Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG
    NOMOR 7 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI MALANG,
     

    Menimbang

    a.
    bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan kewenangan daerah dan bagian dari perwujudan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, optimalisasi sumber daya daerah dan kesejahteraan umum masyarakat;
    b.
    bahwa eksistensi kebijakan restrukturisasi serta ekstensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah oleh pemerintah pusat, juga dengan adanya kebijakan fiskal, perubahan nomenklatur dan perkembangan teknologi digital dan informasi, memerlukan penyesuaian dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah;
    c.
    bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka diperlukan pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yang aktual, komprehensif dan berdaya guna bagi pembangunan di daerah, dengan tujuan untuk memberikan landasan dan kepastian hukum, serta sebagai bentuk penyederhanaan regulasi daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten di Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 41), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya dengan mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
    3.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    4.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
    5.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    6.
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    12.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    13.
    Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 186);
    14.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 157);
    15.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
    16.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2016 Nomor 1 Seri C), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 3 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2023 Nomor 3 Seri C);
    17.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2022 Nomor 6 Seri A);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MALANG
    dan
    BUPATI MALANG
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
    2.
    Daerah adalah Kabupaten Malang.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Malang.
    4.
    Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
    5.
    Bupati adalah Bupati Malang.
    6.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Malang yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah.
    7.
    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    8.
    Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
    9.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan perseorangan, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    10.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    11.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas barang dan/atau jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    12.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
    13.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    14.
    Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    15.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    16.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    17.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    18.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    19.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    20.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    21.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    22.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    23.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
    24.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    25.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    26.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    27.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    28.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    29.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    30.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di tempat parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan.
    31.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    32.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    33.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    34.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    35.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    36.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
    37.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    38.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah pajak provinsi atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    39.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah pajak provinsi atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    40.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    41.
    Opsen adalah pungutan tambahan atas Pajak menurut persentase tertentu.
    42.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    43.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    44.
    Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    45.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    46.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    47.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    48.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    49.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    50.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    51.
    Rumah Sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Daerah yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna melalui pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
    52.
    Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Daerah tingkat pertama yang menyelenggarakan dan mengkoordinasikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan mengutamakan promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
    53.
    Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
    54.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    55.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    56.
    Standar Teknis Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Standar Teknis adalah acuan yang memuat ketentuan, kriteria, mutu, metode, dan/atau tata cara yang harus dipenuhi dalam proses penyelenggaraan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.
    57.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    58.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Daerah.
    59.
    Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
    60.
    Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
    61.
    Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan Daerah.
    62.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    63.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan di Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan Daerah.
    64.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas Objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    65.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besaran PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
    66.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat yang memuat ketetapan Pajak dan besaran jumlah pokok Pajak yang terutang.
    67.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
    68.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
    69.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
    70.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    71.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    72.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau surat keputusan keberatan.
    73.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau STPD yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    74.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    75.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
    76.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang Pajak dan biaya penagihan Pajak.
    77.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat pada Pemerintah Daerah kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melaksanakan kewajibannya terkait Pajak atau Retribusi.
    78.
    Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan Pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
    79.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    80.
    Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
    81.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    82.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    83.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan Subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    84.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    85.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan beserta lampirannya, termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
    86.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    87.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan Tahun Pajak.
    88.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    89.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi.
    90.
    Analisis Risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan Subjek Pajak atau Wajib Pajak yang mengindikasikan potensi penerimaan Pajak.
    91.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
    92.
    Hari adalah hari kerja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 2

    Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi pengaturan tentang:
    a.
    Pajak;
    b.
    Retribusi;
    c.
    ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    d.
    insentif fiskal dan kemudahan bidang Pajak dan Retribusi serta penyesuaian tarif atas kebijakan pemerintah;
    e.
    kerahasiaan data Wajib Pajak;
    f.
    sistem informasi dan elektronik Pajak dan Retribusi;
    g.
    kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dan Retribusi serta pemanfaatan data; dan
    h.
    penyidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis dan Dasar Pemungutan Pajak
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak yang dipungut Pemerintah Daerah terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Opsen PKB; dan
     
    h.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak yang tidak dipungut Pemerintah Daerah adalah Pajak Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati, terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak, terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan; dan
     
    c.
    Pajak MBLB.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah SKPD atau SPPT.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah SPTPD.
    (5)
    Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB-P2
     
    Paragraf 1
    Objek PBB-P2
     

    Pasal 5

    (1)
    Objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, pemerintah daerah dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam/kuburan, peninggalan purbakala, dan/atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu/mass rapid transit, lintas raya terpadu/light rail transit, atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu, yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak pada PBB-P2
     

    Pasal 6

    (1)
    Subjek Pajak pada PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak pada PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan PBB-P2
     

    Pasal 7

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya diberikan pada salah satu objek PBB-P2, untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (6)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek PBB-P2 tertentu, dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
    (7)
    Ketentuan mengenai tata cara penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP, setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
    (2)
    Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
    (3)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif dan Cara Penghitungan PBB-P2
     

    Pasal 9

    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    untuk NJOP dengan nilai sampai dengan Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,050% (nol koma nol lima puluh persen);
    b.
    untuk NJOP dengan nilai Rp300.000.001,00 (tiga ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,069% (nol koma nol enam puluh sembilan persen);
    c.
    untuk NJOP dengan nilai Rp600.000.001,00 (enam ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,088% (nol koma nol delapan puluh delapan persen);
    d.
    untuk NJOP dengan nilai Rp1.000.000.001,00 (satu miliar satu rupiah) sampai dengan Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,107% (nol koma seratus tujuh persen);
    e.
    untuk NJOP dengan nilai Rp1.500.000.001,00 (satu miliar lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,126% (nol koma seratus dua puluh enam persen);
    f.
    untuk NJOP dengan nilai Rp2.000.000.001,00 (dua miliar satu rupiah) sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,145% (nol koma seratus empat puluh lima persen);
    g.
    untuk NJOP dengan nilai Rp2.500.000.001,00 (dua miliar lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,164% (nol koma seratus enam puluh empat persen);
    h.
    untuk NJOP dengan nilai Rp3.000.000.001,00 (tiga miliar satu rupiah) sampai dengan Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,183% (nol koma seratus delapan puluh tiga persen);
    i.
    untuk NJOP dengan nilai Rp3.500.000.001,00 (tiga miliar lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,202% (nol koma dua ratus dua persen);
    j.
    untuk NJOP dengan nilai Rp4.000.000.001,00 (empat miliar satu rupiah) sampai dengan Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,221% (nol koma dua ratus dua puluh satu persen);
    k.
    untuk NJOP dengan nilai di atas Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) ditetapkan tarif sebesar 0,222% (nol koma dua ratus dua puluh dua persen); dan
    l.
    untuk objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan tarif sebesar 0,040% (nol koma nol empat puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dengan tiap tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Tahun Pajak dan Saat Terutang PBB-P2
     

    Pasal 11

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Wilayah Pemungutan PBB-P2
     

    Pasal 12

    (1)
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (2)
    Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada, yaitu:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BPHTB
     
    Paragraf 1
    Objek BPHTB
     

    Pasal 13

    (1)
    Objek BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yaitu:
     
    a.
    untuk kantor pemerintah pusat, pemerintah daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Dalam hal Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak BPHTB
     

    Pasal 14

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan BPHTB
     

    Pasal 15

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak.
    (2)
    Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk:
     
     
    1.
    tukar-menukar;
     
     
    2.
    hibah;
     
     
    3.
    hibah wasiat;
     
     
    4.
    waris;
     
     
    5.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    6.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    7.
    peralihan hak atas pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    8.
    pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
     
    9.
    pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; dan
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan hak, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan hak.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5, yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
    (6)
    Dalam hal bukti perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa letter c, maka nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah).
    (7)
    Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak dalam hal hibah wasiat atau waris tertentu ditetapkan sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
    (8)
    Ketentuan mengenai jenis hibah wasiat atau waris tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif dan Cara Penghitungan BPHTB
     

    Pasal 16

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang BPHTB
     

    Pasal 18

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli, untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk:
     
     
    1.
    tukar-menukar;
     
     
    2.
    hibah;
     
     
    3.
    hibah wasiat;
     
     
    4.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    5.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    6.
    penggabungan usaha;
     
     
    7.
    peleburan usaha;
     
     
    8.
    pemekaran usaha; dan/atau
     
     
    9.
    hadiah;
     
    c.
    pada tanggal saat penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan, untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Wilayah Pemungutan BPHTB
     

    Pasal 19

    Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PBJT
     
    Paragraf 1
    Objek PBJT
     

    Pasal 20

    Objek PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang dibayar oleh konsumen, yaitu meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum; dan
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan/atau bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, dan/atau penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tiap bulannya;
     
    b.
    oleh usaha ultra mikro, mikro dan kecil pada kegiatan yang diselenggarakan untuk waktu terbatas/tertentu, seperti festival, bazar, pameran dan kegiatan sejenis lainnya;
     
    c.
    pada toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    d.
    oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    e.
    oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
    (3)
    Batasan peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali, yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah sesuai dengan kewenangannya.
    (4)
    Peninjauan batasan peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), didahului dengan melakukan kajian atas peredaran usaha, yang memperhatikan kondisi perkembangan perekonomian Daerah.
    (5)
    Penetapan peredaran usaha, berdasarkan hasil peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan instansi penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah/tempat ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
    (3)
    Ketentuan mengenai kapasitas tertentu pada Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan, pada penyedia Jasa Perhotelan, seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, atau pemerintah daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran, yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dalam hal aset milik pemerintah pusat, atau pemerintah daerah yang dikuasai dan dikelola oleh swasta untuk digunakan sebagai usaha tempat parkir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    c.
    bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak pada PBJT
     

    Pasal 26

    (1)
    Subjek Pajak pada PBJT adalah konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak pada PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan PBJT
     

    Pasal 27

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang dan/atau jasa tertentu meliputi:
     
    a.
    untuk PBJT Makanan dan/atau Minuman adalah jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    untuk PBJT Tenaga Listrik adalah nilai jual Tenaga Listrik, dengan ketentuan nilai jual Tenaga Listrik sebagai berikut:
     
     
    1.
    untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran, dihitung berdasarkan:
     
     
     
    a)
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kilo watt hour atau variabel, yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; atau
     
     
     
    b)
    jumlah pembelian Tenaga Listrik, untuk prabayar.
     
     
    2.
    untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, dihitung berdasarkan:
     
     
     
    a)
    kapasitas tersedia;
     
     
     
    b)
    tingkat penggunaan listrik;
     
     
     
    c)
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
     
     
    d)
    harga satuan Tenaga Listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
     
    c.
    untuk PBJT Jasa Perhotelan adalah jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan;
     
    d.
    untuk PBJT Jasa Parkir adalah jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan (parkir valet); dan
     
    e.
    untuk PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk sejenis lainnya, yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan/atau jasa yang sejenis, yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 dan Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2, penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
    (5)
    Jumlah pembayaran yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf e, sudah termasuk potongan harga atau tiket masuk gratis/free pass yang diberikan kepada konsumen/pengguna.
    (6)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif dan Cara Penghitungan PBJT
     

    Pasal 28

    Tarif PBJT ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    PBJT Makanan dan/atau Minuman sebesar 10% (sepuluh persen);
    b.
    PBJT Tenaga Listrik sebesar:
     
    1.
    10% (sepuluh persen), untuk konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh konsumen/pengguna selain industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam;
     
    2.
    3% (tiga persen), untuk konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam; dan
     
    3.
    1,5% (satu koma lima persen), untuk konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    c.
    PBJT Jasa Perhotelan sebesar 10% (sepuluh persen);
    d.
    PBJT Jasa Parkir sebesar 10% (sepuluh persen); dan
    e.
    PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan sebesar:
     
    1.
    10% (sepuluh persen), untuk objek Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf k; dan
     
    2.
    50% (lima puluh persen), untuk objek Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf l.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Masa Pajak dan Saat Terutang PBJT
     

    Pasal 30

    (1)
    Masa Pajak pada PBJT terdiri atas:
     
    a.
    masa Pajak permanen, yaitu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender; dan
     
    b.
    masa Pajak insidental, yaitu pada saat penjualan, penyerahan, dan/atau penyediaan barang dan/atau jasa.
    (2)
    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3)
    Ketentuan mengenai masa Pajak PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Tahun Pajak PBJT diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Wilayah Pemungutan PBJT
     

    Pasal 31

    Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak Reklame
     

    Pasal 32

    (1)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi, yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah;
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan, yang tidak disertai dengan iklan komersial;
     
    f.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka mendukung kegiatan Pemerintah Daerah; dan
     
    g.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan program tanggung jawab sosial perusahaan, yang jenis, ukuran, bentuk, bahan dan jangka waktu reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak pada Pajak Reklame
     

    Pasal 33

    (1)
    Subjek Pajak pada Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak pada Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame
     

    Pasal 34

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan mengenai tata cara perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif dan Cara Penghitungan Pajak Reklame
     

    Pasal 35

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak Reklame
     

    Pasal 37

    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Wilayah Pemungutan Pajak Reklame
     

    Pasal 38

    (1)
    Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    PAT
     
    Paragraf 1
    Objek PAT
     

    Pasal 39

    (1)
    Objek PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan ibadah atau keagamaan; dan
     
    f.
    pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMD yang menyelenggarakan usaha pelayanan air minum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak pada PAT
     

    Pasal 40

    (1)
    Subjek Pajak pada PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib Pajak pada PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan PAT
     

    Pasal 41

    (1)
    Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif dan Cara Penghitungan PAT
     

    Pasal 42

    (1)
    Tarif PAT ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    untuk Wajib Pajak yang memanfaatkan Air Tanah untuk pengusahaan produk berupa Air, ditetapkan tarif sebesar 15% (lima belas persen);
     
    b.
    untuk Wajib Pajak yang memanfaatkan Air Tanah untuk pengusahaan produk bukan Air dalam jumlah besar, ditetapkan tarif sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen);
     
    c.
    untuk Wajib Pajak yang memanfaatkan Air Tanah untuk pengusahaan produk bukan Air dalam jumlah sedang, ditetapkan tarif sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    d.
    untuk Wajib Pajak yang memanfaatkan Air Tanah untuk pengusahaan produk bukan Air dalam jumlah kecil, ditetapkan tarif sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen); dan
     
    e.
    untuk Wajib Pajak yang memanfaatkan Air Tanah untuk pengusahaan produk bukan Air yang dipergunakan dalam menunjang kebutuhan pokok ditetapkan tarif sebesar 5% (lima persen).
    (2)
    Pengelompokan dan jenis Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e, berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang nilai perolehan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), dengan tiap tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang PAT
     

    Pasal 44

    Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Wilayah Pemungutan PAT
     

    Pasal 45

    Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak MBLB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak MBLB
     

    Pasal 46

    (1)
    Objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat; 
     
    ee.
    tawas (alum); 
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit; 
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal; 
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan 
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik atau telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya, yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak pada Pajak MBLB
     

    Pasal 47

    (1)
    Subjek Pajak pada Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak pada Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Pajak MBLB
     

    Pasal 48

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1).
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif dan Cara Penghitungan Pajak MBLB
     

    Pasal 49

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    untuk penambang tradisional tarif ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen); dan
    b.
    untuk pengusaha berbentuk Badan ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), dengan tiap tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak MBLB
     

    Pasal 51

    Saat terutangnya Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Wilayah Pemungutan Pajak MBLB
     

    Pasal 52

    Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Opsen PKB
     
    Paragraf 1
    Objek Opsen PKB
     

    Pasal 53

    Objek Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g dikenakan atas Pajak terutang PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak Opsen PKB
     

    Pasal 54

    (1)
    Wajib Pajak untuk Opsen PKB merupakan Wajib Pajak pada PKB.
    (2)
    Opsen PKB dipungut secara bersamaan dengan PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Opsen PKB
     

    Pasal 55

    Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif dan Cara Penghitungan Opsen PKB
     

    Pasal 56

    (1)
    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
    (2)
    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Opsen PKB
     

    Pasal 57

    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Wilayah Pemungutan Opsen PKB
     

    Pasal 58

    Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Opsen BBNKB
     
    Paragraf 1
    Objek Opsen BBNKB
     

    Pasal 59

    Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h dikenakan atas Pajak terutang BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak Opsen BBNKB
     

    Pasal 60

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak pada BBNKB.
    (2)
    Opsen BBNKB dipungut secara bersamaan dengan BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan Opsen BBNKB
     

    Pasal 61

    Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tarif dan Cara Penghitungan Opsen BBNKB
     

    Pasal 62

    (1)
    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
    (2)
    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Opsen BBNKB
     

    Pasal 63

    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB
     

    Pasal 64

    Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Bagi Hasil atas Pajak Provinsi serta Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
     

    Pasal 65

    Daerah dapat menerima hasil atas Pemungutan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Hasil penerimaan atas jenis Pajak yaitu:
     
    a.
    PBJT Tenaga Listrik;
     
    b.
    PAT; dan
     
    c.
    Opsen PKB,
     
    dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya dan diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis pajaknya.
    (2)
    Hasil penerimaan atas PBJT Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan umum, antara lain:
     
    a.
    penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum; dan
     
    b.
    pembayaran atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (3)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup di Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, diantaranya melalui:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
    (4)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengalokasian atas penerimaan dari jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 67

    (1)
    Jenis Retribusi di Daerah terdiri atas:
     
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
     
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
     
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dikelola oleh:
     
    a.
    pemerintah pusat;
     
    b.
    Pemerintah Provinsi;
     
    c.
    pemerintah daerah lain;
     
    d.
    badan usaha milik negara;
     
    e.
    BUMD; dan
     
    f.
    swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Jenis Pelayanan Retribusi
     

    Pasal 68

    (1)
    Jenis pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah dan merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    pelayanan pasar.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) Hari.
    (7)
    Jenis pelayanan Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
    (8)
    Tidak dipungutnya Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dapat diterapkan secara permanen atau insidental, yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Jenis pelayanan/penyediaan barang dan/atau jasa yang diberikan Pemerintah Daerah dan merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (3)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) Hari.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian/penerbitan izin yang diberikan Pemerintah Daerah atau pembayaran kompensasi tertentu dan merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c meliputi:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    penggunaan TKA.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 71

    Jenis Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dipungut pada wilayah Daerah atau pada lokasi pelayanan diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 72

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 73

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, kawasan lokasi parkir, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
     
    d.
    pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif
     

    Pasal 74

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum, ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 76

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di Puskesmas, Puskesmas keliling, Puskesmas pembantu, balai pengobatan, Rumah Sakit, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Besaran tarif Retribusi pelayanan kesehatan pada:
    a.
    Rumah Sakit Umum Daerah tercantum dalam Lampiran I;
    b.
    Puskesmas beserta jaringannya tercantum dalam Lampiran II; dan
    c.
    Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Kesehatan Daerah tercantum dalam Lampiran III,
    yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 78

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan Sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan Sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir Sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir Sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir Sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan antara lain pada:
     
    a.
    jalan umum;
     
    b.
    taman atau fasilitas umum milik Pemerintah Daerah;
     
    c.
    tempat ibadah; dan
     
    d.
    fasilitas sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    Besaran tarif Retribusi pelayanan kebersihan tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
     

    Pasal 80

    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk parkir yang bersifat insidental.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    Besaran tarif Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pelayanan Pasar
     

    Pasal 82

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pada pasar rakyat atau pasar hewan, yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, berupa:
    a.
    kios;
    b.
    los; dan
    c.
    pelataran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Besaran tarif Retribusi pelayanan pasar tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 84

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 85

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas, dan/atau nilai harga transaksi lelang untuk pelayanan jasa lelang;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan diukur berdasarkan jenis hewan, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah pemotongan hewan;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif
     

    Pasal 86

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha, ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     

    Pasal 88

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    Besaran tarif Retribusi penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya dalam Lingkungan Tempat Pelelangan
     

    Pasal 90

    (1)
    Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, atau hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa atau dikelola oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    Besaran tarif Retribusi penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 92

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    Besaran tarif Retribusi penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan
     

    Pasal 94

    Pelayanan rumah pemotongan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Besaran tarif Retribusi pelayanan rumah pemotongan hewan tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     

    Pasal 96

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    (1)
    Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga, dengan kriteria dan/atau jumlah tertentu dapat diberikan keringanan atau pemotongan atas tarif yang ditentukan Pemerintah Daerah.
    (2)
    Terhadap pelayanan dan penyediaan fasilitas pada tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga, diberlakukan ketentuan tarif antara lain sebagai berikut:
     
    a.
    tarif terpisah pada tiap pelayanan dan penyediaan fasilitas;
     
    b.
    tarif berlangganan; atau
     
    c.
    tarif terusan.
    (3)
    Kriteria Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan besaran tarif Retribusi pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga tercantum dalam Lampiran XI dan Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     

    Pasal 98

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    Besaran tarif Retribusi penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Pemanfaatan Aset Daerah
     

    Pasal 100

    (1)
    Pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g merupakan pemanfaatan barang milik Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah terhadap:
     
    a.
    penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut antara lain:
     
     
    1.
    pemancangan tiang listrik/telepon;
     
     
    2.
    penanaman kabel; dan
     
     
    3.
    penanaman pipa.
     
    b.
    pemakaian/penggunaan/pemanfaatan untuk kepentingan kedinasan atau kedaruratan bencana oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, pemerintah daerah lain, pemerintah desa atau pihak yang ditunjuk Pemerintah Daerah; dan
     
    c.
    aset Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan sebagai objek dari Retribusi lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik Daerah, bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif diatur dalam Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Bupati untuk setiap bentuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi
    (4)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (5)
    Besaran tarif Retribusi pemanfaatan aset Daerah dan tata cara penghitungan tarif untuk bentuk pemanfaatan barang milik daerah tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 102

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 103

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan persetujuan Bangunan Gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan TKA diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
    (3)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    luas total lantai;
     
     
    2.
    indeks lokalitas;
     
     
    3.
    indeks terintegrasi; dan
     
     
    4.
    indeks Bangunan Gedung terbangun.
     
    b.
    formula untuk prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    volume;
     
     
    2.
    indeks prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    indeks Bangunan Gedung terbangun.
    (4)
    Tingkat penggunaan jasa Retribusi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dihitung berdasarkan jumlah besaran DKPTKA yang harus dibayarkan Wajib Retribusi, sebagaimana tercantum dalam surat pemberitahuan pembayaran DKPTKA yang diterbitkan oleh pejabat pada kementerian yang membidanginya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif
     

    Pasal 104

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi Perizinan Tertentu atas PBG.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    PBG
     

    Pasal 106

    (1)
    Objek PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a adalah pelayanan pemberian/penerbitan PBG dan/atau prasarana Bangunan Gedung.
    (2)
    Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
     
    a.
    layanan konsultasi pemenuhan Standar Teknis;
     
    b.
    penerbitan PBG;
     
    c.
    inspeksi Bangunan Gedung;
     
    d.
    penerbitan SLF dan surat bukti kepemilikan Bangunan Gedung; dan/atau
     
    e.
    pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Retribusi untuk permohonan persetujuan yang meliputi:
     
    a.
    pembangunan Bangunan Gedung baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah dibangun dan belum memiliki PBG dan SLF; dan/atau
     
    c.
    PBG perubahan yaitu:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; dan/atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui sistem elektronik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Dalam hal sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengalami kendala diakses, maka penerbitan PBG dapat dilaksanakan secara non-elektronik atau manual.
    (6)
    Objek PBG berupa Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas fungsi:
     
    a.
    usaha selain usaha mikro, kecil dan menengah;
     
    b.
    usaha mikro, kecil dan menengah;
     
    c.
    hunian;
     
    d.
    khusus;
     
    e.
    sosial budaya;
     
    f.
    keagamaan; dan
     
    g.
    ganda/campuran.
    (7)
    Objek PBG berupa prasarana Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain terdiri atas:
     
    a.
    konstruksi pembatas/penahan/pengaman;
     
    b.
    konstruksi penanda masuk lokasi;
     
    c.
    konstruksi perkerasan;
     
    d.
    konstruksi perkerasan aspal beton;
     
    e.
    konstruksi perkerasan blok paving rumput/grass block;
     
    f.
    konstruksi penghubung;
     
    g.
    konstruksi penghubung berupa jembatan antar gedung;
     
    h.
    konstruksi penghubung berupa jembatan penyeberangan orang/barang;
     
    i.
    konstruksi penghubung berupa jembatan bawah tanah/underpass;
     
    j.
    konstruksi kolam/reservoir bawah tanah;
     
    k.
    konstruksi septic tank/sumur resapan;
     
    l.
    konstruksi menara;
     
    m.
    konstruksi menara air;
     
    n.
    konstruksi monumen;
     
    o.
    konstruksi instalasi listrik/gardu listrik;
     
    p.
    konstruksi reklame/papan reklame;
     
    q.
    konstruksi pondasi mesin;
     
    r.
    konstruksi menara televisi;
     
    s.
    konstruksi antena radio;
     
    t.
    konstruksi menara telekomunikasi;
     
    u.
    konstruksi tangki tanam bahan bakar;
     
    v.
    konstruksi drainase (dalam persil); dan
     
    w.
    konstruksi penyimpanan/silo.
    (8)
    Yang dikecualikan dari objek PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerbitan PBG bagi Bangunan Gedung dan prasarana Bangunan Gedung:
     
    a.
    milik instansi pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan pemerintah daerah lain; dan
     
    b.
    yang memiliki fungsi keagamaan.
    (9)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c yaitu perubahan PBG untuk kegiatan pemeliharaan dan/atau perawatan Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    (1)
    Harga satuan Retribusi Perizinan Tertentu atas PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    standar harga satuan tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    harga satuan Retribusi prasarana Bangunan Gedung untuk prasarana Bangunan Gedung.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan layanan Retribusi Perizinan Tertentu atas PBG mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (3)
    Besaran tarif Retribusi PBG tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Penggunaan TKA
     

    Pasal 108

    (1)
    Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan TKA oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    (1)
    Besaran tarif Retribusi penggunaan TKA adalah sebesar US$100 (seratus dolar Amerika Serikat) per jabatan, per orang dan per bulan.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar dimuka, seketika dan sekaligus, berdasarkan masa kerja TKA tersebut, sampai dengan paling lama 1 (satu) tahun kalender, sejak diterbitkannya surat pemberitahuan pembayaran DKPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (4).
    (3)
    Tarif Retribusi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan dengan mata uang rupiah dan disesuaikan dengan nilai tukar yang berlaku saat diterbitkannya SKRD atau dokumen sejenis lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Peninjauan Kembali Tarif Retribusi
     

    Pasal 110

    (1)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 79, Pasal 81, Pasal 83, Pasal 89, Pasal 91, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 97 ayat (3), Pasal 99, Pasal 101 ayat (5), Pasal 107 ayat (3), dan Pasal 109 ayat (1) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali, yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah pemungut Retribusi sesuai dengan kewenangannya.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didahului dengan melakukan kajian atas tarif, yang memperhatikan kondisi empiris, indeks harga dan perkembangan perekonomian Daerah, tanpa dilakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Penetapan tarif Retribusi pada tiap jenis pelayanan Retribusi, berdasarkan hasil peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.
    (4)
    Perangkat Daerah pemungut Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (5)
    Peninjauan tarif pada detail rincian objek untuk BLUD, diatur dengan Peraturan Bupati, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (6)
    Ketentuan mengenai penetapan perubahan tarif pada Retribusi PBG, ditetapkan dengan Peraturan Bupati, berdasarkan pada besaran tarif sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (7)
    Ketentuan mengenai penetapan perubahan tarif pada Retribusi penggunaan TKA, ditetapkan dengan Peraturan Bupati, berdasarkan pada besaran tarif sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perizinan penggunaan TKA.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 111

    (1)
    Pemanfaatan atas penerimaan pada tiap jenis Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 70 ayat (1), diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD, dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 112

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang serta pelaporan Pajak;
     
    c.
    pembayaran atau penyetoran Pajak dan Retribusi;
     
    d.
    Penelitian Pajak serta Pemeriksaan Pajak dan Retribusi;
     
    e.
    kekurangan pembayaran Pajak;
     
    f.
    kelebihan pembayaran Pajak dan Retribusi;
     
    g.
    Penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan Pajak atau Retribusi, banding dan gugatan Pajak;
     
    i.
    pembetulan dan pembatalan ketetapan Pajak;
     
    j.
    kedaluwarsa Penagihan serta penghapusan piutang Pajak dan Retribusi;
     
    k.
    pembukuan;
     
    l.
    Pemungutan Retribusi oleh pihak ketiga;
     
    m.
    koordinasi pelaporan dan pengaturan tata cara Pemungutan Retribusi;
     
    n.
    penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Opsen Pajak MBLB;
     
    o.
    pengembalian kelebihan pembayaran Opsen Pajak MBLB;
     
    p.
    sinergi Pemungutan Opsen Pajak MBLB; dan
     
    q.
    pendelegasian ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pendaftaran dan Pendataan
     
    Paragraf 1
    Pajak
     

    Pasal 113

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati, mendaftarkan diri dan/atau objek pajaknya kepada Bupati dengan menggunakan:
     
    a.
    SPOP untuk PBB-P2; dan
     
    b.
    surat pendaftaran objek Pajak untuk:
     
     
    1.
    Pajak Reklame; dan
     
     
    2.
    PAT.
    (2)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak, terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT; dan
     
    c.
    Pajak MBLB,
     
    mendaftarkan diri dan objek pajaknya kepada Bupati, dengan mengisi dokumen pendaftaran objek Pajak atau dokumen sejenis lainnya, dengan melampirkan data transaksi usaha untuk Wajib Pajak pada PBJT Makanan dan/atau Minuman, Jasa Perhotelan, Jasa Parkir, dan Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3)
    Dalam hal SPOP atau surat/dokumen pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), telah disampaikan Wajib Pajak kepada Bupati, pejabat yang ditunjuk menerbitkan NPWPD.
    (4)
    Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
    (5)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk:
     
    a.
    orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan; dan
     
    b.
    Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
    (6)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak pada PBJT Tenaga Listrik yang berbentuk badan usaha milik negara atau BUMD.
    (7)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bupati:
     
    a.
    menerbitkan NPWPD dan SKPD secara jabatan untuk jenis Pajak:
     
     
    1.
    PBB-P2;
     
     
    2.
    Pajak Reklame; dan
     
     
    3.
    PAT.
     
    b.
    menerbitkan NPWPD dan SKPDKB secara jabatan untuk jenis Pajak:
     
     
    1.
    BPHTB;
     
     
    2.
    PBJT; dan
     
     
    3.
    Pajak MBLB,
     
     
    berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Bupati melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
    (2)
    Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan di Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, Bupati berwenang melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
    (2)
    Penonaktifan atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
     
    a.
    tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
     
    b.
    tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran dan pendataan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Pasal 114 dan Pasal 115 diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Retribusi
     

    Pasal 117

    Perangkat Daerah pemungut Retribusi, melakukan pendataan atas Wajib Retribusi yang menjadi kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Penetapan Besaran Pajak dan Retribusi Terutang serta Pelaporan Pajak
     
    Paragraf 1
    Pajak
     

    Pasal 118

    (1)
    Bupati berwenang menetapkan besaran Pajak yang terutang atas jenis Pajak yaitu:
     
    a.
    PBB-P2 dengan menerbitkan SPPT, berdasarkan SPOP; dan
     
    b.
    Pajak Reklame dan PAT dengan menerbitkan SKPD, berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak.
    (2)
    Selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (7) huruf a, Bupati menerbitkan SKPD atas PBB-P2 secara jabatan, apabila berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain, ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 pada SPOP yang disampaikan Wajib Pajak.
    (3)
    Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bupati dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPDKB.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    (1)
    Wajib Pajak atas jenis Pajak, yaitu:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT; dan
     
    c.
    Pajak MBLB,
     
    mengisi dan melaporkan SPTPD secara jelas, benar, dan lengkap, dan dilakukan pada setiap masa Pajak.
    (2)
    Ketentuan masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk BPHTB.
    (3)
    Khusus untuk BPHTB, dalam hal telah dilakukan pembayaran/pelunasan, maka SSPD yang diterbitkan dipersamakan sebagai SPTPD.
    (4)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta paling sedikit memuat data transaksi usaha dan jumlah Pajak terutang yang telah dibayar Wajib Pajak pada tiap jenis Pajak dalam satu masa Pajak.
    (5)
    Data transaksi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berbentuk elektronik atau non-elektronik, yang menjadi dasar dalam menghitung jumlah Pajak yang terutang.
    (6)
    Khusus bagi Wajib Pajak PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan, melaksanakan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    terhadap karcis, tiket, tanda masuk, atau dokumen sejenis lainnya, yang akan dijual kepada Subjek Pajak, wajib dilakukan perforasi; dan
     
    b.
    yang menjadi dasar dalam pelaporan SPTPD adalah karcis, tiket, tanda masuk, atau dokumen sejenis lainnya, yang telah terjual atau dibeli oleh Subjek Pajak.
    (7)
    Apabila Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik secara sengaja atau karena kelalaian:
     
    a.
    tidak mengisi dan/atau melaporkan SPTPD;
     
    b.
    tidak melaksanakan perforasi, khusus Wajib Pajak PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a; dan/atau
     
    c.
    menolak mengintegrasikan atau pemasangan alat dan aplikasi perekaman data transaksi, tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
     
    maka Bupati dapat menerbitkan SKPDKB atau STPD.
    (8)
    STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) memuat pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (9)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (10)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan SPTPD, masa Pajak, perforasi, perekaman data, dan penerbitan SKPDKB atau STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (6), dan ayat (7) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 120

    (1)
    Atas kehendak pribadi, Wajib Pajak dapat membetulkan SPTPD yang telah dilaporkan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
    (2)
    Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
    (3)
    Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar, dan dapat ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga.
    (4)
    Sanksi administratif berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung sebesar tarif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan atas pokok Pajak yang terutang.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Retribusi
     

    Pasal 121

    (1)
    Besaran tarif Retribusi yang terutang ditetapkan Bupati, dan tercantum dalam dokumen SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (3)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan nilai tukar yang berlaku saat diterbitkannya SKRD atau dokumen sejenis lainnya.
    (4)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (5)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa antara lain:
     
    a.
    karcis;
     
    b.
    tagihan BLUD;
     
    c.
    surat pemberitahuan pembayaran;
     
    d.
    kwitansi;
     
    e.
    kupon;
     
    f.
    stiker;
     
    g.
    kode bar;
     
    h.
    bukti berlangganan; dan/atau
     
    i.
    bukti sejenis lainnya berbentuk elektronik atau non-elektronik,
     
    yang memuat besaran tarif Retribusi yang terutang, baik diterbitkan secara langsung, melalui aplikasi atau perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pembayaran atau Penyetoran Pajak dan Retribusi
     
    Paragraf 1
    Pajak
     

    Pasal 122

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame; dan
     
    c.
    PAT,
     
    membayar atau menyetor Pajak yang terutang, berdasarkan SPPT atau SKPD.
    (2)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT; dan
     
    c.
    Pajak MBLB,
     
    membayar atau menyetor Pajak yang terutang berdasarkan SPTPD yang dilaporkan.
    (3)
    Jangka waktu atau jatuh tempo pembayaran Pajak yang terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagai berikut:
     
    a.
    6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT, untuk PBB-P2;
     
    b.
    1 (satu) bulan atau 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal pengiriman SKPD, untuk Pajak Reklame dan PAT;
     
    c.
    pada saat penandatanganan perjanjian/akta, penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan, putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, atau penunjukan pemenang lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), untuk BPHTB; dan
     
    d.
    paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak berakhirnya masa Pajak untuk PBJT dan Pajak MBLB.
    (4)
    Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli, yang mengakibatkan:
     
    a.
    jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
     
    b.
    jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
    (5)
    Pemungutan Pajak tidak dapat diborongkan.
    (6)
    Pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), baik secara tunai atau non-tunai, dapat dilakukan melalui:
     
    a.
    bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah;
     
    b.
    lokasi pelayanan Pajak Pemerintah Daerah; dan
     
    c.
    pihak yang menyediakan layanan pembayaran Pajak secara digital atau non-digital.
    (7)
    Wajib Pajak yang telah melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang, diberikan SSPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    (1)
    Notaris atau pejabat pembuat akta tanah sesuai kewenangannya wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati, paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal notaris atau pejabat pembuat akta tanah melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap keterlambatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (3)
    Pejabat yang ditunjuk melaksanakan koordinasi dengan instansi pemerintah yang membidangi pelayanan lelang negara terkait pelaporan risalah lelang.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan oleh notaris atau pejabat pembuat akta tanah dan koordinasi dengan instansi pemerintah yang membidangi pelayanan lelang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Retribusi
     

    Pasal 124

    (1)
    Wajib Retribusi membayar atau menyetor Retribusi yang terutang berdasarkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, sesuai masa Retribusi, serta dibayar dengan sekaligus dan seketika, sebelum atau setelah pelayanan dan/atau penyediaan barang dan/atau jasa diberikan oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Pembayaran atau penyetoran Retribusi yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik secara tunai atau non-tunai, dapat dilakukan melalui:
     
    a.
    bank yang ditunjuk Pemerintah Daerah;
     
    b.
    lokasi pelayanan Retribusi Pemerintah Daerah;
     
    c.
    Wajib Retribusi selaku pemungut Retribusi; dan
     
    d.
    pihak yang menyediakan layanan pembayaran Retribusi secara digital atau non-digital.
    (3)
    Pembayaran atau penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan metode berlangganan atau insidental.
    (4)
    Wajib Retribusi yang telah melakukan pembayaran lunas Retribusi yang terutang, diberikan SSRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (5)
    Dalam hal Retribusi dipungut oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Penelitian Pajak serta Pemeriksaan Pajak dan Retribusi
     
    Paragraf 1
    Penelitian BPHTB
     

    Pasal 125

    (1)
    Penelitian BPHTB antara lain meneliti:
     
    a.
    kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB, dengan NOPD yang tercantum pada:
     
     
    1.
    SPPT atau bukti pembayaran PBB-P2 lainnya; dan
     
     
    2.
    basis data PBB-P2.
     
    b.
    kesesuaian NJOP Bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bumi per meter persegi pada basis data PBB-P2;
     
    c.
    kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bangunan per meter persegi pada basis data PBB-P2;
     
    d.
    kebenaran penghitungan BPHTB, antara lain:
     
     
    1.
    nilai perolehan objek pajak;
     
     
    2.
    NJOP;
     
     
    3.
    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak;
     
     
    4.
    tarif;
     
     
    5.
    pengenaan atas objek Pajak tertentu; dan
     
     
    6.
    BPHTB yang terutang.
     
    e.
    kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; dan
     
    f.
    kesesuaian kriteria objek Pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
    (2)
    Objek Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5 meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat.
    (3)
    Objek Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f adalah untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (4)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pemerintah.
    (5)
    Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah Pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah Pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penelitian BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penelitian SPTPD
     

    Pasal 126

    (1)
    Bupati melakukan Penelitian atas SPTPD yang dilaporkan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1).
    (2)
    Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meneliti:
     
    a.
    kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
     
    b.
    kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
     
    c.
    kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.
    (3)
    Apabila berdasarkan hasil Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Bupati menerbitkan STPD.
    (4)
    STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Dalam hal hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Bupati dapat melakukan Pemeriksaan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pemeriksaan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 127

    (1)
    Bupati memiliki wewenang melakukan Pemeriksaan, dalam rangka untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain serta melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah ini dan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
    (2)
    Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
     
    a.
    Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
     
    b.
    terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
     
    c.
    Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko.
    (3)
    Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan meliputi:
     
    a.
    pemberian NPWPD secara jabatan;
     
    b.
    penghapusan NPWPD;
     
    c.
    penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
     
    d.
    pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
     
    e.
    Pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
    (4)
    Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa, harus memenuhi ketentuan yaitu:
     
    a.
    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen baik elektronik atau non-elektronik, yang berhubungan dengan kewajiban Pajak atau retribusinya;
     
    b.
    memberikan kesempatan kepada petugas pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
     
    c.
    memberikan kesempatan kepada petugas pemeriksa untuk meminta keterangan pegawai dan/atau orang sekitar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi; dan/atau
     
    d.
    memberikan keterangan yang diperlukan, baik secara lisan atau tertulis dengan benar dan jelas.
    (5)
    Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), besarnya Pajak dan Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan.
    (6)
    Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa, memiliki hak antara lain:
     
    a.
    meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada petugas pemeriksa;
     
    b.
    meminta kepada petugas pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
     
    c.
    menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
    (7)
    Berdasarkan Pemeriksaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati antara lain dapat:
     
    a.
    menerbitkan SKPD, apabila berdasarkan hasil Pemeriksaan, jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP;
     
    b.
    menerbitkan SKPDKB, apabila berdasarkan hasil Pemeriksaan atas pembayaran dan penyetoran berdasarkan SPPT, SPTPD atau SKPD, jumlah Pajak yang terutang kurang dibayar; atau
     
    c.
    menerbitkan SKPDKBT, dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan atas jumlah Pajak yang terutang.
    (8)
    Atas Pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak oleh Wajib Pajak, Bupati antara lain dapat:
     
    a.
    menerbitkan SKPDLB, apabila jumlah Pajak yang dibayar lebih besar dari yang seharusnya terutang;
     
    b.
    menerbitkan SKPDN, apabila jumlah Pajak yang dibayar sama dengan jumlah Pajak yang terutang, atau tidak terdapat Pajak yang terutang; atau
     
    c.
    menerbitkan SKPDKB apabila jumlah Pajak yang terutang kurang dibayar.
    (9)
    Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dan tidak dilaporkan Wajib Pajak, dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c, dapat dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak.
    (10)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeriksaan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
    Bagian Keenam
    Kekurangan Pembayaran Pajak
     

    Pasal 128

    (1)
    Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Bupati dapat menerbitkan SKPDKB.
    (2)
    SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan:
     
    a.
    SKPDKB yang terbit atas hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (7) huruf b; dan
     
    b.
    penghitungan secara jabatan karena:
     
     
    1.
    Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu yang telah ditentukan, setelah ditegur secara tertulis;
     
     
    2.
    Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (7) huruf b dan huruf c;
     
     
    3.
    Wajib Pajak tertentu tidak melaksanakan pembukuan atau pencatatan; atau
     
     
    4.
    Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (4).
    (3)
    Terhadap penerbitan SKPDKB atas hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (4)
    Terhadap penerbitan SKPDKB atas hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak.
    (5)
    Selain sanksi administratif, terhadap penerbitan SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat ditambahkan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk PBJT; atau
     
    b.
    kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Kelebihan Pembayaran Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 129

    (1)
    Atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi oleh Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, Bupati dapat menerbitkan SKPDLB atau SKRDLB.
    (2)
    Khusus BPHTB, dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB.
    (3)
    Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya tersebut.
    (4)
    Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat waktu yang ditentukan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Penagihan Pajak dan Retribusi
     
    Paragraf 1
    STPD
     

    Pasal 130

    (1)
    Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Bupati dapat menerbitkan STPD.
    (2)
    Bupati menerbitkan STPD untuk jenis Pajak PBB-P2, Pajak Reklame dan PAT, dalam hal:
     
    a.
    Pajak terutang dalam SPPT atau SKPD yang tidak atau kurang dibayar, setelah jatuh tempo pembayaran;
     
    b.
    Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
     
    c.
    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    (3)
    Bupati menerbitkan STPD untuk jenis Pajak BPHTB, PBJT dan Pajak MBLB, dalam hal:
     
    a.
    Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
     
    b.
    hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126, terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
     
    c.
    SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
     
    d.
    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    (4)
    Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) adalah berupa pokok Pajak yang tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pemberian sanksi berupa:
     
    a.
    bunga sebesar sebesar 1% (satu persen) per bulan, dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, untuk STPD yang diterbitkan dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dan huruf b;
     
    b.
    bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, untuk STPD yang diterbitkan dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c;
     
    c.
    pemasangan atau pelekatan papan pengumuman dan/atau stiker pada objek Pajak atau sekitarnya;
     
    d.
    pengumuman pada media informasi elektronik atau non-elektronik;
     
    e.
    rekomendasi peninjauan kembali terhadap izin terkait objek Pajak atas Pajak terutang; dan/atau
     
    f.
    rekomendasi penertiban terhadap objek Pajak atas Pajak terutang.
    (5)
    Penerbitan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didahului dengan penerbitan Surat Teguran kepada Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Mekanisme Penagihan Pajak
     

    Pasal 131

    (1)
    Pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
    (2)
    Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat disampaikan surat imbauan.
    (3)
    Dalam hal dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    (1)
    Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130, Bupati berwenang menunjuk pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
    (2)
    Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
     
    a.
    mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
     
    b.
    menerbitkan:
     
     
    1.
    Surat Teguran;
     
     
    2.
    surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
     
     
    3.
    Surat Paksa;
     
     
    4.
    surat perintah melaksanakan penyitaan;
     
     
    5.
    surat perintah penyanderaan;
     
     
    6.
    surat pencabutan sita;
     
     
    7.
    pengumuman lelang;
     
     
    8.
    surat penentuan harga limit;
     
     
    9.
    pembatalan lelang; dan
     
     
    10.
    surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.
    (3)
    Jurusita Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 133

    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130, Pasal 131, dan Pasal 132 diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penagihan Retribusi
     

    Pasal 134

    (1)
    Bupati menerbitkan STRD apabila berdasarkan hasil Pemeriksaan petugas pada Perangkat Daerah pemungut ditemukan bahwa Wajib Retribusi tidak atau kurang dalam membayar Retribusi berdasarkan SKRD atau dokumen sejenis lainnya.
    (2)
    Sebelum penerbitan STRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati menyampaikan Surat Teguran secara bertahap kepada Wajib Retribusi untuk memenuhi kewajibannya.
    (3)
    Jumlah tagihan dalam STRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pokok Retribusi yang belum atau kurang dibayar, dan ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa:
     
    a.
    bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan; dan/atau
     
    b.
    penghentian pelayanan Retribusi terhadap Wajib Retribusi,
     
    yang dikenakan sejak jatuh tempo sebagaimana tercantum dalam SKRD.
    (4)
    Terhadap Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban retribusinya sehingga merugikan keuangan Daerah, maka Perangkat Daerah pemungut Retribusi sesuai kewenangannya dapat melakukan pelaporan atas dugaan tindak pidana Retribusi kepada penyidik pegawai negeri sipil Pemerintah Daerah atau aparat penegak hukum.
    (5)
    Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan apabila setelah jatuh tempo sebagaimana tercantum dalam STRD terlampaui, Wajib Retribusi tidak atau kurang dalam membayar Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Keberatan Pajak atau Retribusi, Banding dan Gugatan Pajak
     
    Paragraf 1
    Keberatan Pajak
     

    Pasal 135

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati terhadap dokumen Pajak yaitu:
     
    a.
    SPPT;
     
    b.
    SKPD;
     
    c.
    SKPDKB;
     
    d.
    SKPDKBT;
     
    e.
    SKPDLB;
     
    f.
    SKPDN; dan
     
    g.
    pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
    (2)
    Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan Wajib Pajak kepada Bupati secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan mengemukakan jumlah Pajak yang terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal penerbitan dokumen Pajak dimaksud, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
    (4)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    bencana sosial seperti kerusuhan/huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
    (5)
    Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit sejumlah yang disetujui Wajib Pajak.
    (6)
    Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan.
    (7)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
    (8)
    Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), tidak termasuk sebagai Pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1).
    (9)
    Bupati menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang dimohonkan Wajib Pajak, paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima secara lengkap.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 136

    (1)
    Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
    (3)
    Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak yang terutang berdasarkan keputusan keberatan, dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 137

    Ketentuan lebih lanjut mengenai keberatan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Pasal 136 diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Keberatan Retribusi
     

    Pasal 138

    (1)
    Wajib Retribusi dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
    (4)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    bencana sosial seperti kerusuhan/huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
    (5)
    Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi.
    (6)
    Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai keberatan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Banding
     

    Pasal 140

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Bupati.
    (2)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
    (4)
    Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
    (6)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (3) tidak dikenakan.
    (7)
    Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Gugatan Pajak
     

    Pasal 141

    (1)
    Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan, yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, terhadap:
     
    a.
    pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
     
    b.
    keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
     
    c.
    keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 135 ayat (9); dan
     
    d.
    penerbitan surat ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,
     
    yang diajukan ke badan peradilan pajak.
    (2)
    Surat ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, yaitu:
     
    a.
    SPPT;
     
    b.
    SKPD;
     
    c.
    SKPDKB;
     
    d.
    SKPDKBT;
     
    e.
    SKPDLB;
     
    f.
    SKPDN; dan
     
    g.
    STPD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan Pajak
     

    Pasal 142

    (1)
    Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN, dan SKPDLB, dengan dasar pertimbangan:
     
    a.
    terdapat kesalahan tulis;
     
    b.
    terdapat kesalahan hitung; dan/atau
     
    c.
    terdapat kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah,
     
    dengan menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan.
    (2)
    Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN dan SKPDLB dengan dasar pertimbangan:
     
    a.
    ketetapan Pajak dimaksud, seharusnya tidak diterbitkan;
     
    b.
    diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan;
     
    c.
    kemampuan membayar Wajib Pajak; dan/atau
     
    d.
    kondisi objek Pajak,
     
    dengan menerbitkan surat keputusan pembatalan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembetulan dan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Kedaluwarsa Penagihan serta Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
     
    Paragraf 1
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak
     

    Pasal 143

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak PBB-P2, Pajak Reklame dan PAT berbeda dengan saat penetapan SPPT atau SKPD, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
    (3)
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa dalam rangka Penagihan Pajak; atau
     
    b.
    ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (4)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa.
    (5)
    Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan secara tertulis masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (6)
    Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dapat diketahui dari adanya:
     
    a.
    pengajuan permohonan keringanan, penundaan pembayaran atau angsuran Pajak; dan
     
    b.
    pengajuan Keberatan Pajak,
     
    oleh Wajib Pajak.
    (7)
    Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal:
     
    a.
    pengakuan tertulis;
     
    b.
    keputusan keringanan; atau
     
    c.
    Surat Keputusan Keberatan Pajak.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi
     

    Pasal 144

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran; atau
     
    b.
    ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran.
    (4)
    Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan secara tertulis masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diketahui dari adanya:
     
    a.
    pengajuan permohonan keringanan, penundaan pembayaran atau angsuran Retribusi; dan
     
    b.
    pengajuan Keberatan Retribusi,
     
    oleh Wajib Retribusi.
    (6)
    Dalam hal terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal:
     
    a.
    pengakuan tertulis;
     
    b.
    keputusan keringanan; atau
     
    c.
    Surat Keputusan Keberatan Retribusi.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 145

    (1)
    Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak atau piutang Retribusi untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
    (2)
    Piutang Pajak atau piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan Pajak atau Retribusi sudah melampaui masa kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dan Pasal 144, dapat dihapuskan.
    (3)
    Penghapusan piutang Pajak atau piutang Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (4)
    Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    telah dilaksanakan upaya Penagihan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan; dan
     
    b.
    hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal Daerah.
    (5)
    Upaya Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penghapusan piutang Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Belas
    Pembukuan
     

    Pasal 146

    (1)
    Wajib Pajak melakukan pembukuan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun, menyelenggarakan pembukuan; dan
     
    b.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
    (2)
    Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
    (3)
    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
    (4)
    Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia, di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga Belas
    Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
     

    Pasal 147

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi, dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas Daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja Daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat Belas
    Koordinasi Pelaporan dan Pengaturan Tata Cara Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 148

    (1)
    Perangkat Daerah sebagai pemungut Retribusi, menyampaikan laporan Pemungutan secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Perangkat Daerah yang ditunjuk Bupati sebagai koordinator Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
    (3)
    Pengaturan mengenai tata cara Pemungutan pada tiap jenis pelayanan Retribusi diatur secara masing-masing dengan Peraturan Bupati, sesuai dengan jenis pelayanan Retribusinya, dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima Belas
    Penghitungan, Pembayaran, dan Pelaporan Opsen Pajak MBLB
     

    Pasal 149

    (1)
    Penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Opsen Pajak MBLB terutang dilakukan bersamaan dengan penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Pajak MBLB.
    (2)
    Pembayaran Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke kas daerah Pemerintah Provinsi dilakukan bersamaan dengan pembayaran Pajak MBLB ke kas Daerah dalam SSPD Pajak MBLB.
    (3)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, Bupati melakukan Penagihan.
    (4)
    Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk Penagihan sanksi administratif atas Opsen Pajak MBLB.
    (5)
    Dalam hal Bupati telah menerima pembayaran atas Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati menyetorkan bagian Opsen Pajak MBLB ke kas daerah Pemerintah Provinsi paling lama 3 (tiga) Hari.
    (6)
    Pelaporan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam SPTPD Pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam Belas
    Pengembalian Kelebihan Pembayaran Opsen Pajak MBLB
     

    Pasal 150

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran Pajak MBLB kepada Bupati, pengembalian kelebihan pembayaran Pajak MBLB termasuk memperhitungkan pengembalian kelebihan pembayaran Opsen Pajak MBLB.
    (2)
    Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Bupati menerbitkan SKPDLB Pajak MBLB dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 129.
    (3)
    Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernur, paling lambat 3 (tiga) Hari sejak SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan.
    (4)
    Bupati mengembalikan kelebihan pembayaran Pajak MBLB kepada Wajib Pajak berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh Belas
    Sinergi Pemungutan Opsen Pajak MBLB
     

    Pasal 151

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, Pemerintah Daerah bersinergi dengan Pemerintah Provinsi.
    (2)
    Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan Pajak MBLB, dan Opsen Pajak MBLB, atau bentuk sinergi lainnya.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Opsen Pajak MBLB dan sinergi Pemungutan pada Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan Belas
    Pendelegasian Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 152

    Bupati dapat melimpahkan kewenangan terkait pelaksanaan ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) kepada kepala Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan bidang keuangan yang meliputi pajak Daerah dan retribusi Daerah atau kepala Perangkat Daerah pemungut Retribusi sesuai kewenangannya, yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    INSENTIF FISKAL DAN KEMUDAHAN BIDANG PAJAK DAN RETRIBUSI SERTA PENYESUAIAN TARIF ATAS KEBIJAKAN PEMERINTAH
     
    Bagian Kesatu
    Insentif Fiskal
     

    Pasal 153

    (1)
    Atas permohonan Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, atau secara jabatan, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    mendukung kebijakan kemudahan berusaha dan investasi di Daerah;
     
    b.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kondisi tertentu objek Pajak atau Retribusi, seperti objek Pajak atau objek Retribusi terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak atau Retribusi;
     
    d.
    mengembangkan usaha mikro, kecil, dan ultra mikro di Daerah;
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah;
     
    f.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional; dan/atau
     
    g.
    kebijakan umum Pemerintah Daerah.
    (2)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan pada kawasan prioritas dan kawasan strategis tertentu antara lain:
     
    a.
    kawasan ekonomi khusus;
     
    b.
    kawasan pariwisata;
     
    c.
    kawasan industri; dan
     
    d.
    kawasan lain, berdasarkan ketetapan atau kebijakan pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Daerah.
    (3)
    Termasuk dalam kebijakan umum Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g yaitu dalam hal memperingati hari besar nasional atau hari jadi Daerah.
    (4)
    Bentuk insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas:
     
    a.
    pokok Pajak yang terutang; dan/atau
     
    b.
    pokok Retribusi yang terutang, beserta sanksi administratif.
    (5)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkan pertimbangan, antara lain:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah; dan/atau
     
    d.
    pertimbangan lain yang ditentukan oleh Bupati.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
    (7)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemberian Keringanan, Pengurangan serta Pembebasan Pajak dan Retribusi
     
    Paragraf 1
    Pajak
     

    Pasal 154

    (1)
    Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan atau pembebasan atas Pajak terutang dan/atau denda administrasinya.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan atau pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan dengan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Subjek Pajak dan Wajib Pajak;
     
    b.
    tingkat likuiditas Wajib Pajak;
     
    c.
    golongan atau profesi tertentu Wajib Pajak dengan tetap memperhatikan ketentuan pada huruf a;
     
    d.
    kondisi sosial dan ekonomi Daerah; dan/atau
     
    e.
    kedudukan dan kondisi objek Pajak, antara lain:
     
     
    1.
    lahan pertanian yang terbatas;
     
     
    2.
    Bumi dan/atau Bangunan dengan nilai objek dengan batasan tertentu; dan
     
     
    3.
    objek Pajak terdampak bencana alam, kebakaran atau bencana sosial seperti kerusuhan/huru-hara dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak.
    (3)
    Pemberian keringanan, pengurangan atau pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian keringanan, pengurangan atau pembebasan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Retribusi
     

    Pasal 155

    (1)
    Atas permohonan Wajib Retribusi atau karena jabatannya, Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan atau pembebasan atas pokok Retribusi terutang dan/atau denda administrasinya.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan atau pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan antara lain dengan memperhatikan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Retribusi;
     
    b.
    tingkat likuiditas Wajib Retribusi;
     
    c.
    golongan atau profesi tertentu Wajib Retribusi dengan tetap memperhatikan ketentuan pada huruf a;
     
    d.
    kondisi sosial dan ekonomi Daerah; dan/atau
     
    e.
    kedudukan dan kondisi objek Retribusi, antara lain objek Retribusi dalam kondisi rusak atau tidak dapat digunakan oleh Wajib Retribusi karena bencana alam, kebakaran, bencana sosial seperti kerusuhan/huru-hara, usia objek Retribusi, atau sebab kerusakan lainnya yang bukan kesengajaan oleh Wajib Retribusi dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Retribusi.
    (3)
    Pemberian keringanan, pengurangan atau pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian keringanan, pengurangan atau pembebasan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kemudahan Perpajakan
     

    Pasal 156

    (1)
    Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal/huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    pertimbangan lain yang ditentukan oleh Bupati.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penyesuaian Tarif atas Kebijakan Pemerintah
     

    Pasal 157

    (1)
    Dalam hal pemerintah pusat melaksanakan penyesuaian besaran tarif Pajak dan/atau tarif Retribusi dalam rangka program prioritas nasional, Pemerintah Daerah menyesuaikan besaran tarif sebagaimana yang telah ditetapkan tersebut, sampai dengan jangka waktu penyesuaian tarif yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dalam hal jangka waktu penyesuaian tarif Pajak dan/atau tarif Retribusi yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, maka tarif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Daerah diberlakukan kembali.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 158

    (1)
    Setiap aparatur sipil negara atau pegawai pada Pemerintah Daerah dilarang memberitahukan kepada pihak lain, segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan jabatan/pekerjaan atau untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    aparatur sipil negara, pegawai dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    aparatur sipil negara, pegawai dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan Pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
    (4)
    Untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada aparatur sipil negara atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan/atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada aparatur sipil negara atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan/atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 159

    (1)
    Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan ancaman pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pemerintah Daerah dapat berkoordinasi dengan instansi terkait, dalam hal terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    SISTEM INFORMASI DAN ELEKTRONIK PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 160

    (1)
    Bupati berwenang dalam membangun, mengembangkan dan mengelola sistem informasi dan elektronik Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Perangkat Daerah sesuai tugas dan fungsinya.
    (3)
    Sistem informasi dan elektronik yang berkaitan dengan Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk dalam penerbitan dokumen atau ketetapan Pajak dan Retribusi secara elektronik.
    (4)
    Penetapan sistem informasi dan elektronik Pajak dan Retribusi, dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi dan elektronik Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Pasal 161
    Pembiayaan atas pembangunan, pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan elektronik Pajak dan Retribusi milik Pemerintah Daerah, dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KERJA SAMA OPTIMALISASI PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI SERTA PEMANFAATAN DATA
     

    Pasal 162

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
     
    a.
    pemerintah pusat;
     
    b.
    Pemerintah Provinsi;
     
    c.
    pemerintah daerah lain;
     
    d.
    pemerintah desa; dan/atau
     
    e.
    pihak ketiga.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, pemerintah daerah lain dan/atau pemerintah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
    (4)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
    (5)
    Pelaksanaan kerja sama oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Perangkat Daerah sesuai dengan bidang dan kewenangannya.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 163

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 164

    (1)
    Penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Wewenang penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan terkait dengan adanya perkara tindak pidana, agar perkara, keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan dan/atau barang bukti mengenai perbuatan yang dilakukan orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana;
     
    c.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain, baik elektronik atau non-elektronik, berkenaan dengan tindak pidana, berkoordinasi dengan petugas pemungut Pajak dan Retribusi sesuai kewenangannya;
     
    d.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain, baik elektronik atau non-elektronik, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
     
    e.
    meminta bantuan tenaga ahli dan/atau instansi terkait dengan penyidikan adanya perkara tindak pidana;
     
    f.
    menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung, dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    g.
    mengambil sidik jari dan/atau memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
     
    h.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    i.
    menghentikan penyidikan; dan
     
    j.
    melakukan tindakan lain yang dapat dipertanggungjawabkan, dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasilnya kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 165

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban retribusinya sebagaimana tercantum dalam SKRD atau STRD dan dokumen sejenis lainnya, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN LAIN-LAIN
     

    Pasal 166

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan Pemungutan Pajak dan/atau Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (3)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi Pemungutan Pajak dan Retribusi serta dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (5)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
    (6)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan penganggaran Pajak dan Retribusi serta penetapan target dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 167

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    segala hak dan kewajiban Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, yang masih dalam proses atau belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, penyelesaiannya dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan di Daerah sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
    b.
    segala bentuk administrasi perpajakan, ketetapan dan hasil pendataan, meliputi NPWPD, NOPD, dan basis data, serta sistem informasi dan elektronik Pajak dan Retribusi di Daerah, yang telah ada atau ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku atau dilanjutkan kedudukannya, sepanjang belum diubah atau diganti berdasarkan peraturan perundang-undangan;
    c.
    ketentuan terkait pungutan atas pelayanan yang merupakan objek Retribusi oleh BLUD sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati mengenai pengelolaan BLUD, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini;
    d.
    ketentuan terkait penerimaan atas pemanfaatan aset Daerah berupa barang milik Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati mengenai pengelolaan barang milik Daerah, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini; dan
    e.
    ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 168

    Nomenklatur dalam peraturan perundang-undangan di Daerah, yang sudah ada sebelum Peraturan Daerah ini mulai berlaku, khususnya mengenai:
    a.
    Pajak Restoran harus dibaca dan dimaknai sebagai PBJT Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Pajak Hotel harus dibaca dan dimaknai sebagai PBJT Jasa Perhotelan;
    c.
    Pajak Hiburan harus dibaca dan dimaknai sebagai PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan;
    d.
    Pajak Penerangan Jalan harus dibaca dan dimaknai sebagai PBJT Tenaga Listrik;
    e.
    Pajak Parkir harus dibaca dan dimaknai sebagai PBJT Jasa Parkir; dan
    f.
    Retribusi Izin Mendirikan Bangunan harus dibaca dan dimaknai sebagai Retribusi PBG.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 169

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, seluruh peraturan perundang-undangan di Daerah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nomor 1/B), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2019 Nomor 1 Seri B);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nomor 1/C), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2020 Nomor 1 Seri C);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nomor 2/C), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2018 Nomor 1 Seri B);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nomor 3/C), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2016 Nomor 2 Seri B);
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2014 Nomor 1 Seri B),
    dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 170

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nomor 1/B), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2019 Nomor 1 Seri B);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nomor 1/C), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2020 Nomor 1 Seri C);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nomor 2/C), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2018 Nomor 1 Seri B);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nomor 3/C), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2016 Nomor 2 Seri B);
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2014 Nomor 1 Seri B),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 171

    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini, mulai berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 172

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 173

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Malang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Kepanjen
    pada tanggal 1 Desember 2023
    BUPATI MALANG,
    ttd.
    SANUSI
     
    Diundangkan di Kepanjen
    pada tanggal 1 Desember 2023
    Pj. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MALANG,
    ttd.
    NURMAN RAMDANSYAH
     
    Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2023 Nomor 7 Seri B
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 7 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Sesuai amanat Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
     
    Hal ini kemudian lahir pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 5 ayat (4), menegaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dan urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Dimana dalam Pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
     
    Berkaitan dengan uraian tersebut, penyelenggaraan Pajak dan Retribusi khususnya di Daerah menjadi sebuah perhatian khusus yang perlu dibuatkan regulasinya, selain dikarenakan adanya perubahan regulasi perundang-undangan sehingga mewajibkan Daerah melakukan penyesuaian hal tersebut, juga demi mewujudkan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, karena kegiatan investasi dan kegiatan berusaha merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah khususnya dari sektor Pajak dan Retribusi. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan pengaturan mengenai objek, jenis dan tarif Pajak dan Retribusi yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kebijakan pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah sepatutnya dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabel, terintegrasi, aksesibel, dan partisipatif dengan memperhatikan potensi Daerah.
     
    Usulan Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan landasan sosiologis bahwa eksistensi kebijakan restrukturisasi serta ekstensifikasi perpajakan dan retribusi daerah oleh pemerintah pusat, juga dengan adanya kebijakan fiskal, perubahan nomenklatur dan perkembangan teknologi digital dan informasi, memerlukan penyesuaian dalam pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.
     
    Berdasarkan ketentuan dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa dalam hal pembentukan peraturan daerah, dasar hukumnya adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah, dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Jika terdapat peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan secara langsung pembentukan peraturan perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan tersebut dimuat di dalam dasar hukum. Oleh sebab itu, maka pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Malang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, merupakan perintah secara tersirat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “kantor” adalah tempat dilaksanakannya berbagai kegiatan pemerintahan baik administratif pemerintahan itu sendiri maupun sebagai pusat pelayanan masyarakat, tidak termasuk rumah dinas.
     
    Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan pemerintah daerah lain.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan “Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu/mass rapid transit, lintas raya terpadu/light rail transit, atau yang sejenis” adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan “NJOP tertentu” adalah NJOP yang ditetapkan oleh Bupati sebagai objek yang tidak dikenakan PBB-P2, selain sebagaimana yang dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan atau objek yang dikenakan PBB-P2 tertentu sesuai dengan kekhususan dan/atau karakteristik wilayahnya.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Yang dimaksud dengan “perkembangan wilayah” termasuk karakteristik objek yaitu penilaian atas bentuk fisik dan/atau penggunaan dari objek PBB-P2, misalnya objek berupa bangunan menara.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Contoh “pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian” misalnya, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    Huruf b
    Contoh “pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak” misal, objek PBB-P2 yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek PBB-P2 yang digunakan untuk keperluan komersial.
    Huruf c
    Contoh “pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah” misal, Daerah dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
    1.
    NJOP < RpX juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60% (enam puluh persen);
    2.
    NJOP RpX juta - RpY miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80% (delapan puluh persen);
    3.
    NJOP > RpY miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100% (seratus persen).
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Yang dimaksud dengan “lahan produksi pangan” adalah lahan yang digunakan untuk menanam tanaman pangan seperti, padi, jagung, singkong, ubi atau tanaman lain yang diklasifikasikan sebagai tanaman pangan.
     
    Yang dimaksud dengan “lahan produksi ternak” adalah lahan yang bukan satu kesatuan lahan dengan tempat tinggal dan digunakan untuk peternakan hewan seperti, kambing, sapi, ayam, ikan, atau hewan lain yang diklasifikasikan sebagai hewan untuk diternakkan.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Contoh:
    Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut di antara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
     
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    Pasal 13
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan pemerintah daerah lain.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah atau notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB.
     
    Sebagai contoh, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain, waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah, di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Ayat (1)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “peralatan makan dan minum” yaitu berupa sendok, garpu, pisau/alat irisan, piring, mangkok, gelas, cangkir dan alat atau media untuk melakukan atau sebagai penunjang kegiatan makan dan minum lainnya, termasuk wadah makanan sebagai pengganti piring/mangkok atau gelas, baik berbahan kertas, plastik atau bahan daur ulang, yang disediakan Restoran kepada pembeli untuk dikonsumsi di tempat atau dibawa ke luar Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “usaha ultra mikro, mikro dan kecil” adalah usaha dengan kriteria sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha mikro, kecil dan menengah.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan “toko swalayan dan sejenisnya” adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket, ataupun grosir yang berbentuk perkulakan.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan pemerintah daerah lain.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Termasuk dalam kategori hostel adalah tempat tinggal atau rumah yang memenuhi kategori layaknya hostel, dan disewakan/dikontrakkan sebagai kos dengan pembayaran bulanan.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Termasuk dalam kategori losmen adalah tempat tinggal atau rumah yang memenuhi kategori layaknya losmen, dan disewakan/dikontrakkan sebagai kos dengan pembayaran bulanan.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, dapat berupa kos harian, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan) atau yang disewa paling sedikit selama 30 hari kalender.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan pemerintah daerah lain.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel” adalah ruangan/kios/gerai yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam area hotel.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan pemerintah daerah lain.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Termasuk dalam objek PBJT penyediaan Jasa Kesenian dan Hiburan adalah pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana yang digelar pada pertandingan olahraga.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “pameran” adalah memperkenalkan, menggelar, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum yang berfungsi sebagai sarana edukasi, sarana informasi dan komunikasi serta sebagai sarana rekreasi dan apresiasi.
     
    Objek pameran, antara lain berupa hasil karya seni, hasil produksi dan jasa wisata. Termasuk dalam jasa wisata antara lain tempat rekreasi dan taman wisata meliputi wisata bahari, wisata buatan, wisata alam, wisata budaya dan wisata religi.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan “permainan ketangkasan” adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan “olahraga permainan” adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan pemerintah daerah lain.
    Pasal 26
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu” oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga selaku penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital, berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel.
     
    Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan pihak ketiga selaku penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 27
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Angka 1
    Cukup jelas.
    Angka 2
    Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan “tiket masuk gratis” dapat berupa pembelian produk barang dan/atau jasa tertentu yang digunakan sebagai tiket.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Ayat (1)
    Termasuk dalam objek Pajak Reklame adalah segala ragam corak yang ditampilkan secara grafis atau visual, berupa desain, gambar, logo, susunan warna, kata, rangkaian huruf dan/atau angka, dalam bentuk dimensi tertentu dan/atau hologram, yang dapat menginterpretasikan pada produk barang dan/atau jasa tertentu.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Termasuk dalam Reklame udara adalah boneka udara yang berfungsi sebagai sarana reklame atau iklan seperti balon sky dancer dan sejenisnya.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan pemerintah daerah lain.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya, tanpa melakukan pengambilan atau pengeboran sendiri.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “keperluan dasar rumah tangga” adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah oleh orang pribadi semata-mata untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri seperti untuk air minum, memasak, mencuci, dengan tidak melakukan penjualan Air Tanah kepada pihak atau orang lain atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah tersebut.
     
    Apabila terdapat rumah tangga yang juga menggunakan Air Tanah sebagai usaha dan/atau melakukan penjualan Air Tanah kepada pihak atau orang lain atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah tersebut, maka terhadap penggunaan Air Tanah sebagai usaha dan/atau penjualan Air Tanah kepada pihak atau orang lain atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah tersebut, dipasang alat ukur atau meteran air tersendiri.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan pemerintah daerah lain.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Huruf m
    Cukup jelas.
    Huruf n
    Cukup jelas.
    Huruf o
    Cukup jelas.
    Huruf p
    Cukup jelas.
    Huruf q
    Cukup jelas.
    Huruf r
    Cukup jelas.
    Huruf s
    Cukup jelas.
    Huruf t
    Cukup jelas.
    Huruf u
    Cukup jelas.
    Huruf v
    Cukup jelas.
    Huruf w
    Cukup jelas.
    Huruf x
    Cukup jelas.
    Huruf y
    Cukup jelas.
    Huruf z
    Cukup jelas.
    Huruf aa
    Cukup jelas.
    Huruf bb
    Cukup jelas.
    Huruf cc
    Cukup jelas.
    Huruf dd
    Cukup jelas.
    Huruf ee
    Cukup jelas.
    Huruf ff
    Cukup jelas.
    Huruf gg
    Cukup jelas.
    Huruf hh
    Cukup jelas.
    Huruf ii
    Cukup jelas.
    Huruf jj
    Cukup jelas.
    Huruf kk
    Cukup jelas.
    Huruf ll
    Cukup jelas.
    Huruf mm
    Yang dimaksud dengan “MBLB lainnya” antara lain adalah tanah uruk.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “penambang tradisional” adalah kegiatan pengambilan MBLB yang dilakukan oleh orang pribadi atas namanya sendiri tanpa bantuan orang lain.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “pengusaha berbentuk Badan” adalah Badan yang mengusahakan pengambilan MBLB secara mandiri atau dengan mempekerjakan orang/pihak lain untuk keuntungannya sendiri.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "bersamaan" merupakan pembayaran Opsen PKB dilakukan sekaligus dengan pembayaran PKB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Contoh penghitungan:
    1.
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten Malang pada wilayah Provinsi Jawa Timur melakukan pembelian Kendaraan Bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025.
     
    Tarif BBNKB dalam Peraturan Daerah PDRD Provinsi Jawa Timur sebesar 8% (delapan persen), sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten Malang sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan Pemerintah Provinsi, ditagihkan jumlah Pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000,00 = Rp24.000.000,00.
     
    b.
    Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000,00 = Rp15.840.000,00.
     
    Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang: Rp39.840.000,00, ditagihkan bersamaan dengan Pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Provinsi, sedangkan Opsen BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah.
    2.
    Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan Bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Peraturan Daerah PDRD Provinsi Jawa Timur adalah sebesar 1% (satu persen), dan tarif Opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten Malang adalah sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan Pemerintah Provinsi, ditagihkan jumlah Pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    PKB terutang = 1% x Rp300.000.000,00 = Rp3.000.000,00.
     
    b.
    Opsen PKB terutang = 66% x Rp3.000.000,00 = Rp1.980.000,00.
     
    Total PKB dan Opsen PKB terutang Rp4.980.000,00, ditagihkan bersamaan dengan Pemungutan PKB saat pendaftaran (registrasi dan identifikasi) Kendaraan Bermotor. Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "bersamaan" merupakan pembayaran Opsen BBNKB dilakukan sekaligus dengan pembayaran BBNKB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerja sama antara Pemerintah dan badan usaha.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah ini.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Perda PDRD:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
    Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Y sebagaimana dimaksud di atas memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Bupati sebagai berikut:
     
    Peraturan Bupati:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
     
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan farmasi
     
     
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan bedah
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah ini.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, Rumah Pemotongan Hewan Ternak A pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan pemotongan hewan ternak berupa pelayanan pemotongan sapi dan pelayanan pemotongan kambing. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Perda PDRD:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan pemotongan hewan ternak
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan sapi
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan kambing
     
    Pada tahun 2027, Rumah Pemotongan Hewan Ternak A pada Kabupaten Y tersebut memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan pengemasan dan pelayanan ruang pendingin yang merupakan bagian dari pelayanan pemotongan kambing. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Bupati sebagai berikut:
     
    Peraturan Bupati:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan pemotongan hewan ternak
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan sapi
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan kambing
     
     
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan pengemasan
     
     
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan ruang pendingin.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Termasuk pelayanan administrasi antara lain pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Yang dimaksud dengan “parkir yang bersifat insidental” yaitu parkir yang diselenggarakan karena adanya suatu kegiatan atau keramaian yang sifatnya sementara atau dalam jangka waktu tertentu, serta menggunakan badan jalan.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain tempat pelelangan milik pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, pemerintah daerah lain atau swasta yang dikelola Pemerintah Daerah atau dikerjasamakan oleh Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga untuk dikelola pihak ketiga yang dimaksud antara lain koperasi, atau kelompok tani/peternak.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
     
    Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Angka 1
    Cukup jelas.
    Angka 2
    Cukup jelas.
    Angka 3
    Cukup jelas.
    Angka 4
    Cukup jelas.
    Angka 5
    Cukup jelas.
    Angka 6
    Yang dimaksud dengan “tingkat kerusakan sedang” adalah kerusakan sebesar 45% (empat puluh lima persen) sampai dengan 64% (enam puluh empat persen) atas Bangunan.
     
    Yang dimaksud dengan “tingkat kerusakan berat” adalah kerusakan 65% (enam puluh lima persen) atau lebih pada Bangunan.
    Angka 7
    Cukup jelas.
    Angka 8
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan “sistem elektronik” antara lain melalui sistem yang ditentukan oleh pemerintah pusat dan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG).
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan “kendala diakses” antara lain dalam hal sistem diretas, sistem dalam perbaikan, sistem mengalami trafik penuh, dan/atau terjadi pemadaman listrik.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 109
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “dokumen sejenis lainnya” adalah dokumen yang dipersamakan sebagai SKRD yaitu surat pemberitahuan pembayaran DKPTKA yang mencantumkan jumlah Retribusi terutang.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Pemberian NPWPD kepada Wajib Pajak digunakan untuk seluruh kewajiban jenis Pajak.
    Ayat (4)
    Contoh:
    Orang pribadi "A" memiliki sebuah rumah (tanah dan Bangunan), mengusahakan sebuah restoran, dan membuka usaha rekreasi wahana air (waterboom). Ketiga objek dimaksud berada di Daerah.
     
    Atas objek-objek dimaksud, orang pribadi "A" hanya memiliki 1 (satu) NPWPD, namun dapat memiliki beberapa NOPD atau nomor registrasi atau jenis penomoran lain yang dipersamakan sesuai dengan kebutuhan profiling dan pendataan Pemerintah Daerah:
    a.
    NOPD untuk tanah dan Bangunan rumah yang dimilikinya;
    b.
    NOPD untuk usaha restoran; dan
    c.
    NOPD untuk usaha waterboom.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Setiap Wajib Pajak orang pribadi hanya memiliki 1 (satu) NPWPD dan dihubungkan dengan nomor induk kependudukan Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Daerah.
    Huruf b
    Setiap Wajib Pajak Badan hanya memiliki 1 (satu) NPWPD dan dihubungkan dengan nomor induk berusaha Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Daerah.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
    Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Ayat (1)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “SPPT” adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar bagi Wajib Pajak untuk membayar PBB-P2 terutang dan bukan merupakan dokumen bukti kepemilikan atas suatu objek PBB-P2.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan “perekaman data transaksi” yaitu pemasangan alat dan aplikasi milik Pemerintah Daerah, yang dapat secara real time memantau dan merekam transaksi usaha Wajib Pajak.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Yang dimaksud dengan “keadaan kahar Wajib Pajak” meliputi:
    a.
    bencana alam;
    b.
    kebakaran;
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "kedaluwarsa penetapan" adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "tanggal pengiriman SPPT" adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "tanggal pengiriman SKPD" adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan "dilarang diborongkan" adalah bahwa seluruh proses kegiatan Pemungutan Pajak yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya Pajak terutang, pengawasan, penyetoran, dan Penagihan Pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan Pemungutan Pajak, antara lain pengiriman surat kepada Wajib Pajak atau penghimpunan data objek dan subjek Pajak.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Yang dimaksud dengan “dokumen lain yang dipersamakan” antara lain berupa, struk sebagai bukti pembayaran, baik berbentuk elektronik atau non-elektronik.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan “dokumen lain yang dipersamakan” antara lain berupa, struk sebagai bukti pembayaran, baik berbentuk elektronik atau non-elektronik.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Analisis risiko dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
    a.
    kepatuhan penyampaian surat pemberitahuan; dan
    b.
    kepatuhan dalam melunasi Pajak terutang.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "penghitungan secara jabatan" adalah penghitungan besaran Pajak terutang berdasarkan data dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah.
     
    Contoh:
    Dalam hal Wajib Pajak tidak melaporkan SPTPD, tidak menyelenggarakan pembukuan, atau tidak kooperatif dalam mengungkapkan data, keterangan, dan/atau informasi saat Pemeriksaan, maka Bupati dapat menghitung dan menetapkan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data, keterangan, dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah, yang dapat diperoleh dari hasil penelitian, pendataan, konfirmasi pihak ketiga, uji petik lapangan, maupun cara lainnya untuk memperoleh data, keterangan, dan/atau informasi.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Contoh kasus:
    Wajib Pajak Restoran A terdaftar di Kabupaten Malang melaporkan SPTPD PBJT masa Pajak Januari 2025 dengan Pajak terutang yang telah dibayar dan dilaporkan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pembayaran dan pelaporan Pajak dilakukan pada hari yang sama pada tanggal 11 Februari 2025, sementara batas waktu pembayaran dan pelaporan PBJT dalam peraturan perundang-undangan Kabupaten Malang adalah tanggal 10 dan tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa Pajak.
     
    Namun berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh fiskus Pemerintah Daerah terdapat indikasi ketidakbenaran penghitungan Pajak terutang dalam SPTPD yang dilaporkan, sehingga terhadap Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Pajak dalam rangka menguji kepatuhan perpajakan pada bulan Maret 2025.
     
    Dalam proses Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak kooperatif, tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, dan tidak mengizinkan pemeriksa Pajak memasuki ruangan tempat penyimpanan pembukuan Wajib Pajak. Hal tersebut menyebabkan pemeriksa Pajak tidak dapat menghitung besaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman terutang yang sebenarnya.
     
    Oleh karena itu, pemeriksa Pajak melakukan penghitungan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh melalui konfirmasi data pihak ketiga dan informasi yang dikumpulkan melalui uji petik. Besaran Pajak terutang yang seharusnya menurut Bupati adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta).
     
    Pemeriksaan selesai pada bulan April 2025 dan pada tanggal 2l April 2025 terbit SKPDKB untuk menetapkan kekurangan pembayaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman sesuai penghitungan secara jabatan oleh pemeriksa Pajak sebesar Rp150.000.000,00 yang merupakan hasil dari penghitungan Rp250.000.000,00 - Rp100.000.000,00.
     
    Maka isi SKPDKB PBJT dimaksud adalah sebagai berikut:
    a.
    pokok Pajak kurang bayar = Rp150.000.000,00.
    b.
    sanksi bunga = Rp9.900.000,00 hasil dari penghitungan Rp150.000.000,00 x 2,2% x 3
    c.
    sanksi kenaikan = Rp75.000.000,00 hasil dari penghitungan Rp150.000.000,00 x 50%
    d.
    jumlah Pajak yang masih harus dibayar dalam SKPDKB = Rp234.900.000,00
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya” merupakan Utang Pajak atau utang Retribusi yang masih belum dibayar oleh Wajib pajak atau Wajib Retribusi selain jenis Pajak atau Retribusi yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
     
    Contoh:
    Wajib Pajak A mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran atas Pajak Reklame tahun 2025 sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), namun Wajib Pajak A masih memiliki Utang Pajak atas PBJT Jasa Perhotelan tahun 2025 sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta).
     
    Atas kelebihan pembayaran Pajak Reklame tahun 2025 tersebut akan diperhitungkan untuk melunasi Utang Pajak atas PBJT Jasa Perhotelan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta) terlebih dahulu.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan “pengumuman pada media informasi elektronik atau non-elektronik” adalah pengumuman atas identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum yaitu identitas Wajib Pajak meliputi:
    1.
    nama Wajib Pajak;
    2.
    NPWPD;
    3.
    alamat Wajib Pajak;
    4.
    alamat kegiatan usaha;
    5.
    merek usaha; dan/atau
    6.
    kegiatan usaha Wajib Pajak.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "surat imbauan" adalah pemberian surat yang memuat informasi kepada Penanggung Pajak sebagai pengingat agar Penanggung Pajak dapat melunasi Utang Pajaknya sebelum diterbitkannya Surat Teguran.
     
    Surat imbauan dapat diberikan melalui pos tercatat, secara elektronik atau melalui media lainnya.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan" adalah Undang-Undang mengenai Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati" merupakan keadaan di luar kemampuan Wajib Pajak berdasarkan penilaian objektif Bupati yang menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat memenuhi batas waktu pengajuan keberatan, 
     
    contoh:
    Wajib Pajak berada di remote area atau adanya akuisisi Wajib Pajak oleh pihak lain yang menyebabkan Wajib Pajak terkendala mengajukan keberatan dan melengkapi dokumen pendukung pengajuan keberatan.
    Ayat (5)
    Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
     
    Contoh:
    Pada Tahun 2025, Wajib Pajak X melaporkan Pajak terutang sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Kemudian, Pemerintah Daerah melaksanakan Pemeriksaan atas Pajak terutang yang dilaporkan oleh Wajib Pajak X.
     
    Atas hasil Pemeriksaan tersebut, Pemerintah Daerah menerbitkan SKPDKB dengan jumlah Pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak X senilai Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
     
    Dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak X menyetujui Pajak yang masih harus dibayar senilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Wajib Pajak X dapat mengajukan keberatan apabila telah melunasi sebagian SKPDKB yang telah disetujui dalam pembahasan akhir Pemeriksaan tersebut senilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi" adalah Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “bersamaan” adalah pembayaran Opsen Pajak MBLB dilakukan sekaligus dengan pembayaran Pajak MBLB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “pembayaran” adalah pembayaran atas Opsen Pajak MBLB saja, atau pembayaran atas Opsen Pajak MBLB dan Pajak MBLB.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan “kondisi sosial dan ekonomi Daerah” diantaranya apabila di Daerah mengalami pandemi penyakit yang mempengaruhi pada kondisi perekonomian Daerah.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 155
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan “kondisi sosial dan ekonomi Daerah” diantaranya apabila di Daerah mengalami pandemi penyakit yang mempengaruhi pada kondisi perekonomian Daerah.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Contoh kasus:
    Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di Daerah pada bulan Juni 2025, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni 2025 yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli 2025 untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 September 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 September 2025 untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di Daerah.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Contoh:
    Wajib Pajak memiliki Pajak terutang sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), untuk masa Pajak April 2025 yang disetujui oleh Bupati pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2025 dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan.
     
    Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
    a.
    pembayaran angsuran pertama tanggal l Juni 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp600.000,00 hasil dari penghitungan Rp100.000.000,00 x 0,6%
    b.
    pembayaran angsuran kedua tanggal 1 Juli 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp450.000,00 hasil dari penghitungan Rp75.000.000,00 x 0,6%
    c.
    pembayaran angsuran ketiga tanggal 1 Agustus 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp300.000,00 hasil dari penghitungan Rp50.000.000,00 x 0,6%
    d.
    pembayaran angsuran terakhir tanggal 1 September 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp150.000,00 hasil dari penghitungan Rp25.000.000,00 x 0,6%
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Pasal 157
    Cukup jelas.
    Pasal 158
    Cukup jelas.
    Pasal 159
    Cukup jelas.
    Pasal 160
    Cukup jelas.
    Pasal 161
    Cukup jelas.
    Pasal 162
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” merupakan pihak di luar pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, pemerintah daerah lain dan pemerintah desa, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi Pemungutan Pajak.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “pengawasan Wajib Pajak bersama” merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, pemerintah daerah lain dan/atau pemerintah desa, dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.
     
    Contoh:
    Fiskus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Contoh penggunaan “jasa layanan pembayaran” yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 163
    Cukup jelas.
    Pasal 164
    Cukup jelas.
    Pasal 165
    Cukup jelas.
    Pasal 166
    Cukup jelas.
    Pasal 167
    Cukup jelas.
    Pasal 168
    Cukup jelas.
    Pasal 169
    Cukup jelas.
    Pasal 170
    Cukup jelas.
    Pasal 171
    Cukup jelas.
    Pasal 172
    Cukup jelas.
    Pasal 173
    Cukup jelas.

    Perda Nomor: 7 TAHUN 2023