Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG
NOMOR 4 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI REMBANG,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan, serta pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
|
|||||||
b.
|
bahwa optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan sesuai potensi daerah guna mendukung terciptanya iklim investasi dan kemudahan berusaha serta peningkatan kesejahteraan Masyarakat;
|
|||||||
c.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di Daerah;
|
|||||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah;
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN REMBANG
dan
BUPATI REMBANG
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Daerah adalah Kabupaten Rembang.
|
|||||||
2.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
3.
|
Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||||||
4.
|
Bupati adalah Bupati Rembang.
|
|||||||
5.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
6.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
7.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
8.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
9.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||||||
10.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
11.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
|
|||||||
12.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
13.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
14.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||||||
15.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||||||
16.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||||||
17.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
18.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
19.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
|||||||
20.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||||||
21.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
|||||||
22.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah Makanan dan/atau Minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||||||
23.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||||||
24.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit Tenaga Listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan Listrik.
|
|||||||
25.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||||||
26.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area Parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
|
|||||||
27.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||||||
28.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
29.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||||||
30.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
31.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||||||
32.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||||
33.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||||||
34.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||||
35.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
36.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
37.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
38.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||
39.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
40.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||
41.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
|||||||
42.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
|||||||
43.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
|
|||||||
44.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
45.
|
Pajak yang Terutang adalah Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
46.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data Objek Pajak dan Subjek Pajak, penentuan besarnya Pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
47.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
48.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||||||
49.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
50.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
|
|||||||
51.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||||||
52.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
53.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar dari pada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
54.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||||
55.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||||
56.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
57.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
58.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
59.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
60.
|
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
|
|||||||
61.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
|
|||||||
62.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
|
|||||||
63.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam SKPD atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
64.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||||||
65.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||||||
66.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
|||||||
67.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
68.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
69.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
70.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
71.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||||||
72.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar dari pada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
73.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
74.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah atau unit Satuan Kerja Perangkat Daerah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||
75.
|
Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Bupati untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah.
|
|||||||
76.
|
Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
77.
|
Penyidikan Tindak Pidana di bidang Perpajakan Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||||||
Jenis Pajak yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
PBB-P2;
|
|||||||
b.
|
BPHTB;
|
|||||||
c.
|
PBJT atas:
|
|||||||
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||||||
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
||||||
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||
e.
|
PAT;
|
|||||||
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||||||
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
|||||||
h.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||
i.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||||||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||||||
|
c.
|
PAT;
|
||||||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
BPHTB;
|
||||||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||||||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
|||||
|
c.
|
Pajak MBLB; dan
|
||||||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PBB-P2
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib PBB-P2
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang:
|
||||||
|
|
1.
|
keagamaan;
|
|||||
|
|
2.
|
panti sosial;
|
|||||
|
|
3.
|
kesehatan;
|
|||||
|
|
4.
|
pendidikan; dan
|
|||||
|
|
5.
|
kebudayaan nasional;
|
|||||
|
|
yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
|
||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
||||||
(4)
|
Rincian objek pajak yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||||
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata:
|
||||||||
a.
|
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi; dan/atau
|
|||||||
b.
|
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan PBB-P2
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
|||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari 1 (satu) objek PBB-P2 di wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan:
|
|||||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam wilayah Daerah.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif PBB-P2
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar:
|
|||||||
|
a.
|
0,15% (nol koma lima belas persen) untuk NJOP senilai nol sampai Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
|
||||||
|
b.
|
0,20% (nol koma dua puluh persen) untuk NJOP senilai lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
|
||||||
|
c.
|
0,23% (nol koma dua puluh tiga persen) untuk NJOP senilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sampai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah); dan
|
||||||
|
d.
|
0,25% (nol koma dua puluh lima persen) untuk NJOP senilai lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
|
||||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar:
|
|||||||
|
a.
|
0,10% (nol koma sepuluh persen) untuk NJOP senilai nol sampai Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
|
||||||
|
b.
|
0,15% (nol koma lima belas persen) untuk NJOP senilai lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
|
||||||
|
c.
|
0,20% (nol koma dua puluh persen) untuk NJOP senilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sampai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah); dan
|
||||||
|
d.
|
0,23% (nol koma dua puluh tiga persen) untuk NJOP senilai lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tata Cara Penghitungan PBB-P2
Pasal 10 |
||||||||
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) atau ayat (2).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Tahun Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan PBB-P2
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||||||
(2)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||||||
|
a.
|
perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
|
||||||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan PBB-P2
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Tata cara Pelaksanaan pemungutan PBB-P2 mencakup seluruh rangkaian proses yang harus dilakukan dalam menerima, menatausahakan dan melaporkan penerimaan PBB-P2;
|
|||||||
(2)
|
Tata cara Pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan; dan
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak oleh Bupati.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BPHTB
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Pajak BPHTB
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|||||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|||||
|
|
3.
|
hibah;
|
|||||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|||||
|
|
5.
|
waris;
|
|||||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|||||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|||||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|||||
|
|
13.
|
hadiah.
|
|||||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|||||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|||||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
hak milik;
|
||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||||||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||||||
|
d.
|
hak pakai;
|
||||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
|
||||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||||||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(5)
|
Rincian objek pajak yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Bupati dengan memedomani ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||||
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan BPHTB
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan Objek Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah; dan
|
||||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan Objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif BPHTB
Pasal 18 |
||||||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen)
|
||||||||
|
||||||||
Paragraf 4
Tata Cara Perhitungan BPHTB
Pasal 19 |
||||||||
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan Objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutangnya BPHTB
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
||||||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk putusan hakim;
|
||||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan BPHTB
Pasal 21 |
||||||||
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan BPHTB
Pasal 22 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
|
|||||||
(3)
|
Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||||||
(4)
|
Jangka waktu pembayaran atau penyetoran BPHTB terutang paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
|
|||||||
(6)
|
Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan ayat (3) berdasarkan nilai perolehan objek Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
|
||||||
|
b.
|
jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
|
||||||
(8)
|
Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) huruf b paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai surat keterangan bukan objek BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai dengan kewenangannya wajib:
|
|||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||||||
|
b.
|
melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||||||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
|
||||||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
|||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
||||||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||||||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||||||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PBJT
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib PBJT
Pasal 26 |
||||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per tahun;
|
||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||||||
|
a.
|
hotel;
|
||||||
|
b.
|
hostel;
|
||||||
|
c.
|
vila;
|
||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||||||
|
e.
|
motel;
|
||||||
|
f.
|
losmen;
|
||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||||||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||||||
|
k.
|
glamping.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
|
||||||
|
d.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan untuk kegiatan keagamaan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||||
|
e.
|
pameran;
|
||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||||||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
||||||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
pagelaran kesenian untuk kegiatan keagamaan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||||||
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||||
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan PBJT
Pasal 34 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
||||||
(2)
|
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan mata uang rupiah.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||||||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||||||
(2)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||||||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
||||||
(3)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||||||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||||||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
||||||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku.
|
||||||
(4)
|
Berdasarkan nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif PBJT
Pasal 36 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pagelaran tradisional ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
|
|||||||
(4)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tata Cara Perhitungan PBJT
Pasal 37 |
||||||||
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutangnya PBJT
Pasal 38 |
||||||||
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
||||||||
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||||||
c.
|
pembayaran/penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||||||
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||||||
e.
|
pembayaran/penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan PBJT
Pasal 39 |
||||||||
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan PBJT
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan PBJT mencakup seluruh rangkaian proses yang harus dilakukan dalam menerima menatausahakan dan melaporkan penerimaan PBJT.
|
|||||||
(2)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
pemberitahuan besaran Pajak terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan; dan
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak oleh Bupati.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Pajak Reklame
Pasal 41 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||||||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||||||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||||||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||||||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||||||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||||||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||||||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||||||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
|||||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||||||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||||
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Reklame
Pasal 44 |
||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif Pajak Reklame
Pasal 45 |
||||||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tata Cara Perhitungan Pajak Reklame
Pasal 46 |
||||||||
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutangnya Pajak Reklame
Pasal 47 |
||||||||
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Pajak Reklame
Pasal 48 |
||||||||
(1)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Reklame
Pasal 49 |
||||||||
(1)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan Pajak Reklame mencakup seluruh rangkaian proses yang harus dilakukan dalam menerima menatausahakan dan melaporkan penerimaan Pajak Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan; dan
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak oleh Bupati.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PAT
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib PAT
Pasal 50 |
||||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT yaitu pengambilan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
peternakan rakyat; dan
|
||||||
|
e.
|
keperluan keagamaan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||||
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||||
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan PAT
Pasal 53 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||||||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif PAT
Pasal 54 |
||||||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tata Cara Perhitungan
Pasal 55 |
||||||||
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang PAT
Pasal 56 |
||||||||
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan PAT
Pasal 57 |
||||||||
Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan PAT
Pasal 58 |
||||||||
(1)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan PAT mencakup seluruh rangkaian proses yang harus dilakukan dalam menerima menatausahakan dan melaporkan penerimaan PAT.
|
|||||||
(2)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan; dan
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak oleh Bupati.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak MBLB
Paragraf 1
Objek, Subjek, dan Wajib Pajak MBLB
Pasal 59 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB merupakan kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
asbes;
|
||||||
|
b.
|
batu tulis;
|
||||||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||||||
|
d.
|
batu kapur;
|
||||||
|
e.
|
batu apung;
|
||||||
|
f.
|
batu permata;
|
||||||
|
g.
|
bentonit;
|
||||||
|
h.
|
dolomit;
|
||||||
|
i.
|
feldspar;
|
||||||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||||||
|
k.
|
grafit;
|
||||||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||||||
|
m.
|
gips;
|
||||||
|
n.
|
kalsit;
|
||||||
|
o.
|
kaolin;
|
||||||
|
p.
|
leusit;
|
||||||
|
q.
|
magnesit;
|
||||||
|
r.
|
mika;
|
||||||
|
s.
|
marmer;
|
||||||
|
t.
|
nitrat;
|
||||||
|
u.
|
obsidian;
|
||||||
|
v.
|
oker;
|
||||||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||||||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||||||
|
y.
|
perlit;
|
||||||
|
z.
|
fosfat;
|
||||||
|
aa.
|
talk;
|
||||||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||||||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
||||||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||||||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
||||||
|
ff.
|
tras;
|
||||||
|
gg.
|
yarosit;
|
||||||
|
hh.
|
zeolit;
|
||||||
|
ii.
|
basal;
|
||||||
|
jj.
|
trakhit;
|
||||||
|
kk.
|
belerang
|
||||||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
||||||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB, meliputi pengambilan MBLB:
|
|||||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
|
||||||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||||||
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak MBLB
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif Pajak MBLB
Pasal 63 |
||||||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tata Cara Perhitungan Pajak MBLB
Pasal 64 |
||||||||
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang Pajak MBLB
Pasal 65 |
||||||||
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Pajak MBLB
Pasal 66 |
||||||||
Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak MBLB
Pasal 67 |
||||||||
(1)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan Pajak MBLB mencakup seluruh rangkaian proses yang harus dilakukan dalam menerima menatausahakan dan melaporkan penerimaan Pajak MBLB;
|
|||||||
(2)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
pemberitahuan besaran Pajak terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan; dan
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak oleh Bupati.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet
Paragraf 1
Objek, Subjek, dan Wajib Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 68 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
|||||||
(3)
|
Rincian objek pajak yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 71 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual Sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 72 |
||||||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tata Cara Perhitungan Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 73 |
||||||||
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 74 |
||||||||
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 75 |
||||||||
Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan Pajak Sarang Burung Walet mencakup seluruh rangkaian proses yang harus dilakukan dalam menerima menatausahakan dan melaporkan penerimaan Pajak Sarang Burung Walet;
|
|||||||
(2)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
pemberitahuan besaran Pajak terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan; dan
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak oleh Bupati.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Opsen PKB
Paragraf 1
Wajib Opsen PKB
Pasal 77 |
||||||||
Wajib Pajak Opsen PKB adalah Wajib PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Opsen PKB
Pasal 79 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB adalah PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif Opsen PKB
Pasal 80 |
||||||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tata Cara Perhitungan Opsen PKB
Pasal 81 |
||||||||
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang Opsen PKB
Pasal 82 |
||||||||
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Opsen PKB
Pasal 83 |
||||||||
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Opsen PKB
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan Opsen PKB mencakup seluruh rangkaian proses yang harus dilakukan dalam menerima, menatausahakan dan melaporkan penerimaan Opsen PKB.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Opsen BBNKB
Paragraf 1
Wajib Opsen BBNKB
Pasal 85 |
||||||||
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||||||
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Opsen BBNKB
Pasal 87 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tarif Opsen BBNKB
Pasal 88 |
||||||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tata Cara Perhitungan Opsen BBNKB
Pasal 89 |
||||||||
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang Opsen BBNKB
Pasal 90 |
||||||||
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB
Pasal 91 |
||||||||
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Opsen BBNKB
Pasal 92 |
||||||||
(1)
|
Tata cara pelaksanaan pemungutan Opsen BBNKB mencakup seluruh rangkaian proses yang harus dilakukan dalam menerima, menatausahakan, dan melaporkan penerimaan Opsen BBNKB.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 93 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keduabelas
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||||||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||||||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||||||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||||||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||||||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 95 |
||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Objek Retribusi Jasa Umum
Pasal 96 |
||||||||
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf a meliputi:
|
||||||||
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
|||||||
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
|||||||
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
|||||||
d.
|
pelayanan pasar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
|||||||
(6)
|
Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan Laboratorium Kesehatan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
|
||||||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||||||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kebersihan jalan umum;
|
||||||
|
b.
|
taman;
|
||||||
|
c.
|
tempat ibadah;
|
||||||
|
d.
|
sosial; dan
|
||||||
|
e.
|
tempat umum lainnya.
|
||||||
(3)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana berupa:
|
||||||||
a.
|
pelataran;
|
|||||||
b.
|
los; dan
|
|||||||
c.
|
kios;
|
|||||||
yang dikelola oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan pelayanan Pasar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Retribusi Jasa Umum
Pasal 102 |
||||||||
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||||||
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Jasa Umum
Pasal 104 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
||||||
(3)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Prinsip dan Sasaran dalam Penetapan Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 105 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran Retribusi Jasa Umum Terutang
Pasal 106 |
||||||||
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 107 |
||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Objek Retribusi Jasa Usaha
Pasal 108 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa:
|
||||||||
a.
|
fasilitas pasar grosir;
|
|||||||
b.
|
fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan; dan
|
|||||||
c.
|
tempat usaha lainnya.
|
|||||||
yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||||||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf g termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarifnya dapat ditetapkan dengan Peraturan Bupati untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(3)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Retribusi Jasa Usaha
Pasal 116 |
||||||||
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan Orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 117 |
||||||||
Wajib Retribusi Jasa Usaha adalah Orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Jasa Usaha
Pasal 118 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya diukur berdasarkan:
|
||||||
|
|
1.
|
luas tempat usaha;
|
|||||
|
|
2.
|
frekuensi layanan;
|
|||||
|
|
3.
|
fasilitas sarana;
|
|||||
|
|
4.
|
lokasi; dan/atau
|
|||||
|
|
5.
|
jangka waktu pemakaian.
|
|||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan:
|
||||||
|
|
1.
|
luas tempat pelelangan yang dimanfaatkan;
|
|||||
|
|
2.
|
frekuensi layanan; dan/atau
|
|||||
|
|
3.
|
jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan.
|
|||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan:
|
||||||
|
|
1.
|
jenis kendaraan;
|
|||||
|
|
2.
|
frekuensi layanan; dan/atau
|
|||||
|
|
3.
|
jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan.
|
|||||
|
d.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan:
|
||||||
|
|
1.
|
jenis hewan ternak;
|
|||||
|
|
2.
|
jenis layanan;
|
|||||
|
|
3.
|
frekuensi layanan; dan/atau
|
|||||
|
|
4.
|
jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan.
|
|||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan:
|
||||||
|
|
1.
|
jenis fasilitas;
|
|||||
|
|
2.
|
frekuensi layanan; dan/atau
|
|||||
|
|
3.
|
jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
|
|||||
|
f.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan:
|
||||||
|
|
1.
|
jenis; dan/atau
|
|||||
|
|
2.
|
volume produksi usaha Daerah.
|
|||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan:
|
||||||
|
|
1.
|
jenis layanan;
|
|||||
|
|
2.
|
frekuensi layanan; dan/atau
|
|||||
|
|
3.
|
jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Prinsip dan Sasaran dalam Penetapan Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 119 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien; dan
|
||||||
|
b.
|
berorientasi pada harga pasar.
|
||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran Retribusi Jasa Usaha Terutang
Pasal 120 |
||||||||
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 121 |
||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Objek Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 122 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf c meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
||||||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 123 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan persetujuan bangunan gedung, inspeksi bangunan gedung, penerbitan sertifikat laik fungsi dan surat bukti kepemilikan bangunan gedung, serta pencetakan plakat sertifikat laik fungsi.
|
|||||||
(3)
|
Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||||||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
||||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki persetujuan bangunan gedung dan/atau sertifikat laik fungsi;
|
||||||
|
c.
|
Persetujuan bangunan gedung perubahan untuk:
|
||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|||||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|||||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|||||
|
d.
|
Persetujuan bangunan gedung perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||||||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan milik:
|
|||||||
|
a.
|
pemerintah pusat;
|
||||||
|
b.
|
Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 124 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh:
|
|||||||
|
a.
|
instansi pemerintah pusat;
|
||||||
|
b.
|
perwakilan negara asing;
|
||||||
|
c.
|
badan internasional;
|
||||||
|
d.
|
lembaga sosial;
|
||||||
|
e.
|
lembaga keagamaan; dan
|
||||||
|
f.
|
jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 125 |
||||||||
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 126 |
||||||||
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Perizinan Tertentu
Pasal 127 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
|
||||||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
|||||
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|||||
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Volume;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Prinsip Dan Sasaran Dalam Penetapan Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 128 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penerbitan dokumen izin;
|
||||||
|
b.
|
pengawasan;
|
||||||
|
c.
|
penegakan hukum;
|
||||||
|
d.
|
penatausahaan; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
||||||
(3)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) huruf a, biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) huruf b, biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 129 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas Pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi atas pelayanan PBG.
|
|||||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi atas pelayanan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
||||||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 130 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(6)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan persetujuan bangunan gedung dilakukan terhadap besaran standar harga satuan tertinggi, Indeks Lokalitas dan harga satuan prasarana bangunan gedung.
|
|||||||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan perizinan tenaga kerja asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 131 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 132 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan;
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
|
||||||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 133 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
|||||||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||||||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 134 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||||||
|
b.
|
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
|||||||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 135 |
||||||||
(1)
|
Bupati menugaskan kepala Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah untuk melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Kepala Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah memerintahkan Juru sita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||||||
(5)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) atau ayat (2), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
|||||||
(6)
|
Penetapan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah Daerah.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 136 |
||||||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(2)
|
Penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 137 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||||||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||||||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
|
||||||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||||||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
|||||||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 138 |
||||||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Pemberitahuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 139 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 140 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 141 |
||||||||
(1)
|
Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
|
|||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||
(7)
|
Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
|
||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 142 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 143 |
||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 144 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
|
|||||||
(3)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
penanganan piutang pajak dan retribusi;
|
||||||
|
c.
|
melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi pajak dan retribusi;
|
||||||
|
d.
|
optimalisasi pelaksanaan opsen pajak;
|
||||||
|
e.
|
pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
f.
|
penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
|
||||||
|
g.
|
mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
|
||||||
|
h.
|
pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektifitas pemungutan pajak dan retribusi;
|
||||||
|
i.
|
pelaksanaan kerja sama teknis;
|
||||||
|
j.
|
pertukaran data dan informasi; dan
|
||||||
|
k.
|
hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 145 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
|
|||||||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
||||||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
|
||||||
|
c.
|
Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
SISTEM INFORMASI PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 146 |
||||||||
(1)
|
Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
|||||||
|
a.
|
kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
|
||||||
|
b.
|
potensi Pajak dan Retribusi.
|
||||||
(2)
|
Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek pajak dan retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 147 |
||||||||
(1)
|
Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya.
|
|||||||
(3)
|
Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
PEMERIKSAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 148 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
||||||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 149 |
||||||||
(1)
|
Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Bupati.
|
|||||||
(2)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi; dan
|
||||||
|
c.
|
perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
|
||||||
(3)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan pendapatan daerah.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 150 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi Kewajiban di bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 151 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap Masa Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
|
|||||||
(6)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 152 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(5)
|
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 153 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan, tidak memenuhi dokumen surat pemberitahuan pajak daerah secara benar dan lengkap serta tidak disampaikan kepada Pemerintah Daerah sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan, tidak memenuhi dokumen surat pemberitahuan pajak daerah secara benar dan lengkap serta tidak disampaikan kepada Pemerintah Daerah sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 154 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau Masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 155 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 117 dan Pasal 126 sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 156 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 157 |
||||||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 merupakan pendapatan negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 158 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
|
|||||||
b.
|
semua perjanjian sewa barang milik Daerah yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah yang telah ada sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah ini masih berlaku sampai dengan masa perjanjian habis;
|
|||||||
c.
|
perpanjangan perjanjian atau perjanjian baru atas sewa barang milik Daerah yang merupakan Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah yang sedang berproses mendasarkan pada ketentuan Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 159 |
||||||||
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 160 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2010 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 94);
|
|||||||
b.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2010 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 95);
|
|||||||
c.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 96);
|
|||||||
d.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. R. Soetrasno Kabupaten Rembang (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2010 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 97);
|
|||||||
e.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 100);
|
|||||||
f.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 101);
|
|||||||
g.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 102);
|
|||||||
h.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 109);
|
|||||||
i.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 110);
|
|||||||
j.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 111);
|
|||||||
k.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 113),
|
|||||||
dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 161 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur mengenai retribusi dalam:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 3);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2017 Nomor 6);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2018 Nomor 11); dan
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 4 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2021 Nomor 4),
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 162 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2010 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 94);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2010 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 95);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 96);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. R. Soetrasno Kabupaten Rembang (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2010 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 97);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 100);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 101);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 109);
|
|||||||
h.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 110);
|
|||||||
i.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Nomor 111);
|
|||||||
j.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 113);
|
|||||||
k.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2011 Nomor 114);
|
|||||||
l.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2016 Nomor 7);
|
|||||||
m.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2016 Nomor 8);
|
|||||||
n.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2018 Nomor 7);
|
|||||||
o.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2018 Nomor 8);
|
|||||||
p.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2019 Nomor 14);
|
|||||||
q.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2020 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2020 Nomor 150); dan
|
|||||||
r.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2021 Nomor 3),
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 163 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rembang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Rembang
pada tanggal 28 Desember 2023
BUPATI REMBANG,
ttd.
ABDUL HAFIDZ
Diundangkan di Rembang
pada tanggal 28 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN REMBANG,
ttd.
FAHRUDIN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN REMBANG TAHUN 2023 NOMOR 4
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG
NOMOR 4 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendanaan yang sangat penting bagi daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Sejalan dengan tujuan otonomi daerah, pendapatan daerah yang bersumber dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus senantiasa ditingkatkan demi mewujudkan kemandirian keuangan daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, terdapat 9 (sembilan) jenis pajak yang dapat dipungut oleh kabupaten/kota, yaitu:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
1.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2);
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
2.
|
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
3.
|
Pajak Atas Barang Jasa Tertentu (PBJT);
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
4.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
5.
|
Pajak Air Tanah (PAT);
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
6.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB);
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
7.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
8.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor; dan
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
9.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Selain Pajak Daerah, kewenangan Daerah Kabupaten juga meliputi pemungutan Retribusi Daerah yang terdiri dari:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
1.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
2.
|
Retribusi Jasa Usaha;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
3.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Oleh sebab itu, sesuai ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, pemungutan seluruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah, sehingga pembentukan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini merupakan pelaksanaan atas kewenangan dan perluasan basis Pajak Daerah yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kawasan” adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. Dalam hal terjadi perkembangan pembangunan yang mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat dilakukan setahun sekali. Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten atau Kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Nilai jual untuk bumi dan bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai objek pajak berupa:
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Karena Tahun Pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak yang terutang.
Contoh:
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan "hibah wasiat" adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Yang dimaksud dengan "pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya" adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
Angka 7
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
Angka 8
Yang dimaksud dengan "Penunjukan pembeli dalam lelang" adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Angka 9
Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
Angka 10
Yang dimaksud dengan "penggabungan usaha" adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
Angka 11
Yang dimaksud dengan "peleburan usaha" adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
Angka 12
Yang dimaksud dengan "pemekaran usaha" adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
Angka 13
Yang dimaksud dengan "hadiah" adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan "pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak" adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
Angka 2
Yang dimaksud dengan "pemberian hak baru di luar pelepasan hak" adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "hak milik" adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "hak guna usaha" adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku
Huruf c
Yang dimaksud dengan "hak guna bangunan" adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "hak pakai" adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "hak milik atas satuan rumah susun" adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan
Huruf f
Yang dimaksud dengan "hak pengelolaan" adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
Huruf c
Badan atau perwakilan organisasi internasional yang dimaksud dalam pasal ini adalah badan atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Huruf f
Yang dimaksud "wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “harga transaksi” adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "risalah lelang" adalah kutipan risalah lelang yang ditandatangani oleh kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara
Ayat (3)
Contoh:
Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan Nilai perolehan Objek Pajak (harga transaksi) Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar Rp.35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah), maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp. 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dan bukan Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Contoh:
Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak =Rp85.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp80.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Kena Pajak=Rp5.000.000,00
Pajak Yang Terutang = 5% x Rp5.000.000,00 = Rp250.000,00
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB.
Sebagai contoh, Bupati atau pejabat dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam objek restoran adalah rumah makan, depot makan, kafe, bar, warung makan dan lesehan kaki lima.
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Meliputi penyediaan penjualan makanan dan/atau minuman yang diantar atau dibawa pulang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan.
Huruf b
Hostel adalah rumah yang difungsikan sebagai hotel.
Huruf c
Vila adalah sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara yang biasanya terletak di daerah wisata atau pedesaan yang disewakan.
Huruf d
Pondok wisata adalah rumah tinggal yang sebagian kamarnya disewakan untuk tamu/wisatawan sebagai pendukung bagi kawasan sekitar wisata.
Huruf e
Motel adalah hotel yang dikelola untuk melayani pelanggan transit.
Huruf f
Losmen adalah jenis penginapan komersial yang menawarkan tarif lebih murah daripada hotel.
Huruf g
Wisma pariwisata adalah bangunan atau tempat tinggal atau komplek perumahan yang dipergunakan sebagai penginapan, tempat peristirahatan di daerah wisata.
Huruf h
Pesanggrahan adalah rumah peristirahatan atau penginapan dan biasanya milik pemerintah.
Huruf i
Rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage adalah rumah satu lantai berukuran kecil beratap jerami dan memiliki serambi luas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan.
Huruf k
Glamping adalah fasilitas berkemah dengan gaya mewah dan nyaman biasanya menyediakan fasilitas kasur, listrik, kamar mandi, wifi, dan air panas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”Reklame kain” adalah reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan bahan kain, plastik, karet atau bahan lain yang sejenis
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”Reklame melekat, stiker” adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas yang diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan atau dapat dapat diminta untuk ditempelkan, dilekatkan, dipasang, digantungkan pada suatu benda milik pribadi/orang lain.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”Reklame selebaran” adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan atau dapat diminta dengan ketentuan tidak untuk ditempelkan, dilekatkan, dipasang, digantungkan pada benda lain.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”Reklame berjalan” adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara membawa reklame berkeliling oleh orang berjalan kaki atau ditempatkan, ditempelkan pada kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan atau mekanik.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”Reklame udara” adalah reklame yang diselenggarakan di udara dengan menggunakan gas, pesawat atau alat lain yang sejenis.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”Reklame film/slide” adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara menggunakan klise berupa kaca atau film atau bahan-bahan lain yang sejenis sebagai alat untuk diproyeksikan dan atau dipergunakan pada layar atau benda lain atau dipancarkan dan/atau dipergunakan melalui pesawat televisi
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”Reklame Peragaan” adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara memperagakan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk pengairan pertanian dan perikanan rakyat yang semata-mata dilakukan dengan tujuan komersial atau memperoleh keuntungan.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Contoh Penghitungan:
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan pelayanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh:
PERDA PDRD:
Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Bupati sebagai berikut:
PERATURAN BUPATI:
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 98
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
Puskesmas Keliling merupakan jaringan pelayanan Puskesmas yang sifatnya bergerak (mobile), untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan bagi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas yang belum terjangkau oleh pelayanan dalam gedung Puskesmas.
Puskesmas Pembantu (Pustu) merupakan jaringan pelayanan Puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan secara permanen di suatu lokasi dalam wilayah kerja Puskesmas.
Balai pengobatan merupakan unit pelaksana yang menyelenggarakan upaya kesehatan tingkat lanjutan yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit mulai dari yang bersifat dasar, spesialistik, hingga sub spesialistik yang diselenggarakan dan dikelola oleh pihak Pemerintah Daerah.
Laboratorium Kesehatan Daerah merupakan Unit Pelaksana di Lingkungan Dinas Kesehatan yang melaksanakan pelayanan khusus di laboratorium.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh:
PERDA PDRD:
Pada tahun 2025, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan pemotongan hewan ternak berupa pelayanan pemotongan sapi dan pelayanan pemotongan kambing. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
PERATURAN BUPATI:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 171 |