Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA
    NOMOR 7 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI MAJALENGKA,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan penunjang pelaksanaan pembangunan dibidang ekonomi dan kesejahteraan sosial serta merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    b.
    bahwa pajak daerah dan retribusi daerah harus sejalan dengan visi dan misi daerah serta harus memperhatikan karakteristik budaya masyarakat dan kearifan lokal daerah;
    c.
    bahwa sesuai dengan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pengaturan terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    e.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, maka perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 43) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2851);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6648);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA
    dan
    BUPATI MAJALENGKA
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut Daerah adalah Daerah Kabupaten Majalengka.
    2.
    Bupati adalah Bupati Majalengka.
    3.
    Pemerintah Daerah Kabupaten adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    4.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah.
    5.
    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    6.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
    7.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    8.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    9.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
    10.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    11.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    12.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    13.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    14.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    15.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    16.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    17.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan Bangunan.
    18.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    19.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    20.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    21.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    22.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    23.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    24.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
    25.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknis berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    26.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    27.
    Pajak Reklame adalah Pajak atau penyelenggaraan reklame.
    28.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    29.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    30.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    31.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    32.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    33.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    34.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    35.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    36.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan Daerah atas pokok Pajak Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    37.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan Daerah atas pokok bea balik nama Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    38.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    39.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    40.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    41.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    42.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    43.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    44.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    45.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan Daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    MAKSUD DAN TUJUAN
     

    Pasal 2

    (1)
    Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar hukum pemungutan Pajak dan Retribusi bagi Pemerintah Daerah, serta memberikan kepastian hukum atas pemungutan Pajak dan Retribusi bagi masyarakat.
    (2)
    Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RUANG LINGKUP
     

    Pasal 3

    Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
    a.
    Pajak;
    b.
    Retribusi;
    c.
    pemungutan Pajak dan Retribusi;
    d.
    pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi;
    e.
    penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi;
    f.
    insentif pemungutan Pajak dan Retribusi;
    g.
    ketentuan penyidikan;
    h.
    ketentuan pidana;
    i.
    ketentuan peralihan; dan
    j.
    ketentuan penutup.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 4

    Jenis Pajak terdiri atas:
    a.
    PBB-P2;
    b.
    BPHTB;
    c.
    PBJT atas:
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
    2.
    tenaga listrik;
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
    d.
    Pajak Reklame;
    e.
    PAT;
    f.
    Pajak MBLB;
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
    h.
    Opsen PKB; dan
    i.
    Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    c.
    Pajak Reklame;
     
    d.
    PAT;
     
    e.
    Opsen PKB; dan
     
    f.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas;
     
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
     
    2.
    tenaga listrik;
     
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
     
    c.
    Pajak MBLB; dan
     
    d.
    Pajak Sarang Burung Walet.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi surat pemberitahuan pajak daerah.
    (5)
    Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB-P2
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 6

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah, kantor pemerintah daerah provinsi, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu, lintas raya terpadu, atau sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 7

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 8

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (6)
    Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
    (2)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten.
    (3)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    NJOP kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen);
     
    b.
    NJOP antara Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen); dan
     
    c.
    NJOP diatas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen).
    (2)
    Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    NJOP kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar 0,03% (nol koma nol tiga persen);
     
    b.
    NJOP antara Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebesar 0,10% (nol koma sepuluh persen); dan
     
    c.
    NJOP diatas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebesar 0,20% (nol koma dua puluh persen).
    (3)
    Untuk objek PBB-P2 dengan luas diatas 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi) yang tidak dimanfaatkan, dikenakan tarif PBB-P2 sebesar 0,30% (nol koma tiga puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 12

    Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Tahun Pajak dan Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 13

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BPHTB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 14

    (1)
    Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor pemerintah, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur sesuai dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakukan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 15

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 16

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, ditetapkan nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar:
     
    a.
    Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama; dan
     
    b.
    Rp0,00 (nol rupiah) untuk perolehan hak kedua dan seterusnya,
     
    Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (6)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 19

    BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 20

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikat jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PBJT
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 21

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan pelayanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha yang dapat dilihat dari nilai penjualan atau penerimaan pembayaran pada waktu proses penetapan sebagai Wajib Pajak di bawah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
     
    e.
    konsumsi Tenaga Listrik di kawasan terpencil dengan menggunakan pembangkit Tenaga Listrik bantuan dari pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau pemerintah desa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan meliputi:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawan sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik;
     
    d.
    jasa tempat parkir dalam pemukiman penduduk yang disediakan bagi warga kompleks pemukiman bersangkutan;
     
    e.
    jasa tempat parkir yang disediakan oleh pemilik toko/usaha dan/atau sejenisnya untuk konsumen dengan tidak dipungut bayaran; dan
     
    f.
    jasa tempat parkir berupa penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan Kendaraan Bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan madi uap/spa.
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan
     
    c.
    hiburan yang diselenggarakan dalam pernikahan, upacara adat, dan/atau kegiatan keagamaan dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 27

    (1)
    Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 28

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kwh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh non industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan:
     
     
    1.
    bisnis sebesar 8% (delapan persen); dan
     
     
    2.
    rumah tangga sebesar 7% (tujuh persen).
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 32

    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 33

    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 34

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 35

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 36

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    jenis;
     
    b.
    bahan yang digunakan;
     
    c.
    lokasi penempatan;
     
    d.
    waktu penayangan;
     
    e.
    jangka waktu penyelenggaraan;
     
    f.
    jumlah; dan
     
    g.
    ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 39

    (1)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (2)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 40

    Saat terutangnya Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    PAT
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 41

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan; dan
     
    f.
    kegiatan pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 42

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 43

    (1)
    Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis dan sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 46

    PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 47

    Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak MBLB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 48

    (1)
    Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonite;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikir;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
     
    c.
    untuk keperluan pembangunan rumah ibadah yang dibiayai oleh masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 49

    (1)
    Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 50

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah.
    (4)
    Harga Patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dengan Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 53

    Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 54

    Saat terutangnya Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pajak Sarang Burung Walet
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 55

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 56

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 57

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 60

    Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 61

    Saat terutangnya Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Opsen PKB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 62

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 63

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib Pajak PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 64

    Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutang PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 68

    Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 69

    Saat terutangnya Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Opsen BBNKB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 70

    Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 71

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 72

    Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB dengan tarif Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 75

    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 76

    Saat terutangnya Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
     

    Pasal 77

    (1)
    Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
     
    a.
    Opsen PKB;
     
    b.
    PBJT atas Tenaga Listrik; dan
     
    c.
    PAT.
     
    dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
    (2)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (3)
    Hasil penerimaan Opsen PKB dan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dialokasikan 2% (dua persen) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan penunjang pemungutan PKB dan BBNKB.
    (4)
    Penggunaan hasil penerimaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB untuk mendukung kegiatan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan antara lain untuk:
     
    a.
    sosialisasi atau edukasi untuk meningkatkan kepatuhan Masyarakat dalam membayar pajak;
     
    b.
    penyelenggaraan pelayanan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT);
     
    c.
    penegakan hukum atau operasi gabungan penertiban administrasi kendaraan bermotor; dan/atau
     
    d.
    penelusuran Kendaraan Tidak Melakukan Daftar Ulang (KTMDU) atau penagihan tunggakan PKB/pendataan Wajib Pajak.
    (5)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (6)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (7)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keduabelas
    Kerahasiaan Data Wajib Pajak
     

    Pasal 78

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana atau hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 79

    (1)
    Jenis Retribusi terdiri atas:
     
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
     
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
     
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
    (2)
    Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
    (3)
    Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    (4)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Jenis Pelayanan Retribusi
     

    Pasal 81

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf a yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum;
     
    d.
    pelayanan pasar; dan
     
    e.
    pengendalian lalu lintas.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 82

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan kepada orang pribadi atau Badan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran/administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Masa Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan yang diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 86

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    Masa Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa pelayanan kebersihan yang diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum
     

    Pasal 90

    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    Masa Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum yang diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pelayanan Pasar
     

    Pasal 94

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    Masa Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa pelayanan pasar yang diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pengendalian Lalu Lintas
     

    Pasal 98

    (1)
    Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu oleh pengguna kendaraan bermotor.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan (contoh):
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parker;
     
    d.
    pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar; dan
     
    e.
    pengendalian lalu lintas diukur berdasarkan lokasi ruas jalan tempat pemberian pelayanan, waktu penggunaan pelayanan dan/atau jenis Kendaraan Bermotor.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (3)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
    (4)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    Retribusi Jasa Umum berupa pengendalian lalu lintas yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    Masa Retribusi Jasa Umum berupa pengendalian lalu lintas adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa pelayanan pengendalian lalu lintas yang diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Umum berupa pengendalian lalu lintas adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Jenis Pelayanan Retribusi
     

    Pasal 106

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    d.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    e.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    f.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b yang tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    b.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    c.
    pelayanan jasa kepelabuhanan; dan
     
    d.
    pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air.
    (3)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (5)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
    (8)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     

    Pasal 108

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    Masa Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya adalah jangka waktu tertentu yang terhitung sejak Wajib Retribusi memanfaatkan jasa pelayanan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 112

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    Masa Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan adalah jangka waktu tertentu yang terhitung sejak Wajib Retribusi memanfaatkan jasa pelayanan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Usaha berupa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     

    Pasal 116

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    Masa Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak adalah jangka waktu tertentu yang terhitung sejak Wajib Retribusi memanfaatkan jasa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     

    Pasal 120

    Pelayanan tempat rekreasi pariwisata dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    Masa Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga adalah jangka waktu tertentu yang terhitung sejak Wajib Retribusi memanfaatkan jasa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Usaha berupa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     

    Pasal 124

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf e merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, jenis bangunan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan pemakaian fasilitas rumah potong hewan dan/atau jumlah hewan ternak yang akan dipotong;
     
    d.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    e.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis produk, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jumlah produk yang dibeli; dan
     
    f.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan dengan melihat peruntukkan dan nilai strategis aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran V, Lampiran VI, Lampiran VII, Lampiran VIII, Lampiran IX, dan Lampiran X, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
    (2)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur,
    (3)
    Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
    (4)
    Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (5)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (7)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (8)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
    (9)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    Retribusi Jasa Usaha berupa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    Masa Retribusi Jasa Usaha berupa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah adalah jangka waktu tertentu yang terhitung sejak Wajib Retribusi membeli hasil produksi usaha Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Usaha berupa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pemanfaatan Aset Daerah
     

    Pasal 132

    (1)
    Pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) huruf f merupakan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dikecualikan dari pengertian pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.
    (3)
    Penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah sebagaimana meliputi pemancangan tiang listrik/telepon atau penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan umum.
     

    Pasal 133

    Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    Masa Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah adalah jangka waktu tertentu yang terhitung sejak Wajib Retribusi memanfaatkan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 135

    Saat terutangnya Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 136

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf c yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    persetujuan bangunan gedung;
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing; dan
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 137

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 1
    Persetujuan Bangunan Gedung
     

    Pasal 138

    (1)
    Pelayanan pemberian izin berupa persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    penerbitan persetujuan bangunan gedung; dan
     
    b.
    sertifikat laik fungsi.
     
    oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan persetujuan bangunan gedung;
     
    c.
    inspeksi bangunan gedung;
     
    d.
    penerbitan sertifikat laik fungsi dan surat bukti kepemilikan bangunan gedung; serta
     
    e.
    pencetakan plakat sertifikat laik fungsi.
    (3)
    Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki persetujuan bangunan gedung dan/atau sertifikat laik fungsi;
     
    c.
    persetujuan bangunan gedung perubahan untuk:
     
     
    1)
    perubahan fungsi bangunan gedung;
     
     
    2)
    perubahan lapis bangunan gedung;
     
     
    3)
    perubahan luas bangunan gedung;
     
     
    4)
    perubahan tampak bangunan gedung;
     
     
    5)
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6)
    perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7)
    perlindungan dan/atau pengembangan bangunan gedung cagar budaya; atau
     
     
    8)
    perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    Persetujuan bangunan gedung perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (5)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi untuk bangunan milik pemerintah, Pemerintah Daerah, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan layanan konsultasi untuk:
     
    a.
    bangunan gedung
     
     
    Tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung untuk bangunan gedung dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
     
     
    LLt x (Ilo x SHST) x It x Ibg
     
    b.
    prasarana bangunan gedung
     
     
    Tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung untuk prasarana bangunan gedung dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan Retribusi Prasarana Bangunan Gedung (HSpbg) atau dengan rumus:
     
     
    V x I x Ibg x HSpbg
     
     
    (2)
    Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus:
     
    If x ∑(𝑏𝑝 𝑥 𝐼𝑝) 𝑥 𝐹𝑚
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Besarnya Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    bangunan tidak sederhana:
     
     
    1)
    bangunan 1 lantai, sebesar Rp6.180.000,00 (enam juta seratus delapan puluh ribu rupiah);
     
     
    2)
    bangunan 2 lantai, sebesar Rp6.736.200,00 (enam juta tujuh ratus tiga puluh enam ribu dua ratus rupiah);
     
     
    3)
    bangunan 3 lantai, sebesar Rp6.921.600,00 (enam juta sembilan ratus dua puluh satu ribu enam ratus rupiah);
     
     
    4)
    bangunan 4 lantai, sebesar Rp7.014.300,00 (tujuh juta empat belas ribu tiga ratus rupiah);
     
     
    5)
    bangunan 5 lantai, sebesar Rp7.181.160,00 (tujuh juta seratus delapan puluh satu ribu seratus enam puluh rupiah);
     
     
    6)
    bangunan 6 lantai, sebesar Rp7.397.460,00 (tujuh juta tiga ratus sembilan puluh tujuh ribu empat ratus enam puluh rupiah);
     
     
    7)
    bangunan 7 lantai, sebesar Rp7.638.480,00 (tujuh juta enam ratus tiga puluh delapan ribu empat ratus delapan puluh rupiah);
     
     
    8)
    bangunan 8 lantai, sebesar Rp7.817.700,00 (tujuh juta delapan ratus tujuh belas ribu tujuh ratus rupiah);
     
     
    9)
    bangunan 9 lantai, sebesar Rp8.027.820,00 (delapan juta dua puluh tujuh ribu delapan ratus dua puluh rupiah);
     
     
    10)
    bangunan 10 lantai, sebesar Rp8.237.940,00 (delapan juta dua ratus tiga puluh tujuh ribu sembilan ratus empat puluh rupiah);
     
     
    11)
    bangunan 11 lantai, sebesar Rp8.429.520,00 (delapan juta empat ratus dua puluh sembilan ribu lima ratus dua puluh rupiah);
     
     
    12)
    bangunan 12 lantai, sebesar Rp8.608.740,00 (delapan juta empat ratus dua puluh sembilan ribu lima ratus dua puluh rupiah);
     
     
    13)
    bangunan 13 lantai, sebesar Rp8.775.600,00 (delapan juta tujuh ratus tujuh puluh lima ribu enam ratus rupiah);
     
     
    14)
    bangunan 14 lantai, sebesar Rp8.930.100,00 (delapan juta sembilan ratus tiga puluh ribu seratus rupiah);
     
     
    15)
    bangunan 15 lantai, sebesar Rp9.072.240,00 (sembilan juta tujuh puluh dua ribu dua ratus empat puluh rupiah); dan
     
     
    16)
    bangunan lebih dari lima belas lantai, dihitung dengan menggunakan rumus:
     
     
     
    SHST bangunan 15+(n) lantai =
    1,468+0,003(n) x Rp6.180.000,00
     
    b.
    bangunan sederhana:
     
     
    1)
    bangunan 1 lantai, sebesar Rp4.550.000,00 (empat juta lima ratus lima puluh ribu rupiah);
     
     
    2)
    bangunan 2 lantai, sebesar Rp4.959.500,00 (empat juta sembilan ratus lima puluh sembilan ribu lima ratus rupiah);
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    Harga Satuan Retribusi Prasarana Bangunan Gedung (HSPBG) untuk Prasarana Bangunan Gedung.
    (4)
    Besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing untuk setiap orang per jabatan per bulan sebesar US$100.00 (seratus dolar Amerika Serikat) sesuai dengan masa izin kerja yang diberikan.
    (5)
    Dalam hal pemberi kerja tenaga kerja asing yang mempekerjakan tenaga kerja asing kurang dari 1 (satu) bulan dikenakan Retribusi Perizinan Tertentu berupa pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebesar US$100 (seratus dolar Amerika Serikat) untuk setiap orang per jabatan per bulan.
    (6)
    Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayarkan di muka dengan mata uang Rupiah berdasarkan nilai tukar yang berlaku pada saat pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 141

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (5), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 142

    Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 143

    Masa Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung adalah adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan pemberian izin persetujuan bangunan gedung.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 144

    Saat terutangnya Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing
     

    Pasal 145

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan untuk instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 146

    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 148

    Masa Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing adalah sesuai dengan masa izin kerjanya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    Saat terutangnya Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing terutang adalah pada saat ditetapkannya surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 150

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Luas Total Lantai;
     
     
    2.
    Indeks Lokalitas;
     
     
    3.
    Indeks Terintegrasi;
     
     
    4.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Volume;
     
     
    2.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 151

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (5)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
    (7)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (8)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 152

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 153

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 154

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah.
    (2)
    Dalam ha1 Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 155

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
    (3)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (4)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
    (5)
    Sanksi Administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
    (6)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (7)
    Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yaitu:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, Pembebasan, dan Penundaan Pembayaran
     

    Pasal 156

    (1)
    Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 157

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 158

    (1)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (2)
    Pemberian insentif fiskal diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KEMUDAHAN PERPAJAKAN DAERAH
     

    Pasal 159

    (1)
    Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak; dan atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Kepala Daerah secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Kepala Daerah berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dengan keputusan Bupati.
    (6)
    Dalam memberikan fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM APBD
     

    Pasal 160

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    struktur ekonomi Daerah;
     
    b.
    proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah;
     
    c.
    ketimpangan pendapatan;
     
    d.
    indeks pembangunan manusia;
     
    e.
    kemandirian fiskal;
     
    f.
    tingkat pengangguran;
     
    g.
    tingkat kemiskinan; dan
     
    h.
    daya saing Daerah.
    (3)
    Kebijakan makro ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 161

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 162

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 163

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 164

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 165

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang bayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 166

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 167

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 dan Pasal 169 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 168

    (1)
    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen Pajak Kendaraan Bermotor, dan Opsen bea balik nama Kendaraan Bermotor sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku tanggal 5 Januari 2025.
    (3)
    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 169

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Pasal 30 sampai dengan Pasal 35 Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2007 Nomor);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 7 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Laboratorium Kesehatan Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2009 Nomor 7);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 9) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2015);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Parkir Di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Tempat Khusus Parkir Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Parkir Di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Tempat Khusus Parkir Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 1);
    e.
    Pasal 1 angka 7, dan Pasal 40 sampai dengan Pasal 62 Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 8);
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 12) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 2);
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 13 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 13) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 13 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 3);
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 14 Tahun 2010 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan Dan Pasar Hewan Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 14);
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 15 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 15) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 15 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2017 Nomor 1);
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Izin Gangguan dan Retribusi Izin Gangguan Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2011 Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Izin Gangguan dan Retribusi Izin Gangguan Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 5);
    k.
    Pasal 1 angka 28 sampai dengan angka 32, Pasal 22 sampai dengan Pasal 42, Pasal 45, dan Pasal 47 Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Izin Angkutan Orang Dalam Trayek dan Retribusi Izin Trayek Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2011 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 6 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Izin Angkutan Orang Dalam Trayek dan Retribusi Izin Trayek Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 6);
    l.
    Pasal 1 angka 6, angka 8, angka 9, dan angka 30 sampai dengan Pasal 35, Pasal 36 sampai dengan Pasal 59, Pasal 67, serta Pasal 69 Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Menara Telekomunikasi, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2011 Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Menara Telekomunikasi, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2017 Nomor 3);
    m.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2012 Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1);
    n.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2012 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 11);
    o.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 6 Tahun 2015 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2015 Nomor 6);
    p.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 12 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 12);
    q.
    Pasal 1 angka 17 dan angka 27 sampai dengan angka 33, Pasal 3 huruf b, Pasal 20 sampai dengan Pasal 44, serta Pasal 46 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2020 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1);
    r.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 3 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2022 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 3),
    dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 170

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Pasal 30 sampai dengan Pasal 35 Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2007 Nomor);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 7 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Laboratorium Kesehatan Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2009 Nomor 7);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 9) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2015);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Parkir Di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Tempat Khusus Parkir Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Parkir Di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Tempat Khusus Parkir Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 1);
    e.
    Pasal 1 angka 7, dan Pasal 40 sampai dengan Pasal 62 Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 8);
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 12) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 2);
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 13 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 13) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 13 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 3);
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 14 Tahun 2010 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan Dan Pasar Hewan Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 14);
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 15 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor 15) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 15 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2017 Nomor 1);
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Izin Gangguan dan Retribusi Izin Gangguan Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2011 Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Izin Gangguan dan Retribusi Izin Gangguan Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 5);
    k.
    Pasal 1 angka 28 sampai dengan angka 32, Pasal 22 sampai dengan Pasal 42, Pasal 45, dan Pasal 47 Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Izin Angkutan Orang Dalam Trayek dan Retribusi Izin Trayek Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2011 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 6 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Izin Angkutan Orang Dalam Trayek dan Retribusi Izin Trayek Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 6);
    l.
    Pasal 1 angka 6, angka 8, angka 9, dan angka 30 sampai dengan Pasal 35, Pasal 36 sampai dengan Pasal 59, Pasal 67, serta Pasal 69 Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Menara Telekomunikasi, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2011 Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Menara Telekomunikasi, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2017 Nomor 3);
    m.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2012 Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2010 Nomor, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1);
    n.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2012 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 11);
    o.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 6 Tahun 2015 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat Di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2015 Nomor 6);
    p.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 12 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 12);
    q.
    Pasal 1 angka 17 dan angka 27 sampai dengan angka 33, Pasal 3 huruf b, Pasal 20 sampai dengan Pasal 44, serta Pasal 46 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2020 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 1);
    r.
    Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 3 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2022 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 3),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 171

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 172

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Majalengka
    pada tanggal 11 Desember 2023
    BUPATI MAJALENGKA,
    ttd.
    KARNA SOBAHI

    Diundangkan di Majalengka
    pada tanggal 11 Desember 2023
    SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA,
    ttd.
    EMAN SUHERMAN

    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2023 NOMOR 7
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    PENJELASAN

    ATAS

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 7 TAHUN 2023
     
    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pajak dan Retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang penting guna meningkatkan kemandirian Daerah dalam rangka percepatan perwujudan kesejahteraan dengan memperhatikan potensi Daerah dan kemampuan masyarakat. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka dalam hal ini telah memiliki regulasi mengenai Pajak dan Retribusi yang tersebar dalam berbagai Peraturan Daerah. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah lah yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka dalam menyusun Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Dalam prakteknya, pengaturan Pajak dan Retribusi masih terdapat beberapa permasalahan dan tantangan diantaranya: basis Pajak masih terbatas; beberapa pengaturan Retribusi diantaranya merupakan pungutan atas layanan publik yang pada dasarnya wajib disediakan Pemerintah Daerah kepada masyarakat, sehingga apabila tetap dipungut dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) bagi masyarakat; serta terdapat beberapa norma yang dalam pelaksanaanya mengalami hambatan karena beririsan dengan peraturan perundang-undangan lain, sehingga menimbulkan multi interpretasi di lapangan.
     
    Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mencabut beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Majalengka perlu disesuaikan. Penyesuaian pengaturan Pajak dan Retribusi diantaranya adalah restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, serta penyederhanaan jenis Retribusi.
     
    Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk: (i) menyelaraskan objek pajak antara pajak pusat dan Pajak Daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
     
    Pemerintah Daerah juga diberikan kewenangan pemungutan Opsen. Opsen atas pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut dibandingkan dengan skema bagi hasil. Opsen pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik.
     
    Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah.
     
    Peraturan Daerah ini mengatur antara lain: jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, tarif Pajak dan Retribusi, pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi, penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi, serta insentif pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “kawasan” adalah semua tanah dan Bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek Pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/Badan yang bergerak dalam bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan “Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu, lintas raya terpadu, atau yang sejenis” adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
    a.
    Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak dengan cara membandingkannya dengan objek Pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
    b.
    Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
    c.
    Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek Pajak tersebut.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    Huruf b
    Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek Pajak misal, objek Pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2 nya akan lebih rendah dengan objek Pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
    Huruf c
    Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah misal, Pemerintah Daerah dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
    1. NJOP < RpX juta, maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60%;
    2. NJOP Rpx juta - RpY miliar, maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80%;
    3. NJOP > Rpy miliar, maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    NJOP sebelum diterapkan tarif Pajak, dikurangi terlebih dahulu dengan NJOP tidak kena pajak sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
     
    Contoh:
    Wajib Pajak A mempunyai objek Pajak berupa:
    a. Tanah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp1.500.000,00/m2
    b. Bangunan seluas 150 m2 dengan nilai jual Rp2.000.000,00/m2
     
    Besarnya pokok Pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
    1. Dasar Pengenaan PBB-P2: 80%      
      a. NJOP:      
        1) NJOP Bumi      
          200 x Rp1.500.000,00 = Rp300.000.000,00  
        2) NJOP Bangunan      
          150 x Rp2.000.000,00 = Rp300.000.000,00 +
        Total NJOP = Rp600.000.000,00  
      b. NJOP tidak kena Pajak = Rp60.000.000,00 -
      c. NJOP kena Pajak = Rp540.000.000,00  
      d. NJOP PBB-P2:      
        80% x Rp540.000.000,00 = Rp432.000.000,00  
    2. Tarif PBB-P2: 0,05%      
    3. Pokok PBB-P2 terutang:      
      0,05% x Rp432.000.000,00 = Rp216.000,00  
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1. Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan selayaknya Restoran.
     
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Pelayanan jasa menunggu pesawat adalah lounge pada bandar udara.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel” adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 25
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “pelayanan memarkirkan kendaraan” adalah parkir valet.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan “permainan ketangkasan” adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan “olahraga permainan” adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel.
     
    Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Cukup jelas.
    Pasal 155
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Cukup jelas.
    Pasal 157
    Cukup jelas.
    Pasal 158
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
     
    Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 159
    Cukup jelas.
    Pasal 160
    Cukup jelas.
    Pasal 161
    Cukup jelas.
    Pasal 162
    Cukup jelas.
    Pasal 163
    Cukup jelas.
    Pasal 164
    Cukup jelas.
    Pasal 165
    Cukup jelas.
    Pasal 166
    Cukup jelas.
    Pasal 167
    Cukup jelas.
    Pasal 168
    Cukup jelas.
    Pasal 169
    Cukup jelas.
    Pasal 170
    Cukup jelas.
    Pasal 171
    Cukup jelas.
    Pasal 172
    Cukup jelas.
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 7

    Perda Nomor: 7 TAHUN 2023