Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES
NOMOR 6 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BREBES,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang penting guna mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
|
|||
b.
|
bahwa dalam rangka optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Brebes, perlu pedoman yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah;
|
|||
c.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||
d.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
|
|||
e.
|
bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah Kabupaten Brebes sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah, sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini sehingga perlu dicabut;
|
|||
f.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 42);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
|
|||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BREBES
dan
BUPATI BREBES
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah adalah Kabupaten Brebes.
|
|||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||
3.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
|||
4.
|
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
5.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
6.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||
7.
|
Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||
8.
|
Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
|
|||
9.
|
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||
10.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||
11.
|
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
|
|||
12.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||
13.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
|
|||
14.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||
15.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||
16.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||
17.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||
18.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
|
|||
19.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
20.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten.
|
|||
21.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
|
|||
22.
|
Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||
23.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||
24.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
25.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
|
|||
26.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||
27.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||
28.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||
29.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||
30.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
31.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
32.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
33.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
|
|||
34.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
35.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
36.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada Masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||
Jenis Pajak yang dipungut oleh daerah terdiri atas:
|
||||
a.
|
PBB-P2.
|
|||
b.
|
BPHTB.
|
|||
c.
|
PBJT atas:
|
|||
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
||
|
2.
|
tenaga listrik;
|
||
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
||
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
||
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
||
d.
|
Pajak Reklame.
|
|||
e.
|
PAT.
|
|||
f.
|
Pajak MBLB.
|
|||
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
|||
h.
|
Opsen PKB.
|
|||
i.
|
Opsen BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
c.
|
PAT;
|
||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
BPHTB.
|
||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
|
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan;
|
|
|
c.
|
Pajak MBLB.
|
||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
|
||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
|
|||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah.
|
||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
|
|||
(2)
|
Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
|
|||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||
(4)
|
PBB-P2 terutang dipungut di Wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
|
||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|
|
|
3.
|
hibah;
|
|
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|
|
|
5.
|
waris;
|
|
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
|
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
hak milik;
|
||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||
|
c.
|
hak guna bangunan
|
||
|
d.
|
hak pakai;
|
||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
|
||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen). | ||||
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
|||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||
(4)
|
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(2)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(3)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(4)
|
Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Kepala Daerah dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(2)
|
Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
|
||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 18 |
||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) per tahun;
|
||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||
|
a.
|
hotel;
|
||
|
b.
|
hostel;
|
||
|
c.
|
vila;
|
||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||
|
e.
|
motel;
|
||
|
f.
|
losmen;
|
||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||
|
k.
|
glamping.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
|
|||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||
|
e.
|
pameran;
|
||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan
|
||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
||
(2)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||
(2)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
||
(3)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Berdasarkan nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
|
|||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||
|
a.
|
untuk konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
||
|
b.
|
untuk konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
(3)
|
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
|||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||
(3)
|
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penyelenggaraan reklame.
|
|||
(4)
|
Khusus untuk reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pajak PAT
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
peternakan rakyat; dan
|
||
|
e.
|
keperluan keagamaan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||
(3)
|
Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak MBLB
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|||
|
a.
|
asbes;
|
||
|
b.
|
batu tulis;
|
||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||
|
d.
|
batu kapur;
|
||
|
e.
|
batu apung;
|
||
|
f.
|
batu permata;
|
||
|
g.
|
bentonit;
|
||
|
h.
|
dolomit;
|
||
|
i.
|
feldspar;
|
||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||
|
k.
|
grafit;
|
||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||
|
m.
|
gips;
|
||
|
n.
|
kalsit;
|
||
|
o.
|
kaolin;
|
||
|
p.
|
leusit;
|
||
|
q.
|
magnesit;
|
||
|
r.
|
mika;
|
||
|
s.
|
marmer;
|
||
|
t.
|
nitrat;
|
||
|
u.
|
obsidian;
|
||
|
v.
|
oker;
|
||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||
|
y.
|
perlit;
|
||
|
z.
|
fosfat;
|
||
|
aa.
|
talk;
|
||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
||
|
ff.
|
tras;
|
||
|
gg.
|
yarosit;
|
||
|
hh.
|
zeolit;
|
||
|
ii.
|
basal;
|
||
|
jj.
|
trakhit;
|
||
|
kk.
|
belerang;
|
||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB, meliputi pengambilan MBLB:
|
|||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
|
||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
|||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
|||
(3)
|
Pajak MBLB yang terutang Dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual Sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||
(3)
|
Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen PKB
Pasal 49 |
||||
Opsen PKB dikenakan atas pajak terutang dari PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||
(3)
|
Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Opsen BBNKB
Pasal 54 |
||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 57.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||
(3)
|
Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam Bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), kecuali untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a.
|
|||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Masa Pajak dan tahun Pajak ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik penerangan jalan umum.
|
|||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
|||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 61 |
||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 62 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum meliputi:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
|
||
|
d.
|
pelayanan pasar; dan
|
||
|
e.
|
pengendalian lalu lintas.
|
||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dengan Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
(1)
|
Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna kendaraan bermotor.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dengan Peraturan Bupati berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir;
|
||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar; dan
|
||
|
e.
|
pengendalian lalu lintas diukur berdasarkan lokasi ruas jalan tempat pemberian layanan, waktu penggunaan layanan, dan/atau jenis Kendaraan Bermotor.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
|
||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
h.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
||
|
i.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
j.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atau pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dengan Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhan pada pelabuhan dan pelayanan kepelabuhan perikanan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf j termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; dan
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||
(3)
|
Pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
|
||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
h.
|
pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air;
|
||
|
i.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||
|
j.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2), besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(4)
|
Tata cara penghitungan tarif dan nilai Retribusi Jasa Usaha terutang atas pelayanan pemanfaatan asset daerah ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Nilai Retribusi terutang dari sewa hitung berdasarkan perkalian antara tarif pokok sewa dan factor penyesuai sewa;
|
||
|
b.
|
Nilai Retribusi terutang dari KSP yang terdiri atas kontribusi tetap dan pembagian keuntungan ditetapkan oleh Bupati;
|
||
|
c.
|
Nilai Retribusi terutang dari hasil BGS/BSG berupa kontribusi tahunan dihitung oleh Tim yang dibentuk oleh Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
||
|
d.
|
Nilai Retribusi terutang dari kerja sama penyediaan infrastruktur berupa pembagian kelebihan keuntungan (clawback) ditetapkan oleh Bupati dengan mempertimbangkan hasil kajian dari Tim KSPI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(5)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) dan tata cara perhitungan besaran Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset daerah dan penetapan tarifnya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat ditetapkan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||
(9)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
|||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
|
||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
|
||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
|
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
|
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Volume;
|
|
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
|
|
|
3.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
(3)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1), biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
|||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
||
(4)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||
(5)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||
(6)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(7)
|
Peninjauan Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
(9)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran SHST dan/atau Indeks Lokalitas.
|
|||
(10)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
(11)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
|||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
|
|||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
|||
(5)
|
Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
|
|||
(6)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
|||
(7)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||
(8)
|
Dalam rangka efektifitas dan efisiensi pemungutan pajak harus menggunakan e-pajak.
|
|||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||
(3)
|
Dalam rangka efektifitas dan efisiensi pemungutan retribusi harus menggunakan e-retribusi.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 94 |
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
|||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||
(7)
|
Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
|||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||
|
b.
|
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
|||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penghapusan Piutang Pajak Dan Retribusi
Pasal 96 |
||||
(1)
|
Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||
(5)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) atau ayat (2), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
|||
(6)
|
Penetapan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah Daerah.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||
(2)
|
Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Pasal 98 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada dewan perwakilan rakyat daerah.
|
|||
(5)
|
Pemberitahuan kepada dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 100 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 101 |
||||
(1)
|
Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan.
|
|||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||
(5)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
|
|||
|
a.
|
pelaksanaan Penagihan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan; dan
|
||
|
b.
|
hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal daerah.
|
||
(6)
|
Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||
(2)
|
Penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 103 |
||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan, dan kerja sama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan, dan pihak lainnya.
|
|||
(3)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
|
|||
|
a.
|
pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
b.
|
penanganan piutang Pajak dan Retribusi;
|
||
|
c.
|
melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi Pajak dan Retribusi;
|
||
|
d.
|
optimalisasi pelaksanaan opsen Pajak;
|
||
|
e.
|
pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
|
||
|
f.
|
penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
|
||
|
g.
|
mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
|
||
|
h.
|
pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektifitas pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
i.
|
pelaksanaan Kerjasama teknis;
|
||
|
j.
|
pertukaran data dan informasi; dan
|
||
|
k.
|
hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan, dan Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
|
|||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
|
||
|
c.
|
Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 105 |
||||
(1)
|
Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Bupati.
|
|||
(2)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
|
|||
|
a.
|
koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
b.
|
penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi; dan
|
||
|
c.
|
perencanaan, pemantauan, dan evaluasi.
|
||
(3)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan Daerah.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
SISTEM INFORMASI
Pasal 106 |
||||
(1)
|
Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
|||
|
a.
|
Kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
|
||
|
b.
|
Potensi Pajak dan Retribusi.
|
||
(2)
|
Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
|
|||
(3)
|
Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek Pajak dan Retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
||||
(1)
|
Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya.
|
|||
(3)
|
Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak dan Retribusi Terintegrasi.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
PEMERIKSAAN PAJAK
Pasal 108 |
||||
(1)
|
Bupati atau pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
||
|
b.
|
Terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang bayar; atau
|
||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis resiko.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 109 |
||||
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Pajak dan Retribusi Daerah;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah;
|
||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana Pajak dan Retribusi Daerah;
|
||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 110 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, dan Pasal 112 merupakan pendapatan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XIV
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 115 |
||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi Insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai Insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116 |
||||
(1)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 117 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah kabupaten Brebes Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah Kabupaten Brebes (Lembaran Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2010 Nomor 23) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah Kabupaten Brebes (Lembaran Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2018 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Brebes Nomor 7); dan
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah kabupaten Brebes Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2021 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Brebes Nomor 4);
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 118 |
||||
Peraturan Pelaksana dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 119 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Brebes.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Brebes
pada tanggal 18 Desember 2023
Pj. BUPATI BREBES,
ttd.
IWANUDDIN ISKANDAR
|
||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES
NOMOR 6 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
I.
|
UMUM
|
||
|
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Kota Brebes mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan tersebut, diperlukan sumber-sumber pembiayaan yang salah satunya adalah dengan pajak daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah dititik beratkan pada Daerah dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan (urusan) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, kabupaten mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.
Sumber pembiayaan yang paling penting adalah sumber pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli Daerah) di mana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah. Hasil penerimaan Pajak Daerah diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat. Dalam banyak hal, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, berdasarkan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang baru daerah diberi peluang untuk mengenakan pungutan yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Daerah.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan perkembangan keadaan dan pelaksanaan desentralisasi fiskal serta berlakunya, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Kabupaten Brebes. Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif. Di pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada Daerah untuk menetapkan jenis pajak baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
|
||
|
|
|
|
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
|
||
|
|
|
|
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 6
|