Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN
    NOMOR 11 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI PEKALONGAN,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sektor sumber Pendapatan Daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan Pemerintahan Daerah dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat serta mewujudkan kemandirian Daerah;
    b.
    bahwa sesuai ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 42), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Batang dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2757);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN
    dan
    BUPATI PEKALONGAN
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kabupaten Pekalongan.
    2.
    Pemerintahan Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom.
    3.
    Bupati adalah Bupati Pekalongan.
    4.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
    5.
    Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten Pekalongan.
    6.
    Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
    7.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    8.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    9.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    10.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
    11.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    12.
    Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut peraturan perundang-undangan perpajakan.
    13.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan yang dikenai Retribusi.
    14.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    15.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    16.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    17.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    18.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    19.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
    20.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
    21.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    22.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui pesanan, oleh restoran.
    23.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
    24.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    25.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan dan/atau fasilitas lainnya.
    26.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    27.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati dengan dipungut bayaran.
    28.
    Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
    29.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    30.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    31.
    Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    32.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    33.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
    34.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    35.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliaphaga, collocalia maxima, collocalia esculenta, dan collocalia linchi.
    36.
    Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu berdasarkan objek pajak yang melekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    37.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    38.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    39.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    40.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    41.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    42.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    43.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    44.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    45.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    46.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
    47.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
    48.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
    49.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atau jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
    50.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
    51.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    52.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    53.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajak daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    54.
    Surat Keputusan Keberatan adalah Surat Keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    55.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    56.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
    57.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    58.
    Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
    59.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    60.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
    61.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
    62.
    Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
    63.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
    64.
    Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
    65.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    66.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    67.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    68.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    69.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    70.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    71.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    72.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    73.
    Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi dan diberi tugas oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung.
    74.
    Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan diluar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.
    75.
    Standar Harga Satuan Tertinggi yang selanjutnya disingkat SHST adalah biaya paling banyak per meter persegi pelaksanaan konstruksi pekerjaan standar untuk pembangunan bangunan gedung negara.
    76.
    Harga Satuan Bangunan Gedung Negara yang selanjutnya disingkat HSBGN adalah standar harga satuan tertinggi untuk biaya pelaksanaan konstruksi fisik pembangunan bangunan gedung negara yang diberlakukan sesuai dengan klasifikasi, lokasi dan tahun pembangunannya.
    77.
    Indeks Lokalitas adalah persentase pengali terhadap SHST yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
    78.
    Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah retribusi sebagai pembayaran atas pengesahan RPTKA perpanjangan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja tenaga kerja asing.
    79.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    80.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    81.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    82.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    83.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    MAKSUD DAN TUJUAN
     

    Pasal 2

    (1)
    Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar hukum pemungutan Pajak dan Retribusi bagi Pemerintah Daerah, serta memberikan kepastian hukum atas pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RUANG LINGKUP
     

    Pasal 3

    Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
    a.
    Pajak Daerah berupa Jenis Pajak, rincian Pajak, masa Pajak dan tahun Pajak, penggunaan hasil penerimaan Pajak untuk kegiatan yang telah ditentukan;
    b.
    Retribusi Daerah berupa jenis Retribusi, Retribusi jasa umum, Retribusi Jasa Usaha, Retribusi perizinan tertentu, pemanfaatan penerimaan Retribusi;
    c.
    Tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    d.
    Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    e.
    Pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan atas pokok Pajak/Retribusi;
    f.
    Kerahasiaan data Wajib Pajak;
    g.
    Penyidikan;
    h.
    Sanksi;
    i.
    Sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
    j.
    Pembinaan dan Pengawasan; dan
    k.
    Ketentuan Peralihan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 4

    (1)
    Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
     
    2.
    tenaga listrik;
     
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
     
    2.
    tenaga listrik;
     
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
     
    c.
    Pajak MBLB; dan
     
    d.
    Pajak Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Rincian Pajak
     
    Paragraf 1
    PBB-P2
     

    Pasal 6

    (1)
    PBB-P2 Pasal 5 ayat (1) huruf a Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah Pusat, kantor Pemerintahan Daerah dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum, dibidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut Pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan nilai total NJOP sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (6)
    Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
    (2)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP.
    (3)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) untuk NJOP total sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
    (2)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) untuk NJOP total diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
    (3)
    Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (4)
    PBB-P2 yang terutang dipungut di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (5)
    Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    BPHTB
     

    Pasal 12

    (1)
    Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    diluar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk Badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek Pajak.
    (2)
    Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk:
     
     
    1.
    tukar menukar;
     
     
    2.
    hibah;
     
     
    3.
    hibah wasiat;
     
     
    4.
    waris;
     
     
    5.
    pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya;
     
     
    6.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    7.
    peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    8.
    pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
     
    9.
    pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha;
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    (1)
    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
    (2)
    Khusus untuk perolehan dari hak waris dan/atau hibah wasiat, tarif BPHTB ditetapkan sebesar 3% (tiga persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
    (2)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (3)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (4)
    Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
     
    a.
    jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
     
    b.
    jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
    (5)
    BPHTB yang terutang atas pemindahan hak karena jual beli paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
    (6)
    BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal Pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    PBJT
     

    Pasal 19

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan pelayanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan kegiatan pelayanan sebagai berikut:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per bulan dengan bentuk bangunan permanen dan/atau semi permanen termasuk pedagang kaki lima;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi Objek PBJT Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
     
    e.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada huruf d termasuk di dalamnya konsumsi Tenaga Listrik yang digunakan untuk rumah tinggal/pribadi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    villa;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan, wisma tamu (guest house), bungalo, tempat beristirahat (resort), atau pondok wisata (cottage);
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    perkemahan mewah (glamping).
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenisnya;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (valet parking).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
     
    d.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh tempat ibadah, pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung pada suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat, dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran dan/atau;
     
    c.
    jasa kesenian dan hiburan lainnya yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (3) penyedia tenaga listrik sebagai wajib pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Tarif PBJT untuk objek PBJT Makanan dan/atau Minuman ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Tarif PBJT untuk objek PBJT Tenaga Listrik berupa:
     
    a.
    Penggunaan Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
     
    b.
    Penggunaan Tenaga Listrik selain sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen); dan
     
    c.
    Penggunaan Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
    (3)
    Tarif PBJT untuk objek PBJT Jasa Perhotelan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (4)
    Tarif PBJT untuk objek PBJT Jasa Parkir ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (5)
    Tarif PBJT untuk objek PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di dalam dan/atau di luar gedung ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    b.
    pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    c.
    kontes kecantikan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    d.
    kontes binaraga ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    e.
    pameran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    h.
    permainan ketangkasan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    k.
    panti pijat, pijat refleksi ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    l.
    diskotik ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen);
     
    m.
    karaoke ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen);
     
    n.
    kelab malam dan sejenisnya ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen);
     
    o.
    bar ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen); dan
     
    p.
    mandi uap/spa ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
    (2)
    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3)
    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pajak Reklame
     

    Pasal 30

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat, stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam areal tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklame diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
    (2)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
    (3)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat reklame tersebut diselenggarakan.
    (4)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pajak Air Tanah (PAT)
     

    Pasal 35

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan; dan
     
    f.
    pendidikan.
     

    Pasal 36

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah Kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
    (2)
    Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    (3)
    PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB)
     

    Pasal 40

    (1)
    Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk.
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    (1)
    Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitungkan berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    (1)
    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
    (2)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
    (3)
    Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pajak Sarang Burung Walet
     

    Pasal 45

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
    (2)
    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (3)
    Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Opsen PKB
     

    Pasal 50

    Objek Opsen PKB adalah PKB terutang
     

    Pasal 51

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan Pajak Kendaraan Bermotor terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 55

    Objek Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 58.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3)
    Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 60

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 61

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 62

    Jenis Retribusi Daerah terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha;
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian tanpa melakukan penambahan objek retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 64

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum meliputi;
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum;
     
    d.
    pelayanan pasar; dan
     
    e.
    pengendalian lalu lintas.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan dibidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (8)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
    (9)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi jasa umum atas pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan, yang meliputi jasa penyediaan sarana, jasa pelayanan medik, jasa pelayanan non medik, pemakaian bahan dan penyediaan prasarana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif retribusi jasa umum atas pelayanan kesehatan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Dalam hal kejadian luar biasa yang ditetapkan oleh Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, atas pelayanan kesehatan yang diberikan dapat tidak dikenakan retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    Pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    Tingkat penggunaan jasa retribusi jasa umum atas pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi jasa umum atas pelayanan kebersihan tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi jasa umum atas Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis/kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir di tepi jalan umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi jasa umum atas pelayanan parkir di tepi jalan umum tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi jasa umum atas pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar, luas, jenis pemakaian fasilitas pasar dan kelas pasar yang digunakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi jasa umum atas pelayanan pasar tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan peraturan pemerintahan dibidang perhubungan.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa retribusi jasa umum atas pengendalian lalu lintas diukur berdasarkan lokasi ruas jalan tempat pemberian pelayanan, waktu penggunaan pelayanan, dan/atau jenis Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 82

    (1)
    Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    h.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek pajak atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati Jasa Usaha.
    (8)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
    (9)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan dan kegiatan usaha lainnya diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan dan/atau tempat usaha jenis, dan tipe pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
       

    Pasal 87

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat pelelangan tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir diluar badan jalan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    Struktur dan besarnya Tarif Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa serta golongan tarif atas tempat yang diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    (1)
    Tata cara penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
    (2)
    Fasilitas pengurusan rumah pemotongan hewan ternak, pemeriksaan kesehatan hewan dan daging di dalam wilayah rumah pemotongan hewan ternak dan rumah pemotongan hewan ternak milik swasta diatur oleh Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah pemotongan hewan ternak serta jumlah ternak yang akan dipotong.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah potong hewan ternak tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga serta golongan tarif pengguna jasa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf g merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis, volume, kualitas, dan/atau ukuran produksi usaha Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas penjualan produksi usaha daerah tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    (1)
    Pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat 1 huruf h merupakan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (2)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset Daerah tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur,
     
    tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
    (5)
    Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (6)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 110

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf c meliputi:
     
    a.
    persetujuan bangunan Gedung; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    Pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
     
    d.
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Luas Total Lantai;
     
     
    2.
    Indeks Lokalitas;
     
     
    3.
    Indeks Terintegrasi; dan
     
     
    4.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
    b.
    Formula untuk Prasarana Bangunan Gedung meliputi:
     
     
    1.
    Volume;
     
     
    2.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (5)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (6)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (7)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    HSpbg untuk Prasarana Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dibidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat (1) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSpbg, SHST dan Indeks Lokalitas.
    (5)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat (1) khusus pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (6)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    (1)
    Besaran tarif RPTKA ditetapkan sebesar USD100 (seratus dolar Amerika) per orang per bulan per jabatan dan dibayar di muka.
    (2)
    Dalam hal pemberi kerja tenaga kerja asing yang mempekerjakan tenaga kerja asing kurang dari 1 (satu) bulan dikenakan Retribusi Perizinan Tertentu berupa pengesahan rencana kerja asing perpanjangan sebesar USD100 (seratus dolar Amerika Serikat) untuk setiap orang per jabatan per bulan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 118

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 119

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemungutan Pajak
     

    Pasal 120

    (1)
    Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
    (2)
    Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran pajak terutang dengan menggunakan SSPD.
    (3)
    Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (4)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
    (5)
    Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) paling lama:
     
    a.
    6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT; dan
     
    b.
    1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD.
    (6)
    Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa pajak.
    (7)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) perbulan dari pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 121

    (1)
    Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke Kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
    (2)
    Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke Kas Daerah secara bruto paling lambat 1 x 24 jam.
    (3)
    Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
    (4)
    Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran dan penyetoran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
     

    Pasal 122

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening Kas Umum Daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pembukuan
     

    Pasal 123

    (1)
    Wajib Pajak melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
     
    b.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
    (2)
    Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
    (3)
    Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
    (4)
    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
    (5)
    Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 124

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
    (3)
    Ketentuan mengenai pemberian insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan Aparatur Sipil Negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha
     

    Pasal 125

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah Daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 128

    (1)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 129

    (1)
    Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    bencana non alam;
     
    c.
    kebakaran;
     
    d.
    banjir rob;
     
    e.
    kerusuhan massal atau huru-hara; dan
     
    f.
    wabah penyakit.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak
     

    Pasal 130

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
     
    b.
    ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
    (4)
    Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (6)
    Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi
     

    Pasal 131

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran; atau
     
    b.
    terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran.
    (4)
    Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Penghapusan Piutang Pajak
     

    Pasal 132

    (1)
    Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
    (2)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan kepada Pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan Penagihan sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan.
    (3)
    Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (4)
    Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (5)
    Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Penghapusan Piutang Retribusi
     

    Pasal 133

    (1)
    Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 134

    (1)
    Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada Pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 135

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan dan Retribusi Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan dan Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan dan Retribusi Daerah;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpajakan dan Retribusi Daerah;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan dan Retribusi Daerah;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan dan Retribusi Daerah;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang perpajakan dan Retribusi Daerah;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan dan Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    SANKSI
     
    Bagian Kesatu
    Sanksi Pidana
     

    Pasal 136

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan Daerah, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan Daerah, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 137

    Tindak pidana dibidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 138

    (1)
    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan keuangan Daerah, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Tindak pidana dibidang Retribusi Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat Retribusi terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 138 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 141

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 142

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
    (3)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure) dengan kriteria keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam pasal 129 ayat (10).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 143

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Sinergitas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan pemerintah, pemerintah provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan, dan pihak lainnya.
    (3)
    Sinergitas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
     
    a.
    pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    penanganan piutang Pajak dan Retribusi;
     
    c.
    melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi Pajak dan Retribusi;
     
    d.
    optimalisasi pelaksanaan Opsen Pajak;
     
    e.
    pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
     
    f.
    penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
     
    g.
    mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
     
    h.
    Pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektivitas pemungutan pajak dan retribusi;
     
    i.
    pelaksanaan kerjasama teknis pertukaran data dan informasi; dan
     
    j.
    hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak dan retribusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan, dan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 144

    (1)
    Pemerintah Daerah dan pemerintah provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
     
    a.
    PKB dan Opsen PKB;
     
    b.
    BBNKN dan Opsen BBNKB; dan
     
    c.
    Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
     

    Pasal 145

    (1)
    Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan pajak dan retribusi dilakukan oleh Bupati.
    (2)
    Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada Perangkat Daerah meliputi:
     
    a.
    koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi;dan
     
    c.
    perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
    (3)
    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan Daerah.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 146

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
    (3)
    Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek Pajak dan Retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    (1)
    Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam pasal 146 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya.
    (3)
    Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak dan Retribusi terintegrasi.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak dan Retribusi terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 148

    (1)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
     
    a.
    Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
     
    b.
    Terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;atau
     
    c.
    Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 149

    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 150

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XV
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 151

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun 2010 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 18), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 27);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 25), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun 2017 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 71);
    dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 152

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun 2010 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 18), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 27);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 25), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun 2017 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 71);
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 153

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Kajen
    pada tanggal
    BUPATI PEKALONGAN,
    ttd.
    FADIA ARAFIQ
     
    Diundangkan di Kajen
    pada tanggal 28 Desember 2023
    SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN
    ttd.
    M. YULIAN AKBAR
     
    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2023 NOMOR 11
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN
    NOMOR 11 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pengaturan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Pekalongan saat ini telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah. Dalam implementasinya, masih banyak dijumpai Wajib Pajak yang tidak dengan suka rela membayarkan Pajak Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan alasan tarif yang dibebankan terlalu tinggi, sehingga sebagai upaya untuk memperingan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak Daerah dimaksud, Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan menurunkan tarif dengan pertimbangan bahwa dengan diturunkannya tarif Pajak Daerah, maka dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak serta memperluas basis Pajak Daerah di Kabupaten Pekalongan.
     
    Sementara itu, dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan wujud kebijakan dan langkah strategis yang ditetapkan dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya secara merata dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan cipta kerja tersebut, dituangkan melalui kebijakan antara lain:
     
    a.
    peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
     
    b.
    peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
     
    c.
    kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah; dan
     
    d.
    peningkatan investasi dan percepatan proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Pelaksanaan kebijakan strategis peningkatan investasi dan penciptaan kerja di Daerah diwujudkan melalui pengaturan penataan administrasi perpajakan Daerah serta penyelenggaraan kemudahan berusaha. Untuk itu, dalam rangka mendukung kebijakan kemudahan berusaha dan layanan daerah, perlu dilakukan penyesuaian tarif Pajak Daerah. Dalam hal ini, penyesuaian tarif Pajak Daerah juga dalam rangka meningkatkan daya saing Daerah. Terjadinya pandemi Covid-19 telah berdampak pada penurunan kesejahteraan masyarakat. Beberapa indikator pembangunan kesejahteraan masyarakat yang terdampak adanya pandemi Covid-19 antara lain pertumbuhan ekonomi yang menurun, peningkatan penduduk miskin dan pengangguran. Oleh karena itu, dalam rangka pemulihan ekonomi di Kabupaten Pekalongan perlu dilakukan penyesuaian tarif Pajak Daerah.
     
    Lebih lanjut, dengan ditetapkannya peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak Daerah dan pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru. Restrukturisasi Pajak Daerah dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak Daerah yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak Daerah, yaitu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Hal ini memiliki tujuan untuk:
     
    a.
    menyelaraskan objek Pajak antara Pajak pusat dan Pajak Daerah, sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan Pajak;
     
    b.
    menyederhanakan administrasi perpajakan, sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan;
     
    c.
    memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan
     
    d.
    mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administratif perpajakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT juga mengatur perluasan objek Pajak Daerah seperti atas valet parkir, objek rekreasi, dan persewaan sarana prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
     
    Daerah juga diberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Opsen atas Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban wajib pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai pendapatan asli Daerah, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada masing-masing level pemerintahan dibandingkan skema bagi hasil.
     
    Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, daerah mempunyai hak dan kewajiban memungut retribusi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, sehubungan dengan hal tersebut disusun pula pemasukan retribusi Bangunan Gedung sebagai jawaban atas Undang-Undang Cipta Kerja.
     
    Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah tersebut, membuka peluang untuk menambah jenis retribusi selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Adanya peluang untuk menambah jenis retribusi dengan Peraturan Pemerintah juga dimaksudkan mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah yang juga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    huruf a
    Termasuk yang dikecualikan dari objek PBB P2 adalah bumi dan bangunan untuk kantor penyelenggaraan Pemerintahan Desa mencakup juga fasilitas umum yang dimiliki desa seperti jalan desa, lapangan olah raga.
    huruf b
    Yang dimaksud dengan tidak untuk memperoleh keuntungan termasuk didalamnya yang tidak memungut iuran atau bayaran.
    huruf c
    Cukup jelas.
    huruf d
    Cukup jelas.
    huruf e
    Cukup jelas.
    huruf f
    Cukup jelas.
    huruf g
    Yang dimaksud dengan “Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis” adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum dan fasilitas hiburan di stasiun.
    huruf h
    Cukup jelas.
    huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    a.
    Dalam hal pemerintah daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    b.
    Yang dimaksud dengan Pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak contohnya objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
    c.
    Yang dimaksud dengan pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten yaitu dengan menyusun klasterisasi dengan contoh sebagai berikut:
     
    NJOP kurang dari Rp X juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60%;
     
    NJOP Rp X juta sampai dengan Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80%;
     
    NJOP lebih dari Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan objek berupa lahan produksi pangan dan ternak menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang pertanian.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Besaran nilai objek pajak tidak kena pajak ini berlaku juga untuk perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    huruf a
    Cukup jelas.
    huruf b
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran dan tidak berdasarkan pesanan sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan)
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan “permainan ketangkasan” adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan “olahraga permainan” adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan teknis, kolam renang dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan jasa kesenian dan hiburan lainnya yang tidak dipungut bayaran diantaranya jasa kesenian dan hiburan yang diselenggarakan dalam acara pernikahan/hajatan upacara adat dan/atau kegiatan keagamaan.
    Pasal 25
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah disumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Ayat (1)
    1.
    Pada prinsipnya saat terutangnya pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak. Namun untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
     
    a.
    suatu saat tertentu misalnya untuk BPHTB;
     
    b.
    akhir masa pajak misalnya untuk PBJT; atau
     
    c.
    suatu tahun pajak misalnya untuk PBB-P2.
    2.
    Yang dimaksud dengan syarat subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat objektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek pajak.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Yang dimaksud pelayanan administrasi antara lain pelayanan pendaftaran, medical record (rekam medis), penerbitan surat menyurat dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan kesehatan.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Yang dimaksud dengan pasar grosir dan/atau pertokoan yaitu penyediaan sarana perdagangan barang dan jasa termasuk didalamnya dan tidak terbatas pada penyediaan Pusat Jajan Serba ada (Pujasera)/pusat kuliner dan pusat UMKM.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
    Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Contoh: Wajib Pajak memiliki Pajak terutang sebesar Rp100.000.000,00. Untuk masa Pajak April yang disetujui oleh Bupati pada tanggal 5 Mei untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni dengan pembayaran pro-rata pokok pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran pajak adalah sebagai berikut:
    a.
    Pembayaran angsuran pertama tanggal 1 Juni 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administrasi: Rp600.000,00 (Rp100.000.000,00 x 0,6%)
    b.
    Pembayaran angsuran kedua tanggal 1 Juli 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administrasi: Rp450.000,00 (Rp75.000.000,00 x 0,6%)
    c.
    Pembayaran angsuran ketiga tanggal 1 Agustus 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administrasi: Rp300.000,00 (Rp50.000.000,00 x 0,6%)
    d.
    Pembayaran angsuran terakhir tanggal 1 September 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administrasi: Rp150.000,00 (Rp25.000.000,00 x 0,6%)
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Cukup jelas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 113

    Perda Nomor: 11 TAHUN 2023