Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI JEPARA,
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||
a.
|
bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan, serta pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
|
||||
b.
|
bahwa optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan sesuai potensi daerah guna mendukung terciptanya iklim investasi dan kemudahan berusaha serta peningkatan kesejahteraan masyarakat;
|
||||
c.
|
bahwa dalam sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
|
||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
|||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Batang dengan mengubah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2757);
|
||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867)
|
||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
||||
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||||
Menetapkan |
|||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
|||||
1.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
||||
2.
|
Gubernur adalah Gubernur Jawa Tengah.
|
||||
3.
|
Daerah adalah Kabupaten Jepara.
|
||||
4.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
||||
5.
|
Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
||||
6.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
||||
7.
|
Bupati adalah Bupati Jepara.
|
||||
8.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan DPRD dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
||||
9.
|
Peraturan Bupati adalah peraturan Bupati Jepara.
|
||||
10.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan dan/atau Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
11.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
||||
12.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
|
||||
13.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
||||
14.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
15.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
||||
16.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan dibawah permukaan Bumi.
|
||||
17.
|
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
||||
18.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
19.
|
Hak atas tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
||||
20.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
||||
21.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
||||
22.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
||||
23.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
||||
24.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
||||
25.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
||||
26.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
|
||||
27.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
||||
28.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
||||
29.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
||||
30.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||
31.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
||||
32.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
||||
33.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
||||
34.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
|
||||
35.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
||||
36.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
37.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
38.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak.
|
||||
39.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
||||
40.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
|
||||
41.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
||||
42.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
43.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
||||
44.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
45.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau NJOP pengganti.
|
||||
46.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
|
||||
47.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
||||
48.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
|
||||
49.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||
50.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
|
||||
51.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak Daerah atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
52.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
||||
53.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang Pajak dan biaya penagihan Pajak.
|
||||
54.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
|
||||
55.
|
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi yang selanjutnya disebut Insentif adalah tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||
56.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
57.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
||||
58.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
||||
59.
|
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
|
||||
60.
|
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
|
||||
61.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
||||
62.
|
Penyidikan adalah serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB II
RUANG LINGKUP PENGATURAN
Pasal 2 |
|||||
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Daerah ini meliputi:
|
|||||
a.
|
Pajak Daerah;
|
||||
b.
|
Retribusi Daerah;
|
||||
c.
|
tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah;
|
||||
d.
|
Pemeriksaan Pajak dan Retribusi;
|
||||
e.
|
pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan atas pokok Pajak/Retribusi Daerah;
|
||||
f.
|
kerahasiaan Data Wajib Pajak;
|
||||
g.
|
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||||
h.
|
sistem informasi;
|
||||
i.
|
sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
|
||||
j.
|
pembinaan dan pengawasan;dan
|
||||
k.
|
sanksi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB III
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
|||||
Jenis Pajak terdiri atas:
|
|||||
a.
|
PBB-P2;
|
||||
b.
|
BPHTB;
|
||||
c.
|
PBJT atas:
|
||||
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|||
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
d.
|
Pajak Reklame;
|
||||
e.
|
PAT;
|
||||
f.
|
Pajak MBLB;
|
||||
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||||
h.
|
Opsen PKB; dan
|
||||
i.
|
Opsen BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
|||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati, terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
PBB-P2
|
|||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
|||
|
c.
|
PAT;
|
|||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
|||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
|||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
BPHTB;
|
|||
|
b.
|
PBJT, atas:
|
|||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
||
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
|
c.
|
Pajak MBLB; dan
|
|||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
|||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan Pajak Daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
|
||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain yaitu surat pemberitahuan Pajak Daerah.
|
||||
(5)
|
Dokumen surat pemberitahuan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 5 |
|||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengerukan.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
||||
|
a.
|
bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||
|
b.
|
bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
|||
|
c.
|
bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
|||
|
d.
|
bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak;
|
|||
|
e.
|
bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||
|
f.
|
bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
g.
|
bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
|||
|
h.
|
bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
|
|||
|
i.
|
bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 merupakan orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 merupakan orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
||||
(3)
|
NJOPTKP ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOPTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek pajak PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
|
||||
(6)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
|
||||
(7)
|
Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
|
||||
|
a.
|
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
|
|||
|
b.
|
nilai perolehan baru; atau
|
|||
|
c.
|
nilai jual pengganti.
|
|||
(8)
|
Besaran NJOP ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
|
||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
|||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek pajak; dan/atau
|
|||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu Daerah.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||||
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||
a.
|
untuk objek pajak dengan NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,11% (nol koma satu satu persen);
|
||||
b.
|
untuk objek pajak dengan NJOP lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||
c.
|
Tarif PBB-P2 untuk Objek Pajak berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen)
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
|||||
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
|||||
(1)
|
Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaaatan Bumi dan/atau bangungan.
|
||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||||
(1)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat objek pajak PBB-P2 berada.
|
||||
(2)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah wilayah Daerah tempat objek pajak berada:
|
||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
|||
|
b.
|
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 13 |
|||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
pemindahan hak, karena:
|
|||
|
|
1.
|
jual beli;
|
||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
||
|
|
3.
|
hibah;
|
||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
||
|
|
5.
|
waris;
|
||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
||
|
|
13.
|
hadiah.
|
||
|
b.
|
pemberian hak baru, karena:
|
|||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
hak milik;
|
|||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
|||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
|||
|
d.
|
hak pakai;
|
|||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
|||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
|||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
||||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
|||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
|||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
|||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
|||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB merupakan orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB merupakan orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah NPOP.
|
||||
(2)
|
NPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli
|
|||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
|||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
|||
(3)
|
Dalam hal NPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
||||
(4)
|
Besarnya NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami atau istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
||||
(6)
|
Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut terkait perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu diatur dalam Peraturan Bupati
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
|||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
|||||
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
|||||
(1)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
|||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
|||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
|||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
|||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
|
|||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
|||
(2)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutangnya BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
|||||
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 20 |
|||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
|||||
a.
|
makanan dan/atau minuman;
|
||||
b.
|
tenaga Listrik;
|
||||
c.
|
jasa Perhotelan;
|
||||
d.
|
jasa Parkir; dan
|
||||
e.
|
jasa Kesenian dan Hiburan
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
|||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a meliputi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
|
||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan pelayanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
|||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
|||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan makanan dan/atau minuman:
|
||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) perbulan;
|
|||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman;
|
|||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman; atau
|
|||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
|
|||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
|||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
|||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait;
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
|||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
||||
|
a.
|
hotel;
|
|||
|
b.
|
hostel;
|
|||
|
c.
|
vila;
|
|||
|
d.
|
pondok wisata;
|
|||
|
e.
|
motel;
|
|||
|
f.
|
losmen;
|
|||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
|||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
|||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/homestay/bungalo/resort/cottage;
|
|||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
|||
|
k.
|
glamping.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
|
|||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
|||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
|||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d meliputi:
|
||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
|||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
|
|||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
|||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik;
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e meliputi:
|
||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
|||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
|||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
|||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
|||
|
e.
|
pameran;
|
|||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
|||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
|||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
|||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
|||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
|||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
|||
|
l.
|
karaoke, bar, dan mandi uap/spa.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
|||
|
b.
|
kegiatan pelayanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran;
|
|||
|
c.
|
pagelaran kesenian dan hiburan rakyat tradisional dalam rangka usaha pelestarian kesenian dan budaya daerah; dan/atau
|
|||
|
d.
|
pagelaran kesenian yang bernuansa keagamaan/religius.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT merupakan konsumen barang dan jasa tertentu.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
|
|||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia jasa perhotelan untuk PBJT atas jasa perhotelan;
|
|||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas jasa kesenian dan hiburan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk dasar pengenaan PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
|||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
|||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri,
|
|||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
|||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar
|
|||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
|||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
|||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
|||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (2), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
|||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada karaoke, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
|
||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
|||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
|||||
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
|||||
PBJT terutang ditetapkan pada saat:
|
|||||
a.
|
pembayaran/penyerahan atas makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
|
||||
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||||
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas jasa perhotelan;
|
||||
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas jasa parkir; dan
|
||||
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas jasa kesenian dan hiburan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
|||||
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 33 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame merupakan semua penyelenggaraan Reklame.
|
||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
|||
|
b.
|
Reklame kain;
|
|||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
|||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
|||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
|||
|
f.
|
Reklame udara;
|
|||
|
g.
|
Reklame apung;
|
|||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
|||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
|||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
|||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
|||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
|
|||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame merupakan orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
|||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor: jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran media Reklame.
|
||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
|||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
|||||
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
|||||
Saat terutangnya Pajak Reklame ditetapkan saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
|||||
(1)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
|
||||
(2)
|
Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf e, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAT
Pasal 40 |
|||||
(1)
|
Objek PAT merupakan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
|||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
|||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
|||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
|||
|
e.
|
keperluan keagamaan; dan
|
|||
|
f.
|
kegiatan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan pemerintah desa.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
|||||
(1)
|
Subjek PAT merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Wajib PAT merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
||||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
||||
(4)
|
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
|||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
|||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
|||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
|||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
|||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
|||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
|||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
|||||
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
|||||
Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
|||||
Wilayah pemungutan PAT yang terutang adalah wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak MBLB
Pasal 47 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB merupakan kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
||||
|
a.
|
asbes;
|
|||
|
b.
|
batu tulis;
|
|||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
|||
|
d.
|
batu kapur;
|
|||
|
e.
|
batu apung;
|
|||
|
f.
|
batu permata;
|
|||
|
g.
|
bentonit;
|
|||
|
h.
|
dolomit;
|
|||
|
i.
|
feldspar
|
|||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
|||
|
k.
|
grafit;
|
|||
|
l.
|
granit/andesit;
|
|||
|
m.
|
gips;
|
|||
|
n.
|
kalsit;
|
|||
|
o.
|
kaolin;
|
|||
|
p.
|
leusit;
|
|||
|
q.
|
magnesit;
|
|||
|
r.
|
mika;
|
|||
|
s.
|
marmer;
|
|||
|
t.
|
nitrat;
|
|||
|
u.
|
obsidian;
|
|||
|
v.
|
oker;
|
|||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
|||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
|||
|
y.
|
perlit;
|
|||
|
z.
|
fosfat;
|
|||
|
aa.
|
talk;
|
|||
|
ab.
|
tanah serap (fullers earth);
|
|||
|
ac.
|
tanah diatom;
|
|||
|
ad.
|
tanah liat;
|
|||
|
ae.
|
tawas (alum);
|
|||
|
af.
|
tras;
|
|||
|
ag.
|
yarosit;
|
|||
|
ah.
|
zeolit;
|
|||
|
ai.
|
Basal
|
|||
|
aj.
|
trakhit;
|
|||
|
ak.
|
belerang;
|
|||
|
al.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
|||
|
am.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;dan
|
|||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
|||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
|||||
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
|||||
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
|||||
Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 54 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak sarang Burung Walet merupakan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual Sarang Burung Walet.
|
||||
(2)
|
Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
|||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
|||||
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
|||||
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
|||||
Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen PKB
Pasal 61 |
|||||
(1)
|
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
||||
(2)
|
Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan wajib PKB.
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa tengah bersamaan dengan pemungutan PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
|||||
Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
|||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen)
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
|||||
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
|||||
(1)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB yang dikenakan atas Pajak terutang dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
|||||
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Opsen BBNKB
Pasal 68 |
|||||
(1)
|
Opsen BBNKB dikenakan atas pajak terutang dari BBNKB.
|
||||
(2)
|
Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di wilayah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
|||||
(1)
|
Wajib pajak Opsen BBNKB merupakan wajib BBNKB
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bersamaan dengan pemungutan BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
|||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen)
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
|||||
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
|||||
(1)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB yang dikenakan atas Pajak terutang dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
|||||
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 75 |
|||||
(1)
|
Saat terutangnya Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) satu kurun waktu tertentu, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
|
||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak dan Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 76 |
|||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
||||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
||||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
|||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
|||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
|||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
BAB IV
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 77 |
|||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 78 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a meliputi:
|
||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
|||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
|||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
|||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
(4)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
|||||
(1)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah;dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(3)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan Keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
|||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
|||||
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang memiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
|||||
(1)
|
Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
|
||||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
|||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemrosesan akhir sampah;
|
|||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
|||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
|||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari Pelayanan Kebersihan yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
|||||
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
|||||
Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf d yaitu penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
|||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir;dan
|
|||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
|||
(3)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama tiga (3) tahun sekali.
|
||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jalan Umum.
|
||||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 88 |
|||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b meliputi:
|
||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
|||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
|||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
|||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
|||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
|||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
|||
|
h.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
|||
|
i.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
|||
|
j.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan BLUD.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan Keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diundangkan.
|
||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD dan pihak swasta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
|||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
|||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
|||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
||||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
|||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
|||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
|||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
|||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
|||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
|||||
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
|||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
|||||
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf j termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan:
|
||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar, grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya.
|
|||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
|||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
|||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian rumah potong hewan;
|
|||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhanan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
|||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
|||
|
h.
|
pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air;
|
|||
|
i.
|
penjualan produksi usaha daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
|||
|
j.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(3)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
|||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
|||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur,
|
|||
|
bentuk pemanfaatan aset barang milik Daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
(4)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
||||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Tata cara penghitungan besaran tarif pelayanan pemanfaatan barang milik Daerah ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
besaran tarif sewa barang milik Daerah berupa hasil perkalian dari tarif pokok sewa dan faktor penyesuaian sewa;
|
|||
|
b.
|
hasil kerja sama pemanfaatan berupa pendapatan Daerah yang terdiri atas kontribusi tetap dan pembagian keuntungan ditetapkan oleh Tim berdasarkan hasil perhitungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
c.
|
hasil bangun guna serah/bangun serah guna berupa kontribusi tahunan yang merupakan pendapatan Daerah dihitung oleh Tim yang dibentuk oleh Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
|||
|
d.
|
besaran pendapatan Daerah dari kerja sama penyediaan infrastruktur berupa pembagian kelebihan keuntungan (clawback) dihitung berdasarkan hasil kajian oleh Tim KSPI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 103 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c meliputi:
|
||||
|
a.
|
Persetujuan Bangunan Gedung;dan
|
|||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Dikecualikan dari obyek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
|||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
|||||
(1)
|
Pelayanan pemberian izin Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung, inspeksi bangunan gedung, penerbitan Sertifikat Laik Fungsi dan SBKBG, serta pencetakan Sertifikat Laik Fungsi.
|
||||
(3)
|
Penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||
|
a.
|
pembangunan baru;
|
|||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki Persetujuan Bangunan Gedung dan/atau Sertifikat Laik Fungsi;
|
|||
|
c.
|
Persetujuan Bangunan Gedung perubahan untuk:
|
|||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau Kesehatan;
|
||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di Kawasan cagar budaya.
|
||
|
d.
|
Persetujuan Bangunan Gedung perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
|||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
|||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, instansi Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan; dan
|
|||
(3)
|
Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||
|
|
1.
|
luas total lantai;
|
||
|
|
2.
|
indeks Lokalitas;
|
||
|
|
3.
|
indeks terintegrasi; dan
|
||
|
|
4.
|
indeks Bangunan Gedung Terbangun;
|
||
|
b.
|
formula untuk prasarana Bangunan Gedung meliputi:
|
|||
|
|
1.
|
volume;
|
||
|
|
2.
|
indeks prasarana Bangunan Gedung; dan
|
||
|
|
3.
|
indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
||
|
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
||||
(3)
|
Pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan memperhatikan pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
|
||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung dengan harga satuan Retribusi Persetujuan Bangun Gedung.
|
||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
standar harga satuan tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
|
|||
|
b.
|
harga satuan Retribusi prasarana Bangunan Gedung untuk prasarana Bangunan Gedung
|
|||
(4)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
||||
(5)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
||||
(6)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||
(9)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), khusus layanan Persetujuan Bangunan Gedung hanya terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan indeks lokalitas.
|
||||
(10)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus layanan penggunaan tenaga kerja asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
||||
(11)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), ayat (9), dan ayat (10) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 110 |
|||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB V
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Pasal 111 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Wajib mendaftarkan diri dan/atau objek pajaknya kepada bupati atau Pejabat yang ditunjuk menggunakan:
|
||||
|
a.
|
surat pendaftaran objek pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e; dan
|
|||
|
b.
|
SPOP untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
|
||||
(3)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau obyek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data obyek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis obyek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
|
||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
|
||||
(5)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
||||
(6)
|
Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
|
||||
(7)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
|
||||
(8)
|
Utang pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan Keberatan, dan putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 111 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
||||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak
|
||||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
|
||||
(4)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
||||
(5)
|
Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan:
|
||||
|
a.
|
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) bagi Wajib Pajak orang pribadi; dan
|
|||
|
b.
|
sebesar Rp200.000,00 (seratus ribu rupiah) bagi Wajib Pajak Badan.
|
|||
(6)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
||||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
||||
|
a.
|
bencana alam;
|
|||
|
b.
|
kebakaran;
|
|||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
|||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
|||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 113 |
|||||
(1)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerjasama atau menunjuk pihak ketiga dalam melakukan pemungutan Retribusi.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 114 |
|||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
||||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
||||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
|||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
|||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
||||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
||||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
||||
(7)
|
Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
|||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
||||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
|||
|
b.
|
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
|||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
||||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
||||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
Pasal 116 |
|||||
(1)
|
Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
||||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
||||
(5)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
||||
(6)
|
Penetapan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal Pemerintah Daerah.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 117 |
|||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
||||
(2)
|
Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(3)
|
Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMERIKSAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 118 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan Retribusi Daerah dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
||||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakn sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
|||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang bayar; atau
|
|||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VII
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Pasal 119 |
|||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya.
|
||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
|||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
|||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
|||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
|||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
|||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
|
||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 120 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
||||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
||||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
||||
(4)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru hara, dan/atau kerusuhan.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak/Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 121 |
|||||
(1)
|
Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak berupa:
|
||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak;dan/atau
|
|||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang Pajak.
|
|||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam Keputusan Bupati.
|
||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
||||
(7)
|
Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lama penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak
|
|||
|
b.
|
Menyetujui sebagian Pajak dan/atau masa angsuran atau lama penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
|||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
||||
|
a.
|
bencana alam;
|
|||
|
b.
|
kebakaran
|
|||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
|||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
|||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
|
|||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 122 |
|||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
|||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
|
|||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IX
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 123 |
|||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB X
SISTEM INFORMASI
Pasal 124 |
|||||
(1)
|
Penanganan Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
||||
|
a.
|
Kebijakan makro ekonomi daerah; dan
|
|||
|
b.
|
Potensi Pajak dan Retribusi
|
|||
(2)
|
Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan dan daya saing Daerah.
|
||||
(3)
|
Potensi Pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek Pajak dan Retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 125 |
|||||
(1)
|
Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendapatan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
|
||||
(2)
|
Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data Pajak dan retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan daerah lainya.
|
||||
(3)
|
Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak dan retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XI
SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 126 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
|
||||
(2)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainya.
|
||||
(3)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
|
||||
|
a.
|
pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
b.
|
penanganan piutang Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
c.
|
melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
d.
|
optimalisasi pelaksanaan opsen Pajak;
|
|||
|
e.
|
pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
f.
|
penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
|
|||
|
g.
|
mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
|
|||
|
h.
|
pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektifitas pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
i.
|
pelaksanaan kerja sama teknis;
|
|||
|
j.
|
pertukaran data dan informasi;
|
|||
|
k.
|
hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 127 |
|||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas;
|
||||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
|||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
|
|||
|
c.
|
Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 128 |
|||||
(1)
|
Pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Bupati.
|
||||
(2)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Darah meliputi:
|
||||
|
a.
|
koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
b.
|
penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
c.
|
perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
|
|||
(3)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XIII
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Pidana
Pasal 129 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 130 |
|||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 131 |
|||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 132 |
|||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 133 |
|||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, Pasal 131, dan Pasal 132 merupakan pendapatan negara.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 134 |
|||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
||||
(2)
|
Besaran sanksi administratif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri atas jumlah Pajak yang kurang bayar.
|
||||
(3)
|
Besaran sanksi administratif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri atas jumlah Retribusi yang kurang bayar.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 135 |
|||||
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 136 |
|||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 123 hanya dapat dilaksanakan sampai dengan berlakunya peraturan mengenai penghasilan aparatur sipil Negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 137 |
|||||
(1)
|
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada tanggal 5 januari 2025.
|
||||
(2)
|
Khusus ketentuan mengenai Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diatur dalam Perda yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai tanggal 4 Januari 2025.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 138 |
|||||
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku:
|
|||||
a.
|
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1999 tentang Retribusi Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara Nomor 7 Tahun 1999 Seri B Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1999 tentang Retribusi Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2009 Nomor 6);
|
||||
b.
|
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2001 Nomor 8);
|
||||
c.
|
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 6) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2018 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 3);
|
||||
d.
|
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 8);
|
||||
e.
|
Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2010 Nomor 20, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 20);
|
||||
f.
|
Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 21) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2019 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 6):
|
||||
g.
|
Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Rekreasi (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Rekreasi (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2019 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 5);
|
||||
h.
|
Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2017 (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2017 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 13);
|
||||
i.
|
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 7.) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2017 Nomor 19, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 14);
|
||||
j.
|
Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2011 Nomor 21, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 18);
|
||||
k.
|
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2012 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 10);
|
||||
l.
|
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 10);
|
||||
m.
|
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2016 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 7);
|
||||
n.
|
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2018 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 5);
|
||||
o.
|
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Retribusi Daerah Bidang Perhubungan (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2020 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 1);
|
||||
p.
|
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Retribusi Pelayanan Pasar Rakyat (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2021 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 5);
|
||||
q.
|
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 4);
|
||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 139 |
|||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jepara.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jepara
Pada tanggal 5 Januari 2024
Pj. BUPATI JEPARA,
ttd.
EDY SUPRIYANTA
Diundangkan di Jepara
Pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN JEPARA,
ttd.
EDY SUJATMIKO
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEPARA TAHUN 2024 NOMOR 1
|
|||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat dan pembinaan kemasyarakatan di Daerah, dibutuhkan ketersediaan beberapa sumber daya keuangan. Sumber daya keuangan yang cukup memberi kontribusi bagi daerah yaitu dengan melakukan pungutan kepada orang atau badan hukum, baik berupa Pajak Daerah atau Retribusi Daerah.
Berdasarkan Pasal 286 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang, yang dalam pelaksanaan pemungutannya di Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Kemudian, berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, diatur bahwa pengaturan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Bahkan ditegaskan pula bahwa materi muatan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berupa: jenis Pajak dan Retribusi, subjek Pajak dan wajib Pajak, subjek Retribusi dan wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, Pemerintah Kabupaten Jepara membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai dasar dalam melakukan tindakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sekaligus untuk menggantikan beberapa Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang selama ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan lama terkait Pajak dan Retribusi Daerah.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Objek PBB-P2 berupa Bangunan adalah:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan “kenaikan NJOP hasil penilaian” yaitu dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan “bentuk pemanfaatan objek pajak” yaitu objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan “klasterisasi NJOP dalam satu daerah”, misalnya dengan menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Harga transaksi untuk jual beli dibuktikan antara lain dengan kuitansi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Nilai Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Contoh Penghitungan:
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 93
Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang milik daerah” adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi OPD dan/atau optimalisasi barang milik daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas,
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1
|