Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA
NOMOR 15 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI PURBALINGGA,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara dan penduduk Indonesia, perlu menempatkan Pajak dan Retribusi sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial;
|
|||||||
b.
|
bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli Daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Daerah, dalam mendukung upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Purbalingga;
|
|||||||
c.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
|
|||||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 42);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN PURBALINGGA
dan
BUPATI PURBALINGGA
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Daerah adalah Kabupaten Purbalingga.
|
|||||||
2.
|
Bupati adalah Bupati Purbalingga.
|
|||||||
3.
|
Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
|||||||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah.
|
|||||||
5.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
6.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
|||||||
7.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
|
|||||||
8.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
9.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
10.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
11.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
12.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
13.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
14.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||||||
15.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||||||
16.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||||||
17.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
18.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
19.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
|||||||
20.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||||||
21.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
|||||||
22.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||||||
23.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||||||
24.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||||||
25.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||||||
26.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
|
|||||||
27.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknis berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||
28.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||||||
29.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atau penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
30.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||||||
31.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
32.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||||||
33.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||||
34.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||||||
35.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
36.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan Daerah atas pokok Pajak Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
37.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan Daerah atas pokok bea balik nama kendaraan bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
38.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
39.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
40.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||||||
41.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
|
|||||||
42.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||||||
43.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||||
44.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||||
45.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
46.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
47.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
48.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
49.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
50.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
|
|||||||
51.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||||||
52.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
|||||||
53.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
54.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||||||
55.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||||||
56.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
57.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
58.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
59.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
60.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||
61.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
62.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
63.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
|
||||||||
a.
|
pajak;
|
|||||||
b.
|
retribusi;
|
|||||||
c.
|
tata cara pemungutan pajak dan retribusi;
|
|||||||
d.
|
pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan pembayaran atas pokok pajak/retribusi dan/atau sanksinya;
|
|||||||
e.
|
kerahasiaan data wajib pajak;
|
|||||||
f.
|
sistem informasi pajak dan retribusi terintegrasi;
|
|||||||
g.
|
insentif pemungutan pajak dan retribusi;
|
|||||||
h.
|
sinergitas pemungutan pajak dan retribusi;
|
|||||||
i.
|
pembinaan dan pengawasan;
|
|||||||
j.
|
sanksi administrasi;
|
|||||||
k.
|
ketentuan penyidikan; dan
|
|||||||
l.
|
sanksi pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
||||||||
Jenis Pajak terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
PBB-P2;
|
|||||||
b.
|
BPHTB;
|
|||||||
c.
|
PBJT terdiri atas:
|
|||||||
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
||||||
|
2.
|
tenaga listrik;
|
||||||
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
||||||
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
||||||
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan
|
||||||
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||
e.
|
PAT;
|
|||||||
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||||||
g.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||
h.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||||||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||||||
|
c.
|
PAT;
|
||||||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
BPHTB;
|
||||||
|
b.
|
PBJT atas;
|
||||||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|||||
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|||||
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|||||
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
|||||
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
|||||
|
c.
|
Pajak MBLB.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati; dan
|
||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
|
|||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di wilayah daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten/Kota.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
Untuk NJOP kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar 0,11% (nol koma sebelas persen);
|
||||||
|
b.
|
Untuk NJOP Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen); dan
|
||||||
|
c.
|
Untuk NJOP lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) sebesar 0,20% (nol koma dua puluh persen).
|
||||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
Untuk NJOP kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar 0,10% (nol koma sepuluh persen);
|
||||||
|
b.
|
Untuk NJOP Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) sebesar 0,12% (nol koma dua belas persen); dan
|
||||||
|
c.
|
Untuk NJOP lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
|
|||||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||||||
(4)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|||||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|||||
|
|
3.
|
hibah;
|
|||||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|||||
|
|
5.
|
waris;
|
|||||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|||||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|||||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|||||
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
|||||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|||||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|||||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
hak milik;
|
||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||||||
|
c.
|
hak guna bangunan
|
||||||
|
d.
|
hak pakai;
|
||||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||||||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
|
|||||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||||
(4)
|
Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||||||
(6)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
||||||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||||||
(4)
|
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan risalah lelang kepada Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka kebenaran dan kesesuaian penghitungan BPHTB dilakukan Penelitian SSPD BPHTB.
|
|||||||
(2)
|
Tata cara penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 18 |
||||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||||||
a.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|||||||
b.
|
tenaga listrik;
|
|||||||
c.
|
jasa perhotelan;
|
|||||||
d.
|
jasa parkir; dan
|
|||||||
e.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi Makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
|
|||||||
|
a.
|
restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum; dan
|
||||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan makanan dan/atau minuman:
|
|||||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) per tahun;
|
||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||||||
|
a.
|
hotel;
|
||||||
|
b.
|
hostel;
|
||||||
|
c.
|
vila;
|
||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||||||
|
e.
|
motel;
|
||||||
|
f.
|
losmen;
|
||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||||||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||||||
|
k.
|
glamping.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||||
|
e.
|
pameran;
|
||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||||||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan
|
||||||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
nilai jual tenaga listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||||
(1)
|
Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||||||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||||||
(2)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||||||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
||||||
(3)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||||||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||||||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
||||||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||||
(4)
|
Berdasarkan nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
|
|||||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||||||
|
a.
|
penggunaan Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain bukan untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam sebesar 9% (sembilan persen);
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||||||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 29 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||||||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||||||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||||||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||||||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||||||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||||||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||||||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||||||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
|||||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||||||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
(4)
|
Khusus untuk reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAT
Pasal 34 |
||||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
peternakan rakyat; dan
|
||||||
|
e.
|
keperluan keagamaan;
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||||||
(3)
|
Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak MBLB
Pasal 39 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
asbes;
|
||||||
|
b.
|
batu tulis;
|
||||||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||||||
|
d.
|
batu kapur;
|
||||||
|
e.
|
batu apung;
|
||||||
|
f.
|
batu permata;
|
||||||
|
g.
|
bentonit;
|
||||||
|
h.
|
dolomit;
|
||||||
|
i.
|
feldspar;
|
||||||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||||||
|
k.
|
grafit;
|
||||||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||||||
|
m.
|
gips;
|
||||||
|
n.
|
kalsit;
|
||||||
|
o.
|
kaolin;
|
||||||
|
p.
|
leusit;
|
||||||
|
q.
|
magnesit;
|
||||||
|
r.
|
mika;
|
||||||
|
s.
|
marmer;
|
||||||
|
t.
|
nitrat;
|
||||||
|
u.
|
obsidian;
|
||||||
|
v.
|
oker;
|
||||||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||||||
|
x.
|
pasir kuarsa; perlit;
|
||||||
|
y.
|
fosfat;
|
||||||
|
z.
|
talk;
|
||||||
|
aa.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||||||
|
bb.
|
tanah diatom;
|
||||||
|
cc.
|
tanah liat;
|
||||||
|
dd.
|
Tawas (alum);
|
||||||
|
ee.
|
tras;
|
||||||
|
ff.
|
yarosit;
|
||||||
|
gg.
|
zeolit;
|
||||||
|
hh.
|
basal;
|
||||||
|
ii.
|
trakhit;
|
||||||
|
jj.
|
belerang;
|
||||||
|
kk.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
||||||
|
ll.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB, meliputi pengambilan MBLB:
|
|||||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
|
||||||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen PKB
Pasal 44 |
||||||||
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pungut Opsen PKB adalah instansi Pemerintah Daerah Provinsi bersangkutan yang berwenang memungut PKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen BBNKB
Pasal 49 |
||||||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pungut Opsen BBNKB adalah instansi Pemerintah Daerah Provinsi bersangkutan yang berwenang memungut BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 52.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 54 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 55 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||||||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||||||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah kabupaten/kota yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||||||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||||||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||||||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 56 |
||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 57 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
(4)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(5)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(6)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(8)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(9)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, laboratorium kesehatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah; dan
|
||||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan retribusi atas pelayanan kebersihan yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud ayat (1) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi Jasa Umum hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 65 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||||
Penyediaan tempat tempat penginapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan diukur berdasarkan jenis dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan.
|
||||||
|
d.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
f.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(4)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||
(1)
|
Khusus untuk pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf g, besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Bupati untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(3)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Tata cara penghitungan besaran Retribusi Jasa Usaha terutang atas pelayanan pemanfaatan barang milik Daerah ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
nilai retribusi terutang dari sewa dihitung berdasarkan perkalian antara tarif pokok sewa dan faktor penyesuai sewa;busi terutang dari KSP yang terdiri atas kontribusi tetap dan pembagian keuntungan ditetapkan oleh Bupati.
|
||||||
|
c.
|
nilai retribusi terutang dari hasil BGS/BSG berupa kontribusi tahunan dihitung oleh Tim yang dibentuk oleh Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
||||||
|
d.
|
nilai retribusi terutang dari kerja sama penyediaan infrastruktur berupa pembagian kelebihan keuntungan (clawback) ditetapkan oleh Bupati dengan mempertimbangkan hasil kajian dari Tim KSPI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi Jasa Usaha hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||||||
Retribusi untuk pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e dan Retribusi pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf f dikecualikan untuk kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan/atau menunjang kepentingan Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 78 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf c meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
||||||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(4)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat layak fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat layak fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan persetujuan bangunan gedung, inspeksi bangunan gedung, penerbitan sertifikat layak fungsi dan SBKBG, serta pencetakan plakat sertifikat layak fungsi.
|
|||||||
(3)
|
Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat layak fungsi tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||||||
|
a.
|
pembangunan baru;
|
||||||
|
b.
|
bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki persetujuan bangunan gedung dan/atau sertifikat layak fungsi;
|
||||||
|
c.
|
persetujuan bangunan gedung perubahan untuk:
|
||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi bangunan gedung;
|
|||||
|
|
2.
|
perubahan lapis bangunan gedung;
|
|||||
|
|
3.
|
perubahan luas bangunan gedung;
|
|||||
|
|
4.
|
perubahan tampak bangunan gedung;
|
|||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|||||
|
|
6.
|
perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan bangunan gedung cagar budaya; atau
|
|||||
|
|
8.
|
perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|||||
(4)
|
Persetujuan bangunan gedung perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
|||||||
(5)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
|
||||||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
formula untuk bangunan gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
indeks lokalitas;
|
|||||
|
|
2.
|
luas total lantai;
|
|||||
|
|
3.
|
indeks terintegrasi; dan
|
|||||
|
|
4.
|
indeks bangunan gedung terbangun;
|
|||||
|
b.
|
formula untuk prasarana bangunan gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
volume;
|
|||||
|
|
2.
|
indeks prasarana bangunan gedung; dan
|
|||||
|
|
3.
|
indeks bangunan gedung terbangun.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1), biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(4)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(6)
|
Peninjauan tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan persetujuan bangunan gedung hanya terhadap besaran standar harga satuan tertinggi dan indeks lokalitas.
|
|||||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan penggunaan tenaga kerja asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||||
(9)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan setiap jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Pasal 85 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(6)
|
Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
|
|||||||
(7)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
|||||||
(8)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 86 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||
(3)
|
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Pajak dan Retribusi
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
||||||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
||||||
(3)
|
Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit untuk:
|
|||||||
|
a.
|
pemberian NPWPD secara jabatan;
|
||||||
|
b.
|
penghapusan NPWPD;
|
||||||
|
c.
|
penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
|
||||||
|
d.
|
pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
|
||||||
(4)
|
Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
|||||||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||||||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kadaluarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kadaluarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||||||
|
b.
|
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
|||||||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penghapusan Piutang Pajak Dan Retribusi
Pasal 90 |
||||||||
(1)
|
Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||||||
(5)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
|||||||
(6)
|
Penetapan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah Daerah.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||||||
(1)
|
Bupati melakukan pengelolaan piutang Retribusi untuk menentukan prioritas Penagihan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan petugas untuk melakukan Penagihan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(4)
|
Piutang Retribusi yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Keberatan dan Banding
Paragraf 1
Keberatan Pajak
Pasal 92 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Keberatan Retribusi
Pasal 93 |
||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan Keberatan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Banding
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
(2)
|
Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Gugatan Pajak
Pasal 95 |
||||||||
(1)
|
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
|
|||||||
|
a.
|
pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
|
||||||
|
b.
|
keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
|
||||||
|
c.
|
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 89 ayat (1); dan
|
||||||
|
d.
|
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.
|
||||||
(2)
|
Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data
Paragraf 1
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
Pasal 96 |
||||||||
(1)
|
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
|
|||||||
|
a.
|
Pemerintah;
|
||||||
|
b.
|
Pemerintah Daerah lain; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
pihak ketiga.
|
||||||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
b.
|
pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
c.
|
pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
|
||||||
|
d.
|
pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
|
||||||
|
e.
|
peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
|
||||||
|
f.
|
penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
|
||||||
|
g.
|
kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
|
||||||
(3)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
|
|||||||
(4)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
|
|||||||
(5)
|
Tata cara pelaksanaan kerja sama optimalisasi pemungutan pajak mengacu pada peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
Pasal 97 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
|
|||||||
(2)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN PEMBAYARAN ATAS POKOK PAJAK, POKOK RETRIBUSI, DAN/ATAU SANKSINYA
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 98 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 99 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 100 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
SISTEM INFORMASI PAJAK DAN RETRIBUSI TERINTEGRASI
Bagian Kesatu
Penetapan Target Penerimaan Pajak Dan Retribusi Dalam APBD
Pasal 101 |
||||||||
(1)
|
Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
|||||||
|
a.
|
kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
|
||||||
|
b.
|
potensi Pajak dan Retribusi.
|
||||||
(2)
|
Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek pajak dan retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi
Pasal 102 |
||||||||
(1)
|
Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya.
|
|||||||
(3)
|
Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 103 |
||||||||
(1)
|
Instansi pelaksana pemungut Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 104 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
|
|||||||
(3)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
penanganan piutang Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
d.
|
optimalisasi pelaksanaan Opsen Pajak;
|
||||||
|
e.
|
pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
f.
|
penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
|
||||||
|
g.
|
mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
|
||||||
|
h.
|
pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektivitas pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
i.
|
pelaksanaan kerja sama teknis;
|
||||||
|
j.
|
pertukaran data dan informasi; dan
|
||||||
|
k.
|
hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Pelaksanaan sinergitas, koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
|
|||||||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
||||||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
|
||||||
|
c.
|
Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
|
||||||
(2)
|
Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan unsur:
|
|||||||
|
a.
|
Pemerintah;
|
||||||
|
b.
|
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
||||||
|
c.
|
Pemerintah Kabupaten/Kota;
|
||||||
|
d.
|
Pemerintah Desa;
|
||||||
|
e.
|
badan hukum; dan/atau
|
||||||
|
f.
|
unsur lainnya sesuai kebutuhan.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 106 |
||||||||
(1)
|
Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Bupati.
|
|||||||
(2)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi; dan
|
||||||
|
c.
|
pengelolaan Pajak dan Retribusi serta evaluasinya.
|
||||||
(3)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 107 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||||||
|
a.
|
bunga;
|
||||||
|
b.
|
denda; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 108 |
||||||||
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XIII
SANKSI PIDANA
Pasal 109 |
||||||||
Wajib Pajak yang karena kealpaannya atau dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak menyampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (5) sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana sesuai ketentuan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana dengan pidana sesuai ketentuan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 111 |
||||||||
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||||||
Wajib Retribusi Pasar Segamas yang telah membayar uang sewa tempat usaha selama 20 (dua puluh tahun) terhitung sejak diterbitkan surat pernyataan sewa, hanya diwajibkan membayar retribusi sebesar tarif retribusi pelayanan pasar dikurangi perhitungan uang sewa tempat usaha yang telah dibayar, yang teknis perhitungannya akan diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 114 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Purbalingga Nomor 10 Tahun 1988 tentang Pekuburan Umum Cina (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Purbalingga Seri B Nomor 5);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 03 Tahun 2008 tentang Retribusi Penggunaan Fasilitas Sub Terminal Agribisnis Kutabawa (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2008 Nomor 03)
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar Segamas (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2010 Nomor 16);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2011 Nomor 1) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 17 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2018 Nomor 17, Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 65);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2011 Nomor 2);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 1);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 2);
|
|||||||
h.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 3) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2021 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 104);
|
|||||||
i.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 4);
|
|||||||
j.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir dan Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir dan Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2021 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 103);
|
|||||||
k.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 6) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2021 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 102);
|
|||||||
l.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kabupaten Purbalingga (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 7) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kabupaten Purbalingga (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 79);
|
|||||||
m.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 8 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar Kabupaten Purbalingga (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 8);
|
|||||||
n.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 15);
|
|||||||
o.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 3 Tahun 2013 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2013 Nomor 3);
|
|||||||
p.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 4 Tahun 2013 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2013 Nomor 4);
|
|||||||
q.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 5 Tahun 2013 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2013 Nomor 5);
|
|||||||
r.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 2 Tahun 2015 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2015 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 2);
|
|||||||
s.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Metrologi Legal dan Retribusi Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2018 Nomor 33, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 78);
|
|||||||
t.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 3 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Pembangunan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2022 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 110);
|
|||||||
u.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 4 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2022 Nomor 4 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 111);
|
|||||||
v.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Kelas III Layanan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Purbalingga (Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2022 Nomor 10 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga purbalingga Nomor 117);
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Purbalingga
pada tanggal 29 Desember 2023
BUPATI PURBALINGGA,
ttd.
DYAH HAYUNING PRATIWI
Diundangkan di Purbalingga
pada tanggal 29 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN PURBALINGGA,
ttd.
HERNI SULASTI
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2023 NOMOR 15
|
||||||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 15 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|
|
|
|
I.
|
UMUM
|
|||||||
|
Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Restrukturisasi jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu hal penting dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tersebut, selain juga pengaturan mengenai TKD meliputi DBH, DAU, DAK Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan serta Dana Desa.
Selain hal-hal dimaksud Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah dengan tidak menambah beban maksimum yang dapat ditanggung Wajib Pajak pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi, Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang juga dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
Dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur bahwa Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.
Selain berpedoman pada substansi yang harus diatur dalam Peraturan Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah dalam satu Peraturan Daerah, dalam Peraturan Daerah juga mengatur hal lain yang bersifat muatan lokal dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diantaranya sistem informasi terintegrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kelembagaan (meliputi tata Kelola, organisasi, sarana dan prasarana, sumber daya manusia) sinergitas pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka Panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Yang dimaksud dengan kegiatan yang menunjang kepentingan Pemerintah Daerah adalah kegiatan yang mendukung pencapaian kinerja Pemerintah Daerah dan telah mendapatkan persetujuan dari Bupati.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 130
|