Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN
    NOMOR 11 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    BUPATI KEBUMEN,
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa pajak Daerah dan retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan Pemerintah Daerah;
    b.
    bahwa kebijakan pajak Daerah dan retribusi Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi Daerah;
    c.
    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, jenis pajak Daerah dan retribusi Daerah perlu diatur dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi landasan hukum dalam pemungutan pajak Daerah dan retribusi Daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 42);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KEBUMEN
    dan
    BUPATI KEBUMEN
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM, ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kabupaten Kebumen.
    2.
    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom.
    4.
    Bupati adalah Bupati Kebumen.
    5.
    Provinsi adalah Provinsi Jawa Tengah.
    6.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
    7.
    Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
    8.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
    9.
    Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak Daerah, retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    10.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    11.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    12.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    13.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    14.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    15.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    16.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    17.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    18.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    19.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    20.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    21.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    22.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    23.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    24.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau Jasa tertentu.
    25.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan Jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    26.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    27.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    28.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    29.
    Jasa Perhotelan adalah Jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan Jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    30.
    Jasa Parkir adalah Jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    31.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah Jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    32.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    33.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    34.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    35.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    36.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    37.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    38.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    39.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    40.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    41.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    42.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    43.
    Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
    44.
    Pemberian Insentif adalah dukungan kebijakan fiskal dari Pemerintah Daerah kepada Masyarakat dan/atau Investor untuk meningkatkan investasi di Daerah.
    45.
    Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang menjadi dasar wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terhutang.
    46.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    47.
    Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    48.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    49.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
    50.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    51.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan Subjek Pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
    52.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    53.
    Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
    54.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas Jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    55.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, Jasa, dan/atau perizinan.
    56.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    57.
    Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    58.
    Jasa Umum adalah Jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    59.
    Jasa Usaha adalah Jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    60.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    61.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    62.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    63.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    64.
    Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah Retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan kesehatan di tempat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
    65.
    Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
    66.
    Retribusi Pelayanan Kebersihan adalah Retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
    67.
    Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah Retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat parkir di tepi jalan umum.
    68.
    Retribusi Pelayanan Pasar adalah Retribusi sebagai pembayaran atas penyediaan fasilitas Pasar Daerah, berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah.
    69.
    Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, Pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya.
    70.
    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa Pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya adalah Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas Pasar grosir, fasilitas Pasar/pertokoan yang dikontrakkan, dan tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
    71.
    Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan termasuk Fasilitas Lainnya dalam Lingkungan Tempat Pelelangan adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk Jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    72.
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan adalah Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    73.
    Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
    74.
    Penyediaan Tempat Penginapan/pasanggrahan/vila adalah penyediaan tempat penginapan/pasanggrahan/vila yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    75.
    Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak adalah Pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola Pemerintah Daerah.
    76.
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    77.
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah adalah Penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah termasuk penyediaan barang dan/atau Jasa layanan umum.
    78.
    Pemanfaatan Aset Daerah adalah Pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah dengan tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum.
    79.
    Retribusi PBG adalah pungutan atas penerbitan PBG oleh Pemerintah Daerah.
    80.
    Retribusi penggunaan TKA adalah dana kompensasi penggunaan TKA atas pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA.
    81.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan Daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 2

    Pengaturan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan pada asas:
    a.
    keadilan;
    b.
    kepastian;
    c.
    akuntabel;
    d.
    partisipasi;
    e.
    transparansi;
    f.
    efisiensi;
    g.
    efektivitas;
    h.
    keberlanjutan fiskal; dan
    i.
    pengendalian.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    Pengaturan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertujuan:
    a.
    mengoptimalkan penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam pelaksanaan APBD guna menjamin kemandirian dan keberlanjutan fiskal Daerah;
    b.
    melakukan perencanaan dan pengendalian pendanaan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan di Daerah melalui instrumen Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan
    c.
    menciptakan keseimbangan tanggung jawab dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didanai dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
    a.
    Pajak Daerah;
    b.
    Retribusi Daerah;
    c.
    Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    d.
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan;
    e.
    Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berinvestasi;
    f.
    Kerahasiaan Data Wajib Pajak;
    g.
    Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    h.
    Partisipasi Masyarakat;
    i.
    Sinergitas; dan
    j.
    Publikasi Informasi.
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 5

    Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
    a.
    PBB-P2;
    b.
    BPHTB;
    c.
    PBJT;
    d.
    Pajak Reklame;
    e.
    PAT;
    f.
    Pajak MBLB;
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
    h.
    Opsen PKB; dan
    i.
    Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
     
    c.
    Pajak MBLB; dan
     
    d.
    Pajak Sarang Burung Walet.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu SKPD dan SPPT.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu SPTPD.
    (5)
    Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB-P2
     

    Pasal 7

    (1)
    Objek PBB-P2 yaitu Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati; dan
     
    i.
    bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
    (6)
    Besaran NJOP ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan mengenai penilaian PBB-P2.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Dasar Pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
    (2)
    Penentuan besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
    (3)
    Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
    (4)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditinjau kembali setiap 3 (tiga) tahun sekali.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun; dan
     
    b.
    untuk NJOP lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun.
    (2)
    Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,09% (nol koma nol sembilan persen) per tahun; dan
     
    b.
    untuk NJOP lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,18% (nol koma delapan belas persen) per tahun.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutangnya PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (2)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada di:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pajak Reklame
     

    Pasal 15

    (1)
    Objek Pajak Reklame yaitu semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    reklame kain;
     
    c.
    reklame melekat/stiker;
     
    d.
    reklame selebaran;
     
    e.
    reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    reklame udara;
     
    g.
    reklame apung;
     
    h.
    reklame film/slide; dan
     
    i.
    reklame peragaan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yakni:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada Bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Subjek Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame yaitu nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    jenis;
     
    b.
    bahan yang digunakan;
     
    c.
    lokasi penempatan;
     
    d.
    waktu penayangan;
     
    e.
    jangka waktu penyelenggaraan;
     
    f.
    jumlah; dan
     
    g.
    ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    Saat terutangnya Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (2)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PAT
     

    Pasal 22

    (1)
    Objek PAT yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan;
     
    f.
    pengambilan dan/atau Pemanfaatan Air Tanah yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah yang tidak akan dikomersilkan; dan
     
    g.
    pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk konservasi serta penelitian guna pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak akan dikomersilkan dan tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air beserta lingkungannya.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Subjek PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Dasar pengenaan PAT yaitu nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor -faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    Wilayah pemungutan PAT yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Opsen PKB
     

    Pasal 29

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    Dasar pengenaan untuk Opsen PKB yakni PKB terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    Saat terutangnya Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 36

    Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB yaitu BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    Saat terutangnya Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    BPHTB
     

    Pasal 43

    (1)
    Objek BPHTB merupakan Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah.
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Dikecualikan dari objek BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
    (3)
    yakni perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur sesuai dengan peraturan menteri yang membidangi keuangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB yaitu nilai perolehan objek Pajak.
    (2)
    Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai Pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan yakni NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
    (2)
    Tarif BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/bangunan yang berupa pemindahan hak karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a angka 4 dan karena wasiat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a angka 5 ditetapkan sebesar 2,5% (dua setengah persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal pada saat transaksi jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli yakni pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat tanah dan/atau bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    PBJT
     

    Pasal 50

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan Jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    makanan dan/atau minuman;
    b.
    tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum; dan/atau
     
    b.
    Penyedia Jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penyerahan makanan dan/atau minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) perbulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan Jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi objek PBJT Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
     
    d.
    konsumsi tenaga listrik di kawasan terpencil dengan menggunakan pembangkit tenaga listrik bantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c meliputi Jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa perhotelan meliputi:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    Jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    Jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    Jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik;
     
    d.
    Jasa tempat parkir dalam pemukiman penduduk yang disediakan bagi warga kompleks pemukiman bersangkutan;
     
    e.
    Jasa tempat parkir yang disediakan toko/usaha untuk konsumennya yang tidak memungut biaya atas Jasa tempat parkir; dan
     
    f.
    Jasa tempat parkir dalam kegiatan sosial keagamaan yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    b.
    bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    (1)
    Subjek Pajak PBJT yaitu konsumen barang dan Jasa tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan Jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT yaitu jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau Jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
     
    b.
    nilai jual tenaga listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkiran kendaraan untuk PBJT atas Jasa parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa kesenian dan hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan Jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambahkan dengan biaya pemakaian kWh/variable yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (4)
    Berdasarkan nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas Jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam,bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat:
    a.
    pembayaran/penyerahan atas makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
    b.
    konsumsi/pembayaran atas tenaga listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
    c.
    pembayaran/penyerahan atas Jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa perhotelan;
    d.
    pembayaran/penyerahan atas Jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa parkir; dan
    e.
    pembayaran/penyerahan atas Jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa kesenian dan hiburan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Wilayah pemungutan PBJT yang terutang yaitu di wilayah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan Jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Pajak MBLB
     

    Pasal 63

    (1)
    Objek Pajak MBLB yaitu kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfataa;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
     
    c.
    untuk keperluan pembangunan rumah ibadah yang dibiayai oleh masyarakat.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    (1)
    Subjek Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB yaitu nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    Saat terutangnya Pajak MBLB yakni pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Pajak Sarang Burung Walet
     

    Pasal 70

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet yakni nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga Pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
    (3)
    Harga Pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai hasil survei harga di Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 77

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 78

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a meliputi:
     
    a.
    Pelayanan kesehatan;
     
    b.
    Pelayanan kebersihan;
     
    c.
    Pelayanan parkir di tepi Jalan umum; dan
     
    d.
    Pelayanan Pasar.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan Jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum yaitu Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Tingkat penggunaan Jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan Jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan Jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan Jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi Jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
     
    d.
    pelayanan Pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas Pasar.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 81

    Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a yaitu pelayanan kesehatan di Puskesmas, Puskesmas keliling, Puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 82

    (1)
    Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b yaitu pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyedian lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari Pelayanan Kebersihan yakni Pelayanan Kebersihan Jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
     

    Pasal 83

    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf c yaitu pelayanan parkir di tepi Jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pelayanan Pasar
     

    Pasal 84

    Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf d yaitu penyediaan fasilitas Pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Tarif Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 85

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan Jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan Jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (3)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
    (4)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 88

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau Jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa Pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    h.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan Jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha yaitu Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    (1)
    Tingkat penggunaan Jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan Jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan Jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan Jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan Jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan Jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    h.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     

    Pasal 91

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa Pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a yaitu penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas Pasar grosir, dan fasilitas Pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan
     

    Pasal 92

    (1)
    Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf b yaitu penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk Jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 93

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c yaitu penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila
     

    Pasal 94

    Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf d yaitu penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan
     

    Pasal 95

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf e yaitu pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     

    Pasal 96

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf f yaitu pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     

    Pasal 97

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf g yaitu penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Pemanfaatan Aset Daerah yang Tidak Mengganggu Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah dengan Tidak Mengubah Status Kepemilikan
     

    Pasal 98

    (1)
    Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf h termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum.
    (2)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; dan
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Tarif Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 99

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga Pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang atas pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), tarif diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (3)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (4)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (6)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
    (7)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 102

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf c meliputi:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    Penggunaan TKA.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    (1)
    Tingkat penggunaan Jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan Jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan Jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan Jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan jangka waktu Penggunaan TKA dan jumlah TKA yang digunakan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Luas Total Lantai;
     
     
    2.
    Indeks Lokalitas;
     
     
    3.
    Indeks Terintegrasi;
     
     
    4.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Volume;
     
     
    2.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
    (4)
    Indeks lokalitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 2 dibagi dalam tiga golongan yang didasarkan pada NJOP dalam SPPT.
    (5)
    Penggolongan indeks lokalitas sebagaimana dimaksud ayat (4) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    Penggolongan Indeks Lokalitas pada lokasi dengan rentang 2/3 (dua per tiga) NJOP tertinggi sampai dengan NJOP tertinggi yaitu lokasi padat dengan nilai 0,5% (nol koma lima persen);
     
    b.
    Penggolongan Indeks Lokalitas pada lokasi dengan rentang 1/3 (satu per tiga) NJOP tertinggi sampai dengan 2/3 (dua per tiga) NJOP tertinggi yaitu lokasi sedang dengan nilai 0,4% (nol koma empat persen); dan
     
    c.
    Penggolongan Indeks Lokalitas pada lokasi dengan rentang NJOP terendah sampai dengan 1/3 (satu per tiga) NJOP tertinggi yaitu lokasi renggang dengan nilai 0,3% (nol koma tiga persen).
    (6)
    Indeks Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 3 dihitung berdasarkan Indeks fungsi dikalikan penjumlahan dari bobot parameter dikalikan indeks parameter dikalikan faktor kepemilikan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf b biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan Jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (5)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap SHST dan/atau Indeks Lokalitas.
    (7)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (8)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    PBG
     

    Pasal 108

    (1)
    Pelayanan pemberian izin PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi, pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    Pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF; dan
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi bangunan gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis bangunan gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas bangunan gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak bangunan gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung Cagar Budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    PBG perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (5)
    Persyaratan PBG dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    Retribusi yang terhutang dipungut di wilayah Daerah tempat pelayanan PBG diberikan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penggunaan TKA
     

    Pasal 110

    (1)
    Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan di Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan TKA oleh instansi Pemerintah, instansi Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    Retribusi yang terhutang dipungut di wilayah Daerah tempat pelayanan Penggunaan TKA diberikan.
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah
     

    Pasal 112

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah dapat membentuk dan mengembangkan sistem informasi Pajak dan Retribusi Daerah secara elektronik.
    (2)
    Pemerintah Daerah melakukan pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah secara elektronik dalam rangka efisiensi dan efektivitas pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembangan sistem informasi dan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
     

    Pasal 114

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum Daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal Jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja APBD.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, DAN PEMBEBASAN
     

    Pasal 115

    (1)
    Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (3)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang dapat diberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran, meliputi:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi; dan
     
    b.
    kondisi tertentu Wajib Pajak dan Wajib Retribusi, seperti Wajib Retribusi/Penanggung Retribusi meninggal dunia, tertimpa musibah, menjalani hukuman dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
    (4)
    Kondisi objek pajak atau objek Retribusi yang dapat diberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran, meliputi:
     
    a.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak Terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau
     
    b.
    penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERINVESTASI
     

    Pasal 116

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
     
    a.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    b.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah;
     
    c.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional;
     
    d.
    memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan Masyarakat;
     
    e.
    menyerap tenaga kerja;
     
    f.
    menggunakan sebagian besar sumber daya tokal;
     
    g.
    memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik;
     
    h.
    memberikan kontribusi dalam peningkatan produk domestik regional bruto
     
    i.
    berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
     
    j.
    pembangunan infrastruktur
     
    k.
    melakukan alih teknologi;
     
    l.
    melakukan industri pionir;
     
    m.
    melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
     
    n.
    bermitra dengan usaha mikro, kecil, atau koperasi;
     
    o.
    industri yang menggunakan barang Modal, mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri;
     
    p.
    melakukan kegiatan usaha sesuai dengan program prioritas nasional dan/atau Daerah; dan/atau
     
    q.
    berorientasi ekspor.
    (4)
    Pemberian Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
    (5)
    Pemberian Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 117

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yaitu:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 118

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PARTISIPASI MASYARAKAT
     

    Pasal 119

    (1)
    Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    (2)
    Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
     
    a.
    penyampaian informasi, data, dan aspirasi;
     
    b.
    konsultasi publik;
     
    c.
    pengawasan pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan
     
    d.
    sosialisasi kebijakan.
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    SINERGITAS
     

    Pasal 120

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
    (3)
    Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
     
    a.
    pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    penanganan piutang Pajak dan Retribusi;
     
    c.
    melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi Pajak dan Retribusi;
     
    d.
    optimalisasi pelaksanaan Opsen Pajak;
     
    e.
    pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
     
    f.
    penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
     
    g.
    mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
     
    h.
    pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektifitas pemungutan pajak dan retribusi;
     
    i.
    pelaksanaan kerja sama teknis; dan
     
    j.
    pertukaran data dan informasi;
     
    k.
    hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    (1)
    Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
     
    a.
    PKB dan Opsen PKB;
     
    b.
    BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
     
    c.
    Pajak MBLB.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    PUBLIKASI INFORMASI
     

    Pasal 122

    (1)
    Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan publikasi informasi mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kepada masyarakat secara berkala.
    (2)
    Bentuk publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
    b.
    posisi kumulatif Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan
     
    c.
    pemanfaatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    Pemerintah Daerah dapat melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melalui kegiatan:
    a.
    sosialisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melalui media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat; dan
    b.
    pengembangan sistem informasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melalui layanan daring.
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN LAIN-LAIN
     
    Bagian Kesatu
    Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
     

    Pasal 124

    (1)
    Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
     
    a.
    Opsen PKB;
     
    b.
    PBJT atas tenaga listrik; dan
     
    c.
    PAT.
     
    dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
    (2)
    Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 125

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
    (4)
    Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran.
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    SANKSI ADMINISTRATIF
     

    Pasal 126

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif dapat berupa:
     
    a.
    bunga;
     
    b.
    denda; dan/atau
     
    c.
    kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2)
    Besaran sanksi administratif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga perbulan yang ditetapkan oleh menteri atas jumlah Pajak yang kurang bayar.
    (3)
    Besaran sanksi administratif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga perbulan yang ditetapkan oleh menteri atas jumlah Retribusi yang kurang dibayar.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 127

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Po1isi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
    BAB XV
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 128

    Wajib Pajak yang karena:
    a.
    kealpaannya; dan/atau
    b.
    sengaja.
    tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2), Pasal 89 ayat (2) dan Pasal 103 ayat (2), sehingga merugikan Keuangan Daerah, dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB XVI
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 131

    Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah sebelumnya.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    (1)
    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
    (2)
    Pemberlakuan Opsen PKB dan Opsen BBNKB dilaksanakan mulai 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
    BAB XVII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 133

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    1.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 19 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2010 Nomor 19, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 52);
    2.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 20 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2011 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 56);
    3.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 27 Tahun 2011 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 66);
    4.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 28 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2011 Nomor 28, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 67);
    5.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 30 Tahun 2011 tentang Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2011 Nomor 30, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 69);
    6.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2011 Nomor 31, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 70);
    7.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 32 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2011 Nomor 31, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 71) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 32 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 159);
    8.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 33 Tahun 2011 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2011 Nomor 33, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 72);
    9.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 75);
    10.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 2 Tahun 2012 tentang Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 76);
    11.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 77) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 11 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2017 Nomor 141);
    12.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 78);
    13.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 79);
    14.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 80);
    15.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 8 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 82);
    16.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 83);
    17.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 12 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 86);
    18.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 87);
    19.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 88);
    20.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 89);
    21.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 90);
    22.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 17 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 91);
    23.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 18 Tahun 2012 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 92);
    24.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 30 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2012 Nomor 30, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 101);
    25.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 1 Tahun 2014 tentang Retribusi Pengolahan Limbah Cair (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2014 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 108);
    26.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 7 Tahun 2014 tentang Retribusi Pelayanan Pendidikan (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 112);
    27.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 1 Tahun 2017 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Prembun (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2017 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 131);
    28.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 3 Tahun 2019 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2019 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 158);
    29.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 11 Tahun 2019 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2019 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 166);
    30.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 2 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2020 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 169);
    31.
    Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 10 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2020 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 194);
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kebumen.
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Kebumen
    pada tanggal 22 November 2023
    BUPATI KEBUMEN,
    ttd.
    ARIF SUGIYANTO
     
    Diundangkan di Kebumen
    pada tanggal 22 November 2023
    SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KEBUMEN,
    ttd.  
    EDI RIANTO
     
    LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2023 NOMOR 11
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN
    NOMOR 11 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, serta pembagian Urusan Pemerintahan berimplikasi pada perlu adanya pengaturan hubungan wewenang dan hubungan keuangan antar pemerintah. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang telah terbit didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Terbitnya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertujuan untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien, transparan, akuntabel, dan berkeadilan serta guna mewujudkan pemerataan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Kebumen bersama dengan DPRD Kabupaten Kebumen telah menetapkan 8 (delapan) peraturan daerah yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yaitu 1 (satu) peraturan daerah tentang pajak daerah dan 7 (tujuh) peraturan daerah tentang retribusi daerah. Namun sehubungan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana diamanatkan untuk membuat peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah dalam 1 (satu) peraturan daerah.
     
    Peraturan Daerah ini memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak dimana pajak daerah yang semula berjumlah 11 (sebelas) jenis pajak daerah menjadi 8 (delapan) pajak daerah, pemberian sumber-sumber perpajakan yang baru bagi pemerintah daerah dengan adanya opsen PKB dan BBNKB, dan penyederhanaan jenis Retribusi daerah pemerintah kabupaten Kebumen yang semula terdapat 19 (sembilan belas) jenis Retribusi Daerah menjadi 12 (dua belas) jenis Retribusi Daerah yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
    Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, hotel, pemakaian listrik dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
     
    Pemerintah Daerah ini juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak PKB dan BBNKB, Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Pemerintah Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum yang semula ada 8 (delapan) jenis retribusi menjadi 4 (empat) jenis retribusi, Retribusi Jasa Usaha yang semula 7 (tujuh) jenis retribusi menjadi 6 (enam) jenis retribusi, dan Retribusi Perizinan Tertentu yang semula ada izin PBG, izin trayek dan IMTA dengan peraturan daerah ini izin trayek sudah tidak dipungut retribusi.
     
    Pada dasarnya penetapan Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, upaya penyempurnaan dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, mengoptimalisasikan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memiliki kontribusi besar dan merupakan sumber pendanaan yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang berkeadilan, serta mencabut peraturan-peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah tidak sesuai dengan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah prinsip yang menekankan pada keseimbangan antara hak dan tanggungjawab publik. Kepatuhan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi dalam membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus seimbang dengan hak mendapatkan pelayanan publik yang dinikmati. Asas keadilan juga menekankan kemampuan bayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan asas kepastian adalah asas yang menekankan pada kepastian ketentuan perpajakan dan kepastian untuk patuh dan tunduk pada kaidah hukum yang ada.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan asas akuntabel adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara dalam pengelolaan pajak Daerah dan retribusi Daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan asas partisipasi adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pemungutan pajak Daerah dan Retribusi Daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan asas transparansi adalah asas yang mengacu pada keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan Daerah.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan asas efisiensi adalah asas yang mendasarkan pada pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang efisien sesuai dengan kaidah-kaidah perpajakan dengan mempertimbangkan biaya pemungutan yang reliable.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan asas efektivitas adalah asas yang menekankan pada peran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk meningkatkan kemandirian Daerah dalam mendanai belanja Pemerintah Daerah sesuai dengan kebutuhan Daerah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Daerah secara optimal.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan asas keberlanjutan adalah asas yang menempatkan pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai unsur yang menentukan keberlanjutan fiskal Daerah, dengan mempertimbangkan kinerja ekonomi jangka Panjang untuk mendukung keberlanjutan penyelenggaraan urusan pemerintahan di Daerah.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan asas pengendalian adalah asas yang menekankan perlunya monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah itu sendiri, Perangkat Daerah yang terlibat dalam pengelolaan, mekanisme pemungutan sampai pada peruntukan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Ayat (1)
    Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan dipungut oleh Pemerintah Pusat.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Misalnya terdapat ruas jalan tol yang melintas di suatu Kabupaten. Pemungutan PBB-P2 atas jalan tol yang membentang dalam wilayah Kota X dan Kabupaten Y wilayah pemungutannya akan dibagi dua sesuai batas administratif kota dan kabupaten dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undanganan.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “bentuk lain dari voucher” antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, Rumah Sakit Umum Daerah X pada Daerah menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi 
     
    Pada tahun 2027, Rumah Sakit Umum Daerah X pada Daerah memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Daerah menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan menetapkan Peraturan Bupati sebagai berikut:
     
    Peraturan Bupati:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
     
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan farmasi
     
     
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan bedah
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
     
    Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah yaitu tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti Pelataran Parkir, Taman Parkir, Gedung Parkir, Lokasi Parkir Insidentil.
     
    Pelataran Parkir adalah tempat parkir yang lokasinya terpisah dari bahu jalan seperti pelataran pasar, rumah sakit, terminal dan tempat lainnya.
     
    Taman Parkir adalah suatu areal/lahan/lokasi tertentu yang dimanfaatkan sebagai tempat parkir dan dilengkapi sarana perparkiran
     
    Gedung Parkir adalah bangunan atau sebagian dari bangunan yang dimanfaatkan untuk tempat parkir kendaraan.
     
    Lokasi Parkir Insidentil adalah lokasi yang dapat digunakan sebagai tempat parkir yang tidak menetap dan pada saat tertentu.
    Pasal 89
    Cukup jelas
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 205

    Perda Nomor: 11 TAHUN 2023