Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL
NOMOR 14 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI KENDAL,
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||
a.
|
bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan, serta pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
|
||||
b.
|
bahwa optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan sesuai potensi daerah guna mendukung terciptanya iklim investasi dan kemudahan berusaha serta peningkatan kesejahteraan Masyarakat;
|
||||
c.
|
bahwa sesuai ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
|
||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
|||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Batang dengan mengubah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2757);
|
||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
|
||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 tentang Penetapan Mulai Berlakunya Undang-Undang 1950 Nomor 12, 13, 14, dan 15 dari Hal Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten di Jawa Timur/Tengah/Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta;
|
||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1976 tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3079);
|
||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
||||
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KENDAL
dan
BUPATI KENDAL
|
|||||
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||||
Menetapkan |
|||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
|||||
1.
|
Provinsi adalah Provinsi Jawa Tengah.
|
||||
2.
|
Daerah adalah Kabupaten Kendal.
|
||||
3.
|
Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
||||
4.
|
Bupati adalah Bupati Kendal.
|
||||
5.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
||||
6.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
||||
7.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
||||
8.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
9.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
||||
10.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
||||
11.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
||||
12.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
||||
13.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
14.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
||||
15.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
||||
16.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
||||
17.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
18.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
19.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
||||
20.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
||||
21.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
||||
22.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
||||
23.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
||||
24.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
||||
25.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
||||
26.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
||||
27.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
||||
28.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
||||
29.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
||||
30.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
31.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
||||
32.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
|
||||
33.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
||||
34.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
||||
35.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
|
||||
36.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
||||
37.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
38.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
39.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang menjadi dasar wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terhutang.
|
||||
40.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||
41.
|
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
||||
42.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
43.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
||||
44.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
|
||||
45.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan Subjek Pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
|
||||
46.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
||||
47.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
||||
48.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
||||
49.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
||||
50.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
51.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
||||
52.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
||||
53.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
||||
54.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
||||
55.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
||||
56.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
|||||
Ruang lingkup yang diatur dalam peraturan daerah ini meliputi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mencakup :
|
|||||
a.
|
Pajak Daerah;
|
||||
b.
|
Retribusi Daerah;
|
||||
c.
|
pendaftaran dan pendataan Pajak;
|
||||
d.
|
pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran;
|
||||
e.
|
insentif pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||||
f.
|
kerahasian Wajib Pajak;
|
||||
g.
|
pemeriksaan Pajak dan Retribusi;
|
||||
h.
|
sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
|
||||
i.
|
sistem informasi Pajak dan Retribusi;
|
||||
j.
|
pembinaan dan pengawasan;
|
||||
k.
|
sanksi administratif;
|
||||
l.
|
ketentuan penyidikan; dan
|
||||
m.
|
ketentuan pidana.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
|||||
(1)
|
Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
|||
|
b.
|
BPHTB;
|
|||
|
c.
|
PBJT atas:
|
|||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
||
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
||
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||
|
e.
|
PAT;
|
|||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||
|
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
|||
|
h.
|
Opsen PKB; dan
|
|||
|
i.
|
Opsen BBNKB.
|
|||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
|||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
|||
|
c.
|
PAT;
|
|||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
|||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
|||
(3)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
BPHTB;
|
|||
|
b.
|
PBJT atas:
|
|||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
||
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
||
|
c.
|
Pajak MBLB; dan
|
|||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
|||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain SKPD dan SPPT.
|
||||
(5)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain SPTPD atau dokumen yang dipersamakan.
|
||||
(6)
|
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PBB-P2
Pasal 4 |
|||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengerukan.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari obyek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
|||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
|||
|
d.
|
Bumi yang menerpakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
|||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
|||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
|
|||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
|
||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
||||
(2)
|
Besaran persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
|||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan
|
|||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun;
|
|||
|
b.
|
untuk NJOP diatas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen) per tahun;
|
|||
(2)
|
Tarif PBB-P2 atas objek pajak berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,06% (nol koma nol enam persen) per tahun.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||||
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
|||||
(1)
|
Tahun Pajak PBB-P2 yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
|||||
(1)
|
PBB-P2 yang terutang dipungut di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
||||
(2)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
||||
|
a.
|
Laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
|
|||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 12 |
|||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
|||
|
|
1.
|
jual beli;
|
||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
||
|
|
3.
|
hibah;
|
||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
||
|
|
5.
|
waris;
|
||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
||
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
|||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
hak milik;
|
|||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
|||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
|||
|
d.
|
hak pakai;
|
|||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
|||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
|||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
||||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
|||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur sesuai dengan peraturan menteri yang membidangi keuangan;
|
|||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
|||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
|||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
|||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
|
||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
|
||||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
|||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
|||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
|||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
||||
(4)
|
Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
||||
(6)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
|||||
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
|||||
(1)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
|
||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
|||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
|||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
|||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
|||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
|
|||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
|||
(2)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
|||||
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
|||||
Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 20 |
|||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
|||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
|||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum; dan
|
|||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
|||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan;
|
|||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
|||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
|||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
|||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
|
|||
|
e.
|
konsumsi tenaga listrik di kawasan terpencil dengan menggunakan pembangkit tenaga listrik bantuan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
|||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
||||
|
a.
|
hotel;
|
|||
|
b.
|
hostel;
|
|||
|
c.
|
vila;
|
|||
|
d.
|
pondok wisata;
|
|||
|
e.
|
motel;
|
|||
|
f.
|
losmen;
|
|||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
|||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
|||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
|||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
|||
|
k.
|
glamping.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
|
|||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
|||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
|||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d meliputi:
|
||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
|||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah;
|
|||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
|||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan Negara asing dengan asas timbal balik; dan
|
|||
|
d.
|
jasa tempat parkir dalam kegiatan sosial keagamaan yang tidak dipungut bayaran.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e meliputi:
|
||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
|||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
|||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
|||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
|||
|
e.
|
pameran;
|
|||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
|||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
|||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
|||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
|||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
|||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
|||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
|||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
|||
|
c.
|
bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah yang tidak dipungut bayaran.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyelenggara tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
|||||
(1)
|
Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
|||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
|||
(2)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pasca bayar; dan
|
|||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
|
|||
(3)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
|||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
|||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
|||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
|||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
diskotek, kelab malam dan bar sebesar 75% (tujuh puluh lima persen); dan
|
|||
|
b.
|
karaoke dan mandi uap/spa sebesar 40% (empat puluh persen).
|
|||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
|||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan 1,5% (satu koma lima persen).
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
|||||
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
|||||
Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||||
a.
|
Pembayaranatau penyerahan atas makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
|
||||
b.
|
Konsumsi atau pembayaran atas tenaga listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
|
||||
c.
|
Pembayaran atau penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas jasa perhotelan;
|
||||
d.
|
Pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas jasa parkir; dan
|
||||
e.
|
Pembayaran atau penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas jasa kesenian dan hiburan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
|||||
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 33 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
|||
|
b.
|
reklame kain;
|
|||
|
c.
|
reklame melekat/stiker;
|
|||
|
d.
|
reklame selebaran;
|
|||
|
e.
|
reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
|||
|
f.
|
reklame udara;
|
|||
|
g.
|
reklame apung;
|
|||
|
h.
|
reklame film/slide; dan
|
|||
|
i.
|
reklame peragaan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
|
||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
|||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
|||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
|||
|
d.
|
reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
|
|||
|
e.
|
reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
|||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
|
||||
|
a.
|
jenis;
|
|||
|
b.
|
bahan yang digunakan;
|
|||
|
c.
|
lokasi penempatan;
|
|||
|
d.
|
waktu penayangan;
|
|||
|
e.
|
jangka waktu penyelenggaraan;
|
|||
|
f.
|
jumlah; dan
|
|||
|
g.
|
ukuran media Reklame.
|
|||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
|||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
|||||
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
|||||
Saat terutangnya Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
|||||
(1)
|
Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
|
||||
(2)
|
Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAT
Pasal 40 |
|||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk:
|
||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
|||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
|||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
|||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
|||
|
e.
|
keperluan keagamaan;
|
|||
|
f.
|
pengambilan dan/atau Pemanfaatan Air Tanah yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah yang tidak akan dikomersilkan; dan
|
|||
|
g.
|
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk konservasi serta penelitian guna pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak akan dikomersilkan dan tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air beserta lingkungannya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
|||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
||||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
||||
(4)
|
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
|||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
|||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
|||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
|||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
|||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
|||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
|||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
|||||
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
|||||
Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
|||||
PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak MBLB
Pasal 47 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
||||
|
a.
|
asbes;
|
|||
|
b.
|
batu tulis;
|
|||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
|||
|
d.
|
batu kapur;
|
|||
|
e.
|
batu apung;
|
|||
|
f.
|
batu permata;
|
|||
|
g.
|
bentonit;
|
|||
|
h.
|
dolomit;
|
|||
|
i.
|
feldspar;
|
|||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
|||
|
k.
|
grafit;
|
|||
|
l.
|
granit/andesit;
|
|||
|
m.
|
gips;
|
|||
|
n.
|
kalsit;
|
|||
|
o.
|
kaolin;
|
|||
|
p.
|
leusit;
|
|||
|
q.
|
magnesit;
|
|||
|
r.
|
mika;
|
|||
|
s.
|
marmer;
|
|||
|
t.
|
nitrat;
|
|||
|
u.
|
obsidian;
|
|||
|
v.
|
oker;
|
|||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
|||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
|||
|
y.
|
perlit;
|
|||
|
z.
|
fosfat;
|
|||
|
aa.
|
talk;
|
|||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
|||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
|||
|
dd.
|
tanah liat;
|
|||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
|||
|
ff.
|
tras;
|
|||
|
gg.
|
yarosit;
|
|||
|
hh.
|
zeolit;
|
|||
|
ii.
|
basal;
|
|||
|
jj.
|
trakhit;
|
|||
|
kk.
|
belerang;
|
|||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
|||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
|
|||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
|
|||
|
c.
|
untuk keperluan pembangunan rumah ibadah yang dibiayai oleh masyarakat.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
|||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
|||||
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
|||||
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
|||||
Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 54 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
|
||||
(2)
|
Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
|
||||
(3)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai hasil survei harga di Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
|||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
|||||
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
|||||
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
|||||
Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen PKB
Pasal 61 |
|||||
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk Opsen PKB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki kendaraan bermotor.
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
|||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
|||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
|||||
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
|||||
Saat terutangnya Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
|||||
Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Opsen BBNKB
Pasal 68 |
|||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki kendaraan bermotor.
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
|||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
|||||
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
|||||
Saat terutangnya Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
|||||
Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 75 |
|||||
(1)\
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah.
|
||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
|
||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 76 |
|||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
||||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
||||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
|
||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
|||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
|||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
|||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis dan Objek Retribusi
Pasal 77 |
|||||
(1)
|
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
(2)
|
Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah dan pihak swasta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 78 |
|||||
Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
|||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
|||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
|||||
(1)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
||||
(3)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
|
||||
(4)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
||||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Umum
Pasal 82 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
|||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
|||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
|||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
|||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan
Pasal 84 |
|||||
(1)
|
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
(2)
|
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan Kebersihan
Pasal 85 |
|||||
(1)
|
Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
|
||||
|
a.
|
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
|||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
|||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
|||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
|||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
Pasal 86 |
|||||
Pelayanan Parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Pasar
Pasal 87 |
|||||
Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 88 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(3)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair;
|
|||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
|
|||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
|||
(4)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
|||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 89 tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Umum
Pasal 91 |
|||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
|||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
|||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
|||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
|||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
|||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
|||
|
h.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
|||
|
i.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
|||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
Pasal 93 |
|||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan
Pasal 94 |
|||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
||||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
Pasal 95 |
|||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Penyediaan Tempat Penginapan atau Pesanggrahan atau Vila
Pasal 96 |
|||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf d yaitu penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan
Pasal 97 |
|||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pelayanan Jasa Kepelabuhan
Pasal 98 |
|||||
Pelayanan Jasa Kepelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
Pasal 99 |
|||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Penjualan Hasil Produksi Usaha Daerah
Pasal 100 |
|||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf h merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Pemanfaatan Aset Daerah
Pasal 101 |
|||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) huruf i termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Bupati untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
|||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
|||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
|||
(3)
|
Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||
(4)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
||||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 12
Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 102 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
|||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
|||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
|||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
|
|||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan;
|
|||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
|||
|
h.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
|||
|
i.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
|||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 sampai dengan Pasal 103 tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Umum
Pasal 105 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf c meliputi:
|
||||
|
a.
|
PBG;
|
|||
|
b.
|
penggunaan TKA; dan
|
|||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||
(4)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
||||
(3)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf a merupakan penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
|
||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf b merupakan penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
PBG
Pasal 107 |
|||||
(1)
|
Pelayanan pemberian izin PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan pemberian izin PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
|||
|
b.
|
Bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF; dan
|
|||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
|||
|
|
1.
|
perubahan fungsi bangunan gedung;
|
||
|
|
2.
|
Perubahan lapis bangunan gedung;
|
||
|
|
3.
|
Perubahan luas bangunan gedung;
|
||
|
|
4.
|
Perubahan tampak bangunan gedung;
|
||
|
|
5.
|
Perubahan spesifikasi dan dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
||
|
|
6.
|
Perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
||
|
|
7.
|
Perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung Cagar Budaya; atau
|
||
|
|
8.
|
Perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
||
(4)
|
PBG perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)huruf c tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||||
(5)
|
Persyaratan PBG dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(6)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; dan
|
|||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
|||
(4)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(5)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
|
|||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
|
|||
(6)
|
Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
||
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
||
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi;
|
||
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
|
||
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||
|
|
1.
|
Volume;
|
||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
||
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
|||||
Retribusi yang terhutang dipungut di wilayah Daerah tempat pelayanan PBG diberikan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penggunaan TKA
Pasal 110 |
|||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
|||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi terutang.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jangka waktu Penggunaan TKA dan jumlah TKA yang digunakan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 112 |
|||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IV
PENDAFTARAN DAN PENDATAAN PAJAK
Pasal 113 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf d, huruf e, huruf h dan huruf I wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan:
|
||||
|
a.
|
Surat pendaftaran objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h dan huruf i; dan
|
|||
|
b.
|
SPOP untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
|
||||
(3)
|
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
|
||||
(4)
|
Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat Yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
|
||||
(5)
|
NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
|
||||
(6)
|
NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
|
||||
(7)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
|
||||
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
|
||||
(2)
|
Khusus PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
|||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
|
||||
(2)
|
Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
||||
(3)
|
Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
|
||||
(4)
|
Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
|
||||
|
a.
|
tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
|
|||
|
b.
|
tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 116 |
|||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 115 diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB V
PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, DAN PEMBEBASAN
Pasal 117 |
|||||
(1)
|
Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VI
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 118 |
|||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN WAJIB PAJAK
Pasal 119 |
|||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
|||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
|||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau narna tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
PEMERIKSAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 120 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
||||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
|||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
|
|||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IX
SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 121 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
|
||||
(2)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
|
||||
(3)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
|
||||
|
a.
|
pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
b.
|
penanganan piutang pajak dan retribusi;
|
|||
|
c.
|
melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi pajak dan retribusi;
|
|||
|
d.
|
optimalisasi pelaksanaan opsen pajak;
|
|||
|
e.
|
pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
f.
|
penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
|
|||
|
g.
|
mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
|
|||
|
h.
|
pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektifitas pemungutan pajak dan retribusi;
|
|||
|
i.
|
pelaksanaan kerja sama teknis;
|
|||
|
j.
|
pertukaran data dan informasi; dan
|
|||
|
k.
|
hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 122 |
|||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
|
||||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
|||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
|
|||
|
c.
|
Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB X
SISTEM INFORMASI PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 123 |
|||||
(1)
|
Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
||||
|
a.
|
kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
|
|||
|
b.
|
potensi Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
|
||||
(3)
|
Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek pajak dan retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 124 |
|||||
(1)
|
Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf b menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
|
||||
(2)
|
Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya.
|
||||
(3)
|
Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 125 |
|||||
(1)
|
Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Bupati.
|
||||
(2)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
|
||||
|
a.
|
koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
b.
|
penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi; dan
|
|||
|
c.
|
perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
|
|||
(3)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan pendapatan daerah.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 126 |
|||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 127 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
||||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
|
||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
||||
(4)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi:
|
||||
|
a.
|
bencana alam;
|
|||
|
b.
|
kebakaran;
|
|||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
|||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
|||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 128 |
|||||
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran dalam ketentuan Peraturan Daerah ini.
|
||||
(2)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
|
|||
|
b.
|
meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|||
|
d.
|
memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
|||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
|
|||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindakan pidana di bidang perpajakan;
|
|||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keteranganya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
|||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan
|
|||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang bertanggung jawab.
|
|||
(3)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 129 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 130 |
|||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 131 |
|||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 132 |
|||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 133 |
|||||
(1)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
||||
(2)
|
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
||||
(3)
|
Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak MBLB di Daerah yang ada sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, masih tetap berlaku sampai dengan berlakunya ketentuan Pajak MBLB yang diatur dalam Peraturan Daerah ini sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 134 |
|||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 135 |
|||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:
|
|||||
a.
|
ketentuan mengenai retribusi dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan di Kabupaten Kendal (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2010 Nomor 10 Seri C No. 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 61);
|
||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum di Kabupaten Kendal (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2011 Nomor 8 Seri C No. 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 72) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2019 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor);
|
||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu di Kabupaten Kendal (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2011 Nomor 9 Seri C No.2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 73) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 7 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu di Kabupaten Kendal (Lembaran daerah Kabupaten kendal Tahun 2013 Nomor 7 Seri C No. 1,Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 116);
|
||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha di Kabupaten Kendal (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2011 Nomor 10 Seri C No.3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 74) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha di Kabupaten Kendal (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2018 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 181);
|
||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2011 Nomor 11 Seri B No.1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 75) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 9 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2018 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 182);
|
||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 136 |
|||||
Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 137 |
|||||
Peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 138 |
|||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kendal.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Kendal
pada tanggal 29 Desember 2023
BUPATI KENDAL,
ttd.
DICO M GANINDUTO
Diundangkan di Kendal
pada tanggal 29 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KENDAL,
ttd.
SUGIONO
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TAHUN 2023 NOMOR 14
|
|||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL
NOMOR 14 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, serta pembagian Urusan Pemerintahan berimplikasi pada perlu adanya pengaturan hubungan wewenang dan hubungan keuangan antar pemerintah. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang telah terbit didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Terbitnya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah bertujuan untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien, transparan, akuntabel, dan berkeadilan serta guna mewujudkan pemerataan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Kendal bersama dengan DPRD Kabupaten Kendal telah menetapkan peraturan daerah yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah secara terpisah, mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun sehubungan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana diamanatkan untuk membuat peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah dalam 1 (satu) peraturan daerah.
Peraturan Daerah ini memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak dimana pajak daerah yang semula berjumlah 11 (sebelas) jenis pajak daerah menjadi 8 (delapan) pajak daerah, pemberian sumber-sumber perpajakan yang baru bagi pemerintah daerah dengan adanya opsen PKB dan BBNKB, dan penyederhanaan jenis Retribusi daerah pemerintah kabupaten Kendal yang semula terdapat 19 (sembilan belas) jenis Retribusi Daerah menjadi 12 (dua belas) jenis Retribusi Daerah yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, hotel, pemakaian listrik dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
Pemerintah Daerah ini juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak PKB dan BBNKB, Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Pemerintah Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum yang semula ada 8 (delapan) jenis retribusi menjadi 4 (empat) jenis retribusi, Retribusi Jasa Usaha yang semula 7 (tujuh) jenis retribusi menjadi 6 (enam) jenis retribusi, dan Retribusi Perizinan Tertentu yang semula ada izin PBG, izin trayek dan IMTA dengan peraturan daerah ini izin trayek sudah tidak dipungut retribusi.
Pada dasarnya penetapan Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, upaya penyempurnaan dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, mengoptimalisasikan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memiliki kontribusi besar dan merupakan sumber pendanaan yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang berkeadilan, serta mencabut peraturan-peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah tidak sesuai dengan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut di antara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/ atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah disumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerja sama antara Pemerintah dan badan usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh:
Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Perkada sebagai berikut:
Peraturan Bupati:
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Perkada dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
Contoh:
Pada tahun 2025, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan pemotongan hewan ternak berupa pelayanan pemotongan sapi dan pelayanan pemotongan kambing. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Peraturan Daerah PDRD:
Pada tahun 2027, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan pengemasan dan pelayanan ruang pendingin yang merupakan bagian dari pelayanan pemotongan kambing. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Perkada sebagai berikut:
Peraturan Bupati:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 96
Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberian NPWPD kepada Wajib Pajak digunakan untuk seluruh kewajiban jenis Pajak.
Ayat (4)
Contoh: Orang pribadi "A" memiliki sebuah rumah (tanah dan Bangunan), mengusahakan sebuah restoran, serta dan membuka usaha rekreasi wahana air (waterboom). Ketiga objek dimaksud berada di kabupaten "M".
Atas objek-objek dimaksud, orang pribadi "A" hanya memiliki 1 (satu) NPWPD, namun dapat memiliki beberapa NOPD atau nomor registrasi atau jenis penomoran lain yang dipersamakan sesuai dengan kebutuhan profiling dan pendataan perpajakan Daerah di Pemerintah Daerah kabupaten "M":
Ayat (5)
Setiap Wajib Pajak orang pribadi hanya memiliki 1 (satu) NPWPD dan dihubungkan dengan nomor induk kependudukan Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Ayat (6)
Setiap Wajib Pajak Badan hanya memiliki 1 (satu) NPWPD dan dihubungkan dengan nomor induk berusaha Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Analisis risiko dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak MBLB di Daerah yang ada sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan” adalah Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 9 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
Yang dimaksud dengan “berlakunya ketentuan Pajak MBLB yang diatur dalam Peraturan Daerah ini sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak MBLB yang diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 239
|