Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LUMAJANG,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 9) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Jogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2730);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525);
|
|||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
|
|||||||
6.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
|
|||||||
7.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6841);
|
|||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6628);
|
|||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6848);
|
|||||||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6881);
|
|||||||
13.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik. Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik. Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN LUMAJANG
dan
BUPATI LUMAJANG
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Daerah adalah Kabupaten Lumajang.
|
|||||||
2.
|
Bupati adalah Bupati Lumajang.
|
|||||||
3.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lumajang.
|
|||||||
4.
|
Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
5.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.
|
|||||||
6.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
7.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
8.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
9.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
10.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||||||
11.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
12.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||
13.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
14.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
15.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||
16.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||
17.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
18.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||||||
19.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||||||
20.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
21.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
|||||||
22.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||||||
23.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||||||
24.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||||||
25.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||||||
26.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
27.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||||||
28.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
29.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||||||
30.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
31.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||||||
32.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||||
33.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
|
|||||||
34.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||||
35.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
|
|||||||
36.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
37.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
38.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
39.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
40.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
|||||||
41.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
|||||||
42.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||||||
43.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
44.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
45.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
46.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||||||
47.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
|
|||||||
48.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||||||
49.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||||
50.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||||
51.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
52.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
53.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
54.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
55.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
56.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
57.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
|
|||||||
58.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||||||
59.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
|||||||
60.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
61.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||||||
62.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||||||
63.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
|||||||
64.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan retribusi Daerah.
|
|||||||
65.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
66.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
67.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
68.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan yang terutang.
|
|||||||
69.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
70.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||||||
71.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
72.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
73.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||
74.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan atau sanksi berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak yang dipungut Daerah terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||||||
|
b.
|
BPHTB;
|
||||||
|
c.
|
PBJT atas:
|
||||||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|||||
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|||||
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|||||
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
|||||
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan;
|
|||||
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
||||||
|
e.
|
PAT;
|
||||||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
||||||
|
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet; (diatur kembali dalam Perda)
|
||||||
|
h.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||
|
i.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut berdasarkan penetapan Bupati atau perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||||||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||||||
|
c.
|
PAT;
|
||||||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
BPHTB;
|
||||||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||||||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|||||
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|||||
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|||||
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
|||||
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan;
|
|||||
|
c.
|
Pajak MBLB;
|
||||||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung walet.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati; dan
|
||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut Pajak Bumi dan Bangunan oleh Pemerintah Pusat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
|
|||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan:
|
|||||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||||||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
klasterisasi NJOP.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar:
|
|||||||
|
a.
|
untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dikenakan tarif sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen);
|
||||||
|
b.
|
untuk NJOP mulai dari Rp1.000.000.001,00 (satu miliar satu rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dikenakan tarif sebesar 0,07% (nol koma nol tujuh persen);
|
||||||
|
c.
|
untuk NJOP mulai dari Rp2.000.000.001,00 (dua miliar satu rupiah) sampai dengan Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dikenakan tarif sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
|
||||||
|
d.
|
untuk NJOP mulai dari Rp4.000.000.001,00 (empat miliar satu rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dikenakan tarif sebesar 0,12% (nol koma dua belas persen);
|
||||||
|
e.
|
untuk NJOP lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dikenakan tarif sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen).
|
||||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
|
|||||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||||||
(4)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||||||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
|
||||||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|||||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|||||
|
|
3.
|
hibah;
|
|||||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|||||
|
|
5.
|
waris;
|
|||||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|||||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|||||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|||||
|
|
13.
|
hadiah;
|
|||||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|||||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|||||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
hak milik;
|
||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||||||
|
c.
|
hak guna bangunan
|
||||||
|
d.
|
hak pakai;
|
||||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||||||
(4)
|
Dikecualikan dari objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
|
||||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||||||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||||||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||||||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||||||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif BPHTB untuk perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 7, angka 9, dan angka 13 ditetapkan sebesar 1.5% (satu koma lima persen).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||||||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
||||||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||||||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||||||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||||||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||||||
(4)
|
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||||||
(2)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||||||
(3)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris wajib:
|
|||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||||||
|
b.
|
melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||||||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
|
||||||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
|||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
||||||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||||||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||||||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pajak Barang dan Jasa Tertentu
Pasal 18 |
||||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||||||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp5.000.000,- (lima juta rupiah);
|
||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
|
||||||
|
e.
|
konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||||||
|
a.
|
hotel;
|
||||||
|
b.
|
hostel;
|
||||||
|
c.
|
vila;
|
||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||||||
|
e.
|
motel;
|
||||||
|
f.
|
losmen;
|
||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||||||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||||||
|
k.
|
glamping.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||||
|
e.
|
pameran;
|
||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||||
|
g.
|
pacuan kuda, karapan sapi, karapan kerbau, lomba burung berkicau, dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||||||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||||
(1)
|
Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||||||
|
b.
|
tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||||||
(2)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||||||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
||||||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||||||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||||||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
||||||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
|
||||||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
diskotek ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen);
|
||||||
|
b.
|
karaoke ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen);
|
||||||
|
c.
|
kelab malam ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);
|
||||||
|
d.
|
bar ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen); dan
|
||||||
|
e.
|
mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
|
||||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||||||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||||||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||||||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||||
(3)
|
Saat terutang PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif PBJT atas Tenaga Listrik dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan PBJT atas Tenaga Listrik yang terutang.
|
|||||||
(5)
|
Masa Pajak dan Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
(6)
|
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 29 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||||||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||||||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||||||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||||||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||||||
|
f.
|
Reklame udara, termasuk pada balon udara;
|
||||||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||||||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||||||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
|||||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||||||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
(4)
|
Khusus untuk reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pajak Air Tanah
Pasal 34 |
||||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
||||||
|
e.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||||
|
f.
|
keperluan lembaga pemerintah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||||||
(3)
|
Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah Kabupaten diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 39 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
asbes;
|
||||||
|
b.
|
batu tulis;
|
||||||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||||||
|
d.
|
batu kapur;
|
||||||
|
e.
|
batu apung;
|
||||||
|
f.
|
batu permata;
|
||||||
|
g.
|
bentonit;
|
||||||
|
h.
|
dolomit;
|
||||||
|
i.
|
feldspar;
|
||||||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||||||
|
k.
|
grafit;
|
||||||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||||||
|
m.
|
gips;
|
||||||
|
n.
|
kalsit;
|
||||||
|
o.
|
kaolin;
|
||||||
|
p.
|
leusit;
|
||||||
|
q.
|
magnesit;
|
||||||
|
r.
|
mika;
|
||||||
|
s.
|
marmer;
|
||||||
|
t.
|
nitrat;
|
||||||
|
u.
|
obsidian;
|
||||||
|
v.
|
oker;
|
||||||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||||||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||||||
|
y.
|
perlit;
|
||||||
|
z.
|
fosfat;
|
||||||
|
aa.
|
talk;
|
||||||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||||||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
||||||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||||||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
||||||
|
ff.
|
tras;
|
||||||
|
gg.
|
yarosit;
|
||||||
|
hh.
|
zeolit;
|
||||||
|
ii.
|
basal;
|
||||||
|
jj.
|
trakhit;
|
||||||
|
kk.
|
belerang;
|
||||||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral;
|
||||||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak MBLB, meliputi pengambilan MBLB:
|
|||||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
|
||||||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada Keputusan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 44 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
(kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet lainnya jika ada, diskresi Pemda).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual Sarang Burung Walet.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 49 |
||||||||
Objek opsen PKB adalah PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Opsen PKB merupakan Subjek PKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 54 |
||||||||
Objek Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Opsen BBNKB merupakan Subjek Pajak BBNKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 57.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 59 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam Bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Kepala Daerah untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 60 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||||||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||||||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
|||||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||||||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||||||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||||||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 61 |
||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Umum
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(8)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan
Pasal 63 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan pada tempat pelayanan kesehatan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan pelayanan yang dikenakan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan administrasi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan Kebersihan
Pasal 64 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pengangkutan sampah dari lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||||||
|
d.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan Retribusi pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, dan sosial.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
Pasal 65 |
||||||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Pasar
Pasal 66 |
||||||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar rakyat, berupa toko bertingkat, toko, kios, los, dan halaman/pelataran yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tingkat Penggunaan, Prinsip, dan Sasaran
Pasal 67 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, jarak tempuh layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar, lokasi pasar, dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 70 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(8)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Objek Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha
Pasal 71 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Khusus Parkir
Pasal 72 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
Pasal 73 |
||||||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
Pasal 74 |
||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
Pasal 75 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah
Pasal 76 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 77 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, lokasi, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, dan/atau frekuensi layanan pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
|
||||||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
||||||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
h.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||||||
|
i.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, jarak layanan, ukuran, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Besaran Retribusi Jasa Usaha
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Jenis Pelayanan Pemberian Izin
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Persetujuan Bangunan Gedung; dan
|
||||||
|
b.
|
Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Pemberian Izin Persetujuan Bangunan Gedung
Pasal 81 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG.
|
|||||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||||||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
||||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
||||||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|||||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|||||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|||||
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||||||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 82 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 83 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
|
||||||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|||||
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||||||
|
|
1.
|
Volume;
|
|||||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|||||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Prinsip dan Sasaran
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Khusus untuk pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
|||||||
(4)
|
Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran dan Tarif
Pasal 85 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(4)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(6)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel HSBGN/SHST dan Indeks Lokalitas.
|
|||||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||||
(9)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 86 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||
(3)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
|||||||
(6)
|
Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
|
|||||||
(7)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
|||||||
(8)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||
(3)
|
Khusus untuk pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf g, bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan daerah ini.
|
|||||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditetapkan dengan Peraturan Bupati untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(5)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||
(6)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(7)
|
Pelaksanaan Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 89 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
|||||||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||||||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||||||
|
b.
|
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
|||||||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penghapusan Piutang Pajak Dan Retribusi
Pasal 91 |
||||||||
(1)
|
Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||||||
(5)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
|
|||||||
|
a.
|
Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1); dan
|
||||||
|
b.
|
hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah Daerah.
|
||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(2)
|
Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||
(3)
|
Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Pasal 93 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permohonan wajib pajak/wajib retribusi.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 95 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Pidana
Pasal 97 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (8) dan Pasal 70 ayat (8) sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, Pasal 99, dan Pasal 100 merupakan pendapatan Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 102 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Besaran sanksi administratif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Bupati atas jumlah Pajak yang kurang dibayar.
|
|||||||
(3)
|
Besaran sanksi administratif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Bupati atas jumlah Retribusi yang kurang dibayar.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPIPD.
|
|||||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kriteria keadaan kahar Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 104 |
||||||||
(1)
|
Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB dan Pajak MBLB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada 5 Januari 2025.
|
|||||||
(2)
|
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 55) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2017 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 2);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 57) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2016 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 79);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 58);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 59);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 60);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 61) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2017 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 3);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2011 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 62);
|
|||||||
h.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 63) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2016 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 80);
|
|||||||
i.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 66);
|
|||||||
j.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2012 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 64);
|
|||||||
k.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2012 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 65) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2018 Nomor 9);
|
|||||||
l.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Pasirian (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2017 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 7);
|
|||||||
m.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2017 Nomor 16);
|
|||||||
n.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2018 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 121);
|
|||||||
o.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 5 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2018 Nomor 9);
|
|||||||
p.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2023 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 143);
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||||||
Pada Saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2017 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 107 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lumajang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Lumajang
pada tanggal 5 Januari 2024
Pj. BUPATI LUMAJANG,
ttd.
INDAH WAHYUNI
Diundangkan di Lumajang
pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN LUMAJANG,
ttd.
Drs. AGUS TRIYONO, M.Si.
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana Undang-Undang ini sangat berdampak besar terhadap perubahan mekanisme pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Lumajang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaknai sebagai bentuk adanya Kewenangan Fiskal di Daerah. Kewenangan fiskal paling tidak meliputi kewenangan untuk mengelola pendapatan/perpajakan, keleluasaan untuk menentukan anggaran dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki daerah untuk mendanai pelayanan publik yang menjadi tugas daerah. Di sisi belanja, diberikannya kewenangan fiskal kepada sebuah daerah otonom didasarkan kepada prinsip agar alokasi sumber daya lebih efisien dan efektif.
Pemerintah Daerah yang lebih dekat ke masyarakat diasumsikan lebih mengetahui kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan Pemerintah Pusat. Alokasi sumber daya yang dilakukan oleh Pemda akan lebih responsif dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan di sisi pendapatan, diberikannya kewenangan perpajakan kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat untuk mendanai pelayanan publik lebih tinggi, karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran pajak/retribusi tersebut.
Konsekuensi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah secara tidak langsung berdampak pada kebijakan-kebijakan Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Lumajang, diantaranya:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
1.
|
Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, mengamanatkan kepada Pemerintah Daerah untuk menjadikan seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
2.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, mengharuskan Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang melakukan harmonisasi dan amplifikasi, baik itu melalui evaluasi mengenai muatan Peraturan Daerah, maupun penyesuaian tarif dan kelengkapan Peraturan Bupati yang mendukung Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
3.
|
Secara politik pembangunan, kebutuhan untuk menyesuaikan muatan dalam Undang-Undang merupakan pelaksanaan dari komitmen Visi dan misi Kabupaten Lumajang. Visi “Terwujudnya Masyarakat Lumajang yang Berdaya Saing, Makmur Dan Bermartabat” menjadi domain utama dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang didukung oleh Misi Poin Pertama dan Ketiga yaitu: Mewujudkan perekonomian daerah berkelanjutan berbasis pada pertanian, usaha mikro, dan pariwisata; dan Reformasi birokrasi yang efektif, profesional, akuntabel, dan transparan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, benar, dan bersih (good and clean governance) yang berbasis teknologi informasi.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup Jelas.
Pasal 2
Cukup Jelas.
Pasal 3
Cukup Jelas.
Pasal 4
Cukup Jelas.
Pasal 5
Cukup Jelas.
Pasal 6
Cukup Jelas.
Pasal 7
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten misal, Kabupaten Lumajang dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 8
Cukup Jelas.
Pasal 9
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Cukup Jelas.
ayat (3)
Cukup Jelas.
ayat (4)
Cukup Jelas.
ayat (5)
Contoh: Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut di antara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
Cukup Jelas.
Pasal 11
Cukup Jelas.
Pasal 12
Cukup Jelas.
Pasal 13
Cukup Jelas.
Pasal 14
Cukup Jelas.
Pasal 15
Cukup Jelas.
Pasal 16
Cukup Jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Cukup Jelas.
Pasal 21
Cukup Jelas.
Pasal 22
Cukup Jelas.
Pasal 23
Cukup Jelas.
Pasal 24
Cukup Jelas.
Pasal 25
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 26
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Cukup Jelas.
ayat (3)
Huruf a
Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 27
Cukup Jelas.
Pasal 28
Cukup Jelas.
Pasal 29
Cukup Jelas.
Pasal 30
Cukup Jelas.
Pasal 31
Cukup Jelas.
Pasal 32
Cukup Jelas.
Pasal 33
Cukup Jelas.
Pasal 34
Cukup Jelas.
Pasal 35
Cukup Jelas.
Pasal 36
Cukup Jelas.
Pasal 37
Cukup Jelas.
Pasal 38
Cukup Jelas.
Pasal 39
Cukup Jelas.
Pasal 40
Cukup Jelas.
Pasal 41
Cukup Jelas.
Pasal 42
Cukup Jelas.
Pasal 43
Cukup Jelas.
Pasal 44
Cukup Jelas.
Pasal 45
Cukup Jelas.
Pasal 46
Cukup Jelas.
Pasal 47
Cukup Jelas.
Pasal 48
Cukup Jelas.
Pasal 49
Cukup Jelas.
Pasal 50
Cukup Jelas.
Pasal 51
Cukup Jelas.
Pasal 52
Cukup Jelas.
Pasal 53
Cukup Jelas.
Pasal 54
Cukup Jelas.
Pasal 55
Cukup Jelas.
Pasal 56
Cukup Jelas.
Pasal 57
Cukup Jelas.
Pasal 58
Cukup Jelas.
Pasal 59
ayat (1)
ayat (2)
Cukup Jelas.
ayat (3)
Cukup Jelas.
ayat (4)
Cukup Jelas.
ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 60
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Cukup Jelas.
ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerja sama antara Pemerintah dan badan usaha.
ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 61
Cukup Jelas.
Pasal 62
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Cukup Jelas.
ayat (3)
Cukup Jelas.
ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Perkada dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh: Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Lumajang menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Lumajang memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Perkada sebagai berikut:
Perkada:
ayat (5)
Cukup Jelas.
ayat (6)
Cukup Jelas.
ayat (7)
Cukup Jelas.
ayat (8)
Cukup Jelas.
Pasal 63
Cukup Jelas.
Pasal 64
Cukup Jelas.
Pasal 65
Cukup Jelas.
Pasal 66
Cukup Jelas.
Pasal 67
Cukup Jelas.
Pasal 68
Cukup Jelas.
Pasal 69
Cukup Jelas.
Pasal 70
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Cukup Jelas.
ayat (3)
Cukup Jelas.
ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Perkada dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh:
Pada tahun 2025, RPH ABC pada Kabupaten Lumajang menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan pemotongan hewan ternak berupa pelayanan pemotongan sapi dan pelayanan pemotongan kambing. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2027, RPH ABC pada Kabupaten Lumajang memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan pengemasan dan pelayanan ruang pendingin yang merupakan bagian dari pelayanan pemotongan kambing. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Lumajang menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Perkada sebagai berikut:
Perkada:
ayat (5)
Cukup Jelas.
ayat (6)
Cukup Jelas.
ayat (7)
Cukup Jelas.
ayat (8)
Cukup Jelas.
Pasal 71
Cukup Jelas.
Pasal 72
Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 73
Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa.
Pasal 74
Cukup Jelas.
Pasal 75
Cukup Jelas.
Pasal 76
Cukup Jelas.
Pasal 77
Cukup Jelas.
Pasal 78
Cukup Jelas.
Pasal 79
Cukup Jelas.
Pasal 80
Cukup Jelas.
Pasal 81
Cukup Jelas.
Pasal 82
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Yang dimaksud dengan jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 83
Cukup Jelas.
Pasal 84
Cukup Jelas.
Pasal 85
Cukup Jelas.
Pasal 86
Cukup Jelas.
Pasal 87
Cukup Jelas.
Pasal 88
Cukup Jelas.
Pasal 89
Cukup Jelas.
Pasal 90
Cukup Jelas.
Pasal 91
Cukup Jelas.
Pasal 92
Cukup Jelas.
Pasal 93
Cukup Jelas.
Pasal 94
Cukup Jelas.
Pasal 95
Cukup Jelas.
Pasal 96
Cukup Jelas.
Pasal 97
Cukup Jelas.
Pasal 98
Cukup Jelas.
Pasal 99
Cukup Jelas.
Pasal 100
Cukup Jelas.
Pasal 101
Cukup Jelas.
Pasal 102
Cukup Jelas.
Pasal 103
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Cukup Jelas.
ayat (3)
Keadaan kahar Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 104
Cukup Jelas.
Pasal 105
Cukup Jelas.
Pasal 106
Cukup Jelas.
Pasal 107
Cukup Jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 146
|