Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI SELATAN
    NOMOR 2 TAHUN 2024

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI MANOKWARI SELATAN,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa sesuai ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
    b.
    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Manokwari Selatan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
    2.
    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6697);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 tentang Pembentukan Kabupaten Manokwari Selatan di Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5365);
    4.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    5.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Pengganti Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    6.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung LN.2021/No.26, Tambahan Lembaran Negara No. 6628;
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang Dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    12.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);
    13.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MANOKWARI SELATAN
    dan
    BUPATI MANOKWARI SELATAN
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    2.
    Daerah adalah Kabupaten Manokwari Selatan.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    4.
    Bupati adalah Bupati Manokwari Selatan.
    5.
    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    6.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    7.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    8.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    9.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    10.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap diatas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    11.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    12.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
    13.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    14.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang bidang pertanahan dan bangunan.
    15.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    16.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    17.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    18.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
    19.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    20.
    Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran.
    21.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    22.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
    23.
    Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
    24.
    Jasa Kesenian dan hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukkan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    25.
    Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
    26.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    27.
    Pajak Air Tanah selanjutnya yang disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    28.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    29.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    30.
    Pajak MBLB adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    31.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    32.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collacolia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    33.
    Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
    34.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut opsen PKB adalah opsen yang dikenakan oleh Kabupaten atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    35.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut opsen BBNKB adalah opsen yang dikenakan oleh Kabupaten atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    36.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai pajak.
    37.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    38.
    Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang menjadi dasar wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terhutang.
    39.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    40.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    41.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
    42.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    43.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    44.
    Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
    45.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    46.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    47.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    48.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    49.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    50.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    51.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    52.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    53.
    Rencana Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat RTB adalah dokumen yang berisi hasil identifikasi kondisi terbangun Bangunan Gedung dan lingkungannya, metodologi pembongkaran, mitigasi risiko pembongkaran, gambar rencana teknis Pembongkaran, dan jadwal pelaksanaan pembongkaran.
    54.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    (1)
    Jenis Pajak terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
    (3)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g, merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 3

    (1)
    Objek PBB-P2 yakni Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan Bangunan sebagaimana dimaksud antara lain:
     
    a.
    jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
     
    b.
    jalan tol;
     
    c.
    kolam renang;
     
    d.
    pagar mewah;
     
    e.
    tempat olahraga;
     
    f.
    galangan kapal, dermaga;
     
    g.
    taman mewah;
     
    h.
    tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
     
    i.
    menara dan saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet).
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Dikecualikan Objek PBB-P2 dengan ketentuan kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara, barang milik Daerah, dan barang milik desa;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang menerapkan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang keuangan negara;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    Subjek PBB-P2 yakni orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    Wajib PBB-P2 yakni orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    Besarnya NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (6)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (7)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    Untuk NJOP sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma satu lima persen) per tahun;
     
    b.
    Untuk NJOP lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun.
    (2)
    Dalam hal objek pajak berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    Untuk NJOP sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun;
     
    b.
    Untuk NJOP lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh lima persen) per tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
     

    Pasal 9

    (1)
    PBB-P2 yang terutang dipungut di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (2)
    Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah daerah Kabupaten tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    Laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 11

    (1)
    Objek BPHTB yakni Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Dikecualikan dari Objek BPHTB yakni perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik Negara, barang milik Daerah, barang milik Desa;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    oleh badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur sesuai dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan negara;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan kemudahan Pembangunan dan perolehan rumah bagi Masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    Subjek Pajak BPHTB yakni orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    Wajib Pajak BPHTB yakni orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 14

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB yakni nilai perolehan objek Pajak.
    (2)
    Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar-menukar;
     
    c.
    nilai pasar untuk hibah;
     
    d.
    nilai pasar untuk hibah wasiat;
     
    e.
    nilai pasar untuk waris;
     
    f.
    nilai pasar untuk pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
     
    g.
    nilai pasar untuk pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
    h.
    nilai pasar untuk peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
    i.
    nilai pasar untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    j.
    nilai pasar untuk pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak;
     
    k.
    nilai pasar untuk penggabungan usaha;
     
    l.
    nilai pasar untuk peleburan usaha;
     
    m.
    nilai pasar untuk pemekaran usaha;
     
    n.
    nilai pasar untuk hadiah; dan
     
    o.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (6)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) atau ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
     

    Pasal 17

    BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal pada saat transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli yakni pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (3)
    Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
     
    a.
    jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
     
    b.
    jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
    (4)
    BPHTB yang terutang atas pemindahan hak karena jual beli paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    Denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu
     
    Paragraf satu
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 22

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    makanan dan/atau minuman;
    b.
    tenaga listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni penyerahan Makanan dan/atau Minuman yakni:
     
    a.
    peredaran usaha tidak melebihi Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b yakni penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan antara lain:
     
    b.
    hotel
     
    c.
    villa;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping;
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
     
    d.
    jasa tempat parkir dalam kegiatan sosial keagamaan yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    c.
    bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    Subjek PBJT yakni konsumen barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    Wajib PBJT yakni orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara penghitungan Pajak
     

    Pasal 30

    Dasar Pengenaan PBJT atas Makanan dan/atau Minuman yakni jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman.
    (1)
    Dasar Pengenaan PBJT Konsumsi Tenaga Listrik yakni Nilai jual tenaga listrik.
    (2)
    Dasar Pengenaan PBJT Jasa Perhotelan yakni jumlah pembayaran kepada penyedia jasa perhotelan.
    (3)
    Dasar Pengenaan PBJT Jasa Parkir yakni jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara jasa parkir.
    (4)
    Dasar pengenaan PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan yakni jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggaraan jasa kesenian dan hiburan.
    (5)
    Dasar pengenaan PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan yakni jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggaraan jasa kesenian dan hiburan.
    (6)
    Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (7)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) ditetapkan untuk:
     
    a.
    tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (4)
    Berdasarkan nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6), penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan perhitungan dengan pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Khusus tarif PBJT atas penjualan makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh restoran dengan ketentuan:
     
    a.
    telah menggunakan alat perekaman online ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen);
     
    b.
    tidak permanen dan/atau Nilai Penjualan Rp2.500.000,00,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) sampai dengan Rp7.500.000,00,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) per bulan ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen); dan
     
    c.
    belum menggunakan alat perekaman online ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus Tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
     
    b.
    konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen);
     
    c.
    konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh selain yang diatur pada huruf a dan huruf b ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
    (3)
    PBJT atas Jasa Perhotelan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (4)
    Khusus Tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan pada:
     
    a.
    pagelaran kesenian tradisional sebesar 5% (lima persen);
     
    b.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen); dan
     
    c.
    selain pagelaran kesenian tradisional dan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (5)
    PBJT atas Parkir ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
     

    Pasal 34

    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk BPJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 36

    (1)
    Objek Pajak Reklame yakni semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Pajak Reklame yakni:
     
    a.
    penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenisnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan/atau Pemerintah Negara lainnya; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Subjek Pajak Reklame yakni orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Wajib Pajak Reklame yakni orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 39

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame yakni nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan mengenai perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
     

    Pasal 42

    (1)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (2)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pajak Air Tanah
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 44

    (1)
    Objek PAT yakni pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAT yakni pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan;
     
    f.
    pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk konservasi serta penelitian guna pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak akan dikomersilkan dan tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air beserta lingkungannya; dan
     
    g.
    pengambilan dan/atau Pemanfaatan air tanah yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah yang tidak akan dikomersilkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    Subjek PAT yakni orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    Wajib PAT yakni orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 47

    (1)
    Dasar Pengenaan PAT yakni Nilai Perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni hasil perkalian antara Harga Air Baku dengan Bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga Air Baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur mengacu pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
     

    Pasal 51

    PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Mineral Bukan Logam Batuan
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 53

    (1)
    Objek Pajak MBLB yakni kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth); 
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat; 
     
    ee.
    tawas (alum); 
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit; 
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit; 
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB untuk:
     
    a.
    keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
     
    b.
    keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Subjek Pajak MBLB yakni orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Wajib Pajak MBLB yakni orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 56

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB yakni nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
     

    Pasal 59

    Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    Saat terutang Pajak MBLB dihitung pada saat terjadinya pengambilan MBLB di lokasi atau mulut tambang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pajak Sarang Burung Walet
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 61

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet yakni pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Subjek Pajak Sarang Burung Walet yakni orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Wajib Pajak Sarang Burung Walet yakni orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 64

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Sarang Burung Walet yakni nilai jual sarang burung walet.
    (2)
    Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang burung walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
     

    Pasal 67

    Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet yakni pada saat pengambilan dan/atau pengusahaan Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Opsen
     
    Paragraf 1
    Jenis Opsen
     

    Pasal 69 

    Opsen dikenakan atas pajak terutang dari:
    a.
    PKB; dan
    b.
    BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek dan Wajib Pajak
     

    Pasal 70

    (1)
    Subyek pajak untuk Opsen PKB merupakan Subjek PKB.
    (2)
    Subyek pajak untuk Opsen BBNKB merupakan Subjek Pajak BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Wajib Pajak untuk Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 72

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
    (2)
    Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    Tarif opsen ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen);
    b.
    Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dihitung dari besaran pajak terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    (1)
    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a.
    (2)
    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    Opsen dipungut secara bersamaan dengan pajak yang dikenakan opsen.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
     

    Pasal 76

    (1)
    Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang yakni wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
    (2)
    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang yakni wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    (1)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada data terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 78

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 79

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan modal dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 80

    (1)
    Jenis retribusi terdiri atas:
     
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
     
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
     
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
    (2)
    Objek Retribusi yakni penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
    (3)
    Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    (4)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 81

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    Pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum;
     
    d.
    pelayanan pasar; dan
     
    e.
    Pengendalian Lalu Lintas.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 82

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    (1)
    Tarif Retribusi pelayanan kesehatan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif retribusi pelayan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 84

    (1)
    Objek Retribusi Pelayanan Kebersihan yakni pelayanan kebersihan kepada orang pribadi atau Badan yang disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan/pembuangan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Tarif Retribusi pelayanan kebersihan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif retribusi Pelayanan Kebersihan ditetapkan berdasarkan besaran volume, klasifikasi Subjek Retribusi, dan klasifikasi wilayah pelayanan dalam kota dan luar kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
     

    Pasal 86

    Objek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum yakni penyediaan pelayanan jasa parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Tarif Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum digolongkan berdasarkan jenis kendaraan bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pelayanan Pasar
     

    Pasal 88

    (1)
    Objek Retribusi Pelayanan Pasar yakni penyediaan pelayanan pasar rakyat yang disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Objek retribusi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi objek retribusi yang sudah dikerjasamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    (1)
    Tarif retribusi pelayanan pasar merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif retribusi pelayanan pasar dikelompokkan berdasarkan luas, jenis tempat, dan lokasi pasar.
    (3)
    Lokasi pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk menentukan kelas pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pelayanan Pengendalian Lalu Lintas
     

    Pasal 90

    (1)
    Retribusi Pengendalian Lalu Lintas diperuntukkan bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Peningkatan kinerja lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi kegiatan:
     
    c.
    perbaikan pada ruas jalan, koridor atau kawasan yang dilakukan pembatasan;
     
    d.
    pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan pada ruas jalan, koridor, atau kawasan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan di ruas jalan dan/atau persimpangan;
     
    e.
    pemeliharaan dan pengembangan teknologi untuk kepentingan lalu lintas; dan
     
    f.
    peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
    (3)
    Peningkatan pelayanan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi kegiatan:
     
    a.
    penambahan dan pemeliharaan jalur dan lajur dan/atau jalan khusus untuk angkutan umum massal;
     
    b.
    penambahan dan pemeliharaan sarana dan fasilitas pendukung angkutan umum massal; dan
     
    c.
    penggunaan dan pengembangan teknologi informasi untuk kepentingan pelayanan angkutan umum massal.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    (1)
    subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
     
    c.
    pelayanan parkir ditepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir;
     
    d.
    pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar; dan
     
    e.
    pengendalian lalu lintas diukur berdasarkan lokasi ruas jalan tempat pemberian layanan, waktu penggunaan layanan, dan/atau jenis Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Struktur dan Besaran Tarif
     

    Pasal 94

    Besaran Retribusi Struktur Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dengan tarif Retribusi.
    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (3)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
    (4)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 95

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    f.
    pelayanan jasa kepelabuhanan;
     
    g.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    h.
    pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
     
    i.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    j.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
      c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan negara, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintah dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa usaha yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     

    Pasal 96

    Objek Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) huruf a yakni penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan dan tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    (1)
    Tarif Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif Retribusi penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya dikelompokan berdasarkan luas, jenis usaha, dan lokasi usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya Dalam Lingkungan Tempat Pelelangan
     

    Pasal 98

    (1)
    Objek Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan termasuk Fasilitas Lainnya dalam Lingkungan Tempat Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) huruf b yakni pelayanan penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan yang disediakan dan/atau diberikan Pemerintah Daerah.
    (2)
    Termasuk objek retribusi sebagaimana ayat (1) yakni tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Tarif Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan termasuk Fasilitas Lainnya dalam Lingkungan Tempat Pelelangan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif Retribusi penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan berdasarkan jumlah nilai jual lelang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 100

    Objek Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf c yakni pelayanan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Tarif Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan digolongkan berdasarkan jenis tempat parkir yang disediakan, jenis kendaraan, dan lamanya parkir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila
     

    Pasal 102

    Objek Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf d yakni penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    (1)
    Tarif Retribusi Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif Retribusi penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila diukur berdasarkan frekuensi dan jangka waktu pemakaian Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     

    Pasal 104

    Objek Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    (1)
    Tarif Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak diukur berdasarkan jenis dan jumlah ternak yang dipotong.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
     

    Pasal 106

    Objek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan adalah pelayanan jasa kepelabuhanan termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya penyediaan fasilitas kepelabuhanan.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari penyediaan fasilitas, biaya perawatan/pemeliharaan, biaya pengembangan, biaya rutin periodik yang berkaitan langsung dengan penyediaan jasa, biaya administrasi umum yang mendukung penyediaan jasa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, Dan Olahraga
     

    Pasal 108

    Objek Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    (1)
    Tarif retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga ditetapkan berdasarkan jenis fasilitas, lokasi jangka waktu pemakaian, dan frekuensi pemanfaatan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Pelayanan Penyeberangan Orang Atau Barang Dengan Menggunakan Kendaraan Di Air
     

    Pasal 110

    Objek Retribusi Penyeberangan di Air adalah pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     

    Pasal 111

    Objek Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    (1)
    Tarif retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah ditetapkan berdasarkan jenis dan volume hasil produksi yang dijual.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Pemanfaatan Aset Daerah Yang Tidak Mengganggu Penyelenggaraan Tugas Dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah Dengan Tidak Mengubah Status Kepemilikan Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
     

    Pasal 113

    Objek Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf j yakni pelayanan pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Tarif Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur tarif Pemanfaatan Aset Daerah berdasarkan penggunaan jasa, jenis, luas, klasifikasi serta jangka waktu pemakaian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
     
    f.
    pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
     
    g.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    h.
    pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air;
     
    i.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    j.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Struktur dan Besaran Tarif
     

    Pasal 118

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dengan tarif Retribusi.
    (1)
    Struktur dan besaran tarif retribusi jasa usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Bentuk pemanfaatan aset Daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Bupati untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
    (4)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
    (6)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (7)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
    (8)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 119

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf c meliputi:
     
    a.
    persetujuan bangunan gedung; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Persetujuan Bangunan Gedung
     

    Pasal 120

    (1)
    Objek Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) huruf a yakni pelayanan persetujuan bangunan gedung yang disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    penerbitan PBG dan SLF (Sertifikat Layak Fungsi) bangunan gedung;
     
    b.
    penerbitan PBG prasarana bangunan gedung; dan
     
    c.
    pelayanan lainnya.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi bangunan gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis bangunan gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas bangunan gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak bangunan gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung Cagar Budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (5)
    Dikecualikan dari objek retribusi Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerbitan PBG dan SLF untuk bangunan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    (1)
    Tarif retribusi PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (2) ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan pelayanan konsultasi untuk:
     
    a.
    Bangunan Gedung
     
     
    Tarif retribusi PBG untuk Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
       
    LLt x (Ilo x SHST) x It x Ibg
     
    b.
    Prasarana Bangunan Gedung
     
     
    Tarif retribusi PBG untuk Prasarana Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung (HSpbg) atau dengan rumus:
       
    V x I x Ibg x HSpbg
         
    (2)
    Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (3)
    Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus:
     
    If x 𝛴(bp x Ip) x Fm
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing
     

    Pasal 122

    (1)
    Objek Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) huruf b yakni pemberian pelayanan pengesahan rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing yang disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni khusus untuk penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    (1)
    Tarif retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Besarnya tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar USD100,00 (seratus dolar Amerika Serikat) per jabatan per orang per bulan untuk setiap TKA dan dibayarkan dimuka.
    (3)
    Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibayarkan dengan rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat pembayaran retribusi oleh wajib retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Luas Total Lantai;
     
     
    2.
    Indeks Terintegrasi; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Volume;
     
     
    2.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Struktur dan Besaran Tarif
     

    Pasal 127

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung
    (4)
    Struktur dan besaran tarif retribusi perizinan tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Peninjauan Tarif
     

    Pasal 128

    (1)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
    (4)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (5)
    Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 129

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah
     

    Pasal 130

    (1)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati antara lain adalah SKPD dan SPPT.
    (2)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh wajib pajak antara lain SPTPD.
    (3)
    Dokumen pemberitahuan pajak daerah wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Besaran retribusi terutang ditetapkan dengan surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (5)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 132

    (1)
    Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENGATURAN PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA DAN BERINVESTASI
     
    Bagian Kesatu
    Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
     

    Pasal 133

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, antara lain:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    Kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi; dan/atau
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan, kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 135

    (1)
    Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau;
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
     
    d.
    wabah penyakit.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 136

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yakni:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 137

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 138

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    SANKSI
     
    Bagian Kesatu
    Sanksi Pidana
     

    Pasal 139

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 141

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 142

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 143

    Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, Pasal 141, dan Pasal 142 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 144

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 145

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
    (3)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (4)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
    (5)
    Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dari nilai pelaporan SPTPD yang ditetapkan.
    (6)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (7)
    Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
     
    d.
    wabah penyakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 146

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan daerah ini ditetapkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
    b.
    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB berlaku paling lama mulai tanggal 5 Januari 2025;
    c.
    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan bagi hasil Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Perda yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan 4 Januari 2025;
    d.
    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian;
    e.
    Peraturan Pelaksanaan PERDA tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Bupati yang baru.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 87, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 148

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 21 tahun 2017 tentang Pajak Restoran;
    c.
    Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2017 tentang Pajak Penerangan Jalan;
    d.
    Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2017 tentang Pajak Reklame;
    e.
    Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2017 tentang Pajak Hiburan;
    f.
    Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2017 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan;
    g.
    Peraturan Daerah Nomor 52 Tahun 2017 tentang Pajak Restoran;
    h.
    Peraturan Daerah Nomor 56 Tahun 2017 Tentang Pajak Retribusi Izin Trayek Kabupaten Manokwari Selatan;
    i.
    Peraturan Daerah Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pajak Pelayanan Retribusi Pasar;
    j.
    Peraturan Daerah no 88 Tahun 2017 tentang Pajak Hotel.
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    Peraturan pelaksanaan Perda ini ditetapkan paling lambat 1 tahun setelah perda ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 150

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Manokwari Selatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Ransiki
    pada tanggal 19 Januari 2024
    BUPATI MANOKWARI SELATAN,
    ttd.
    MARKUS WARAN
     
    Diundangkan di Ransiki
    Pada tanggal 19 Januari 2024
    SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MANOKWARI SELATAN,
    ttd.
    ADOLOP KAWEY, SH
     
    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI SELATAN TAHUN 2023 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI SELATAN
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI SELATAN
    NOMOR 2 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antar pemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang telah terbit didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Terbitnya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertujuan untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien, transparan, akuntabel, dan berkeadilan serta guna mewujudkan pemerataan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Batang bersama dengan DPRD Kabupaten Batang telah menetapkan 8 (delapan) peraturan daerah yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yaitu 1 (satu) peraturan daerah tentang pajak daerah dan 7 (tujuh) peraturan daerah tentang retribusi daerah. Namun sehubungan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana diamanatkan untuk membuat peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah dalam 1 (satu) peraturan daerah.
     
    Peraturan Daerah ini memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak dimana pajak daerah yang semula berjumlah 11 (sebelas) jenis pajak daerah menjadi 8 (delapan) pajak daerah, pemberian sumber-sumber perpajakan yang baru bagi pemerintah daerah dengan adanya opsen PKB dan BBNKB, dan penyederhanaan jenis Retribusi daerah pemerintah kabupaten Batang yang semula terdapat 19 (sembilan belas) jenis retribusi daerah menjadi 12 (dua belas) jenis retribusi daerah yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
    Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, hotel, pemakaian listrik dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
     
    Pemerintah Daerah ini juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak PKB dan BBNKB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Pemerintah Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah.Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum yang semula ada 8 (delapan) jenis retribusi menjadi 4 (empat) jenis retribusi. Retribusi Jasa Usaha yang semula 7 (tujuh) jenis retribusi menjadi 6 (enam) jenis retribusi, dan Retribusi Perizinan Tertentu yang semula ada izin PBG, izin trayek dan IMTA dengan peraturan daerah ini izin trayek sudah tidak dipungut retribusi.
     
    Pada dasarnya penetapan Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, upaya penyempurnaan dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, mengoptimalisasikan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memiliki kontribusi besar dan merupakan sumber pendanaan yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang berkeadilan, serta mencabut peraturan-peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah tidak sesuai dengan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    ayat (1)
    Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
    a.
    jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
    b.
    jalan tol;
    c.
    kolam renang;
    d.
    pagar mewah;
    e.
    tempat olahraga;
    f.
    galangan kapal, dermaga;
    g.
    taman mewah;
    h.
    tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
    i.
    menara dan saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet).
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Pertanian Rakyat merupakan suatu sistem pertanian yang dikelola oleh rakyat pada lahan/tanah garapan seseorang untuk memenuhi kebutuhan makanan/pangan.
     
    Perikanan Rakyat merupakan setiap usaha perikanan yang berbasis pada usaha rakyat/kerakyatan atau Masyarakat secara berkelompok maupun individu.
     
    Peternakan Rakyat merupakan setiap usaha peternakan yang berbasis pada usaha rakyat/kerakyatan atau masyarakat secara berkelompok maupun individu.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI SELATAN NOMOR 7

    Perda Nomor: 2 TAHUN 2024