Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR
NOMOR 11 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BOGOR,
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||
a.
|
bahwa sesuai ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
||||
b.
|
bahwa sesuai ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi di Daerah;
|
||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
|||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31);
|
||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
||||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
||||
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BOGOR
dan
BUPATI BOGOR
|
|||||
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||||
Menetapkan |
|||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
|||||
1.
|
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
||||
2.
|
Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Provinsi adalah Daerah Provinsi Jawa Barat.
|
||||
3.
|
Gubernur adalah Gubernur Jawa Barat.
|
||||
4.
|
Daerah Kabupaten, yang selanjutnya disebut Daerah adalah Daerah Kabupaten Bogor.
|
||||
5.
|
Pemerintah Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
||||
6.
|
Bupati adalah Bupati Bogor.
|
||||
7.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
||||
8.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Pajak Daerah atau Retribusi Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
||||
9.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
||||
10.
|
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
||||
11.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
||||
12.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
13.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.
|
||||
14.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
||||
15.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
||||
16.
|
Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
||||
17.
|
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOPTKP adalah batas Nilai Jual Objek Pajak yang tidak kena pajak.
|
||||
18.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
||||
19.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
20.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang Pertanahan dan Bangunan.
|
||||
21.
|
Nilai Perolehan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NPOP adalah harga transaksi perolehan Objek Pajak.
|
||||
22.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu, yang selanjutnya disingkat PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
||||
23.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
||||
24.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui pesanan oleh restoran.
|
||||
25.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
|
||||
26.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
||||
27.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan dan/atau fasilitas lainnya.
|
||||
28.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
||||
29.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
||||
30.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
||||
31.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
||||
32.
|
Pajak Air Tanah, yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||
33.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
||||
34.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
||||
35.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan, yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
||||
36.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
||||
37.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
||||
38.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
39.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
40.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh Provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
41.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||
42.
|
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
43.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
||||
44.
|
Nomor Objek Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas Objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
||||
45.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
|
||||
46.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak terutang.
|
||||
47.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Subjek dan Objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
48.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut SPTPD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
49.
|
Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
|
||||
50.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
||||
51.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
||||
52.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
||||
53.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
|
||||
54.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
||||
55.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||
56.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah Surat Keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
||||
57.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah Surat Keputusan Keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
||||
58.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
||||
59.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
||||
60.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
||||
61.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
62.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
||||
63.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
||||
64.
|
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
||||
65.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
||||
66.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
||||
67.
|
Badan Layanan Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan Keuangan Daerah pada umumnya.
|
||||
68.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
69.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
||||
70.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
||||
71.
|
Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
|
||||
72.
|
Persetujuan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
||||
73.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
||||
74.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
|
||||
75.
|
Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
||||
76.
|
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
|
||||
77.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
||||
78.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||
79.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
||||
80.
|
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
|
||||
81.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
|
||||
82.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
||||
83.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
|
||||
84.
|
Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
|||||
(1)
|
Jenis pajak terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
|||
|
b.
|
BPHTB;
|
|||
|
c.
|
PBJT atas:
|
|||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau minuman;
|
||
|
|
2.
|
Tenaga listrik;
|
||
|
|
3.
|
Jasa perhotelan;
|
||
|
|
4.
|
Jasa parkir; dan
|
||
|
|
5.
|
Jasa kesenian dan hiburan.
|
||
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||
|
e.
|
PAT;
|
|||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||
|
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
|||
|
h.
|
Opsen PKB; dan
|
|||
|
i.
|
Opsen BBNKB.
|
|||
(2)
|
Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan huruf i, dipungut oleh Daerah.
|
||||
(3)
|
Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak dipungut oleh Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
|||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
|||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
|||
|
c.
|
PAT;
|
|||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
|||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
|||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
BPHTB;
|
|||
|
b.
|
PBJT atas:
|
|||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
||
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
|
c.
|
Pajak MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 4 |
|||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengerukan.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
|||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
|||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
|||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
|||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
|||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
|
|||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
||||
(3)
|
NJOPTKP sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu Objek PBB-P2, NJOPTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu Objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk Objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
|
||||
(2)
|
Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok Objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
|
||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
|||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan Objek Pajak; dan/atau
|
|||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar 0,15% (nol koma satu lima persen).
|
||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||
(3)
|
Tarif PBB-P2 untuk NJOP di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar 0,1% (nol koma satu persen).
|
||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebesar 0,15% (nol koma satu lima persen).
|
||||
(3)
|
Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak untuk NJOP di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9.
|
||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan sejak terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
||||
(3)
|
Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
||||
(4)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan Objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
||||
(5)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak Objek PBB-P2.
|
||||
(6)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada pada:
|
||||
|
a.
|
perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
|||
|
b.
|
Bangunan yang berada di perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 11 |
|||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
|||
|
|
1.
|
jual beli;
|
||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
||
|
|
3.
|
hibah;
|
||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
||
|
|
5.
|
waris;
|
||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
||
|
|
8.
|
penunjukkan pembeli dalam lelang;
|
||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
|
||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
||
|
|
13.
|
hadiah.
|
||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
|||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
||
|
|
2.
|
diluar pelepasan hak.
|
||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
hak milik;
|
|||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
|||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
|||
|
d.
|
hak pakai;
|
|||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
|||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
|||
(4)
|
Dikecualikan dari Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
||||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
|
|||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
|||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
|||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
|||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
|||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
|||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
|
||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan NPOP.
|
||||
(2)
|
NPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
|||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
|||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
|||
(3)
|
Dalam hal NPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
||||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
||||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
|||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
|||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan;
|
|||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
|||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya Surat Keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya Surat Keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak; atau
|
|||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
|||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
||||
(4)
|
BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||
(5)
|
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
|||||
Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan Objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan Objek BPHTB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pajak Barang dan Jasa Tertentu
Pasal 17 |
|||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
|||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
|||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
|||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
|||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan makanan/minuman:
|
||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan pada saat pengukuhan sebagai Wajib Pajak;
|
|||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
|||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
|||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
|
|||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
|||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
|||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
|||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat atau pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
||||
|
a.
|
hotel;
|
|||
|
b.
|
hostel;
|
|||
|
c.
|
vila;
|
|||
|
d.
|
pondok wisata;
|
|||
|
e.
|
motel;
|
|||
|
f.
|
losmen;
|
|||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
|||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
|||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
|||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
|||
|
k.
|
glamping.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
|
|||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
|||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
|||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
|||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d meliputi:
|
||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
|||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
|
|||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
|||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
|
|||
|
d.
|
penyelenggaraan tempat parkir dalam kegiatan sosial keagamaan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penyelenggaraan tempat parkir di lahan milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang dikelola oleh pihak lain atau dikerjasamakan dengan pihak lain, maka penyelenggaraan tempat parkir tersebut termasuk Objek Pajak Parkir.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e meliputi:
|
||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung pada suatu lokasi tertentu;
|
|||
|
b.
|
pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
|||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
|||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
|||
|
e.
|
pameran;
|
|||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
|||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
|||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
|||
|
i.
|
olah raga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
|||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
|||
|
k.
|
panti pijat, pijat refleksi; dan
|
|||
|
l.
|
diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
|||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
|||
|
c.
|
pameran yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
|||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
|||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
|||
|
b.
|
jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
|
|||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
|||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
|||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
|||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di Daerah.
|
|||
(4)
|
Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
|||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh:
|
|||
|
|
1.
|
rumah tangga:
|
||
|
|
|
a)
|
daya listrik 450 VA sampai dengan 1.300 VA ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
|
|
|
|
|
b)
|
daya listrik di atas 1.300 VA sampai dengan 5.500 VA ditetapkan sebesar 5% (lima persen); dan
|
|
|
|
|
c)
|
daya listrik di atas 5.500 VA ditetapkan sebesar 6% (enam persen).
|
|
|
|
2.
|
bisnis:
|
||
|
|
|
a)
|
daya listrik sampai dengan 5.500 VA dtetapkan sebesar 4% (empat persen);
|
|
|
|
|
b)
|
daya listrik 6.600 VA sampai dengan 200 kVA ditetapkan sebesar 5% (lima persen); dan
|
|
|
|
|
c)
|
daya listrik di atas 200 kVA ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen).
|
|
|
|
3.
|
sosial:
|
||
|
|
|
a)
|
daya listrik 450 VA sampai dengan 200 kVA ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
|
|
|
|
b)
|
daya listrik di atas 200 kVA ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|
|
|
4.
|
industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen).
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
|||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
|
||||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
||||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 28 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame meliputi:
|
||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
|||
|
b.
|
Reklame kain;
|
|||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
|||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
|||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
|||
|
f.
|
Reklame udara;
|
|||
|
g.
|
Reklame apung;
|
|||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
|||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek Pajak Reklame adalah:
|
||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
|||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
|||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
|||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
|
|||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
||||
(3)
|
Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan memperhatikan faktor:
|
||||
|
a.
|
jenis;
|
|||
|
b.
|
bahan yang digunakan;
|
|||
|
c.
|
lokasi penempatan;
|
|||
|
d.
|
waktu penayangan;
|
|||
|
e.
|
jangka waktu penyelenggaraan;
|
|||
|
f.
|
jumlah; dan
|
|||
|
g.
|
ukuran media Reklame.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||
(5)
|
Perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
|||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
|
||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
|
||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
|
||||
(4)
|
Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pajak Air Tanah
Pasal 33 |
|||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Dikecualikan dari Objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
|||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
|||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
|||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
|||
|
e.
|
keperluan keagamaan;
|
|||
|
f.
|
konservasi serta penelitian guna pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak akan dikomersilkan dan tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air beserta lingkungannya; dan
|
|||
|
g.
|
kegiatan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
|||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
||||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
||||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
|||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
|||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
|||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
|||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
|||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
|||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Daerah diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
|||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
|
||||
(2)
|
PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
(3)
|
Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 38 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
||||
|
a.
|
asbes;
|
|||
|
b.
|
batu tulis;
|
|||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
|||
|
d.
|
batu kapur;
|
|||
|
e.
|
batu apung;
|
|||
|
f.
|
batu permata;
|
|||
|
g.
|
bentonit;
|
|||
|
h.
|
dolomit;
|
|||
|
i.
|
feldspar;
|
|||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
|||
|
k.
|
grafit;
|
|||
|
l.
|
granit/andesit;
|
|||
|
m.
|
gips;
|
|||
|
n.
|
kalsit;
|
|||
|
o.
|
kaolin;
|
|||
|
p.
|
leusit;
|
|||
|
q.
|
magnesit;
|
|||
|
r.
|
mika;
|
|||
|
s.
|
marmer;
|
|||
|
t.
|
nitrat;
|
|||
|
u.
|
obsidian;
|
|||
|
v.
|
oker;
|
|||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
|||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
|||
|
y.
|
perlit;
|
|||
|
z.
|
fosfat;
|
|||
|
aa.
|
talk;
|
|||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
|||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
|||
|
dd.
|
tanah liat;
|
|||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
|||
|
ff.
|
tras;
|
|||
|
gg.
|
yarosit;
|
|||
|
hh.
|
zeolit;
|
|||
|
ii.
|
basal;
|
|||
|
jj.
|
trakhit;
|
|||
|
kk.
|
belerang;
|
|||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
|||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Objek Pajak MBLB, meliputi pengambilan MBLB:
|
||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjual belikan/dipindahtangankan;
|
|||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan/atau
|
|||
|
c.
|
untuk keperluan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
|||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 13% (tiga belas persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
|
||||
(2)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 43 |
|||||
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
|||||
Dasar pengenaan Opsen PKB adalah PKB terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
|||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
|
||||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 48 |
|||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
|||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
|||||
Tarif Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.
|
||||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pemungutan Pajak
Paragraf 1
Pendaftaran dan Pendataan
Pasal 53 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib mendaftarkan diri dan/atau Objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan:
|
||||
|
a.
|
surat pendaftaran Objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e; dan
|
|||
|
b.
|
SPOP untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau Objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
|
||||
(3)
|
Atas pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
|
||||
(4)
|
Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran Objek Pajak.
|
||||
(5)
|
NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan Nomor Induk Kependudukan.
|
||||
(6)
|
NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan Nomor Induk Berusaha.
|
||||
(7)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
|
||||
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan Objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data Objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis Objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
||||
(2)
|
Khusus PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
|||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
|
||||
(2)
|
Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
||||
(3)
|
Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
|
||||
(4)
|
Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
|
||||
|
a.
|
tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
|
|||
|
b.
|
tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
|||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 55 diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penilaian PBB-P2
Pasal 57 |
|||||
(1)
|
NJOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan oleh Bupati.
|
||||
(2)
|
Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk Objek PBB-P2 tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
|
||||
(3)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
|
||||
(4)
|
Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
|
||||
|
a.
|
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
|
|||
|
b.
|
nilai perolehan baru; atau
|
|||
|
c.
|
nilai jual pengganti.
|
|||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan proses penilaian.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penetapan Besaran Pajak Terutang
Pasal 58 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
|
||||
(3)
|
Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak.
|
||||
(4)
|
Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif.
|
||||
(5)
|
Penetapan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
||||
(6)
|
Untuk Opsen PKB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan PBB-P2 terutang berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SPPT.
|
||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal:
|
||||
|
a.
|
SPOP tidak disampaikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
|
|||
|
b.
|
berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pembayaran atau Penyetoran
Pasal 60 |
|||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD, SSPD BPHTB, SKPD, SPPT, atau dokumen lain.
|
||||
(3)
|
Bukti pembayaran berupa SSPD, STTS atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
||||
(4)
|
Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
||||
(5)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
||||
(6)
|
Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling lama:
|
||||
|
a.
|
1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1); dan
|
|||
|
b.
|
6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1).
|
|||
(7)
|
Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dan huruf c paling lama tanggal 10 (sepuluh) setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
||||
(8)
|
Dalam hal jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (7) jatuh pada hari libur, maka jatuh tempo pembayaran ditetapkan pada satu hari kerja setelah hari libur.
|
||||
(9)
|
Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan ayat (3) berdasarkan NPOP.
|
||||
(10)
|
Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
||||
|
a.
|
jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
|
|||
|
b.
|
jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
|
|||
(11)
|
Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Penelitian Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pasal 61 |
|||||
(1)
|
Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
|
||||
|
a.
|
kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NOPD yang tercantum:
|
|||
|
|
1.
|
dalam SPPT atau bukti pembayaran PBB-P2 lainnya; dan
|
||
|
|
2.
|
pada basis data PBB-P2.
|
||
|
b.
|
kesesuaian NJOP Bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bumi per meter persegi pada basis data PBB-P2;
|
|||
|
c.
|
kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP bangunan per meter persegi pada basis data PBB-P2;
|
|||
|
d.
|
kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi NPOP, NJOP, NJOPTKP, tarif, pengenaan atas Objek Pajak tertentu, BPHTB terutang atau yang harus dibayar;
|
|||
|
e.
|
kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; dan
|
|||
|
f.
|
kesesuaian kriteria Objek Pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian Objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
|
|||
(2)
|
Objek Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat.
|
||||
(3)
|
Kriteria pengecualian Objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f adalah untuk perolehan hak pertama atas tanah dan/atau bangunan dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
|
||||
(4)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
||||
(5)
|
Proses Penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat.
|
||||
(6)
|
Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pembukuan
Pasal 62 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
|
|||
|
b.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
|
|||
(2)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
||||
(3)
|
Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
|
||||
(4)
|
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
|
||||
(5)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pelaporan
Pasal 63 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
||||
(2)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
|
||||
(3)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu Masa Pajak.
|
||||
(4)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bupati setelah berakhirnya Masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
|
||||
(5)
|
Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
|
||||
(6)
|
SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berfungsi juga sebagai SPOP.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
|||||
(1)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilakukan setiap Masa Pajak dengan melampirkan dokumen atau data yang menjadi dasar perhitungan.
|
||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
|
||||
(3)
|
Berdasarkan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bupati menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama tanggal 15 (lima belas) setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
||||
(4)
|
Dalam hal jangka waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, maka jangka waktu penyampaian pelaporan ditetapkan pada satu hari kerja setelah hari libur.
|
||||
(5)
|
Ketentuan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), penentuan Masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
||||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap SPTPD.
|
||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
||||
(4)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||
|
a.
|
perang, penyerbuan, pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, wabah penyakit, perang saudara, tindakan Pemerintah dalam rangka kedaulatannya, gempa bumi, angin ribut, gelombang besar, banjir, atau setiap kekuatan-kekuatan alam yang tidak dapat dihindari dengan pandangan ke depan dan kemampuan yang wajar dari pihak yang terkena peristiwa tersebut, menghilangnya bahan-bahan konstruksi dan persediaan barang-barang yang diperlukan dari pasaran, pemogokan-pemogokan, penutupan pintu bagi buruh yang ingin bekerja (lockouts), atau kegaduhan perburuhan yang lain serta peristiwa-peristiwa diluar batas kewajaran dari pihak yang pelaksanaan kewajibannya terhambat oleh peristiwa keadaan kahar, kecuali kekurangan dana dan peristiwa-peristiwa lain yang dapat dihindari atau diatasi secara wajar oleh pandangan ke depan dan kemampuan yang lumrah dari pihak yang terkena; dan
|
|||
|
b.
|
perubahan kebijakan Pemerintah yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi pelaksanaan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
|
||||
(2)
|
Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
|
||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga.
|
||||
(4)
|
Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di atas dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah pajak yang kurang bayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(5)
|
Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang kurang dibayar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian atas SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).
|
||||
(2)
|
Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
|
|||
|
b.
|
kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
|
|||
|
c.
|
kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.
|
|||
(3)
|
Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan STPD.
|
||||
(4)
|
STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah pajak yang kurang bayar, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(5)
|
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak benar dari Wajib Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Pemeriksaan Pajak
Pasal 68 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan/atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
|||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; dan/atau
|
|||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
|||
(3)
|
Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan, meliputi:
|
||||
|
a.
|
pemberian NPWPD secara jabatan;
|
|||
|
b.
|
penghapusan NPWPD;
|
|||
|
c.
|
penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
|
|||
|
d.
|
pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
|
|||
|
e.
|
pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan menteri mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
|||||
(1)
|
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa meliputi:
|
||||
|
a.
|
memperlihatkan dan/atau meminjamkan dokumen pembukuan atau dokumen pencatatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan Objek Pajak yang terutang;
|
|||
|
b.
|
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
|
|||
|
c.
|
memberikan keterangan yang diperlukan.
|
|||
(2)
|
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, hak Wajib Pajak yang diperiksa meliputi:
|
||||
|
a.
|
meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
|
|||
|
b.
|
meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
|
|||
|
c.
|
menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak terutang ditetapkan secara jabatan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Ketetapan Pajak
Pasal 70 |
|||||
(1)
|
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
||||
(2)
|
SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68;
|
|||
|
b.
|
penghitungan secara jabatan karena:
|
|||
|
|
1.
|
Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dan telah ditegur secara tertulis namun tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
|
||
|
|
2.
|
Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban mengisi SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).
|
||
(3)
|
SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT.
|
||||
(4)
|
SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||||
Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 terdapat kelebihan pembayaran Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan SKPDLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
|||||
(1)
|
Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai dengan diterbitnya SKPDKB untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(2)
|
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
|
||||
|
a.
|
kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis pajak PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b; atau
|
|||
|
b.
|
kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud dalam huruf a.
|
|||
(3)
|
Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT.
|
||||
(4)
|
SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Penagihan Pajak
Pasal 73 |
|||||
(1)
|
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD.
|
||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam hal:
|
||||
|
a.
|
Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
|
|||
|
b.
|
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
|
|||
|
c.
|
Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
(3)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dalam hal:
|
||||
|
a.
|
Pajak terutang tidak atau kurang dibayar;
|
|||
|
b.
|
hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
|
|||
|
c.
|
SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
|
|||
|
d.
|
Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
(4)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(5)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari pajak yang tidak atau kurang bayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
|||||
(1)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
||||
(2)
|
Berdasarkan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pembayaran atau pelunasan yang belum jatuh tempo dapat dilakukan imbauan.
|
||||
(3)
|
Dalam hal Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) Bupati berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
|
||||
(2)
|
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
||||
|
a.
|
mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
|||
|
b.
|
menerbitkan:
|
|||
|
|
1.
|
surat teguran;
|
||
|
|
2.
|
surat perintah penagihan seketika dan sekaligus;
|
||
|
|
3.
|
surat paksa;
|
||
|
|
4.
|
surat perintah melaksanakan penyitaan;
|
||
|
|
5.
|
surat perintah penyanderaan;
|
||
|
|
6.
|
surat pencabutan sita;
|
||
|
|
7.
|
pengumuman lelang;
|
||
|
|
8.
|
surat penentuan harga limit;
|
||
|
|
9.
|
pembatalan lelang; dan
|
||
|
|
10.
|
surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.
|
||
(3)
|
Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
|||||
(1)
|
Tata cara Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) diawali dengan penerbitan Surat Teguran.
|
||||
(2)
|
Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak.
|
||||
(3)
|
Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajak, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa.
|
||||
(4)
|
Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran.
|
||||
(5)
|
Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran.
|
||||
(6)
|
Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
|
||||
(7)
|
Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 jam (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
|
||||
(8)
|
Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita.
|
||||
(9)
|
Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang.
|
||||
(10)
|
Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dilakukan penyitaan.
|
||||
(11)
|
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
|||||
Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus apabila:
|
|||||
a.
|
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
|
||||
b.
|
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
|
||||
c.
|
terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
|
||||
d.
|
badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
|
||||
e.
|
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
|||||
(1)
|
Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan itikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran minimal tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan.
|
||||
(2)
|
Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak.
|
||||
(3)
|
Pencegahan dan/atau penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
|||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penagihan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menangani urusan di bidang keuangan mengenai pedoman Penagihan Pajak.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 11
Kedaluwarsa Penagihan Pajak
Pasal 80 |
|||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), Pasal 37 ayat (3), Pasal 42 ayat (2), Pasal 47 ayat (2), dan Pasal 52 ayat (2), kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
||||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
||||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2):
|
||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
|||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
|||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa.
|
||||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
||||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
||||
(7)
|
Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 12
Penghapusan Piutang Pajak
Pasal 81 |
|||||
(1)
|
Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3).
|
||||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
||||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
||||
(5)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
|
||||
|
a.
|
pelaksanaan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1); dan
|
|||
|
b.
|
hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal.
|
|||
(6)
|
Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
Pasal 82 |
|||||
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat membetulkan STPD, SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
(2)
|
Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
|
||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
|
||||
(4)
|
Dalam rangka Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
|
||||
(5)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
|
||||
(6)
|
Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
|
||||
|
a.
|
mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau
|
|||
|
b.
|
membatalkan STPD atau membatalkan hasil Pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
|
|||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pasal 83 |
|||||
(1)
|
Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk, dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal pembayaran Pajak.
|
||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
||||
(3)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
||||
(4)
|
Apabila Wajib Pajak mempunyai Utang Pajak lainnya, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak lainnya.
|
||||
(5)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
|
||||
(6)
|
Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan kelebihan pembayaran Pajak.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Keberatan, Banding, dan Gugatan Pajak
Paragraf 1
Keberatan Pajak
Pasal 84 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
|
||||
(2)
|
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
|
||||
(3)
|
Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
|
||||
(4)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||
|
a.
|
perang, penyerbuan, pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, wabah penyakit, perang saudara, tindakan Pemerintah dalam rangka kedaulatannya, gempa bumi, angin ribut, gelombang besar, banjir, atau setiap kekuatan-kekuatan alam yang tidak dapat dihindari dengan pandangan ke depan dan kemampuan yang wajar dari pihak yang terkena peristiwa tersebut, menghilangnya bahan-bahan konstruksi dan persediaan barang-barang yang diperlukan dari pasaran, pemogokan-pemogokan, penutupan pintu bagi buruh yang ingin bekerja (lockouts), atau kegaduhan perburuhan yang lain serta peristiwa-peristiwa diluar batas kewajaran dari pihak yang pelaksanaan kewajibannya terhambat oleh peristiwa keadaan kahar, kecuali kekurangan dana dan peristiwa-peristiwa lain yang dapat dihindari atau diatasi secara wajar oleh pandangan ke depan dan kemampuan yang lumrah dari pihak yang terkena; dan
|
|||
|
b.
|
perubahan kebijakan Pemerintah yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi pelaksanaan.
|
|||
(5)
|
Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
|
||||
(6)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan.
|
||||
(7)
|
Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
|
||||
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
|
||||
(9)
|
Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1).
|
||||
(2)
|
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
||||
(3)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (7).
|
||||
(4)
|
Keputusan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
|
|||
|
b.
|
menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
|
|||
|
c.
|
menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam Surat Keputusan/Ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
|
|||
|
d.
|
menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam Surat Keputusan/Ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||
(5)
|
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
|||||
(1)
|
Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan yang ditetapkan oleh Bupati dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
|
||||
(3)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Banding
Pasal 87 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
|
||||
(2)
|
Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
|
||||
(3)
|
Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
|
||||
(4)
|
Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
|||||
(1)
|
Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari pajak yang lebih bayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
|
||||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) tidak dikenakan.
|
||||
(4)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Gugatan Pajak
Pasal 89 |
|||||
(1)
|
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
|
||||
|
a.
|
pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
|
|||
|
b.
|
keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
|
|||
|
c.
|
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2); dan
|
|||
|
d.
|
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,
|
|||
|
hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.
|
||||
(2)
|
Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pemungutan Opsen
Paragraf 1
Umum
Pasal 90 |
|||||
(1)
|
Opsen dikenakan atas pokok Pajak terutang dari:
|
||||
|
a.
|
PKB; dan
|
|||
|
b.
|
BBNKB.
|
|||
(2)
|
Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di wilayah Daerah.
|
||||
(3)
|
Besaran Pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 66% (enam puluh enam persen) dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 50.
|
||||
(4)
|
Pemungutan Opsen yang dikenakan atas Pokok Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB, dan BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penetapan, Pembayaran, dan Penyetoran Opsen Pajak Kendaraan Bermotor dan Opsen Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 91 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB dan Opsen BBNKB membayar Pajak terutang menggunakan SSPD berdasarkan SKPD.
|
||||
(2)
|
SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dokumen penetapan dan pembayaran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem administrasi manunggal satu atap kendaraan bermotor.
|
||||
(3)
|
Pembayaran Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke kas Daerah dilakukan bersamaan dengan pembayaran PKB dan BBNKB ke kas Daerah Provinsi.
|
||||
(4)
|
Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk penagihan sanksi administratif atas Opsen PKB dan/atau Opsen BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penghitungan, Pembayaran, dan Pelaporan Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 92 |
|||||
(1)
|
Penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Opsen Pajak MBLB terutang dilakukan bersamaan dengan penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Pajak MBLB.
|
||||
(2)
|
Pembayaran Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke kas Daerah Provinsi dilakukan bersamaan dengan pembayaran Pajak MBLB ke kas Daerah dalam SSPD pajak MBLB.
|
||||
(3)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, Bupati melakukan Penagihan.
|
||||
(4)
|
Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk penagihan sanksi administratif atas Opsen Pajak MBLB.
|
||||
(5)
|
Dalam hal Bupati telah menerima pembayaran atas Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati menyetorkan bagian Opsen Pajak MBLB ke kas Daerah Provinsi paling lama 3 (tiga) hari kerja.
|
||||
(6)
|
Pelaporan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam SPTPD Pajak MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Opsen Pajak Kendaraan Bermotor dan Opsen Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 93 |
|||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran PKB yang disebabkan oleh keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (4), dan/atau kelebihan pembayaran BBNKB kepada Gubernur, pengembalian kelebihan pembayaran PKB dan/atau BBNKB termasuk memperhitungkan pengembalian kelebihan pembayaran Opsen PKB dan/atau Opsen BBNKB.
|
||||
(2)
|
Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Gubernur menerbitkan SKPDLB PKB dan/atau SKPDLB BBNKB dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 83.
|
||||
(3)
|
Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada bupati, pada hari penerbitan atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB diterbitkan.
|
||||
(4)
|
Gubernur mengembalikan kelebihan pembayaran PKB dan Opsen PKB, atau BBNKB dan Opsen BBNKB kepada Wajib Pajak berdasarkan SKPDLB paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 94 |
|||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran Pajak MBLB kepada Bupati, pengembalian kelebihan pembayaran Pajak MBLB termasuk memperhitungkan pengembalian kelebihan pembayaran Opsen Pajak MBLB.
|
||||
(2)
|
Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Bupati menerbitkan SKPDLB Pajak MBLB dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 83.
|
||||
(3)
|
Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB diterbitkan.
|
||||
(4)
|
Gubernur menerbitkan SKPDLB Opsen Pajak MBLB berdasarkan SKPDLB Pajak MBLB, pada hari penerbitan atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima.
|
||||
(5)
|
Gubernur dan Bupati mengembalikan kelebihan pembayaran Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB kepada Wajib Pajak berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Sinergi Pemungutan Opsen
Pasal 95 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
|
||||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
|||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB.
|
|||
|
Pemerintah Provinsi bersinergi dengan Pemerintah Daerah.
|
||||
(2)
|
Dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, Pemerintah Daerah bersinergi dengan Pemerintah Provinsi.
|
||||
(3)
|
Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, Opsen BBNKB, Pajak MBLB, dan Opsen Pajak MBLB, atau bentuk sinergi lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
|||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen Pajak MBLB dan bentuk sinergi antara Daerah dan Provinsi dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada pemungutan Pajak MBLB, dan Opsen Pajak MBLB, diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data
Paragraf 1
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
Pasal 97 |
|||||
(1)
|
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dengan:
|
||||
|
a.
|
Pemerintah;
|
|||
|
b.
|
Pemerintah Daerah lain; dan/atau
|
|||
|
c.
|
pihak ketiga.
|
|||
(2)
|
Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
|
||||
|
a.
|
pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
b.
|
pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
c.
|
pemanfaatan program/kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
|
|||
|
d.
|
pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
|
|||
|
e.
|
peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur/sumber daya manusia di bidang perpajakan;
|
|||
|
f.
|
penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
|
|||
|
g.
|
bentuk kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
|
|||
(3)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
|
||||
(4)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
|||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat:
|
||||
|
a.
|
mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1); dan
|
|||
|
b.
|
menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
|
||||
(3)
|
Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Bupati bersama mitra kerja sama.
|
||||
(4)
|
Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
||||
|
a.
|
subjek kerja sama;
|
|||
|
b.
|
maksud dan tujuan;
|
|||
|
c.
|
ruang lingkup;
|
|||
|
d.
|
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
|
|||
|
e.
|
jangka waktu perjanjian;
|
|||
|
f.
|
sumber pembiayaan;
|
|||
|
g.
|
penyelesaian perselisihan;
|
|||
|
h.
|
sanksi;
|
|||
|
i.
|
korespondensi; dan
|
|||
|
j.
|
perubahan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
Pasal 99 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
|
||||
(2)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 100 |
|||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, dialokasikan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan, peningkatan moda dan sarana transportasi umum; dan
|
|||
|
b.
|
1,5% (satu koma lima persen) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pemungutan PKB.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, dialokasikan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pemungutan BBNKB.
|
||||
(3)
|
Penggunaan hasil penerimaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB untuk mendukung kegiatan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) digunakan antara lain:
|
||||
|
a.
|
sosialisasi atau edukasi untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak;
|
|||
|
b.
|
penyelenggaraan pelayanan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (samsat);
|
|||
|
c.
|
penegakan hukum atau operasi gabungan penertiban administrasi kendaraan bermotor; dan/atau
|
|||
|
d.
|
penelusuran Kendaraan Tidak Melakukan Daftar Ulang (KTMDU) atau penagihan tunggakan PKB/pendataan Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
||||
(5)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
||||
(6)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, antara lain:
|
||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
|||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
|||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
|||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
|||
(7)
|
Berdasarkan hasil penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6), Pemerintah Daerah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 101 |
|||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Jenis Retribusi Jasa Umum
Pasal 102 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan Objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 huruf a, meliputi:
|
||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan kebersihan; dan
|
|||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum.
|
|||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Detail rincian Objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan
Pasal 103 |
|||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, klinik, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan Kebersihan
Pasal 104 |
|||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
||||
|
a.
|
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
|||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
|||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
|||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
|||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari Jenis Retribusi Jasa Umum Pelayanan Kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, dan sosial.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
Pasal 105 |
|||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf c, merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 106 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair; dan
|
|||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Prinsip dan Sasaran Retribusi Jasa Umum
Pasal 107 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 108 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dengan tarif Retribusi Jasa Umum.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(3)
|
Tarif Retribusi Jasa Umum ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan Objek Retribusi Jasa Umum.
|
||||
(5)
|
Tarif Retribusi Jasa Umum hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Jenis Retribusi Jasa Usaha
Pasal 109 |
|||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan Objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 huruf b, meliputi:
|
||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
|||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan;
|
|||
|
c.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
|||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga; dan
|
|||
|
e.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Detail rincian Objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta.
|
||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
Pasal 110 |
|||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan Tempat Khusus Parkir diluar Badan Jalan
Pasal 111 |
|||||
Penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b, merupakan penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
Pasal 112 |
|||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf c, merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
Pasal 113 |
|||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf d, merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pemanfaatan Aset Daerah
Pasal 114 |
|||||
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf e, termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 115 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
|||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan diukur berdasarkan satuan ruang parkir (SRP), jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir diluar badan jalan;
|
|||
|
c.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume pemotongan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
|
|||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga;
|
|||
|
e.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, volume, luas, kapasitas, fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Prinsip dan Sasaran Retribusi Jasa Usaha
Pasal 116 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 117 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dengan tarif Retribusi Jasa Usaha.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(3)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
|||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
|||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
|||
|
Tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(4)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
(5)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
||||
(6)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(7)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
||||
(8)
|
Tarif Retribusi Jasa Usaha ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||
(9)
|
Peninjauan tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan Objek Retribusi Jasa Usaha.
|
||||
(10)
|
Tarif Retribusi Jasa Usaha hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 118 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan Objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 huruf c, meliputi:
|
||||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
|||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis retribusi perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
|
||||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian izin tertentu.
|
||||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pemberian perizinan tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Persetujuan Bangunan Gedung
Pasal 119 |
|||||
(1)
|
Pelayanan pemberian izin persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, meliputi penerbitan PBG dan SLF bangunan gedung atau prasarana bangunan gedung oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF, dan SBKBG serta pencetakan plakat SLF.
|
||||
(4)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||
|
a.
|
pembangunan baru;
|
|||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
|||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
|||
|
|
1)
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
||
|
|
2)
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
||
|
|
3)
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
||
|
|
4)
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
||
|
|
5)
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
||
|
|
6)
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
||
|
|
7)
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
||
|
|
8)
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
||
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 120 |
|||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga Pendidikan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 121 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
Pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
|
|||
|
b.
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau waktu pelayanan.
|
|||
(3)
|
Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||
|
|
1.
|
luas total lantai;
|
||
|
|
2.
|
indeks lokalitas;
|
||
|
|
3.
|
indeks terintegrasi; dan
|
||
|
|
4.
|
indeks Bangunan Gedung terbangun.
|
||
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||
|
|
1.
|
volume;
|
||
|
|
2.
|
indeks prasarana Bangunan Gedung; dan
|
||
|
|
3.
|
indeks Bangunan Gedung terbangun.
|
||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Prinsip dan Sasaran Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 122 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
||||
(3)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
|
||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 123 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
|||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 124 |
|||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
||||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(4)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||
(6)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
|
||||
(7)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
||||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemungutan Retribusi
Paragraf 1
Penetapan dan Pemungutan Retribusi Terutang
Pasal 125 |
|||||
(1)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2), Pasal 117 ayat (2), dan Pasal 124 ayat (3) merupakan nilai rupiah atau satuan lainnya yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran retribusi tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk kepentingan perpajakan.
|
||||
(3)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
|
||||
(4)
|
Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
||||
(5)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik ditetapkan dengan peraturan Bupati.
|
||||
(6)
|
Khusus untuk pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf e, bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah ini.
|
||||
(7)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang dilaksanakan untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||
|
b.
|
kerjasama pemanfaatan;
|
|||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
|||
|
d.
|
kerjasama penyediaan infrastruktur.
|
|||
(8)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(9)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana pada ayat (7), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 126 |
|||||
(1)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (4), ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
||||
(2)
|
Pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik atau melalui pembayaran tunai.
|
||||
(3)
|
Dalam hal pembayaran dilakukan secara tunai, Satuan Kerja Perangkat Daerah diberikan waktu paling lama 1 (satu) tahun untuk beralih menggunakan sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
||||
(4)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(6)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
||||
(8)
|
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) didahului dengan Surat Teguran.
|
||||
(9)
|
Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
Pasal 127 |
|||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
||||
(2)
|
Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
|
||||
(3)
|
Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambahkan beban Wajib Retribusi.
|
||||
(4)
|
Penerimaan retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum Daerah secara bruto.
|
||||
(5)
|
Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan Kerjasama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pemeriksaan Retribusi
Pasal 128 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Retribusi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 129 |
|||||
(1)
|
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 kewajiban Wajib Retribusi yang diperiksa meliputi:
|
||||
|
a.
|
memperlihatkan dan/atau meminjamkan dokumen pembukuan atau dokumen pencatatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan Objek Retribusi yang terutang;
|
|||
|
b.
|
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
|
|||
|
c.
|
memberikan keterangan yang diperlukan.
|
|||
(2)
|
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, hak Wajib Retribusi yang diperiksa adalah:
|
||||
|
a.
|
meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
|
|||
|
b.
|
meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
|
|||
|
c.
|
menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi
Pasal 130 |
|||||
(1)
|
Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
||||
(2)
|
Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
|||
|
b.
|
terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
|||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
||||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
||||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Penghapusan Piutang Retribusi
Pasal 131 |
|||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
||||
(2)
|
Penghapusan piutang retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Keberatan Retribusi
Pasal 132 |
|||||
(1)
|
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
||||
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
|
||||
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
|
||||
(4)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||
|
a.
|
perang, penyerbuan, pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, wabah penyakit, perang saudara, tindakan Pemerintah dalam rangka kedaulatannya, gempa bumi, angin ribut, gelombang besar, banjir, atau setiap kekuatan-kekuatan alam yang tidak dapat dihindari dengan pandangan ke depan dan kemampuan yang wajar dari pihak yang terkena peristiwa tersebut, menghilangnya bahan-bahan konstruksi dan persediaan barang-barang yang diperlukan dari pasaran, pemogokan-pemogokan, penutupan pintu bagi buruh yang ingin bekerja (lockouts), atau kegaduhan perburuhan yang lain serta peristiwa-peristiwa diluar batas kewajaran dari pihak yang pelaksanaan kewajibannya terhambat oleh peristiwa keadaan kahar, kecuali kekurangan dana dan peristiwa-peristiwa lain yang dapat dihindari atau diatasi secara wajar oleh pandangan ke depan dan kemampuan yang lumrah dari pihak yang terkena; dan
|
|||
|
b.
|
perubahan kebijakan Pemerintah yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi pelaksanaan.
|
|||
(5)
|
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 133 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan.
|
||||
(2)
|
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
||||
(3)
|
Keputusan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
|
||||
(4)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 134 |
|||||
(1)
|
Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar tarif 0,6% (nol koma enam persen) perbulan dihitung dari retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Retribusi
Pasal 135 |
|||||
(1)
|
Atas kelebihan pembayaran Retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
|
||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
||||
(3)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Retribusi dianggap dikabulkan dan SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
||||
(4)
|
Apabila Wajib Retribusi mempunyai Utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu atau Utang Retribusi lainnya tersebut.
|
||||
(5)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB.
|
||||
(6)
|
Jika pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Retribusi.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 136 |
|||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IV
INSENTIF FISKAL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha
Pasal 137 |
|||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
|||
|
b.
|
kondisi tertentu Objek Pajak, seperti Objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
|||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
|||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
|||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
|||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
|
||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 138 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau Objek Pajak atau Objek Retribusi.
|
||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
||||
(3)
|
Kondisi Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai Objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan Objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 139 |
|||||
(1)
|
Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
|||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang.
|
|||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan diluar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
||||
(7)
|
Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
|||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
|||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pokok Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(10)
|
Keadaan diluar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
||||
|
a.
|
perang, penyerbuan, pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, wabah penyakit, perang saudara, tindakan Pemerintah dalam rangka kedaulatannya, gempa bumi, angin ribut, gelombang besar, banjir, atau setiap kekuatan-kekuatan alam yang tidak dapat dihindari dengan pandangan ke depan dan kemampuan yang wajar dari pihak yang terkena peristiwa tersebut, menghilangnya bahan-bahan konstruksi dan persediaan barang-barang yang diperlukan dari pasaran, pemogokan-pemogokan, penutupan pintu bagi buruh yang ingin bekerja (lockouts), atau kegaduhan perburuhan yang lain serta peristiwa-peristiwa diluar batas kewajaran dari pihak yang pelaksanaan kewajibannya terhambat oleh peristiwa keadaan kahar, kecuali kekurangan dana dan peristiwa-peristiwa lain yang dapat dihindari atau diatasi secara wajar oleh pandangan ke depan dan kemampuan yang lumrah dari pihak yang terkena; dan
|
|||
|
b.
|
perubahan kebijakan Pemerintah yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi pelaksanaan.
|
|||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB V
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 140 |
|||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Bupati dengan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 141 |
|||||
(1)
|
Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), adalah:
|
||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
|||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada Pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
|||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VII
PENYIDIKAN
Pasal 142 |
|||||
(1)
|
PPNS tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah PPNS tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
|||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
|||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
|||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
|||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
|||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
|||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 143 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan pelaporan SPTPD atau mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 144 |
|||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 145 |
|||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 146 |
|||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 147 |
|||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3), Pasal 88 ayat (4), dan Pasal 145 merupakan pendapatan negara.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 148 |
|||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 149 |
|||||
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 150 |
|||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 151 |
|||||
Untuk Tahun Pajak 2024, dasar Pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 152 |
|||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku Peraturan pelaksanaan dari:
|
|||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2010 Nomor 16);
|
||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 28 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2011 Nomor 28):
|
||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 29 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2011 Nomor 29) sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 29 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2018 Nomor 8);
|
||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 30 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2011 Nomor 30);
|
||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Kelas III pada Rumah Sakit Umum Daerah di Kabupaten Bogor (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2016 Nomor 1);
|
||||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2016 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Nomor 88);
|
||||
Dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 153 |
|||||
Pada saat peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2004 Nomor 6);
|
||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2010 Nomor 16);
|
||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2011 Nomor 13);
|
||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 28 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2011 Nomor 28):
|
||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 29 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2011 Nomor 29) sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 29 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2018 Nomor 8);
|
||||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 30 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2011 Nomor 30);
|
||||
g.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 7 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2013 Nomor 7);
|
||||
h.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Kelas III pada Rumah Sakit Umum Daerah di Kabupaten Bogor (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2016 Nomor 1);
|
||||
i.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2016 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Nomor 88);
|
||||
j.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 8 Tahun 2017 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2017 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Nomor 99);
|
||||
k.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang Pajak (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2018 Nomor 9);
|
||||
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 154 |
|||||
Ketentuan mengenai Opsen Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 155 |
|||||
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 156 |
|||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bogor.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Bogor
pada tanggal 29 Desember 2023
BUPATI BOGOR,
ttd.
IWAN SETIAWAN
Diundangkan di Bogor
pada tanggal 29 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BOGOR,
ttd.
BURHANUDIN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR TAHUN 2023 NOMOR 11
|
|||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR
NOMOR 11 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi Daerah, tiap-tiap daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi Daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Kebijakan otonomi daerah telah memberikan peluang dan tantangan bagi daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan aspirasi masyarakat sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan berdasarkan potensi daerah. Perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan bagian yang penting dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan akselerasi pembangunan. Untuk mewujudkan cita-cita otonomi daerah tersebut maka kontribusi PAD dalam struktur APBD harus selalu ditingkatkan karena merupakan salah satu tolak ukur kemandirian daerah.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diharapkan terdapat penyempurnaan implementasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal pajak daerah dan retribusi daerah. Penyempurnaan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan untuk menciptakan alokasi sumber daya fiskal yang efisien, transparan, akuntabel dan berkeadilan guna mewujudkan pemerataan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam mencapai tujuan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dilakukan pengembangan sistem pajak daerah dan retribusi daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah memberikan kewenangan bagi pemerintah Daerah untuk memungut pajak dan retribusi Daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru, penyederhanaan jenis retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Jenis pajak Daerah yang dapat dipungut oleh Kabupaten Bogor tercantum dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Khusus pajak daerah yang dipungut oleh Pemerintah Kabupaten Bogor terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
b.
|
BPHTB;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
c.
|
PBJT atas:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau minuman;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
2.
|
Tenaga listrik;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
3.
|
Jasa perhotelan;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
4.
|
Jasa parkir; dan
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
5.
|
Jasa kesenian dan hiburan.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
e.
|
PAT;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
g.
|
Opsen PKB; dan
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
h.
|
Opsen BBNKB.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal tersebut mengubah struktur pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perbedaan Struktur Pajak Daerah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah antara lain PBJT, Opsen PKB dan Opsen BBNKB merupakan nomenklatur dan sumber Pajak daerah baru bagi Pemerintah Kabupaten Bogor.
Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bogor, yaitu PKB dan BBNKB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasaan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada Pasal 87 menyatakan bahwa jenis layanan retribusi terdiri terdiri atas Jasa Umum, Jasa Usaha, dan Jasa Perizinan Tertentu. Jasa Umum mencakup pelayanan kesehatan, pelayanan kebersihan, pelayanan parkir di tepi jalan umum, pelayanan pasar dan pengendalian lalu lintas. Jasa Usaha mencakup pelayanan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya, penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan, penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan, penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa, pelayanan Rumah Pemotongan Hewan, pelayanan jasa kepelabuhan, pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga, pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air, penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah, dan pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jasa Perizinan Tertentu mencakup persetujuan Bangunan dan Gedung, penggunaan tenaga kerja asing, dan pengelolaan pertambangan rakyat.
Ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut mengubah struktur Retribusi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatutan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
Pengaturan dalam Peraturan Daerah ini mencakup berbagai aspek pengelolaan Pajak dan Retribusi, khususnya pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi, Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi, Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi, Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan, atau Penundaan atas Pokok Pajak/Retribusi, Penetapan Target Penerimaan Pajak dan Retribusi Dalam APBD, Kerahasiaan Wajib Pajak, Sanksi, Penyidikan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
Dasar pengenaan, saat terutang, dan wilayah pemungutan Pajak merupakan beberapa komponen utama dalam penghitungan Pajak terutang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa penetapan besaran dasar pengenaan Pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya.
Selain ketentuan mengenai pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi, Peraturan Daerah ini juga mengatur mengenai pelaksanaan bagi hasil Pajak dan penerimaan Pajak yang diarahkan penggunaannya. Peraturan Daerah ini mengatur lebih teknis mengenai besaran dan kegiatan yang harus didanai dari Opsen PKB, PBJT atas Tenaga Listrik dan PAT.
Untuk meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan, dan kepastian hukum, Peraturan Daerah ini mengatur bahwa penerimaan atas pelayanan objek Retribusi sesuai Undang-Undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai Retribusi. Meskipun demikian, penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur bahwa seluruh pungutan atas pemanfaatan barang milik daerah menjadi bagian dari Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan Aset Daerah.
Pendaftaran Wajib Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam pelaksanaan pemungutan Pajak, utamanya apabila dilakukan secara sederhana sebagai salah satu langkah simplifikasi administrasi perpajakan. Untuk itu, Pemerintah Daerah hanya dapat menerbitkan 1 (satu) NPWPD untuk seluruh jenis Pajak yang dihubungkan dengan nomor induk kependudukan untuk Wajib Pajak orang pribadi dan nomor induk berusaha untuk Wajib Pajak Badan. Hal ini sebagai langkah integrasi data perpajakan guna memberikan kemudahan administrasi perpajakan. Di dalam Peraturan Daerah ini, pengaturan kerahasiaan data wajib pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa jenis pajak dan retribusi, subjek pajak dan wajib pajak, subjek retribusi dan wajib retribusi, objek pajak dan retribusi, dasar pengenaan pajak dan tingkat pengenaan jasa retribusi, saat terutang pajak, wilayah pemungutan pajak serta tarif pajak dan retribusi, untuk seluruh jenis pajak dan retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah dan menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah. Pasal tersebut merupakan amanat baru untuk menyatukan atau menyederhanakan peraturan terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah agar ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah.
Peraturan perundangan terkait tindak lanjut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah disebutkan di dalam Pasal 188 huruf b bahwa peraturan perundangan yang merupakan tindak lanjut pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan Retribusi Daerah dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan perundangan terkait tindak lanjut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Hal tersebut merupakan amanat agar Pemerintah Daerah segera menyusun Peraturan Daerah agar kebijakan pemerintah dalam penyempurnaan struktur pajak dan retribusi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dapat segera dilaksanakan.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tempat makam (kuburan) adalah yang semata-mata digunakan untuk memakamkan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten/Kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh: Seseorang memiliki rumah dengan luas tanah 100m2 dan luas bangunan 50m2, dan diketahui harga tanah adalah sebesar Rp1.000.000,00 per meter serta harga bangunan sebesar Rp650.000,00 per meter. Maka perhitungan besaran pokok PBB-P2 terutang adalah sebagai berikut:
Dasar pengenaan PBB-P2: 70%
70% x Rp122.500.000,00 = 85.750.000,00
Tarif sampai dengan Rp1.000.000.000,00 adalah 0,15% Maka PBB yang terutang adalah:
0.15% x Rp85.750.000,00 = Rp.128.625,-
Ayat (2)
Yang dimaksud kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan atau Bangunan adalah karena pemindahan hak, maka saat terutang PBB-P2 terhitung sejak sebelum terjadinya pemindahan hak tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
PBB-P2 terutang ditentukan berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari saat tahun berjalan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Contoh: pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan darat diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas bumi dan/atau bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
Wilayah pemungutan PBB-P2 atas Tol A dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “perolehan hak pertama” adalah perolehan atas tanah dan bangunan yang terjadi pertama kali tanpa membedakan jenis perolehan hak. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak diberikan satu kali per satu nama Wajib Pajak. Apabila dalam satu perolehan hak terdiri dari beberapa bidang tanah, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dapat dikenakan terhadap bidang tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak terbesar.
Contoh:
Pada awal Januari, Wajib Pajak “A” pertama kalinya membeli tanah dan bangunan dengan:
Apabila terjadi perolehan hak berikutnya, semisal:
Pada Bulan Mei, Wajib Pajak “A” menerima hibah tanah dan bangunan dengan:
Ayat (5)
Contoh:
Pada Bulan Oktober, orang tua dari Wajib Pajak “A” meninggal dunia dan mewariskan harta berupa 2 bidang tanah dan bangunan.
Perhitungan BPHTB atas bidang pertama adalah:
Perhitungan BPHTB atas bidang kedua adalah:
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perjanjian pengikatan jual beli" adalah semua bentuk perjanjian jual beli yang terkait perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang terjadi sebelum dibuat akta jual beli.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Surat Keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Makanan dan/atau minuman yang dimaksud meliputi makanan dan minuman baik dikonsumsi di tempat maupun tidak serta tidak dibatasi pada penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman secara offline saja tetapi termasuk penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman secara online.
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengguna akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “panti sosial lainnya yang sejenis” adalah panti sosial yang semata-mata tidak memperoleh keuntungan
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat atau pertemuan pada penyedia jasa perhotelan tidak dibatasi pada pemesanan secara offline saja tetapi termasuk penyedia jasa perhotelan tidak dibatasi pada pemesanan secara online.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Jasa Kesenian dan Hiburan tidak dibatasi pada pemesanan secara offline saja tetapi termasuk pemesanan secara online.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness centre), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Dasar pengenaan makanan dan/atau minuman yang dilakukan secara online adalah nilai rupiah yang seharusnya dibayarkan oleh konsumen setelah dikurangi biaya ongkos kirim.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Contoh: Harga kamar di Hotel A senilai Rp700.000 (tujuh ratus ribu rupiah), konsumen memiliki voucher senilai Rp200.000 (dua ratus ribu rupiah) sehingga dasar pengenaan PBJT adalah sebesar Rp700.000 (tujuh ratus ribu)
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Penghitungan nilai jual tenaga listrik untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan tenaga listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual tenaga listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri adalah dengan kapasitas daya listrik di atas 500 kVA dalam 1 tahun dan memiliki izin.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Nilai Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan batu kapur termasuk batu gamping untuk semen dan non semen.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
Huruf y
Cukup jelas.
Huruf z
Cukup jelas.
Huruf aa
Cukup jelas.
Huruf bb
Cukup jelas.
Huruf cc
Cukup jelas.
Huruf dd
Cukup jelas.
Huruf ee
Cukup jelas.
Huruf ff
Cukup jelas.
Huruf gg
Cukup jelas.
Huruf hh
Cukup jelas.
Huruf ii
Cukup jelas.
Huruf jj
Cukup jelas.
Huruf kk
Cukup jelas.
Huruf ll
Cukup jelas.
Huruf mm
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000,00 sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Pada saat yang bersamaan, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp4.980.000,00, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (regident) kendaraan bermotor.
Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000,00 sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp39.840.000,00, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberian NPWPD kepada Wajib Pajak digunakan untuk seluruh kewajiban jenis Pajak.
Ayat (4)
Contoh: Orang pribadi “A” memiliki sebuah rumah (tanah dan bangunan), mengusahakan sebuah restoran, serta dan membuka usaha rekreasi wahana air (waterboom). Ketiga objek dimaksud berada di kabupaten “M”.
Atas objek-objek dimaksud, orang pribadi “A” hanya memiliki 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD), namun dapat memiliki beberapa nomor objek Pajak/nomor registrasi/jenis penomoran lain yang dipersamakan sesuai dengan kebutuhan profiling dan pendataan perpajakan daerah di pemerintah daerah kabupaten “M”:
Ayat (5)
Setiap Wajib Pajak orang pribadi hanya memiliki 1 nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan dihubungkan dengan nomor induk kependudukan Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) pemerintah daerah yang bersangkutan.
Ayat (6)
Setiap Wajib Pajak Badan hanya memiliki 1 nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan dihubungkan dengan nomor induk berusaha Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) pemerintah daerah yang bersangkutan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud “SPPT” adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar bagi Wajib Pajak untuk membayar PBB-P2 terutang dan bukan merupakan dokumen bukti kepemilikan atas suatu objek PBB-P2.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dilarang diborongkan” adalah bahwa seluruh proses kegiatan Pemungutan Pajak yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya Pajak terutang, pengawasan, penyetoran, dan penagihan Pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan Pemungutan Pajak, antara lain pengiriman surat kepada Wajib Pajak atau penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal pengiriman SKPD” adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanggal pengiriman SPPT” adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh: Pemerintah Daerah A menerbitkan STPD pada bulan Oktober untuk menagih kekurangan pembayaran PBJT atas restoran untuk masa pajak bulan Februari. Dalam STPD tersebut, pengenaan sanksi administratif berupa bunga dikenakan sebesar 1% (satu persen) per bulan untuk periode bulan Oktober.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tujuan lain adalah pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang- undangan selain untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Analisis risiko dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penghitungan secara jabatan” adalah penghitungan besaran Pajak terutang berdasarkan data dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah.
Contoh: Dalam hal Wajib Pajak tidak melaporkan SPTPD, tidak menyelenggarakan pembukuan, atau tidak kooperatif dalam mengungkapkan data, keterangan, dan/atau informasi saat pemeriksaan, maka Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menghitung dan menetapkan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data, keterangan, dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah, yang dapat diperoleh dari hasil penelitian, pendataan, konfirmasi pihak ketiga, uji petik lapangan, maupun cara lainnya untuk memperoleh data, keterangan, dan/atau informasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh: Wajib Pajak Restoran A terdaftar di Kabupaten C melaporkan SPTPD PBJT masa Pajak Januari 2022 dengan Pajak terutang yang telah dibayar dan dilaporkan sebesar Rp100 juta. Pembayaran dan pelaporan Pajak dilakukan pada hari yang sama pada tanggal 11 Februari 2022, sementara batas waktu pembayaran dan pelaporan PBJT dalam Perda Kabupaten C adalah tanggal 15 dan tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa Pajak. Namun demikian, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh fiskus daerah terdapat indikasi ketidakbenaran penghitungan Pajak terutang dalam SPTPD yang dilaporkan, sehingga terhadap Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan Pajak dalam rangka menguji kepatuhan perpajakan pada bulan Maret 2022.
Dalam proses pemeriksaan, Wajib Pajak tidak kooperatif, tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, dan tidak mengizinkan pemeriksa Pajak memasuki ruangan tempat penyimpanan pembukuan Wajib Pajak. Hal tersebut menyebabkan Pemeriksa Pajak tidak dapat menghitung besaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman terutang yang sebenarnya. Oleh karena itu, Pemeriksa Pajak melakukan penghitungan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh melalui konfirmasi data pihak ketiga dan informasi yang dikumpulkan melalui uji petik. Besaran Pajak terutang yang seharusnya menurut Kepala Daerah adalah sebesar Rp250 juta.
Pemeriksaan selesai pada bulan April 2025 dan pada tanggal 2l April 2025 terbit SKPDKB untuk menetapkan kekurangan pembayaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman sesuai penghitungan secara jabatan oleh pemeriksa Pajak sebesar Rp150.000.000,00 (Rp250.000.000,00 – Rp100.000.000,000).
Maka isi SKPDKB PBJT dimaksud adalah sebagai berikut:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “imbauan” adalah pemberian informasi kepada penanggung Pajak sebagai pengingat agar penanggung Pajak dapat melunasi utang Pajaknya sebelum diterbitkannya surat teguran. Imbauan dapat diberikan melalui surat imbauan atau melalui media lainnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan” adalah Undang-Undang mengenai Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Teguran” adalah surat peringatan atau bentuk lain yang fungsinya untuk menegur dan mengingatkan Penanggung Pajak untuk melunasi Utang Pajaknya dalam upaya Penagihan Pajak sebelum Surat Paksa diterbitkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “surat perintah melaksanakan penyitaan” merupakan surat perintah yang diterbitkan untuk melaksanakan penyitaan.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “biaya Penagihan Pajak” merupakan biaya pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan Pajak.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Utang Pajak lainnya” merupakan Utang Pajak lain yang masih belum dibayar oleh Wajib pajak selain jenis Pajak yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga” adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi pembayaran oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Permohonan keberatan dapat diajukan dengan alasan yang jelas disertai dokumen dan bukti pendukung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Contoh: Pada 2023, Wajib Pajak X melaporkan Pajak terutang sebesar Rp10.000.000.000. Kemudian, Pemerintah Daerah Y melaksanakan pemeriksaan atas Pajak terutang yang dilaporkan oleh Wajib Pajak X. Atas hasil pemeriksaan tersebut, Pemerintah Daerah Y menerbitkan SKPDKB dengan jumlah Pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak X senilai Rp1.500.000.000. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak X menyetujui Pajak yang masih harus dibayar senilai Rp500.000.000. Wajib Pajak X dapat mengajukan keberatan apabila telah melunasi sebagian SKPDKB yang telah disetujui dalam pembahasan akhir pemeriksaan tersebut senilai Rp500.000.000.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permohonan banding dapat diajukan dengan alasan yang jelas disertai dokumen dan bukti pendukung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Yang dicantumkan dalam SKPD merupakan besaran pokok PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB dalam satu ketetapan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bersamaan” merupakan pembayaran Opsen PKB atau Opsen BBNKB dilakukan sekaligus dengan pembayaran PKB atau BBNKB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bersamaan” merupakan pembayaran Opsen Pajak MBLB dilakukan sekaligus dengan pembayaran Pajak MBLB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pembayaran” adalah pembayaran atas Opsen Pajak MBLB saja, atau pembayaran atas Opsen Pajak MBLB dan Pajak MBLB.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” merupakan pihak-pihak di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan Pajak.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “pengawasan Wajib Pajak bersama” merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Contoh: Fiscus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh penggunaan jasa layanan pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Pelaku Perdagangan melalui Sistem Elektronik/PPMSE.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak yang dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama misal, kerja sama antara Pemerintah (Kementerian) dan Pemerintah Daerah dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak pusat dan Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah
Contoh:
Pada tahun 2024 RSUD X pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2026, RSUD X pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut retribusi atas kedua pelayanan tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda. Mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Bupati sebagai berikut:
Peraturan Bupati:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Untuk pengolahan limbah cair akan dipungut sesuai kemampuan Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Taman” adalah taman yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh:
Pada tahun 2024, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan pemotongan hewan ternak berupa pelayanan pemotongan sapi dan pelayanan pemotongan kambing. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Peraturan Daerah PDRD:
Pada tahun 2026, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan pengemasan dan pelayanan ruang pendingin yang merupakan bagian dari pelayanan pemotongan kambing. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Bupati, sebagai berikut:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah:
tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang milik daerah” adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi barang milik daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah jabatan tertentu di Lembaga Pendidikan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 121
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan indeks terintegrasi ditentukan berdasarkan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung.
Adapun indeks fungsi terdiri atas:
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi” adalah pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 128
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tujuan lain adalah pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang- undangan selain untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Utang Retribusi lainnya” merupakan Utang Retribusi lain yang masih belum dibayar oleh Wajib Retribusi selain jenis retribusi yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh: Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di suatu daerah pada bulan Juni 2020, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 September untuk pembayaran dan tanggal 15 September untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di daerah tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Contoh:
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 126
|