Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI PAMEKASAN,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten/Kota Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 9), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya dengan mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Jogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
|
|||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
|
|||||||
6.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
7.
|
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845);
|
|||||||
8.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||||||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||
13.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6762);
|
|||||||
14.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN PAMEKASAN
dan
BUPATI PAMEKASAN
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Daerah adalah Kabupaten Pamekasan.
|
|||||||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Pamekasan.
|
|||||||
3.
|
Bupati adalah Bupati Pamekasan.
|
|||||||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pamekasan.
|
|||||||
5.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
|||||||
6.
|
Pejabat yang ditunjuk adalah pegawai yang ditunjuk oleh Bupati pada Perangkat Daerah untuk melakukan pemungutan pajak dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
7.
|
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
8.
|
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
9.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
10.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
11.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||||||
12.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap diatas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||||||
13.
|
Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||||||
14.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya disebut BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||||||
15.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
|
|||||||
16.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang bidang pertanahan dan bangunan.
|
|||||||
17.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu, yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||||||
18.
|
Barang dan jasa tertentu adalah barang dan jasa yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
|||||||
19.
|
Makanan dan/atau minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||||||
20.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut biaya, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
|
|||||||
21.
|
Tenaga listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||||||
22.
|
Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, uang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan, rumah kos dan sejenisnya.
|
|||||||
23.
|
Jasa perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||||||
24.
|
Jasa parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
|
|||||||
25.
|
Jasa kesenian dan hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||||||
26.
|
Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
27.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||||||
28.
|
Pajak Air Tanah, yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
29.
|
Air tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||||||
30.
|
Pajak mineral bukan logam dan batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||||
31.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan, yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||||||
32.
|
Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
33.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disebut opsen PKB adalah opsen yang dikenakan oleh daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
34.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disebut opsen BBNKB adalah opsen yang dikenakan oleh daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
35.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
|
|||||||
36.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
37.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
38.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dalam Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang menjadi dasar wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
|
|||||||
39.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
40.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
41.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||||||
42.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
|
|||||||
43.
|
Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas umum daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
|
|||||||
44.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
45.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
46.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
47.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
48.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
49.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
50.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||
51.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
52.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
53.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
54.
|
Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
|
|||||||
55.
|
Persetujuan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disebut PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||||||
56.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
|||||||
57.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
|
|||||||
58.
|
Penilik Bangunan Gedung, yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi dan diberi tugas oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung.
|
|||||||
59.
|
Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.
|
|||||||
60.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
|||||||
61.
|
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya disebut RPTKA adalah rencana penggunaan tenaga kerja asing pada jabatan tertentu pada jangka waktu tertentu.
|
|||||||
62.
|
Badan Layanan Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis Dinas/Badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan Daerah pada umumnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||||||
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
PBB-P2;
|
|||||||
b.
|
BPHTB;
|
|||||||
c.
|
PBJT;
|
|||||||
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||
e.
|
PAT;
|
|||||||
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||||||
g.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||
h.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
|
|||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g, merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah SKPD dan SPPT.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dilarang memungut pajak selain jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
|
|||||||
(2)
|
Tata cara pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PBB-P2
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah Pusat, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
|
||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Tarif dan Cara Penghitungan PBB-P2
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
|||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||||||
(3)
|
Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
|
|||||||
(4)
|
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten, Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||||||
(6)
|
Besaran persentase NJOP ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||||||
(8)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
|||||||
(9)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
|
|||||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten.
|
||||||
(10)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 yang berupa lahan selain lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen).
|
|||||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,03% (nol koma nol tiga persen).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan tarif PBB-P2 setelah dikurangi NJOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Wilayah Pemungutan
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||||||
(2)
|
Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
||||||
|
b.
|
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Masa Pajak dan saat Terutang
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
|||||||
(2)
|
Saat yang menentukan pajak terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
|
|||||||
(3)
|
Masa pajak dimulai tanggal 1 Januari dan berakhir 31 Desember pada tahun berkenaan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pendataan dan Penetapan Pajak PBB-P2
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Pendataan PBB-P2 dilakukan dengan menggunakan SPOP.
|
|||||||
(2)
|
SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani subjek pajak dan disampaikan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendataan dan pelaporan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan PBB-P2 terutang berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dengan menggunakan SPPT.
|
|||||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal-hal sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
apabila SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
|
||||||
(3)
|
Objek pajak yang tidak diketahui keberadaan wajib pajak sejak diterbitkan SPPT, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menonaktifkan sementara nomor objek pajak.
|
|||||||
(4)
|
Objek pajak yang telah dinonaktifkan dapat diaktifkan kembali dan diterbitkan SPPT sejak wajib pajak melaporkan kepemilikan atas objek pajak tersebut.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal penerbitan SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib pajak harus melunasi hutang tahun sebelumnya dengan disertai sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Penilaian PBB-P2
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
NJOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
|
|||||||
|
a.
|
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
|
||||||
|
b.
|
nilai perolehan baru; atau
|
||||||
|
c.
|
nilai jual pengganti.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BPHTB
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||||||
|
|
1)
|
jual beli;
|
|||||
|
|
2)
|
tukar menukar;
|
|||||
|
|
3)
|
hibah;
|
|||||
|
|
4)
|
hibah wasiat;
|
|||||
|
|
5)
|
waris;
|
|||||
|
|
6)
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|||||
|
|
7)
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||
|
|
8)
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|||||
|
|
9)
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||
|
|
10)
|
penggabungan usaha;
|
|||||
|
|
11)
|
peleburan usaha;
|
|||||
|
|
12)
|
pemekaran usaha; atau
|
|||||
|
|
13)
|
hadiah;
|
|||||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||||||
|
|
1)
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|||||
|
|
2)
|
di luar pelepasan hak.
|
|||||
(3)
|
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
hak milik;
|
||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||||||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||||||
|
d.
|
hak pakai;
|
||||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||||||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
|
|||||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Tarif dan Cara Penghitungan
Pasal 18 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||||
(4)
|
Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami atau istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 3,5% (tiga koma lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) atau ayat (5) dengan tarif BPHTB.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Wilayah Pemungutan
Pasal 21 |
||||||||
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Saat Pajak Terutang
Pasal 22 |
||||||||
(1)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
||||||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Ketentuan Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD.
|
|||||||
(2)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD.
|
|||||||
(3)
|
Kepala Kantor Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran.
|
|||||||
(2)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi Pelayanan Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan.
|
|||||||
(3)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PBJT
Paragraf 1
Objek dan Subjek Pajak
Pasal 26 |
||||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||||||
a.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|||||||
b.
|
tenaga listrik;
|
|||||||
c.
|
jasa perhotelan;
|
|||||||
d.
|
jasa parkir; dan
|
|||||||
e.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a meliputi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
|
|||||||
|
a.
|
restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman:
|
|||||||
|
a.
|
yang nilai omzet tidak melebihi Rp3.500.000,00 (tiga juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulan;
|
||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman; atau
|
||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
|
||||||
|
e.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dan digunakan untuk kepentingan sendiri dengan kapasitas maksimal 900kva dan/atau sesuai dengan peraturan yang berlaku.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||
(1)
|
Jasa perhotelan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||||||
|
a.
|
hotel;
|
||||||
|
b.
|
hostel;
|
||||||
|
c.
|
vila;
|
||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||||||
|
e.
|
motel;
|
||||||
|
f.
|
losmen;
|
||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||||||
|
i.
|
rumah penginapan (rumah kost)/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||||||
|
k.
|
glamping.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir vallet).
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
|
||||||
|
d.
|
penyelenggaraan tempat parkir untuk keperluan penyelenggaraan ibadah dan/atau pendidikan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||||
(1)
|
Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||||
|
e.
|
pameran;
|
||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; dan
|
||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
||||||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah yang tidak dipungut bayaran.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 33 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||||||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||||||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||||||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
|
||||||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||||||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||||||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
||||||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBJT dari Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman ditetapkan 10% (sepuluh persen);
|
|||||||
(2)
|
Tarif PBJT dari Konsumsi Tenaga Listrik ditetapkan:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
|
||||||
|
b.
|
konsumsi tenaga listrik dari sumber selain yang diatur pada huruf a tarif PBJT tenaga listrik ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen); dan
|
||||||
|
c.
|
konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan 1,5% (satu koma lima persen).
|
||||||
(3)
|
Tarif PBJT dari Jasa Perhotelan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||
(4)
|
Tarif PBJT dari Jasa parkir ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||
(5)
|
Tarif PBJT dari jasa kesenian dan hiburan ditetapkan:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana:
|
||||||
|
|
1.
|
pagelaran kesenian tradisional 5% (lima persen);
|
|||||
|
|
2.
|
pagelaran kesenian modern 10% (sepuluh persen);
|
|||||
|
|
3.
|
musik 10% (sepuluh persen);
|
|||||
|
|
4.
|
busana 10% (sepuluh persen);
|
|||||
|
c.
|
kontes kecantikan 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
d.
|
kontes binaraga 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
e.
|
pameran 10% (tiga puluh persen);
|
||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan 10% (sepuluh persen);
|
||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran 10% (sepuluh persen); dan
|
||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang 10% (sepuluh persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
|
|||||||
(2)
|
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||||
(3)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||||||
|
a.
|
Pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
Konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
Pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
Pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
Pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||||||
Masa PBJT adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Paragraf 1
Objek dan Subjek Pajak
Pasal 38 |
||||||||
(1)
|
Objek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Objek pajak reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||||||
|
b.
|
reklame kain;
|
||||||
|
c.
|
reklame melekat/stiker;
|
||||||
|
d.
|
reklame selebaran;
|
||||||
|
e.
|
reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||||||
|
f.
|
reklame udara;
|
||||||
|
g.
|
reklame apung;
|
||||||
|
h.
|
reklame film/slide; dan
|
||||||
|
i.
|
reklame peragaan.
|
||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek pajak reklame adalah:
|
|||||||
|
a.
|
penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan dan sejenisnya;
|
||||||
|
b.
|
label atau merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenisnya;
|
||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||||||
|
d.
|
reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
e.
|
reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
|
|||||||
(2)
|
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
|
|||||||
(3)
|
Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||||
(1)
|
Tahun pajak reklame permanen adalah 1 (satu) tahun kalender.
|
|||||||
(2)
|
Masa pajak reklame insidentil ditetapkan berdasarkan jangka waktu lamanya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||||||
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PAT
Paragraf 1
Objek dan Subjek Pajak
Pasal 45 |
||||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
||||||
|
e.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||||
|
f.
|
pemanfaatan air tanah yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah;
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 47 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan air tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot air tanah.
|
|||||||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air tanah.
|
|||||||
(4)
|
Bobot air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam daerah Kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||||
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati berpedoman pada Peraturan Gubernur Jawa Timur sesuai peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Selama belum ditetapkan nilai perolehan air tanah berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka nilai perolehan air tanah mengacu pada ketentuan sebelumnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
|
|||||||
(2)
|
PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(3)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||||
Masa pajak air tanah adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||||
Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
MBLB
Paragraf 1
Objek dan Subjek Pajak
Pasal 53 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
asbes;
|
||||||
|
b.
|
batu tulis;
|
||||||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||||||
|
d.
|
batu kapur;
|
||||||
|
e.
|
batu apung;
|
||||||
|
f.
|
batu permata;
|
||||||
|
g.
|
bentonit;
|
||||||
|
h.
|
dolomit;
|
||||||
|
i.
|
feldspar;
|
||||||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||||||
|
k.
|
grafit;
|
||||||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||||||
|
m.
|
gips;
|
||||||
|
n.
|
kalsit;
|
||||||
|
o.
|
kaolin;
|
||||||
|
p.
|
leusit;
|
||||||
|
q.
|
magnesit;
|
||||||
|
r.
|
mika;
|
||||||
|
s.
|
marmer/oniks;
|
||||||
|
t.
|
nitrat;
|
||||||
|
u.
|
obsidian;
|
||||||
|
v.
|
oker;
|
||||||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||||||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||||||
|
y.
|
perlit;
|
||||||
|
z.
|
fosfat;
|
||||||
|
aa.
|
talk;
|
||||||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||||||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
||||||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||||||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
||||||
|
ff.
|
tras;
|
||||||
|
gg.
|
yarosit;
|
||||||
|
hh.
|
zeolit;
|
||||||
|
ii.
|
basal;
|
||||||
|
jj.
|
trakhit;
|
||||||
|
kk.
|
belerang;
|
||||||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
||||||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
|||||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
|
||||||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 55 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
|
|||||||
(2)
|
Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||||
Masa pajak MBLB adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan Kalender
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Opsen
Pasal 60 |
||||||||
Opsen dikenakan atas pajak terutang dari:
|
||||||||
a.
|
PKB; dan
|
|||||||
b.
|
BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||
Wajib pajak untuk opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 merupakan wajib pajak atas jenis pajak:
|
||||||||
a.
|
PKB; dan
|
|||||||
b.
|
BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Tarif opsen ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang; dan
|
||||||
|
b.
|
Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
||||||
(2)
|
Tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||||
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||||||
Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||||||
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||||||
Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||||
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||
Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 69 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 62 ayat (1) huruf b.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||||||
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||||||
Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 73 |
||||||||
(1)
|
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Jenis Pelayanan
Pasal 74 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
||||||
(2)
|
Retribusi jasa umum atas jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayan tersebut secara cuma-cuma.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(6)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(7)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||||||
(8)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan
Pasal 75 |
||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(2)
|
Subjek retribusi jasa umum atas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib membayar retribusi pelayanan kesehatan sesuai jumlah, jenis dan klasifikasi pelayanan atau kemanfaatan umum lain yang diterimanya.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan wajib bayar sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk pasien penjamin BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama, meliputi pembayaran dengan kapitasi dan/atau pembayaran berdasarkan paket klaim sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Kejadian Luar Biasa penyakit menular dan/atau bencana alam yang dinyatakan secara resmi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, masyarakat yang terkena dampak langsung dibebaskan dari retribusi pelayanan kesehatan tertentu sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan spesimen terkait program pemerintah atau pemerintah daerah dalam pemberantasan penyakit menular tertentu, percepatan penurunan AKI atau AKB dan stunting dengan sasaran remaja putri, calon pengantin, dan ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas serta program pemerintah atau pemerintah daerah lainnya sesuai kebijakan yang ditetapkan dapat dibebaskan dari pungutan retribusi pelayanan kesehatan dan dijamin oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam bentuk biaya Program atau sumber pembiayaan lain yang sah.
|
|||||||
(3)
|
Penggantian pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dibebankan pada Keuangan Daerah sebagai subsidi bantuan sosial kesehatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
|
|||||||
(4)
|
Penggantian pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||
Pembayaran retribusi kesehatan tidak dapat menghilangkan kewajiban unit penyedia layanan Kesehatan untuk mematuhi peraturan-peraturan lain di bidang pengelolaan lingkungan hidup terutama terkait limbah yang membahayakan dan/atau merusak lingkungan hidup.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan Kebersihan
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b adalah pelayanan Kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||||||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||||
Subyek retribusi jasa umum atas Pelayanan Kebersihan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan kebersihan dari Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||||
Wajib Retribusi jasa umum atas Pelayanan Kebersihan adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum
Pasal 82 |
||||||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi:
|
||||||||
a.
|
sepeda motor;
|
|||||||
b.
|
kendaraan roda empat; dan
|
|||||||
c.
|
kendaraan lebih dari roda empat
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||||||
Subyek retribusi jasa umum atas Pelayanan Parkir di tepi jalan Umum adalah:
|
||||||||
a.
|
Untuk Pelayanan Parkir ditepi Jalan Umum berlangganan adalah orang Pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor yang terdaftar kendaraannya di Daerah; dan
|
|||||||
b.
|
Untuk Pelayanan Parkir ditepi jalan umum tidak berlangganan adalah orang pribadi atau badan selain yang tersebut pada huruf a yang mendapatkan Pelayanan Parkir ditepi jalan umum di wilayah Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Pasar
Pasal 84 |
||||||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los dan kios maupun sarana penunjang lainnya yang dikelola Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||||||
Subjek retribusi jasa umum atas Pelayanan Pasar adalah orang pribadi atau badan yang memanfaatkan pelayanan fasilitas pasar yang disediakan dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||||||
Wajib Retribusi jasa umum atas Pelayanan Pasar adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar; dan
|
||||||
|
e.
|
pengendalian lalu lintas diukur berdasarkan lokasi ruas jalan tempat pemberian pelayanan, waktu penggunaan pelayanan, dan/atau jenis Kendaraan Bermotor.
|
||||||
(3)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi jasa umum ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Jenis Penyediaan atau Pelayanan
Pasal 91 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
e.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
f.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam halter dapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha
Pasal 93 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
Pasal 95 |
||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi pelayanan rumah pemotongan hewan ternak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan dan/atau menikmati/memakai fasilitas rumah potong hewan ternak yang disediakan, dimilik, dan/atau dikelola Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi pelayanan rumah pemotongan hewan ternak adalah orang pribadi atau Badan yang diwajibkan oleh Peraturan Daerah ini untuk membayar retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga
Pasal 97 |
||||||||
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga dari Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi pelayanan tempat rekreasi dan olahraga adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungut atau pemotong retribusi tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
Pasal 99 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf e merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||||||
(1)
|
Subjek retribusi Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan atau memanfaatkan pelayanan penjualan produksi usaha Balai Benih Ikan (BBI) Teja Timur Kabupaten Pamekasan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Daerah ini diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungut atau pemotong retribusi penjualan produksi usaha benih ikan di Balai Benih Ikan (BBI) Teja Timur Kabupaten Pamekasan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pemanfaatan Aset Daerah
Pasal 101 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf f adalah pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf f termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(3)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
(4)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||||
Pasal 102 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
f.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran VI, Lampiran VII, Lampiran VIII, Lampiran IX Lampiran X, dan Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Jenis Pelayanan
Pasal 105 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf c meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
PBG; dan
|
||||||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing;
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
PBG
Pasal 107 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan PBG yang merupakan objek retribusi perizinan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
|||||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||||||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
||||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
||||||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|||||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|||||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|||||
(4)
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
|||||||
(5)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerbitan PBG dan SLF untuk bangunan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||||||
(3)
|
Harga Satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
Standar Harga Satuan Tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
|
||||||
|
b.
|
Harga Satuan Retribusi Prasarana Bangunan Gedung untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 109 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang merupakan objek retribusi perizinan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga Pendidikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
||||||||
(1)
|
Struktur tarif retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing ditetapkan berdasarkan tingkat penggunaan jasa.
|
|||||||
(2)
|
Besarnya tarif retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut dan diperhitungkan dalam bentuk rupiah setara dengan US$100 (seratus dolar Amerika Serikat) per jabatan per orang per bulan untuk setiap TKA berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat diterbitkannya SKRD dan dibayarkan dimuka.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
|
||||||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
Formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
|||||
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
|
|||||
|
b.
|
Formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Volume;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf a, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf b, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||||||
(1)
|
Retribusi yang terutang wajib dilunasi wajib retribusi sesuai jangka waktu perjanjian kerja atau paling lama 12 (dua belas) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal TKA bekerja kurang dari jangka waktu perjanjian kerja atau tidak sampai 12 (dua belas) bulan, kelebihan pembayaran dikembalikan kepada wajib retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, tempat pembayaran, penyetoran, dan pengembalian retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk, berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi perpanjangan RPTKA dalam rangka melaksanakan Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(2)
|
Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk tim pemeriksa yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Retribusi yang diperiksa berkewajiban:
|
|||||||
|
a.
|
menunjukkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek retribusi yang terutang;
|
||||||
|
b.
|
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
memberikan keterangan yang diperlukan.
|
||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan retribusi perpanjangan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
(5)
|
Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif.
|
|||||||
(6)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi teguran tertulis dan tidak diterbitkannya perpanjangan RPTKA.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Peninjauan Tarif Retribusi
Pasal 115 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran retribusi yang terutang.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran XII dan Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(4)
|
Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(6)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam table Harga Satuan Bangunan Gedung Negara atau Standar Harga Satuan Tertinggi dan Indeks Lokalitas.
|
|||||||
(7)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 116 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 117 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan;
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
|
||||||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 118 |
||||||||
(1)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak berdasarkan Penetapan Bupati antara lain SKPD dan SPPT.
|
|||||||
(2)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak berdasarkan perhitungan sendiri wajib Pajak antara lain SPTPD.
|
|||||||
(3)
|
Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Besaran retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha
Pasal 119 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||||||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||||||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
|
||||||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||||||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah Daerah.
|
|||||||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 120 |
||||||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 121 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 122 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 123 |
||||||||
(1)
|
Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||
(7)
|
Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
|
||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 124 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 125 |
||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 126 |
||||||||
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Pidana
Pasal 127 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau denda sesuai dengan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan surat setoran Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 128 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 129 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 130 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 131 |
||||||||
Sanksi pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dan Pasal 129 merupakan pendapatan negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 132 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 133 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(4)
|
Kriteria kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran; dan
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 134 |
||||||||
Pemerintah Daerah melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara berkala.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 135 |
||||||||
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 136 |
||||||||
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 137 |
||||||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 125, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan Aparatur Sipil Negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 138 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, peraturan Bupati yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2010 Nomor 1 Seri C) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2020 Nomor 2);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2011 Nomor 1 Seri B) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2018 Nomor 3);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2012 Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2018 Nomor 2);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2012 Nomor 2 Seri C) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2020 Nomor 5);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2012 Nomor 3 Seri C) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2021 Nomor 1);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2012 Nomor 4 Seri C) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2018 Nomor 4);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2018 Nomor 1);
|
|||||||
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 139 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2010 Nomor 1 Seri C) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2020 Nomor 2);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2011 Nomor 1 Seri B) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2018 Nomor 3);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2012 Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2018 Nomor 2);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2012 Nomor 2 Seri C) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2020 Nomor 5);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2012 Nomor 3 Seri C) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2021 Nomor 1);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2012 Nomor 4 Seri C) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2018 Nomor 4);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2018 Nomor 1);
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 140 |
||||||||
Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus sudah ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 141 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Pamekasan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Pamekasan
pada tanggal 4 Januari 2024 Pj. BUPATI PAMEKASAN,
dto. MASRUKIN Diundangkan di Pamekasan
pada tanggal 4 Januari 2024 Pj. SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN PAMEKASAN, dto. ACH. FAISOL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan baik diperlukan sumber-sumber pembiayaan yang sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak dan Retribusi sebagai salah satu sumber pendapatan bagi Daerah perlu menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah merubah kebijakan hukum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur dan menetapkan 8 (delapan) jenis pajak Daerah Kabupaten terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Barang dan Jasa Tertentu, Pajak Reklame, Pajak Air Tanah, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Opsen Pajak Kendaraan Bermotor dan Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ini juga mengatur dan menetapkan Jenis Retribusi Daerah Kabupaten meliputi Retribusi Jasa Umum terdiri atas 4 (empat) jenis Retribusi, Retribusi Jasa Usaha terdiri atas 6 (enam) jenis Retribusi dan Retribusi Perizinan Tertentu terdiri atas 2 (dua) jenis Retribusi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah melarang Pemerintah Daerah melakukan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selain jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten sebagaimana ditetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Namun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ini memperbolehkan Pemerintah Daerah Kabupaten dapat tidak melakukan pemungutan terhadap Jenis Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud bilamana potensinya kurang memadai dan/atau Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 187 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Daerah harus menetapkan Peraturan Daerah baru untuk menggantikan Peraturan Daerah yang mengatur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diundangkan. Dengan demikian, Pemerintahan Kabupaten Pamekasan sudah harus membentuk dan memberlakukan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah baru tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, aturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan sekaligus menjadi dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan daerah dimaksud mengatur seluruh jenis pajak daerah dan retribusi Daerah dengan minimal pengaturan lingkup materi muatan meliputi Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi.
Berhubungan dengan keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ini, maka Pemerintahan Kabupaten Pamekasan perlu menindaklanjuti amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan sekaligus mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Peraturan Daerah yang masih berlaku dan mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Pamekasan.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Huruf a
Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut di antara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y. Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 13 Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2 nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten/kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh: Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut di antara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y. Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “konversi hak” adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Peraturan Perundang-undangan di bidang pertanahan, termasuk pengakuan hak oleh pemerintah. Misalnya: Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat girik atau sejenisnya) menjadi hak baru.
Yang dimaksud dengan “perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama” adalah perbuatan hukum dalam bentuk antara lain:
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir” dalam ketentuan ini adalah termasuk parkir khusus dan/atau penyediaan penitipan kendaraan bermotor.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" meliputi permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" meliputi persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Contoh Perhitungan:
Penyelenggara Parkir X memungut pembayaran parkir mobil sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) tanpa mencantumkan jumlah pajak pada karcis parkir, maka jumlah pajak yang harus dibayarkan adalah 10% (sepuluh persen) x Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) = Rp1.000,00 (seribu rupiah).
Huruf e
Contoh Perhitungan:
Penyelenggara A menyelenggarakan konser musik dengan Harga Tanda Masuk sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) tanpa mencantumkan jumlah pajak pada Harga Tanda Masuk, maka jumlah pajak yang harus dibayarkan adalah 10% (sepuluh persen) x Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
Contoh:
Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Pamekasan menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Peraturan Daerah PDRD:
Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Pamekasan memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Pamekasan menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Bupati sebagai berikut:
Peraturan Bupati:
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “optimalisasi” adalah pemanfaatan aset Daerah termasuk dengan operator atau tenaga sumber daya manusia yang mengoperasikan aset Daerah yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 24
|