Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANYUWANGI,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||||||
b.
|
bahwa berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah, ketentuan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah dan menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi daerah;
|
|||||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat dan Dalam Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 45) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 tentang Pengubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun 1950 (Republik Indonesia Dahulu)tentang Pembentukan Kota-Kota Besar dan Kota-Kota Kecil Di Jawa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
|
|||||||
4.
|
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
|
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
2.
|
Daerah adalah Kabupaten Banyuwangi.
|
|||||||
3.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
4.
|
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||||||
5.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
6.
|
Bupati adalah Kepala Daerah Kabupaten Banyuwangi.
|
|||||||
7.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
|
|||||||
8.
|
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
9.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
10.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
11.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
12.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
13.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
14.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||
15.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
16.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
17.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||
18.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||
19.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
20.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||||||
21.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||||||
22.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||||||
23.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
24.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
25.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
|||||||
26.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||||||
27.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
|||||||
28.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||||||
29.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||||||
30.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||||||
31.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
32.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||||||
33.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
34.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat dengan Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||||
35.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
|
|||||||
36.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
37.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
38.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
39.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
40.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||||||
41.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||||||
42.
|
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau Sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
|
|||||||
43.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
44.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
45.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
46.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||||||
47.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
|||||||
48.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang disingkat dengan BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya.
|
|||||||
49.
|
Pajak terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
50.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
51.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
|
|||||||
52.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang dapat disingkat SPTPD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan pajak daerah.
|
|||||||
53.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang dapat disingkat SKPD adalah Surat Keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang.
|
|||||||
54.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang dapat disingkat SKPDN, adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak.
|
|||||||
55.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||||
56.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||||
57.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2 |
||||||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi;
|
||||||||
a.
|
Pajak;
|
|||||||
b.
|
Retribusi;
|
|||||||
c.
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||
d.
|
Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi;
|
|||||||
e.
|
Penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi Dalam APBD;
|
|||||||
f.
|
Tata cara keringanan, pengurangan dan pembebasan;
|
|||||||
g.
|
Pemeriksaan dan keberatan
|
|||||||
h.
|
kerahasiaan data Wajib Pajak;
|
|||||||
i.
|
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||
j.
|
Sistem Informasi Dan Elektronik Pajak Dan Retribusi;
|
|||||||
k.
|
Penyidikan;
|
|||||||
l.
|
Ketentuan Pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
PAJAK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak yang dipungut oleh daerah terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||||||
|
b.
|
BPHTB;
|
||||||
|
c.
|
PBJT;
|
||||||
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
||||||
|
e.
|
PAT;
|
||||||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
||||||
|
g.
|
Opsen PKB; dan
|
||||||
|
h.
|
Opsen BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak yang tidak dipungut adalah Pajak Sarang Burung Walet.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan Penetapan Bupati.
|
|||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf f, merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah SKPD dan SPPT.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PBB-P2
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengerukan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||||||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||||||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||||||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||||||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati;
|
||||||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunanyang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah;
|
||||||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||||||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
|||||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
|
|||||||
(6)
|
Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Bupati.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak;
|
|||||||
(2)
|
Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
|||||||
|
a.
|
Kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||||||
|
b.
|
Bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
Klasterisasi NJOP dalam satu wilayah.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Besarnya tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
Untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun;
|
||||||
|
b.
|
Untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) – Rp5.000.000.000 (lima milyar rupiah) sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun.
|
||||||
|
c.
|
Untuk NJOP di atas Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) per tahun.
|
||||||
(2)
|
Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,09% (nol koma nol sembilan).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||||||
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
|||||||
(2)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||||||
(3)
|
Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BPHTB
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Pemindahan hak karena:
|
||||||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|||||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|||||
|
|
3.
|
hibah;
|
|||||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|||||
|
|
5.
|
waris;
|
|||||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|||||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|||||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|||||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|||||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|||||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|||||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|||||
|
|
13.
|
Hadiah.
|
|||||
|
b.
|
Pemberian hak baru karena:
|
||||||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|||||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|||||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
hak milik;
|
||||||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||||||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||||||
|
d.
|
hak pakai;
|
||||||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||||||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||||||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||||||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||||||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan negara;
|
||||||
|
d.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||||||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||||||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah;
|
||||||
|
g.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
h.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||||||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||||||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||||||
(4)
|
Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||||||
(6)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||||||
(7)
|
Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||||||
(8)
|
Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
|
|||||||
(9)
|
Penerapan Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak hanya diberikan kepada setiap wajib pajak 1 (satu) kali setiap tahun untuk perolehan hak pertama.
|
|||||||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan BPHTB diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||||
Besarnya Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5), ayat (6) dan/atau ayat (8) dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
|
|||||||
(2)
|
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||
Saat terutangnya pajak BPHTB ditetapkan untuk:
|
||||||||
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
|||||||
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
|||||||
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
|||||||
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
|||||||
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|||||||
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak; atau
|
|||||||
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian keempat
PBJT
Pasal 18 |
||||||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||||||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||||||
|
b.
|
Pelayanan yang disediakan restoran sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli baik di tempat pelayanan maupun di tempat lain.
|
||||||
|
c.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||||||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|||||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|||||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha yang nilai omset penjualannya tidak melebihi Rp2.000.000,- (dua juta rupiah) per bulan.
|
||||||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||||||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||||||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
|
||||||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
|
||||||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||||||
|
a.
|
hotel;
|
||||||
|
b.
|
hostel;
|
||||||
|
c.
|
vilLa;
|
||||||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||||||
|
e.
|
motel;
|
||||||
|
f.
|
losmen;
|
||||||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||||||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||||||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalow/resort/cottage;
|
||||||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel;
|
||||||
|
k.
|
glamping.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||||||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||||||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parker valet).
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
||||||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Jasa Parkir diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||||
|
e.
|
pameran;
|
||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||||||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||||||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||||
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% terdiri dari:
|
||||||||
a.
|
Tarif PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||||||
b.
|
Tarif PBJT atas tenaga listrik;
|
|||||||
c.
|
Tarif PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||||||
d.
|
Tarif PBJT atas Jasa Parkir;
|
|||||||
e.
|
Tarif PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||
Besarnya Tarif PBJT atas Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dalam Pasal 26 huruf a ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)sebagai berikut:
|
||||||||
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
|||||||
b.
|
Penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
|||||||
|
1.
|
Proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
||||||
|
2.
|
Penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
||||||
|
3.
|
Penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Besarnya Tarif PBJT atas tenaga listrik sebagaimana dalam Pasal 26 huruf b sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam sebesar 3% (tiga persen);
|
|||||||
(3)
|
Konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan 1,5% (satu koma lima persen).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||
Besarnya tarif PBJT atas Jasa Perhotelan sebagaimana dalam Pasal 26 huruf c ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) sebagai berikut:
|
||||||||
a.
|
Hotel;
|
|||||||
b.
|
Hostel;
|
|||||||
c.
|
Villa;
|
|||||||
d.
|
pondok wisata;
|
|||||||
e.
|
motel;
|
|||||||
f.
|
losmen;
|
|||||||
g.
|
wisma pariwisata;
|
|||||||
h.
|
pesanggrahan;
|
|||||||
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalow/resort/cottage;
|
|||||||
j.
|
tempat tinggal pribadi; dan
|
|||||||
k.
|
glamping.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||
Besarnya tarif PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dalam Pasal 26 huruf ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) sebagai berikut:
|
||||||||
a.
|
Penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
|||||||
b.
|
Pelayanan memarkirkan kendaraan (Parkir valet).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||||
(1)
|
Besarnya tarif PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dalam Pasal 26 huruf e sebesar 10% (sepuluh persen) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||||||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||||||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||||||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||||||
|
e.
|
pameran;
|
||||||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||||||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||||||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||||||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||||||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||||||
|
k.
|
pijat refleksi dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||||||
(2)
|
Besarnya tarif PBJT atas diskotek dan karaoke dikenakan pajak sebesar 50% (lima puluh persen).
|
|||||||
(3)
|
Besarnya tarif PBJT atas mandi uap/spa dikenakan pajak sebesar 40% (empat puluh persen).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, atau Pasal 31.
|
|||||||
(2)
|
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||||
(3)
|
Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat pembayaran/penyerahan/konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal wajib pajak tidak mencantumkan tarif pajak dalam bukti transaksi yang diberikan kepada subjek pajak, maka jumlah pembayaran telah termasuk pajak.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan PBJT diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Pasal 33 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.
|
|||||||
(2)
|
Rincian Obyek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||||||
|
b.
|
reklame kain;
|
||||||
|
c.
|
reklame melekat/stiker;
|
||||||
|
d.
|
reklame selebaran;
|
||||||
|
e.
|
reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||||||
|
f.
|
reklame udara;
|
||||||
|
g.
|
reklame apung;
|
||||||
|
h.
|
reklame film/slide; dan
|
||||||
|
i.
|
reklame peragaan.
|
||||||
(3)
|
Yang dikecualikan sebagai objek pajak reklame:
|
|||||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||||||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||||||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi diselenggarakan dengan ukuran maksimal 1 m2 (satu meter persegi) dan bukan merupakan jenis reklame bersinar/neon box/LED;
|
||||||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, Pendidikan, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||||
(1)
|
Subjek pajak reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||||
Besarnya tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) sebagai berikut:
|
||||||||
a.
|
reklame papan/billboard/videotron/megatron/neon box/LED dan sejenisnya;
|
|||||||
b.
|
reklame kain dalam bentuk spanduk, umbul-umbul, baliho, banner, Layer toko dan sejenisnya;
|
|||||||
c.
|
reklame melekat, stiker termasuk pengecatan pada dinding dan sejenisnya;
|
|||||||
d.
|
reklame selebaran;
|
|||||||
e.
|
reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
|||||||
f.
|
reklame udara;
|
|||||||
g.
|
reklame apung;
|
|||||||
h.
|
reklame film/slide; dan
|
|||||||
i.
|
reklame peragaan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
|
|||||||
(2)
|
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
|
|||||||
(3)
|
Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PAT
Pasal 38 |
||||||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
peternakan rakyat; dan
|
||||||
|
e.
|
keperluan keagamaan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||||||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||||||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||||||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||||||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||||||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||||||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati yang mengacu pada Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintah di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||||
Besarnya Tarif pajak PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
|
|||||||
(2)
|
PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
(3)
|
Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak MBLB
Pasal 43 |
||||||||
(1)
|
Rincian Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
asbes;
|
||||||
|
b.
|
batu tulis;
|
||||||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||||||
|
d.
|
batu kapur;
|
||||||
|
e.
|
batu apung;
|
||||||
|
f.
|
batu permata;
|
||||||
|
g.
|
bentonit;
|
||||||
|
h.
|
dolomit;
|
||||||
|
i.
|
feldspar;
|
||||||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||||||
|
k.
|
grafit;
|
||||||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||||||
|
m.
|
gips;
|
||||||
|
n.
|
kalsit;
|
||||||
|
o.
|
kaolin;
|
||||||
|
p.
|
leusit;
|
||||||
|
q.
|
magnesit;
|
||||||
|
r.
|
mika;
|
||||||
|
s.
|
marmer;
|
||||||
|
t.
|
nitrat;
|
||||||
|
u.
|
opsidien;
|
||||||
|
v.
|
oker;
|
||||||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||||||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||||||
|
y.
|
perlit;
|
||||||
|
z.
|
phospat;
|
||||||
|
aa.
|
talk;
|
||||||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||||||
|
cc.
|
tanah diatome;
|
||||||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||||||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
||||||
|
ff.
|
tras;
|
||||||
|
gg.
|
yarosif;
|
||||||
|
hh.
|
zeolit;
|
||||||
|
ii.
|
basal;
|
||||||
|
jj.
|
trakkit;
|
||||||
|
kk.
|
belerang;
|
||||||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
||||||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
|
||||||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah Nilai Jual Hasil Pengambilan MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
|
|||||||
(4)
|
Harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB dimaksud pada ayat (3) berdasarkan keputusan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||||||
Besarnya Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam PasaL 46.
|
|||||||
(2)
|
Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Opsen PKB
Pasal 48 |
||||||||
Objek Opsen PKB dikenakan atas PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Opsen PKB merupakan Subjek PKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||||
Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||||
Besarnya Tarif Opsen PKB sebagaimana dalam Pasal 48 ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dari besaran pajak terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||||
Opsen PKB dipungut secara bersamaan dengan Pajak PKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Opsen BBNKB
Pasal 53 |
||||||||
Objek Opsen BBNKB dikenakan atas BBNKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Opsen BBNKB merupakan Subjek BBNKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB merupakan Wajib BBNKB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||||||
Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan PKB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||||||
Besarnya Tarif Opsen BBNKB sebagaimana dalam Pasal 53 ditetapkan Opsen sebesar 66% (enam puluh enam persen) dari besaran pajak terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||||||
Opsen BBNKB dipungut secara bersamaan dengan Pajak BBNKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 58 |
||||||||
(1)
|
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||
(2)
|
Jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipungut di wilayah Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Nama, Obyek, Subyek dan Wajib Retribusi
Pasal 60 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; dan
|
||||||
|
d.
|
pelayanan Pasar.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||||||
(6)
|
Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional dan/atau Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||
(1)
|
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan pada:
|
|||||||
|
a.
|
rumah sakit umum daerah;
|
||||||
|
b.
|
pusat kesehatan masyarakat;
|
||||||
|
c.
|
puskesmas pembantu;
|
||||||
|
d.
|
laboratorium kesehatan daerah; dan
|
||||||
|
e.
|
tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis, yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||
(2)
|
dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, BUMN, BUMD, dan pihak swasta; dan
|
||||||
|
b.
|
administrasi.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||||||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||||||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, pendidikan, tempat ibadah, sosial, perkantoran pemerintah, dan tempat umum lainnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||||
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir Tepi Jalan Umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud Pasal 60 ayat (1) huruf d adalah penyediaan dan pelayanan fasilitas pada pasar tradisional/sederhana.
|
|||||||
(2)
|
Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
|
|||||||
|
a.
|
toko;
|
||||||
|
b.
|
kios;
|
||||||
|
c.
|
los; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
pelataran, yang dikelola Pemerintah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||||||
Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang dan/atau jasa dari objek Retribusi Jasa Umum.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang dan/atau jasa dari objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 67 |
||||||||
Besarnya Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif jenis pelayanan Retribusi Jasa Umum.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 68 |
||||||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan Jenis Pelayanan Retribusi Jasa Umum.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Retribusi
Pasal 69 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut dengan tujuan untuk menutupi sebagian/seluruh biaya.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan tarif retribusi diatur dalam Peraturan Bupati
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||
Rincian tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Masa Retribusi dan Saat Retribusi Terutang
Pasal 71 |
||||||||
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Nama, Obyek, Subyek dan Wajib Retribusi
Pasal 72 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan/penyediaan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan Tempat Khusus Parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||||||
|
f.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
g.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
h.
|
pemanfaatan aset Daerah pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari penyediaan tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat kegiatan usaha yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||||||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||||
Penyediaan Tempat Khusus Parkir diluar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf c adalah penyediaan dan pelayanan pada Tempat Khusus Parkir yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf d pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan kelas dan fasilitas pendukung Penginapan/Pesanggrahan/Villa.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan mengenai kelas dan fasilitas pendukung Penginapan/Pesanggrahan/Villa diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf e adalah Jasa pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki,dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan rumah pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan hari raya keagamaan dan upacara adat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan dan penyediaan fasilitas pada tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemanfaatan fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf g merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dalam Peraturan Bupati untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(3)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||||
Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa Usaha.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||||||
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 83 |
||||||||
Besarnya Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif jenis pelayanan Retribusi Jasa Usaha.
|
||||||||
Paragraf 3
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 84 |
||||||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jenis pelayanan Retribusi Jasa Usaha.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Retribusi
Pasal 85 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||||||
Rincian Tarif retribusi jasa usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Masa Retribusi dan Saat Retribusi Terutang
Pasal 87 |
||||||||
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Nama, Obyek, Subyek dan Wajib Retribusi
Pasal 88 |
||||||||
Jenis pelayanan Retribusi Perizinan Tertentu yang merupakan Objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
|
||||||||
a.
|
persetujuan bangunan gedung (PBG); dan
|
|||||||
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing (TKA).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||||||
(1)
|
PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf a terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
layanan konsultasi pemenuhan standar teknis;
|
||||||
|
b.
|
penerbitan PBG;
|
||||||
|
c.
|
inspeksi Bangunan Gedung;
|
||||||
|
d.
|
penerbitan SLF dan SBKBG; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
pencetakan plakat SLF.
|
||||||
(2)
|
Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Wajib Retribusi untuk permohonan persetujuan yang meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pembangunan Bangunan Gedung baru;
|
||||||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah dibangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
PBG perubahan yaitu:
|
||||||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|||||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|||||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|||||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; dan/atau
|
|||||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Perizinan Tertentu PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerbitan PBG untuk bangunan milik pemerintah pusat, pemerintah daerah, bangunan yang memiliki fungsi keagamaan.
|
|||||||
(4)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, yaitu perubahan PBG untuk kegiatan pemeliharaan dan perawatan Bangunan Gedung.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari Objek Retribusi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah penggunaan TKA oleh:
|
|||||||
|
a.
|
instansi Pemerintah;
|
||||||
|
b.
|
perwakilan negara asing;
|
||||||
|
c.
|
badan internasional;
|
||||||
|
d.
|
lembaga sosial;
|
||||||
|
e.
|
lembaga keagamaan; dan
|
||||||
|
f.
|
jabatan tertentu di lembaga pendidikan,
|
||||||
|
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||||||
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||||||
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 93 |
||||||||
Besarnya Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif jenis pelayanan Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 94 |
||||||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan Jenis Pelayanan Retribusi perizinan Tertentu.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Retribusi
Pasal 95 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk pelayanan persetujuan Bangunan gedung mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung
|
|||||||
(4)
|
Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||||
Rincian Tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Masa Retribusi dan Saat Retribusi Terutang
Pasal 97 |
||||||||
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 98 |
||||||||
(1)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan Penetapan Bupati antara lain Surat Ketetapan Pajak Daerah dan Surat Pemberitahuan pajak terutang.
|
|||||||
(2)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik
|
|||||||
(5)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan:
|
|||||||
|
a.
|
Nominal pajak sampai dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah);
|
||||||
|
b.
|
Nominal pajak di atas Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
|
||||||
(6)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Bencana Alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||||||
(1)
|
Ketentuan mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
Pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
Penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||||||
|
c.
|
Pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
Pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
Pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
Pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
Penagihan Pajak dan Retribusi
|
||||||
|
h.
|
Keberatan;
|
||||||
|
i.
|
Gugatan;
|
||||||
|
j.
|
Pembatalan, penghapusan piutang pajak dan retribusi oleh Bupati; dan
|
||||||
|
k.
|
Pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak dan retribusi.
|
||||||
(3)
|
Pembayaran atau penyetoran Pajak dan Retribusi Daerah dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pajak
Pasal 101 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(2)
|
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Wajib Pajak diberikan 1 (satu) NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(3)
|
Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
|
|||||||
(4)
|
NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
|
|||||||
(5)
|
NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mendaftarkan diri, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
|
|||||||
(3)
|
Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||||
(5)
|
Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) paling lama:
|
|||||||
|
a.
|
1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD; dan
|
||||||
|
b.
|
6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT.
|
||||||
(6)
|
Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
|
|||||||
(8)
|
Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari jual beli berdasarkan nilai perolehan objek Pajak.
|
|||||||
(9)
|
Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
|||||||
|
a.
|
jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
|
||||||
|
b.
|
jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
|
||||||
(10)
|
Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) huruf b paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pembuat akta tanah dan/atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
|||||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||||||
|
b.
|
melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||||||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD setiap masa Pajak.
|
|||||||
(2)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(3)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu masa Pajak.
|
|||||||
(4)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bupati setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak melakukan pembukuan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun, menyelenggarakan pembukuan; dan
|
||||||
|
b.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
|
||||||
(2)
|
Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
|||||||
(3)
|
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
|
|||||||
(4)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia, di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan untuk dapat dilakukan pemeriksaan sewaktu-waktu oleh Badan Pendapatan Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
|
|||||||
|
a.
|
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak yang terutang;
|
||||||
|
b.
|
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
memberikan keterangan yang diperlukan.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), besarnya Pajak terutang ditetapkan secara jabatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
||||||||
(1)
|
Bupati dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
|
||||||
|
b.
|
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||||
(2)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(3)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh I (satu) bulan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Dari hasil Penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
|
||||||
|
b.
|
SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||||
(2)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(3)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh I (satu) bulan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
||||||||
(1)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kadaluarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(2)
|
Kadaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||||||
|
b.
|
ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(3)
|
Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Pengakuan utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kadaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||||||
(6)
|
Dalam hal ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kadaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi
Pasal 111 |
||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan alam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
|||||||
(6)
|
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkanpertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
|
|||||||
(4)
|
Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
|
|||||||
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD dikirim, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
|
|||||||
(4)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Bencana Alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit.
|
||||||
(5)
|
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan keberatan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
(3)
|
Keputusan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(4)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||||||
(1)
|
Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 116 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 117 |
||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
||||||||
a.
|
Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||
b.
|
Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||||
c.
|
Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Retribusi Perizinan tertentu,
|
|||||||
masing-masing diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pemberian Keringanan, Pengurangan dan Pembebasan
Pasal 118 |
||||||||
(1)
|
Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak dan Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak dan objek Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 119 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, antara lain:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena Bencana Alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM APBD
Pasal 120 |
||||||||
(1)
|
Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam mempertimbangkan paling sedikit:
|
|||||||
|
a.
|
kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
|
||||||
|
b.
|
potensi Pajak dan Retribusi.
|
||||||
(2)
|
Kebijakan makroekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 121 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 122 |
||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi dapat diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Banyuwangi.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 123 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 124 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan Perundang-Undangan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan Perundang-Undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 125 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 126 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan Perundang-Undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 127 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 128 |
||||||||
Sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 126, Pasal dan Pasal 127 yang apabila berupa denda merupakan pendapatan negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 129 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian;
|
|||||||
b.
|
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 122 hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||
c.
|
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku 1 Januari 2025.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 130 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (PBB-P2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (PBB-P2).
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB).
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu Sebagaimana Telah Diubah dua kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu;
|
|||||||
g.
|
Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 63 Tahun 2017 Tentang Pola Dan Besaran Tarif Pelayanan Kesehatan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Blambangan Kabupaten Banyuwangi (Berita Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2017 Nomor 63);
|
|||||||
h.
|
Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 64 Tahun 2017 Tentang Pola Dan Besaran Tarif Pelayanan Kesehatan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Genteng Kabupaten Banyuwangi (Berita Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2017 Nomor 64);
|
|||||||
i.
|
Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 18 Tahun 2023 Tentang Tarif Layanan Pada Badan Layanan Umum Daerah Pengelolaan Persampahan Kabupaten Banyuwangi (Berita Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2023 Nomor 18).
|
|||||||
dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 131 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010 Nomor 1/B);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011 Nomor 1/B) kecuali ketentuan yang memuat tentang Pajak MBLB;
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011 Nomor 1/C);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011 Nomor 2/C)
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011 Nomor 3/C);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 06 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (PBB-P2) (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012 Nomor B/1);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012 Nomor 1/B) kecuali ketentuan yang memuat tentang Pajak MBLB;
|
|||||||
h.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012 Nomor C/1)
|
|||||||
i.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013 Nomor 15)
|
|||||||
j.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2015 Nomor 5);
|
|||||||
k.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2015 Nomor 6);
|
|||||||
l.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 02 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2017 Nomor 16) kecuali ketentuan yang memuat tentang Pajak MBLB;
|
|||||||
m.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2017 Nomor 17);
|
|||||||
n.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi 2017 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Banyuwangi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi 18);
|
|||||||
o.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2018 Nomor 9);
|
|||||||
p.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (PBB-P2) (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2019 Nomor 11);
|
|||||||
q.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2022 Nomor 1);
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 132 |
||||||||
Ketentuan tentang Pajak MBLB yang dimuat dalam Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 huruf b, huruf g, dan huruf l dicabut dan dinyatakan tidak berlaku mulai tanggal 1 Januari 2025.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 133 |
||||||||
Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 134 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Banyuwangi
Pada tanggal 4 Januari 2024 BUPATI BANYUWANGI ttd. IPUK FIESTIANDANI AZWAR ANAS Diundangkan di Banyuwangi Pada tanggal 4 Januari 2024 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI ttd. H. MUJIONO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN 2024 NOMOR 1 |
||||||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAN KABUPATEN BANYUWANGI
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||
I.
|
PENJELASAN UMUM
|
|||||||||||||||||||||||
|
Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha. Kewenangan pungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil.
Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.
Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Kabupaten Banyuwangi di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paint ball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
termasuk homestay, rumah kos, rumah singgah atau usaha lain yang sejenis.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan air tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha di wilayah kabupaten banyuwangi baik berizin atau tidak berizin merupakan wajib pajak sehingga wajib membayar pajak daerah. Bukti pembayaran pajak daerah atas kegiatan usaha yg tidak berizin tidak dapat dijadikan dasar pengakuan atau pengesahan izin usaha. Pelaku usaha yang tidak berizin tetap harus mengikuti ketentuan perizinan walaupun sudah membayar pajak daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN 2024 NOMOR 1
|