Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO
    NOMOR 6 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI KULON PROGO,
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
    b.
    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 8 Agustus 1950 Nomor 44);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 tentang Penetapan Mulai Berlakunya Undang-Undang 1950 Nomor 12, 13, 14, dan 15 dari Hal Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten di Djawa Timur/Tengah/Barat dan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 59);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KULON PROGO
    dan
    BUPATI KULON PROGO
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan
    1.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    2.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    3.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    4.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    5.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    6.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    7.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
    8.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik Kalurahan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    9.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    10.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, waris, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    11.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    12.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    13.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    14.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    15.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    16.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    17.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    18.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    19.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    20.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    21.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    22.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    23.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    24.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    25.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    26.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    27.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    28.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    29.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    30.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    31.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    32.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    33.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    34.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    35.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    36.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    37.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    38.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    39.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    40.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    41.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    42.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    43.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    44.
    Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
    45.
    Piutang adalah jumlah uang yang wajib dibayar yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.
    46.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terhutang.
    47.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
    48.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
    49.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
    50.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    51.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
    52.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    53.
    Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
    54.
    Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    55.
    Bupati adalah Bupati Kulon Progo.
    56.
    Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    57.
    Daerah adalah Kabupaten Kulon Progo.
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    (1)
    Jenis Pajak terdiri atas
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT terdiri atas
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, dan huruf i dipungut oleh Daerah.
    (3)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak dipungut oleh Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah, terdiri atas
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak, terdiri atas
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    Pajak MBLB, dan
     
    c.
    PBJT atas
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Rincian Pajak
     
    Paragraf 1
    PBB-P2
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PBB-P2 yaitu Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah Pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk permakaman/pekuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh Kalurahan, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut Pajak Bumi Dan Bangunan oleh Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOPTKP ditetapkan sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOPTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
    (6)
    Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh perseratus) dan paling tinggi 100% (seratus perseratus) dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP.
    (2)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP di Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut
     
    a.
    0,1% (nol koma satu perseratus) untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
     
    b.
    0.12% (nol koma satu dua perseratus) untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
     
    c.
    0,15% (nol koma satu lima perseratus) untuk NJOP di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
     
    d.
    0,17% (nol koma satu tujuh perseratus) untuk NJOP di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); dan
     
    e.
    0,2% (nol koma dua perseratus) untuk NJOP di atas Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
    (2)
    Tarif yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut
     
    a.
    0,08 untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
     
    b.
    0,1 untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
     
    c.
    0,13 untuk NJOP di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
     
    d.
    0,15 untuk NJOP di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); dan
     
    e.
    0,18 untuk NJOP di atas Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau ayat (2).
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (4)
    Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (5)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BPHTB yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
     
    a.
    pemindahan hak karena
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB merupakan NPOP.
    (2)
    NPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal NPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan yaitu NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus).
    (2)
    Tarif BPHTB dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris ditetapkan sebesar 0.25% (nol koma dua lima perseratus).
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
    (2)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (3)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (4)
    Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (3)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (4)
    Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris wajib
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    PBJT
     

    Pasal 18

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa tertentu yang meliputi
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman
     
    a.
    dengan peredaran usaha kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulan atau Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
     
    e.
    konsumsi Tenaga Listrik untuk kepentingan pendidikan dasar dan menengah.
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran;
     
    c.
    hiburan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah; dan
     
    d.
    hiburan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan untuk kepentingan pendidikan.
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di Daerah.
    (4)
    Berdasarkan nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh perseratus).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas
     
    a.
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a ditetapkan sebagai berikut:
     
     
    1.
    Kategori A restoran/rumah makan berskala lokal atau dengan peredaran usaha Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) setiap bulan ditetapkan sebesar 8% (delapan perseratus);
     
     
    2.
    Kategori B restoran/rumah makan berskala nasional/internasional dengan peredaran usaha di atas Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) setiap bulan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh perseratus).
     
    b.
    jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh perseratus); dan
     
    c.
    Tenaga Listrik untuk:
     
     
    1.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain dengan pembayaran ditetapkan sebesar 8% (delapan perseratus);
     
     
    2.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga perseratus); dan
     
     
    3.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima perseratus).
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
    (2)
    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3)
    Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pajak Reklame
     

    Pasal 29

    (1)
    Objek Pajak Reklame yaitu semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame meliputi
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial;
     
    f.
    reklame yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dasar dan menengah; dan
     
    g.
    reklame dalam rangka Pemilihan Umum Legislatif, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selama dalam masa kampanye.
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Subjek Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus).
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
    (2)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
    (3)
    Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan reklame.
    (4)
    Khusus untuk reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf e wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    PAT
     

    Pasal 34

    (1)
    Objek PAT yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan;
     
    f.
    keperluan pendidikan dasar dan menengah;
     
    g.
    keperluan panti asuhan, panti jompo, dan panti rehabilitasi sosial;
     
    h.
    keperluan pemadam kebakaran; dan
     
    i.
    keperluan instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Daerah yang tidak bersifat komersial.
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Subjek PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh perseratus).
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
    (2)
    Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 
    (3)
    Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pajak MBLB
     

    Pasal 39

    (1)
    Objek Pajak MBLB yaitu kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB, meliputi pengambilan MBLB
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Subjek Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh perseratus).
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
    (2)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
    (3)
    Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Opsen PKB
     

    Pasal 44

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam perseratus).
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 49

    Objek Opsen BBNKB yaitu BBNKB terutang
     

    Pasal 50

    (1)
    Subjek Pajak Opsen BBNKB merupakan Subjek Pajak BBNKB.
    (2)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (3)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam perseratus).
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 54

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan di Daerah.
    (2)
    Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), kecuali untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a.
    (3)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Masa Pajak dan tahun Pajak ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 55

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 56

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 57

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    pelayanan pasar;
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
    (8)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (9)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a merupakan pelayanan kesehatan di pusat kesehatan masyarakat, pusat kesehatan masyarakat keliling, pusat kesehatan masyarakat pembantu, rumah sakit umum daerah, laboratorium Kesehatan daerah dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan kakus;
     
    e.
    penyedotan lumpur tinja dari pengguna jasa ke IPLT; dan
     
    f.
    pengolahan lumpur tinja di IPLT;
     
    g.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan meliputi pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berlangganan.
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar rakyat berupa los, toko/kios, bango, tenda, tempat dasaran dan gantangan burung yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
     
    d.
    pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     

     

     

    Pasal 64

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Tarif Retribusi Jasa Umum ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (4)
    Peninjauan tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
    (5)
    Tarif Retribusi Jasa Umum hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 65

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    h.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
    (8)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (9)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    (1)
    Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf g merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf h termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    h.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur,
     
    tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
    (4)
    Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (5)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (7)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (8)
    Peninjauan tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
    (9)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (10)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 77

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf c meliputi:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
    (4)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (5)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan:
     
    a.
    konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan PBG;
     
    c.
    inspeksi Bangunan gedung;
     
    d.
    penerbitan SLF dan surat bukti kepemilikan Bangunan gedung; dan
     
    e.
    pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
     
    d.
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (4)
    Dikecualikan sebagai objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan PBG untuk:
     
    a.
    Bangunan milik Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta;
     
    c.
    Pemerintah Daerah;
     
    d.
    Pemerintah Kalurahan; dan
     
    e.
    Bangunan gedung yang memiliki fungsi keagamaan.
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penggunaan tenaga kerja asing oleh:
     
    a.
    instansi Pemerintah Pusat;
     
    b.
    perwakilan negara asing;
     
    c.
    badan internasional;
     
    d.
    lembaga sosial;
     
    e.
    lembaga keagamaan; dan
     
    f.
    jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     

    Pasal 80

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan persetujuan Bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
    (3)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan gedung, meliputi:
     
     
    1.
    luas total lantai;
     
     
    2.
    indeks lokalitas;
     
     
    3.
    indeks terintegrasi; dan
     
     
    4.
    indeks Bangunan gedung terbangun.
     
    b.
    formula untuk prasarana Bangunan gedung, meliputi:
     
     
    1.
    volume;
     
     
    2.
    indeks prasarana Bangunan gedung; dan
     
     
    3.
    indeks Bangunan gedung terbangun.
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), biaya penyelenggaraan pelayanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    Standar Harga Satuan Tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    Harga Satuan retribusi Prasarana Bangunan Gedung untuk Prasarana Bangunan Gedung.
    (4)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (5)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (6)
    Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (7)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
    (8)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel harga satuan Bangunan gedung negara/standar harga satuan tertinggi dan indeks lokalitas.
    (9)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan penggunaan tenaga kerja asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (10)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (11)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sampai dengan ayat (8) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 83

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan setiap jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Pemungutan Pajak
     

    Pasal 84

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk.
    (2)
    Bupati atau pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa SPTPD.
    (5)
    Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
    (6)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
    (7)
    Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, dan putusan banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 85

    (1)
    Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (2)
    Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
    (3)
    Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
    (4)
    Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerjasama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerjasama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas pemungutan retribusi dengan tidak menambah beban wajib retribusi.
    (4)
    Penerimaan retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 87

    (1)
    Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
    (2)
    Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
    (3)
    Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
     
    a.
    diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa; atau
     
    b.
    ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (4)
    Dalam hal diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat teguran dan/atau surat paksa tersebut.
    (5)
    Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (6)
    Pengakuan utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (7)
    Dalam hal ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    (1)
    Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
     
    a.
    diterbitkan surat teguran; atau
     
    b.
    ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
    (4)
    Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 89

    (1)
    Bupati melakukan pengelolaan Piutang Pajak untuk menentukan prioritas penagihan Pajak.
    (2)
    Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (4)
    Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
    (5)
    Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan setelah penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) atau ayat (2), dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan penagihan.
    (6)
    Penetapan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal Pemerintah Daerah.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan Piutang Pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    (1)
    Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
     

    Pasal 91

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
     
    a.
    pengurangan;
     
    b.
    keringanan; dan
     
    c.
    pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal dimaksud.
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    (1)
    Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    (1)
    Bupati atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (3)
    Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
    (4)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 94

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yaitu:
     
    a.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
    BAB VII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 95

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PENEGAKAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 96

    (1)
    Pemerintah Daerah berwenang melakukan penegakan atas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    (2)
    Penegakan atas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    (3)
    Penegakan atas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Kewajiban Wajib Pajak untuk:
     
     
    1.
    mengisi SPTPD dengan benar dan lengkap;
     
     
    2.
    menyampaikan SPTPD kepada Bupati setiap masa Pajak;
     
     
    3.
    membayar Pajak tepat pada waktu sesuai besaran Pajak terutang; dan
     
     
    4.
    melunasi utang pajak sesuai besaran Pajak terutang.
     
    b.
    Kewajiban Wajib Retribusi untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan jasa yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (5), Pasal 65 ayat (6) dan Pasal 77 ayat (5).
    (4)
    Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    bunga;
     
    b.
    denda; dan/atau
     
    c.
    kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
    BAB IX
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 97

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    Ketentuan mengenai pengenaan tarif PBB-P2 berupa lahan produksi pangan dan ternak, Opsen PKB dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    Piutang Pajak dan Piutang Retribusi yang timbul sebelum Peraturan Daerah ini berlaku tetap diakui dan diproses berdasarkan ketentuan yang berlaku pada saat Piutang Pajak dan Piutang Retribusi ditetapkan.
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 100

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2010 Nomor 1 Seri B);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 1 Seri C).
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 2 Seri C);
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 1 Seri B) sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2018 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 68);
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 3 Seri C) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 4 Tahun 2017 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2017 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 56);
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 4 Seri C) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 8 Tahun 2014 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2014 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 18);
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 5 Seri C).
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 4);
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 5);
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 6) sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 11 Tahun 2021 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2021 Nomor 11);
    k.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 9);
    l.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 10);
    m.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 13);
    n.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pendidikan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Latihan Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 14);
    o.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 19 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Pelelangan pada Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 19) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2017 tentang Retribusi Tempat Pelelangan pada Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2017 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 56);
    p.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 20 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Pusat Kesehatan Hewan Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 20);
    q.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 2) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2021 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 91);
    r.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 4 Tahun 2016 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2016 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 40);
    s.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2016 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Nyi Ageng Serang (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 45);
    t.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2017 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2017 Nomor 1 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 52);
    u.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 2 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Tera atau Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 65);
    v.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2018 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2018 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon progo Nomor 71);
    w.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2022 Nomor 5); dan
    x.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 8 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2022 Nomor 8).
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2010 Nomor 1 Seri B);
    b.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 1 Seri C);
    c.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 2 Seri C).
    d.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 1 Seri B) sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2018 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 68);
    e.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 4 Seri C) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 8 Tahun 2014 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2014 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 18);
    f.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011 Nomor 5 Seri C);
    g.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 4);
    h.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 5);
    i.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 13);
    j.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pendidikan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Latihan Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 14);
    k.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 19 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Pelelangan pada Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 19) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2017 tentang Retribusi Tempat Pelelangan pada Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2017 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 56);
    l.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 20 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Pusat Kesehatan Hewan Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 Nomor 20);
    m.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 2) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2021 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 91);
    n.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 4 Tahun 2016 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2016 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 40);
    o.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2016 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Nyi Ageng Serang (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 45);
    p.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2018 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2018 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kulon progo Nomor 71);
    q.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2022 Nomor 5); dan
    r.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 8 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2022 Nomor 8),
    dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2024.
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo.
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Wates
    pada tanggal 27 Desember 2023
    Pj. BUPATI KULON PROGO,
    ttd.
    NI MADE DWIPANTI INDRAYANTI
     
    Diundangkan di Wates
    pada tanggal 27 Desember 2023
    SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KULON PROGO,
    ttd.
    TRIYONO
     
    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2023 NOMOR 6
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO
    NOMOR 6 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri secara efektif dan efisien. Secara fundamental, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Pungutan yang dimaksud berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi sumber pembiayaan Daerah dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.
     
    Berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang saat ini menjadi dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dilakukan restrukturisasi dan rasionalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Restrukturisasi Pajak dilakukan dengan integrasi dan reklasifikasi 5 (lima) jenis pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Dengan demikian, maka jumlah Pajak Daerah yang dipungut oleh Daerah berjumlah 9 (sembilan). Jumlah Pajak tersebut mencakup kewenangan baru bagi Daerah dalam skema pemungutan Opsen Pajak, yaitu PKB dan BBNKB. Kehadiran mekanisme Opsen Pajak diharapkan dapat meningkatkan kemandirian Daerah dengan mengoptimalkan penerimaan Pajak tanpa menimbulkan beban tambahan bagi Wajib Pajak.
     
    Rasionalisasi juga dilakukan terhadap Retribusi Daerah dengan menyederhanakan jumlah objek Retribusi dari sebelumnya 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Hal ini memiliki tujuan untuk meningkatkan efektivitas pemungutan Retribusi serta meniminalisasi biaya pemungutan dan biaya kepatuhan. Selain itu, penyederhanaan juga dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam upaya untuk mendapatkan pelayanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah.
     
    Sesuai dengan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi yang dipungut oleh Daerah perlu ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah. Dengan demikian, terdapat adanya kebutuhan bagi Daerah untuk segera melakukan integrasi, harmonisasi, penataan kembali, dan penyesuaian dengan kondisi saat ini terhadap berbagai Peraturan Daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Pasal 187 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, seluruh Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku paling lama 2 (dua) tahun terhitung Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diundangkan. Dalam rangka memberikan kepastian hukum, maka perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Kulon Progo. Pada akhirnya, kehadiran Peraturan Daerah ini akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk meningkatkan penerimaan Daerah, serta diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan di masyarakat dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Ayat (1)
    untuk PBB-P2, Pajak Reklame, dan PAT dipungut berdasarkan penetapan Bupati dan untuk Opsen PKB dan Opsen BBNKB dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    Huruf b
    Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
    Huruf c
    Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten/Kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
    1. NJOP < RpX juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60%;
    2. NJOP RpX juta – RpY miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80%;
    3. NJOP > RpY miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Contoh pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas bumi dan/atau bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
     
    Wilayah pemungutan PBB-P2 atas Tol A dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Restoran berskala Lokal adalah restoran/rumah makan/warung makan/kedai/cafetaria yang tingkat operasionalnya dijalankan secara sederhana dalam suatu wilayah Kabupaten.
     
    Ciri-ciri Dimiliki Pengusaha lokal, Tidak memiliki cabang di Luar Daerah.
     
    Restoran berskala Nasional adalah Restoran dan sejenisnya yang tingkat operasionalnya dijalankan dalam secara luas di wilayah Indonesia dapat berupa waralaba yang biasanya memiliki sistem manajemen pusat yang menangani sebagian besar kebutuhan restoran.
     
    Ciri-ciri Memiliki Cabang di banyak Kota di Dalam Negeri, Menggunakan Manajemen yang baik.
     
    Restoran Berskala Internasional adalah Restoran dan sejenisnya yang tingkat operasionalnya dijalankan antar negara dapat berupa waralaba yang biasanya memiliki sistem manajemen pusat yang menangani sebagian besar kebutuhan restoran.
     
    Ciri-ciri Memiliki Cabang di banyak Negara, Laba besar, Menggunakan Manajemen yang canggih.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “harga patokan” adalah harga yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Contoh Penghitungan:
    1. Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp 300 juta sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut a. BBNKB terutang = 8% x Rp 300 juta = Rp 24 juta b. Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp 24 juta = 16 juta Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp 40 juta, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X.
    2. Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut a. PKB terutang = 1% x Rp 300 juta = Rp 3 juta b. Opsen PKB terutang = 66% x Rp 3 juta = Rp 2 juta Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp 5 juta, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (regident) kendaraan bermotor. Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
    Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan lainnya” termasuk pelayanan kesehatan hewan yang dilakukan oleh pusat kesehatan hewan.
     
    Yang dimaksud dengan “pelayanan administrasi” meliputi pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan.
    Pasal 59
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud tempat umum lainnya adalah tempat atau sarana yang diselenggarakan pemerintah/swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat yang meliputi sarana kesehatan (rumah sakit, puskesmas), sarana sekolah (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA), tempat ibadah, dan pasar. Tempat umum selain tersebut diatas yang digunakan oleh pihak ketiga untuk event tertentu dapat dikenakan Retribusi Pelayanan Kebersihan.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Pasal 69
    Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh i Perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang milik daerah” adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi barang milik daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 118

    Perda Nomor: 6 TAHUN 2023