Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     

    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI PROBOLINGGO,
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 41) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya dengan Mengubah Undang­ Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO
    dan
    BUPATI PROBOLINGGO
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
    2.
    Daerah adalah Kabupaten Probolinggo.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Probolinggo.
    4.
    Bupati adalah Bupati Probolinggo.
    5.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah DPRD Kabupaten Probolinggo.
    6.
    Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
    7.
    Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
    8.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
    9.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    10.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    11.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    12.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    13.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    14.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    15.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    16.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.
    17.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    18.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    19.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual bell yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    20.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    21.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    22.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    23.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    24.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    25.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    26.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
    27.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    28.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    29.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    30.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    31.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    32.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    33.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    34.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    35.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    36.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu hara.
    37.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    38.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    39.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    40.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    41.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    42.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    43.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    44.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    45.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    46.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    47.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    48.
    Rumah Sakit Umum Daerah adalah unsur pelaksana teknis pada Dinas Kesehatan Kabupaten Probolinggo yang melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan.
    49.
    Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
    50.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Satuan Kerja Perangkat Daerah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    MAKSUD DAN TUJUAN
     

    Pasal 2

    (1)
    Peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Peraturan Daerah ini bertujuan untuk:
     
    a.
    meningkatkan pendapatan Daerah yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat; dan
     
    b.
    mewujudkan keseimbangan antara obyek Pajak dan tarif Retribusi dengan pelayanan yang diberikan kepada orang pribadi dan Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RUANG LINGKUP
     

    Pasal 3

    Ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah ini, meliputi:
    a.
    Pajak;
    b.
    Retribusi;
    c.
    Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    d.
    Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi;
    e.
    Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    f.
    Sanksi Administratif;
    g.
    Ket en tu an Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 4

    (1)
    Jenis Pajak terdiri dari:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB;
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf d, huruf e, huruf h dan huruf i dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
    (3)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf f dan huruf g dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB-P2 Paragraf 1 Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
    (2)
    Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Pajak
     

    Pasal 6

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    bumi dan/atau bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    g.
    bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
     
    i.
    bumi dan/atau bangunan yang dipungut Pajak Bumi dan Bangunan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak
     

    Pasal 7

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (6)
    Besaran NJOP ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena Pajak.
    (2)
    Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 9

    (1)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (2)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 10

    (1)
    Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (2)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan wilayah Daerah tempat bumi dan/atau bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan diatasnya;
     
    b.
    bangunan yang berada diluar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tarif Pajak
     

    Pasal 11

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    untuk NJOP sampai dengan Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,125% (nol koma satu dua lima persen) per tahun;
     
    b.
    untuk NJOP Rp500.000.001,- (lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma satu lima persen) per tahun;
     
    c.
    untuk NJOP Rp1.000.000.001,- (satu milyar satu rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,275% (nol koma dua tujuh lima persen) per tahun;
     
    d.
    untuk NJOP Rp2.000.000.001,- (dua milyar satu rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,4% (nol koma empat persen) per tahun; dan
     
    e.
    untuk NJOP diatas Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) per tahun.
    (2)
    Dalam hal objek Pajak berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    untuk NJOP sampai dengan Rp500.000.00 0,- (lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun;
     
    b.
    untuk NJOP Rp500.000.001,- (lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp1. 00 0.00 0.00 0,- (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,125% (nol koma satu dua lima persen) per tahun;
     
    c.
    untuk NJOP Rp1.000.00 0.001,- (satu milyar satu rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen) per tahun;
     
    d.
    untuk NJOP Rp2.000.000.001,- (dua milyar satu rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,375% (nol koma tiga tujuh lima persen) per tahun; dan
     
    e.
    untuk NJOP diatas Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,475% (nol koma empat tujuh lima persen) per tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 12

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BPHTB
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 13

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Pajak
     

    Pasal 14

    (1)
    Objek PBHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
    (2)
    Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak
     

    Pasal 15

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek Pajak.
    (2)
    Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual bell;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (6)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,­ (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 16

    Saat terutang BPHTB ditetapkan:
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 17

    BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tarif Pajak
     

    Pasal 18

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 19

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PBJT
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 20

    (1)
    Subjek PBJT adalah konsumen barang dan/atau jasa tertentu.
    (2)
    Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan dan/atau konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Pajak
     

    Pasal 21

    Objek PBJT adalah merupakan penjualan, penyerahan dan/atau konsumsi barang dan/atau jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    makanan dan/atau minuman;
    b.
    tenaga listrik;
    c.
    jasa perhotelan;
    d.
    jasa parkir; dan
    e.
    jasa kesenian dan hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a meliputi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Dikecualikan dari objek penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan makanan dan/atau minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi  Rp4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman; atau
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir vale).
    (2)
    Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik;
     
    d.
    jasa tempat parkir dalam kegiatan sosial keagamaan yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Dikecualikan dari jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jasa kesenian dan hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran;
     
    c.
    kesenian dan hiburan yang diselenggarakan dalam pernikahan, upacara adat dan kegiatan keagamaan dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak
     

    Pasal 27

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang dan/atau jasa tertentu.
    (2)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 28

    Saat terutang PBJT dihitung sejak saat pembayaran/penyerahan/konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 29

    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan/atau jasa tertentu dilakukan.
     
    Paragraf 6
    Tarif Pajak
     

    Pasal 30

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Tarif PBJT atas jasa makanan dan/atau minuman ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    dengan omset usaha sampai dengan Rp24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah) per bulan ditetapkan sebesar 5% (lima persen);
     
    b.
    dengan omset usaha lebih dari Rp24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah) per bulan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
    (4)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 31

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 32

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek
     

    Pasal 33

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    reklame kain;
     
    c.
    reklame melekat/stiker;
     
    d.
    reklame selebaran;
     
    e.
    reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    reklame udara;
     
    g.
    reklame apung;
     
    h.
    reklame film/slide; dan
     
    i.
    reklame peragaan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak
     

    Pasal 34

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 35

    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 36

    (1)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (2)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tarif Pajak
     

    Pasal 37

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 38

    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    PAT
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 39

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Pajak
     

    Pasal 40

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAT adalah:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak
     

    Pasal 41

    (1)
    Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Daerah ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 42

    Saat terutang PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 43

    PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tarif Pajak
     

    Pasal 44

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 45

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak MBLB
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 46

    (1)
    Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Pajak
     

    Pasal 47

    (1)
    Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk. belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjual belikan/dipindahtangankan;
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
     
    c.
    kegiatan pengambilan yang merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak
     

    Pasal 48

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 49

    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5 
    Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 50

    Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tarif Pajak
     

    Pasal 51

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20%(dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7 
    Cara Pemungutan Pajak
     

    Pasal 52

    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pajak Sarang Burung Walet
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 53

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Pajak
     

    Pasal 54

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak
     

    Pasal 55

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 56

    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 57

    Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tarif Pajak
     

    Pasal 58

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 59

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Opsen PKB
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 60

    (1)
    Subjek Pajak Opsen PKB merupakan Subjek PKB.
    (2)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (3)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Pajak
     

    Pasal 61

    Objek opsen PKB adalah PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak
     

    Pasal 62

    Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 63

    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 64

    Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tarif Pajak
     

    Pasal 65

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 66

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Opsen BBNKB
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 67

    (1)
    Subjek Pajak Opsen BBNKB merupakan Subjek Pajak BBNKB.
    (2)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (3)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Pajak
     

    Pasal 68

    Objek Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak
     

    Pasal 69

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 70

    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Wilayah Pemungutan Pajak
     

    Pasal 71

    Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tarif Pajak
     

    Pasal 72

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 73

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 74

    Jenis Retribusi terdiri dari:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 75

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan jasa umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pelayanan jasa umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Retribusi
     

    Pasal 76

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf a, meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    pelayanan pasar.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, BUMD dan Pihak Swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di Puskesmas, Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, Balai Pengobatan, Rumah Sakit Umum Daerah dan Tempat Pelayanan Kesehatan Lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b adalah pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah; dan
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah dan sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 81

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis/kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
     
    d.
    pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif Retribusi
     

    Pasal 82

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 84

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan jasa usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pelayanan jasa usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Retribusi
     

    Pasal 85

    (1)
    Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, temak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan temak;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga;
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, BUMD dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Penyediaan tempat pelelangan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan.
    (2)
    Tennasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    Penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan temak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    (1)
    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
     
    a.
    pemakaian klinik, laboratorium kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner;
     
    b.
    laboratorium lingkungan;
     
    c.
    laboratorium pengujian konstruksi;
     
    d.
    benih usaha pertanian; dan
     
    e.
    benih usaha perikanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    (1)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf g dapat ditetapkan dengan Peraturan Bupati untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (2)
    Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan aset Daerah.
    (3)
    Bentuk pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (4)
    Pelaksanaan pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 93

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat pelelangan ikan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan temak diukur berdasarkan jenis hewan temak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga;
     
    f.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif Retribusi
     

    Pasal 94

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Subjek dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 96

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian perizinan tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pemberian perizinan tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Objek Retribusi
     

    Pasal 97

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
     
    a.
    persetujuan bangunan gedung; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    (1)
    Pelayanan pemberian izin Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
     
    a.
    pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung;
     
    c.
    inspeksi Bangunan Gedung;
     
    d.
    penerbitan Sertifikat Laik Fungsi; dan
     
    e.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung, serta pencetakan plakat sertifikat laik fungsi.
    (3)
    Penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki Persetujuan Bangunan Gedung dan/atau Sertifikat Laik Fungsi;
     
    c.
    Persetujuan Bangunan Gedung perubahan untuk:
     
     
    -
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    -
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    -
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    -
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    -
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    -
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    -
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    -
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
     
    d.
    Persetujuan Bangunan Gedung perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah Pusat, Perwakilan Negara Asing, Badan Internasional, Lembaga Sosial, Lembaga Keagamaan dan jabatan tertentu di Lembaga Pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 100

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan perizinan tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan atau jumlah penerbitan dan/atau jangka waktu layanan atau jangka waktu perpanjangan penggunaan tenaga kerja asing.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri dari:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    luas total lantai;
     
     
    2.
    indeks lokalitas;
     
     
    3.
    indeks terintegrasi;
     
     
    4.
    indeks bangunan gedung terbangun.
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    volume;
     
     
    2.
    indeks prasarana bangunan gedung; dan
     
     
    3.
    indeks bangunan gedung terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif Retribusi
     

    Pasal 101

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Khusus untuk pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
    (4)
    Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan persetujuan bangunan gedung, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung dengan harga satuan Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung. 
    (3)
    Harga satuan Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
     
    a.
    standar harga satuan tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    harga satuan untuk prasarana Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Peninjauan Tarif Retribusi
     

    Pasal 104

    (1)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi khusus untuk:
     
    a.
    pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel harga satuan untuk prasarana Bangunan Gedung atau standar harga satuan tertinggi dan Indeks Lokalitas;
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 105

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan mengenai:
     
    a.
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak; dan
     
    b.
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Retribusi, masing-masing diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris wajib:
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
    b.
    melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Keringanan, Pengurangan, Pembebasan dan Penundaan Pokok Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 107

    (1)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak dan/atau objek Pajak.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak dan Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak dan Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak dan Retribusi sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak dan Retribusi yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran atas pokok pajak, pokok retribusi dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kemudahan Perpajakan
     

    Pasal 108

    (1)
    Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 109

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 110

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    SANKSI ADMINISTRATIF
     

    Pasal 111

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
    (3)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (4)
    Kriteria kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau hum-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 112

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Setoran Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu sesuai dengan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal 114 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 117

    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang diatur dalam Peraturan Daerah ini berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan Aparatur Sipil Negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 120

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, segala hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan di Daerah sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 121

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku Peraturan Bupati yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 15 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah;
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 11 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 05 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 05 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum;
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 06 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 06 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha;
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 07 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu;
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penataan, Pengendalian dan Retribusi Menara Telekomunikasi di Kabupaten Probolinggo;
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 6 Tahun 2017 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat dan Laboratorium Kesehatan Daerah Kabupaten Probolinggo;
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 8 Tahun 2017 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 15 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah;
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 11 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 05 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 05 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum;
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 06 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 06 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha;
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 07 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu;
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penataan, Pengendalian dan Retribusi Menara Telekomunikasi di Kabupaten Probolinggo;
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 6 Tahun 2017 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat dan Laboratorium Kesehatan Daerah Kabupaten Probolinggo;
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 8 Tahun 2017 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing;
    j.
    Peraturan Bupati Probolinggo Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tarif Layanan Kesehatan Untuk Kelas II, Kelas I, Kelas Utama dan Non Kelas dan Pelayanan Medik serta Penunjang Medik Pasien Privat Badan Layanan Umum Daerah pada Rumah Sakit Umum Daerah Tongas Kabupaten Probolinggo;
    k.
    Peraturan Bupati Probolinggo Nomor 4 Tahun 2020 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat Badan Layanan Umum Daerah Kabupaten Probolinggo;
    1.
    Peraturan Bupati Probolinggo Nomor 35 Tahun 2022 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Retribusi Pelayanan Kesehatan Kelas II, Kelas I, Kelas Utama dan Pelayanan Medik serta Penunjang Medik Pasien Privat di RSUD Waluyo Jati Kraksaan Kabupaten Probolinggo,
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur tentang Pajak MBLB dalam Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 15 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Probolinggo.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Probolinggo
    Pada tanggal 5 Januari 2024
    Pj. BUPATI PROBOLINGGO
    ttd.
    UGAS IRWANTO

    Diundangkan di Probolinggo 
    Pada tanggal 5 Januari 2024
    Pj. SEKRETARIS DAERAH
    ttd.
    HERI SULISTYANTO, S.Sos, M.Si.
     
    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
    I.
    PENJELASAN UMUM
     
    Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan baik diperlukan sumber-sumber pembiayaan yang sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Retribusi sebagai salah satu sumber pendapatan bagi Daerah perlu menyesuaikan dengan peraturan perundang­ undangan yang berlaku.

    Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, semua Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi Daerah harus menyesuaikan dengan undang-undang tersebut. Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah akan menjadi pedoman dalam upaya penanganan dan pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah guna meningkatkan penerimaan daerah. Pajak dan Retribusi Daerah mempunyai peranan penting untuk mendorong pembangunan daerah, meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Selain itu dengan Peraturan Daerah ini diharapkan ada peningkatan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajibannya.
     
     
     
    II.
    PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024