan potongan.
    (5)
    Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (6)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pasca bayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
    (7)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (8)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada:
     
    a.
    diskotek, kelab malam, bar ditetapkan 60% (enam puluh persen);
     
    b.
    karaoke dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen);
     
    c.
    pagelaran kesenian ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan 1,5% (satu koma lima persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
    (2)
    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    Pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    Konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    Pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    Pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    Pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3)
    Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak dan Subjek Pajak
     

    Pasal 29

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan,
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan dan sejenisnya;
     
    b.
    label atau merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah, atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, Cara Penghitungan Pajak, Wilayah Pemungutan Pajak, dan Saat Terutang
     

    Pasal 31

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
    (2)
    Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
    (3)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    PAT
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak dan Subjek Pajak
     

    Pasal 35

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan serta lembaga sosial; dan
     
    f.
    pemanfaatan air tanah yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Subjek Pajak PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    (2)
    Wajib Pajak PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, Cara Penghitungan Pajak, Wilayah Pemungutan Pajak, dan Saat Terutang
     

    Pasal 37

    (1)
    Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif pajak PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
    (2)
    Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (3)
    Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    OPSEN
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak dan Subjek Pajak
     

    Pasal 40

    Opsen PKB dan BBNKB dikenakan atas:
    a.
    Pajak terutang PKB;
    b.
    BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    (1)
    Wajib Pajak untuk opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 merupakan Wajib Pajak:
     
    a.
    PKB;
     
    b.
    BBNKB.
    (2)
    Opsen PKB dipungut secara bersamaan dengan PKB.
    (3)
    Opsen BBNKB dipungut secara bersamaan dengan BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, Cara Penghitungan Pajak, Saat Terutang, dan Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 42

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a merupakan PKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b merupakan BBNKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Tarif opsen ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen)
    b.
    Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen)
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 46

    (1)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (2)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (3)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
    (4)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data
     

    Pasal 47

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan pajak dengan:
     
    a.
    Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Daerah lain, dan/atau
     
    c.
    Pihak Ketiga
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat khususnya dibidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas dibidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia dibidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan/atau
     
    g.
    kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungan.
    (3)
    Kerja sama yang dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat:
     
    a.
    mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1); dan
     
    b.
    menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1).
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
    (3)
    Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Bupati bersama mitra kerja sama.
    (4)
    Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
     
    a.
    subjek kerja sama;
     
    b.
    maksud dan tujuan;
     
    c.
    ruang lingkup;
     
    d.
    hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
     
    e.
    jangka waktu perjanjian;
     
    f.
    sumber pembiayaan;
     
    g.
    penyelesaian perselisihan;
     
    h.
    sanksi;
     
    i.
    korespondensi; dan
     
    j.
    perubahan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    RETRIBUSI DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi Daerah
     

    Pasal 50

    Jenis retribusi daerah terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 51

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a, adalah:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum;
     
    d.
    pelayanan pasar;
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan pemerintahan urusan dalam negeri, dan DPRD paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan Jasa Umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Pihak Swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam menetapkan tarif retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (3)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (4)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan tarif retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Struktur dan besaran tarif retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (3)
    Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi Jasa Umum.
    (4)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 56

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    d.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga;
     
    e.
    pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah.
    (2)
    Penyediaan/pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati yang mengatur penambahan detail rincian pelayanan pada BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan Urusan Keuangan Negara, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam menetapkan tarif retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (3)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    Besaran retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dengan tarif retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Struktur dan besaran tarif retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (3)
    Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi Jasa Usaha.
    (4)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 61

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek retribusi Jasa Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf c adalah:
     
    a.
    persetujuan bangunan gedung;
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing;
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (3)
    Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (5)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
    (6)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Pelayanan Kesehatan
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 66

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di Puskesmas, Puskesmas keliling, Puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 67

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan Jasa Umum atas pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan kesehatan pasien penjaminan BPJS Kesehatan/BPJS Ketenagakerjaan dihitung dalam bentuk kapitasi dan klaim sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan perawatan kesehatan masyarakat (home care) dihitung berdasarkan perkalian antara jenis pelayanan kesehatan yang diterima dengan tarif per jenis pelayanan ditambah biaya transportasi dihitung berdasarkan jarak pusat/fasilitas layanan kesehatan dengan lokasi rumah pasien.
    (4)
    Tingkat penggunaan pelayanan ambulans atau mobil jenazah dihitung berdasarkan jarak tempuh dengan satuan kilometer dan fasilitas serta kru (crew) yang menyertai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Retribusi Pelayanan Kebersihan
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 68

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b adalah pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah yang meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    penyedotan dan pengolahan limbah domestik.
    (2)
    Dikecualikan dari objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, tempat ibadah, sosial, dan sekolah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 69

    Tingkat penggunaan jasa pelayanan Jasa Umum atas pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah domestik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 70

    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 71

    Tingkat penggunaan jasa pelayanan Jasa Umum atas Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Retribusi Pelayanan Pasar
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 72

    Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar rakyat/tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 73

    Tingkat penggunaan jasa pelayanan Jasa Umum atas Pelayanan Pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 74

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 75

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 76

    Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan merupakan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    (1)
    Objek Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kendaraan roda dua (sepeda, sepeda motor atau sejenisnya) kendaraan roda empat (sedan, minibus, atau sejenisnya), kendaraan roda enam (bus, truk atau sejenisnya), kereta tempelan, kereta gandengan, atau sejenisnya, dengan tarif layanan retribusi yang terdiri dari:
     
    a.
    Tarif flat;
     
    b.
    Tarif progresif;
     
    c.
    Tarif berlangganan yang bersifat opsional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 78

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan diukur berdasarkan frekuensi, jangka waktu penggunaan fasilitas dan jenis kendaraan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Retribusi Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 79

    Pelayanan rumah Pemotongan Hewan Ternak merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 80

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Belas
    Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 81

    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
    a.
    pemakaian kolam renang;
    b.
    pemakaian lapangan voli pantai;
    c.
    pemakaian gedung lapangan bulu tangkis, futsal;
    d.
    pemakaian lapangan tenis;
    e.
    pemakaian stadion gelora delta;
    f.
    pemakaian gedung serba guna;
    g.
    pemakaian stadion jenggolo;
    h.
    pemakaian fasilitas penunjang pada gedung dan areal tempat olahraga;
    i.
    pemakaian lapangan sepak bola pada fasum kelurahan;
    j.
    pemakaian tempat olahraga dan fasilitas penunjang pada fasilitas umum perumahan (lapangan basket, lapangan tenis, gedung lapangan bulu tangkis, lapangan futsal, lapangan voli, lapangan sepak bola, lapangan olahraga, kolam renang, balai tempat olahraga, aula tempat olahraga);
    k.
    pemakaian lapangan olahraga pada area rumah susun sederhana sewa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 82

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga Belas
    Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 83

    (1)
    Pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan yaitu pemanfaatan barang milik daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Objek Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    jasa pelayanan laboratorium lingkungan;
     
    b.
    penggunaan bangunan gedung;
     
    c.
    penggunaan tanah;
     
    d.
    pemakaian rumah susun sederhana sewa;
     
    e.
    pemanfaatan pemakaman umum estate;
     
    f.
    pemakaian fasilitas penunjang pada area fasum kelurahan dan perumahan;
     
    g.
    penggunaan peralatan, ruangan dan/atau laboratorium di klinik/puskeswan untuk pelayanan kesehatan hewan;
     
    h.
    penggunaan peralatan dan laboratorium untuk pengujian bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan;
     
    i.
    pemanfaatan aset penunjang di puskesmas;
     
    j.
    pemanfaatan aset penunjang di blud rsud;
     
    k.
    pemanfaatan aset penunjang di blud puskesmas;
     
    l.
    pelayanan pemeriksaan di laboratorium kesehatan lingkungan milik daerah kabupaten sidoarjo;
     
    m.
    penanganan penyakit/wabah tertentu pada BLUD RSUD;
     
    n.
    pemanfaatan mall pelayanan publik;
     
    o.
    pemanfaatan tanah di atas pengairan/sempadan pengairan;
     
    p.
    pemanfaatan ruang milik jalan untuk pendirian dan operasional fiber optic.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 84

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Khusus untuk pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah, bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif ditetapkan dengan Peraturan Bupati, untuk:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (2)
    Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (3)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (4)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat Belas
    Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 86

    (1)
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Objek Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    pilahan sampah rumah tangga sesuai dengan jenisnya
     
    b.
    penjualan hasil olahan air limbah domestik;
     
    c.
    produksi jasa penunjang di puskesmas;
     
    d.
    produksi jasa penunjang di BLUD Puskesmas;
     
    e.
    produksi jasa penunjang di Griya Sehat;
     
    f.
    sterilisasi sentral dan laundry pada BLUD RSUD Sidoarjo;
     
    g.
    sterilisasi sentral dan laundry pada BLUD RSUD Sidoarjo Barat;
     
    h.
    penjualan Katering Layanan Kesehatan non Pasien (RSUD);
     
    i.
    penjualan catering layanan kesehatan non pasien (BLUD RSUD Sidoarjo);
     
    j.
    penjualan katering layanan kesehatan non pasien (BLUD RSUD Sidoarjo Barat).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 87

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima Belas
    Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 88

    Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    Pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
     
    d.
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Retribusi
     

    Pasal 90

    (1)
    Besaran Retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan retribusi PBG.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan.
    (3)
    Harga satuan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    standar harga satuan tertinggi untuk bangunan gedung; dan
     
    b.
    harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung untuk prasarana bangunan gedung.
    (4)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas formula untuk:
     
    a.
    bangunan gedung; dan
     
    b.
    prasarana bangunan gedung.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    (1)
    Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif Retribusi PBG didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan penerbitan PBG.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    (1)
    Struktur dan besaran tarif PBG ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan pelayanan konsultasi untuk:
     
    a.
    bangunan gedung
     
     
    Tarif retribusi PBG untuk Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus: LLt x (Ilo x SHST) x It x Ibg.
     
    b.
    prasarana bangunan gedung
     
     
    Tarif retribusi PBG untuk Prasarana Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung (HSpbg) atau dengan rumus: V x I x Ibg x HSpbg.
    (2)
    Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus If x ∑ (bp x Ip) x Fm.
    (3)
    Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang dipakai dalam perhitungan retribusi, merupakan HSBGN Bangunan Gedung Negara Sederhana dan ditetapkan sebesar Rp6.320.000,00 (enam juta tiga ratus dua puluh ribu Rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    Peninjauan besaran tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 untuk Retribusi pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam Belas
    Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing
     
    Paragraf 1
    Objek Retribusi
     

    Pasal 94

    (1)
    Pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing merupakan pelayanan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga Kerja Asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
    (3)
    Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibayarkan dimuka dengan rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat pembayaran retribusi oleh Wajib Retribusi.
    (4)
    Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing kurang dari 1 (satu) bulan wajib membayar Retribusi Pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebesar 1 (satu) bulan penuh.
    (5)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 95

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif Retribusi penggunaan Tenaga Kerja Asing didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan penerbitan izin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    Peninjauan besaran tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 untuk Retribusi pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh Belas
    Pemanfaatan
     

    Pasal 97

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 98

    (1)
    Ketentuan mengenai tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati.
    (2)
    Tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran pajak dan retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan pajak;
     
    g.
    penagihan pajak dan retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang pajak dan retribusi oleh Bupati; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak dan retribusi, antara lain mengenai masa pajak, tahun pajak, dan jangka waktu pembayaran atau penyetoran pajak terutang.
    (3)
    Pembayaran dan penyetoran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (4)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis sistem elektronik belum tersedia pembayaran atau penyetoran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Bagi Pejabat
     

    Pasal 99

    (1)
    Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta atas pemindahan hak Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (3)
    Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    (1)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB yang telah dilakukan penelitian oleh Perangkat Daerah yang membidangi pajak.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Dasar Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
     

    Pasal 102

    (1)
    Dokumen yang dipergunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak berdasarkan penetapan Bupati antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
    (2)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak antara lain adalah surat pemberitahuan Pajak Daerah.
    (3)
    Dokumen pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    (1)
    Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (2)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan aplikasi pelayanan dan perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pelaporan
     

    Pasal 104

    (1)
    Pelaporan SPTPD dilakukan setiap Masa Pajak.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
    (3)
    Berdasarkan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bupati menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
    (4)
    Ketentuan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD, penentuan Masa Pajak untuk setiap jenis Pajak, dan batas waktu penyampaian SPTPD ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
     

    Pasal 105

    (1)
    Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
    (2)
    Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
    (3)
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
     
    b.
    ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (4)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
    (5)
    Pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dalam hal Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (6)
    Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (7)
    Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) tertangguh jika:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran; atau
     
    b.
    terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran.
    (4)
    Pengakuan Utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan Utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
    (6)
    Dalam hal terdapat pengakuan Utang Retribusi dari Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi dan/atau Sanksinya
     
    Paragraf 1
    Insentif Fiskal Pajak Bagi Pelaku Usaha
     

    Pasal 107

    (1)
    Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, antara lain:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor antara lain:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka mendukung percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, dan apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak untuk tujuan lain.
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (3) dan ayat (5).
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 110

    (1)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi dan/atau objek pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak atau Wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Retribusi sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 111

    (1)
    Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang atau utang pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kekuasaannya (keadaan kahar) sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    SANKSI ADMINISTRATIF BAGI WAJIB PAJAK DAN/ATAU WAJIB RETRIBUSI
     

    Pasal 112

    (1)
    Sanksi Administratif diberikan kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, dalam hal:
     
    a.
    tidak atau kurang membayar atau menyetor Pajak yang terutang tepat pada waktunya, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD;
     
    b.
    tidak membayar atau menyetor Retribusi yang terutang tepat pada waktunya, Wajib Retribusi dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD;
     
    c.
    atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan;
     
    d.
    berdasarkan hasil penelitian atas SPTPD, diketahui terdapat pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, sehingga diterbitkan STPD dengan mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan;
     
    e.
    berdasarkan SKPDKB terdapat pajak yang kurang atau tidak dibayar untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
     
    1.
    Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
     
     
    2.
    Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB yang diterbitkan berdasarkan perhitungan secara jabatan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu tertentu atau Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik atau tidak memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan Pemeriksaan, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
     
     
     
    a)
    kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c; atau
     
     
     
    b)
    kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b.
     
     
    3.
    terdapat jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT, Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak tersebut.
     
    f.
    terdapat jumlah tagihan dalam:
     
     
    1.
    STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati dalam hal Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
     
     
    2.
    STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak dalam hal SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran,
        maka Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
     
    g.
    keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
     
    h.
    permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) setiap bulan.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (keadaan kahar).
    (2)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    Ketentuan lebih lanjut terkait tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112, Pasal 113 dan Pasal 114 diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 116

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    (1)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (2)
    Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (3)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (4)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    INSENTIF PEMUNGUTAN
     

    Pasal 118

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    SISTEM INFORMASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 119

    (1)
    Untuk efisiensi dan efektivitas pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah membuat sistem informasi.
    (2)
    Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan, pengawasan dan pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    (3)
    Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan ketentuan rahasia di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 120

    (1)
    Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugas mempunyai wewenang:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan yang perlu untuk kelancaraan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 121

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati sehingga merugikan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 57, dan Pasal 62, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dan Pasal 123 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 126

    Hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum terselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, penyelesaiannya berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah dan peraturan pelaksanaannya yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    Ketentuan terkait pemungutan dan pembayaran retribusi pada BLUD yang terutang sebelum berlakunya peraturan daerah ini, diakui dan diselesaikan dengan berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    Bagi pertokoan yang telah dikenakan retribusi sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan, tetap diakui dan harus menyesuaikan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dengan dikenakan biaya sewa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait Pemanfaatan Aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    Bangunan Gedung yang telah memperoleh izin mendirikan bangunan atau persetujuan bangunan gedung dari Pemerintah Daerah sebelum Peraturan Daerah ini mulai berlaku, izinnya masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB berlaku mulai tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 132

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Bupati yang mengatur terkait Tata Cara Pembayaran, Penagihan, Pemberian Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran, Keberatan, dan Sanksi di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 133

    Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur terkait pajak atau retribusi yang diatur dalam:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 5 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor. 7 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2018 (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Dan Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    k.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Terminal Penumpang (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    l.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    m.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Dan Retribusi Pelayanan Sampah/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    n.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    o.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pencegahan,Penanggulangan Bahaya Kebakaran Dan Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    p.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    q.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    r.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2011 Seri C);
    s.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017 Nomor 1 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 82);
    t.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik Dan Retribusi Pengolahan Limbah Cair (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2018 Nomor 5 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 87);
    u.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2019 Nomor 1 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 101);
    v.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 13 Tahun 2019 Tentang penyelenggaraan dan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2019 Nomor 2 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 102);
    w.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Metrologi Legal Dan Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2019 Nomor 3 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 103);
    x.
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran (Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2019 Nomor 4 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 106),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 135

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Sidoarjo
    pada tanggal 5 Januari 2024
    BUPATI SIDOARJO,
    ttd
    AHMAD MUHDLOR
     
    Diundangkan di Sidoarjo
    ada tanggal 5 Januari 2024
    Pj. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN SIDOARJO,
    ttd
    ANDJAR SURJADIANTO
     
    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO TAHUN 2024 NOMOR 1 SERI B
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pajak dan Retribusi Daerah merupakan sumber pendapatan asli daerah yang utama. Sebagai sumber pendapatan yang utama, maka pajak dan retribusi daerah harus diatur jelas dan berkepastian hukum, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi wajib pajak dan wajib retribusi. Bahwa pajak dan retribusi sebagai pungutan yang membebani masyarakat, telah diatur dalam undang-undang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang mencabut Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berakibat perlunya perubahan pengaturan pajak dan retribusi daerah.
     
    Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo ini dibentuk sesuai dengan perintah dari UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat Daerah, dengan melakukan pengaturan seluruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam satu Peraturan Daerah. Materi muatan dalam Peraturan Daerah ini mengatur dua hal pokok, yaitu pajak dan retribusi. Dalam hal pajak, jenis-jenis pajak yang berpotensi dan dapat dipungut sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat Daerah diatur di Kabupaten Sidoarjo. Demikian pula dalam hal retribusi, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melakukan pemungutan retribusi terhadap layanan yang diberikan dalam ruang lingkup Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.
     
    Peraturan Daerah ini mengatur hal-hal pokok mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan ruang lingkup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan diatur dalam Peraturan Bupati sehingga diharapkan lebih responsif dan adaptif dalam penyelenggaraan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan ”tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan “bumi dan/atau bangunan” adalah tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati sebagai objek yang dikecualikan dari objek PBB-P2, tidak termasuk satu kesatuan objek yang dipecah-pecah agar NJOPnya menjadi dibawah NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati sebagai objek yang dikecualikan dari objek PBB-P2.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “penilaian PBB-P2” adalah kegiatan untuk menentukan nilai jual objek pajak yang akan dijadikan dasar pengenaan PBB-P2 dengan menerapkan pendekatan perbandingan harga, pendekatan biaya, dan/atau pendekatan kapitasi pendapatan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    a.
    Kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian, misal: dalam hal pemerintah daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak;
     
    Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
    c.
    Klasterisasi NJOP.
     
    Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten/Kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
     
    1.
    NJOP < Rp X juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60%;
     
    2.
    NJOP Rp X juta - Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80%;
     
    3.
    NJOP > Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Pemindahan Hak karena:
    1.
    Jual beli merupakan suatu perbuatan hukum atas suatu perjanjian timbal balik, dimana pihak yang satu (penjual) menyerahkan hak atas suatu barang (bumi dan/atau bangunan) kepada pihak lainnya (pembeli), dan si pembeli membayar harga (berupa uang maupun alat pembayaran lainnya) yang telah disetujui bersama kepada si penjual, sebagai imbalan dari perolehan hak tersebut.
    2.
    Tukar menukar adalah suatu perbuatan hukum yang mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling mengalihkan haknya secara timbal balik atas suatu tanah dan/atau bangunan.
    3.
    Hibah adalah suatu persetujuan dimana seseorang penghibah mengalihkan haknya atas tanah dan/atau bangunan secara cuma-cuma kepada penerima hibah tanpa menariknya kembali.
    4.
    Hibah Wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
    5.
    Waris adalah orang yang mendapatkan harta warisan baik sebagai ahli waris maupun bukan ahli waris.
    6.
    Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain adalah peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau Badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lain sebagai penyertaan modal perseroan terbatas atau badan hukum lain tersebut.
    7.
    Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan kepada sesama pemegang hak bersama.
    8.
    Penunjukkan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
    9.
    Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam keputusan Hakim tersebut yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
    10.
    Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua Badan Usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Badan Usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung tersebut.
    11.
    Peleburan Usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
    12.
    Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
    13.
    Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak alas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada penerima hadiah.
    Huruf b
    Pemberian Hak Baru karena:
    1.
    Pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
    2.
    Pemberian hak baru karena di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
    Huruf b
    Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
    Huruf c
    Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu menurut peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan atau agraria.
    Huruf d
    Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Huruf e
    Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
    Huruf f
    Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “konversi hak” adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan atau agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah.
     
    Contoh:
    1.
    Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru.
     
    Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah.
     
    Contoh:
    1.
    Peningkatan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama;
    2.
    Perpanjangan Hak Guna Bangunan sebelum berakhirnya hak.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Harga transaksi untuk jual beli adalah nilai yang sesungguhnya diserahkan atau dibayarkan dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tidak dipengaruhi hubungan istimewa.
    Huruf b
    Nilai Pasar adalah nilai yang seharusnya dibayar berdasarkan harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Ayat (1)
    kewajiban kepala kantor dalam peraturan daerah ini berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi pada saat pembentukan peraturan daerah ini kewajiban dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak dan Retribusi Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Ayat (1)
    Wewenang Kepala Kantor dalam peraturan daerah ini berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi pada saat pembentukan peraturan daerah ini kewajiban dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak dan Retribusi Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
     
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 121

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024