Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANYUMAS,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli Daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Daerah, dalam mendukung upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Banyumas;
|
|||
b.
|
bahwa dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Banyumas, maka perlu dilakukan pengaturan dengan memperhatikan potensi Daerah;
|
|||
c.
|
bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||
d.
|
bahwa berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pengaturan seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan Daerah;
|
|||
e.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 42);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
|
|||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN BANYUMAS
dan
BUPATI BANYUMAS
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah adalah Kabupaten Banyumas.
|
|||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom.
|
|||
3.
|
Bupati adalah Bupati Banyumas.
|
|||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
|||
5.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
|||
6.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
7.
|
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
|
|||
8.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
|
|||
9.
|
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak Daerah, retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||
10.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
11.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
|
|||
12.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
|
|||
13.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perPajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
14.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
|
|||
15.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk Badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
16.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
17.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||
18.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||
19.
|
Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||
20.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||
21.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
22.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
|
|||
23.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||
24.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
|||
25.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui pesanan, oleh Restoran.
|
|||
26.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||
27.
|
Tenaga Listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan.
|
|||
28.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||
29.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penurut persentase tertentu.
|
|||
30.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok Pajak Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
31.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
32.
|
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
|
|||
33.
|
Pemberian Insentif adalah dukungan kebijakan fiskal dari Pemerintah Daerah kepada Masyarakat dan/atau Investor untuk meningkatkan investasi di Daerah.
|
|||
34.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang menjadi dasar wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terhutang.
|
|||
35.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
36.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
37.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
38.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
39.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan Daerah pada umumnya.
|
|||
40.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||
41.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetornya.
|
|||
42.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPPD, adalah Surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak terutang ke Kas Daerah atau tempat lain yang ditetapkan Bupati.
|
|||
43.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
|
|||
44.
|
Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran Retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
|
|||
45.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak terutang.
|
|||
46.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||
47.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||
48.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
49.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||
50.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||
51.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pokok Pajak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||
52.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
53.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
54.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
55.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
56.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||
57.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
58.
|
Surat Pemberitahuan Objek PBB-P2 yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek pajak dan objek pajak PBB-P2 sesuai dengan Peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
59.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
|||
60.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan bangunan gedung.
|
|||
61.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga Negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
|||
62.
|
Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh pemberi kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan Negara bukan pajak atau pendapatan Daerah.
|
|||
63.
|
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
|
|||
64.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
65.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
|
|||
66.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memeringatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||
67.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
|||
68.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
69.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||
70.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang Pajak dan biaya penagihan Pajak.
|
|||
71.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, Pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
|||
72.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan Daerah dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar hukum pemungutan Pajak dan Retribusi bagi Pemerintah Daerah, serta memberikan kepastian hukum atas Pemungutan Pajak dan Retribusi bagi masyarakat.
|
|||
(2)
|
Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
|
||||
a.
|
Pajak Daerah;
|
|||
b.
|
Retribusi Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak yang diatur dalam Peraturan Daerah ini meliputi:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
BPHTB;
|
||
|
c.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
|
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
|
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
e.
|
PAT;
|
||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
||
|
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||
|
h.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
i.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak yang tidak dipungut dalam Peraturan Daerah ini adalah Pajak Sarang Burung Walet.
|
|||
(3)
|
Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
c.
|
PAT;
|
||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(4)
|
Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
BPHTB;
|
||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
Jasa Parkir; dan
|
|
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
|
|
c.
|
Pajak MBLB; dan
|
||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||
(5)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu SKPD dan SPPT.
|
|||
(6)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yaitu SPTPD.
|
|||
(7)
|
Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PBB-P2
Paragraf 1
Objek Pajak, Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
|
||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut Pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
|||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||
(3)
|
NJOP tidak kena Pajak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
|
|||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena Pajak.
|
|||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
Kenaikan NJOP hasil kenaikan;
|
||
|
b.
|
Bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||
|
c.
|
Klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
|
||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran prosentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma satu lima persen).
|
|||
(2)
|
Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi objek PBB-P2 berupa lahan produksi dan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
|
|||
(2)
|
Saat terutangnya PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
|||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Tempat Pemungutan PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||
(2)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||
|
a.
|
Laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya;dan
|
||
|
b.
|
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BPHTB
Paragraf 1
Objek Pajak, Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|
|
|
3.
|
hibah;
|
|
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|
|
|
5.
|
waris;
|
|
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lain;
|
|
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|
|
|
13.
|
hadiah.
|
|
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
hak milik;
|
||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||
|
d.
|
hak pakai;
|
||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||
|
c.
|
untuk Badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
|
||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
|
|||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek Pajak.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
Tarif BPHTB sebesar 5% (lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
|
|||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan/atau hibah;
|
||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak baru di luar pelepasan hak;
|
||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli tanah adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
|||
|
a.
|
jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
|
||
|
b.
|
jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal l0 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(2)
|
Dalam hal pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
|
||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PBJT
Paragraf 1
Objek, Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 21 |
||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||
|
a.
|
restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||
|
|
1.
|
proses penyedian bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan; dan
|
|
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|
(2)
|
Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan makanan/minuman:
|
|||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulan;
|
||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandara udara.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada:
|
|||
|
a.
|
hotel;
|
||
|
b.
|
hostel;
|
||
|
c.
|
villa;
|
||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||
|
e.
|
motel;
|
||
|
f.
|
losmen;
|
||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalow/resort/cottage;
|
||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||
|
k.
|
glamping.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan
|
||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e meliputi:
|
|||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung pada suatu lokasi tertentu;
|
||
|
b.
|
pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||
|
e.
|
pameran;
|
||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||
|
k.
|
panti pijat, pijat refleksi; dan
|
||
|
l.
|
diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu meliputi:
|
|||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makan dan/atau minuman;
|
||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir;
|
||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di Daerah.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||
|
a.
|
tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||
|
b.
|
tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||
(2)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya kWh/variable yang ditagihkan dalam rekening listrik untuk pascabayar; dan
|
||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
||
(3)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(2)
|
Khusus untuk tarif PBJT atas jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
|
|||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh selain industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, di bawah 1300 VA ditetapkan sebesar 9% (sembilan persen);
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh selain industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, 1300 VA atau lebih ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan/atau
|
||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
|
|||
(2)
|
Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian Dan Hiburan.
|
||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Paragraf 1
Objek Pajak, Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||
(2)
|
Objek Pajak Reklame meliputi:
|
|||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
|
||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
|||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam areal tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklame diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
|
|||
(2)
|
Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||
Tarif Pajak Reklame sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Saat terutangnya Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PAT
Paragraf 1
Objek Pajak, Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat; dan
|
||
|
d.
|
keperluan keagamaan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 40 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak MBLB
Paragraf 1
Objek Pajak, Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|||
|
a.
|
asbes;
|
||
|
b.
|
batu tulis;
|
||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||
|
d.
|
batu kapur;
|
||
|
e.
|
batu apung;
|
||
|
f.
|
batu permata;
|
||
|
g.
|
bentonit;
|
||
|
h.
|
dolomit;
|
||
|
i.
|
feldspar;
|
||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||
|
k.
|
grafit;
|
||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||
|
m.
|
gips;
|
||
|
n.
|
kalsit;
|
||
|
o.
|
kaolin;
|
||
|
p.
|
leusit;
|
||
|
q.
|
magnesit;
|
||
|
r.
|
mika;
|
||
|
s.
|
marmer;
|
||
|
t.
|
nitrat;
|
||
|
u.
|
opsidien;
|
||
|
v.
|
oker;
|
||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||
|
y.
|
perlit;
|
||
|
z.
|
phospat;
|
||
|
aa.
|
talk;
|
||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||
|
cc.
|
tanah diatome;
|
||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
||
|
ff.
|
tras;
|
||
|
gg.
|
yarosif;
|
||
|
hh.
|
zeolit;
|
||
|
ii.
|
basal;
|
||
|
jj.
|
trakit;
|
||
|
kk.
|
belerang;
|
||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral;dan
|
||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
|||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
|
||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil MBLB.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan masing-masing jenis MBLB.
|
|||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitungkan berdasarkan harga jual rata-rata masing-masing jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah.
|
|||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara.
|
|||
(5)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
|||
(6)
|
Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
Besarnya tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dengan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
OPSEN PKB
Pasal 49 |
||||
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan 66% (enam puluh enam persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Opsen BBNKB
Pasal 54 |
||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib BBNKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 59 |
||||
Jenis Retribusi Daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah ini adalah:
|
||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Umum
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan dan/atau kelas pelayanan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan; dan
|
||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan luas, jenis tempat dan kelas pasar yang digunakan.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan
Pasal 63 |
||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pelayanan Kebersihan
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||
|
a.
|
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengelolaan atau pemusnahan akhir sampah.
|
||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
Pasal 65 |
||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Pasar
Pasal 66 |
||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana atau pasar rakyat berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 67 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dengan tarif Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha Paragraf 1 Umum
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||
|
f.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
g.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
h.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat pelayanan perlu penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha yaitu Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan Jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila, jenis dan fasilitas bangunan serta waktu penggunaan;
|
||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan fasilitas, rumah potong hewan dan jenis hewan potong;
|
||
|
f.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan frekuensi dan waktu pemanfaatan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga;
|
||
|
g.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan jumlah penjualan hasil produksi usaha Daerah;dan
|
||
|
h.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
Pasal 73 |
||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan
Pasal 74 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
Pasal 75 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila
Pasal 76 |
||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak
Pasal 77 |
||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga
Pasal 78 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
Pasal 79 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf g merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Pemanfaatan Aset Daerah yang Tidak Mengganggu Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah dengan Tidak Mengubah Status Kepemilikan sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 80 |
||||
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf h termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(3)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||
|
tata cara perhitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(4)
|
Peraturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan perhitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
(5)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat ditetapkan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||
(6)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi daerah;
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(7)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||
(8)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(9)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||
(10)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Tata cara perhitungan besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang atas pelayanan pemanfaatan barang milik daerah ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
Nilai retribusi terutang dari sewa dihitung berdasarkan perkalian antara tarif pokok sewa dan faktor penyesuai sewa;
|
||
|
b.
|
Nilai retribusi terutang dari kerja sama pemanfaatan yang terdiri atas kontribusi tetap dan pembagian keuntungan ditetapkan oleh Bupati;
|
||
|
c.
|
Nilai retribusi terutang dari hasil bangun guna serah/bangun serah guna berupa kontribusi tahunan dihitung oleh Tim yang dibentuk oleh Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
||
|
d.
|
Nilai retribusi terutang dari kerja sama penyediaan infrastruktur berupa pembagian kelebihan keuntungan (clawback) ditetapkan oleh Bupati dengan mempertimbangkan hasil kajian dari Tim kerja sama penyediaan infrastruktur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan besaran Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan asset daerah dan penetapan tarifnya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Umum
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
PBG; dan
|
||
|
b.
|
Penggunaan TKA.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
|
||
|
b.
|
pelayanan penggunaan TKA diukur berdasarkan jangka waktu Penggunaan TKA dan jumlah TKA yang digunakan.
|
||
(3)
|
Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||
|
a)
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
|
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi;
|
|
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
|
|
|
b)
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Volume;
|
|
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
(3)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
|
|||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(4)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
(6)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap SHST dan Indeks Lokalitas.
|
|||
(7)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
PBG
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
|||
(3)
|
Penerbitan PBG tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||
|
a.
|
pembangunan baru;
|
||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG;
|
||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|
(4)
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
|||
(5)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penggunaan TKA
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan TKA oleh:
|
|||
|
a.
|
instansi pemerintah;
|
||
|
b.
|
perwakilan negara asing;
|
||
|
c.
|
badan internasional;
|
||
|
d.
|
lembaga sosial;
|
||
|
e.
|
lembaga keagamaan;dan
|
||
|
f.
|
jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
||
|
|
|
|
|
BAB V
BLUD
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Objek dan rincian objek retribusi Pelayanan Kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLUD sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(2)
|
Penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD untuk pelayanan Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dan pelayanan Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Pembayaran retribusi yang dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 93 |
||||
Pajak dan Retribusi yang terutang dipungut di Daerah Kabupaten Banyumas.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB VII
SAAT TERUTANG PAJAK
Pasal 94 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
|
|||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 95 |
||||
(1)
|
Ketentuan mengenai tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati;
|
|||
(2)
|
Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||
|
d.
|
pelaporan;
|
||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
h.
|
keberatan;
|
||
|
i.
|
gugatan;
|
||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi;
|
||
|
k.
|
tata cara pengenaan sanksi administrasi;dan
|
||
|
l.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||
(3)
|
Pembayaran dan penyetoran pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronifikasi.
|
|||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronifikasi belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
INSENTIF FISKAL PAJAK DAN RETRIBUSI BAGI PELAKU USAHA
Pasal 96 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah;dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan;dan/atau
|
||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
|
||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
|||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||
(1)
|
Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
|
|||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||
(7)
|
Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat
|
|||
(7)
|
huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||
|
a.
|
Bencana alam;
|
||
|
b.
|
Kebakaran;
|
||
|
c.
|
Wabah penyakit; dan/atau
|
||
|
d.
|
Keadaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
PEMANFAATAN PENERIMAAN
Pasal 101 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan penerimaan Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan jenis pelayanan Objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Pemanfaatan penerimaan tiap jenis pelayanan Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan untuk:
|
|||
|
a.
|
insentif pemungutan sebesar 5% (lima persen);
|
||
|
b.
|
operasional kegiatan dan peningkatan pelayanan yang berkaitan langsung dengan jenis pelayanan Objek Retribusi paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
|
||
|
c.
|
sisanya digunakan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan umum.
|
||
(4)
|
Perincian dan tata cara pemanfaatan penerimaan tiap jenis pelayanan objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 102 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yakni:
|
|||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan Daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XII
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 103 |
||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
|
|||
(3)
|
Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIII
SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 104 |
||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
|
|||
(3)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
|
|||
|
a.
|
pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
b.
|
penanganan piutang pajak dan retribusi;
|
||
|
c.
|
melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi pajak dan retribusi;
|
||
|
d.
|
optimalisasi pelaksanaan opsen pajak;
|
||
|
e.
|
pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
|
||
|
f.
|
penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
|
||
|
g.
|
mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
|
||
|
h.
|
pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektifitas pemungutan pajak dan retribusi;
|
||
|
i.
|
pelaksanaan kerja sama teknis;
|
||
|
j.
|
pertukaran data dan informasi;
|
||
|
k.
|
hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
|
|||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
|
||
|
c.
|
Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 106 |
||||
(1)
|
Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Bupati.
|
|||
(2)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
|
|||
|
a.
|
koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
b.
|
penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi; dan
|
||
|
c.
|
perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
|
||
(3)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XV
SISTEM INFORMASI
Pasal 107 |
||||
(1)
|
Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
|||
|
a.
|
kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
|
||
|
b.
|
potensi Pajak dan Retribusi.
|
||
(2)
|
Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
|
|||
(3)
|
Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek pajak dan retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||
(1)
|
Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya.
|
|||
(3)
|
Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XVI
PEMERIKSAAN PAJAK
Pasal 109 |
||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
|
||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XVII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 110 |
||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||
(1)
|
Wajib pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak, Wajib mengisi SPTPD.
|
|||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak.
|
|||
(3)
|
Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah setiap STPD.
|
|||
(5)
|
Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||
(6)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit;dan/atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan, tidak memenuhi dokumen surat pemberitahuan pajak daerah secara benar dan lengkap serta tidak disampaikan kepada Pemerintah Daerah sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan, tidak memenuhi dokumen surat pemberitahuan pajak daerah secara benar dan lengkap serta tidak disampaikan kepada Pemerintah Daerah sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan dan pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112 dan Pasal 114 merupakan pendapatan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116 |
||||
(1)
|
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa perjanjian.
|
|||
(4)
|
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 103, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 117 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, maka:
|
||||
1.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah beberapa diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 22 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
|
|||
2.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 19 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum di Kabupaten Banyumas sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 19 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum di Kabupaten Banyumas;
|
|||
3.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 20 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha di Kabupaten Banyumas sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Retribusi Jasa Usaha di Kabupaten Banyumas;
|
|||
4.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu di Kabupaten Banyumas sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 11 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu di Kabupaten Banyumas; dan
|
|||
5.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 4 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung dan Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 118 |
||||
Peraturan Bupati pelaksana dari Peraturan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan belum diganti dengan Peraturan Bupati sesuai dengan Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 119 |
||||
Peraturan pelaksanaan peraturan Daerah ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun setelah Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 120 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Banyumas.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Purwokerto
pada tanggal 5 Januari 2024
Pj. BUPATI BANYUMAS,
ttd.
HANUNG CAHYO SAPUTRO
Diundangkan di Purwokerto
pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANYUMAS,
ttd.
JUNAIDI
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||
|
|
|
|
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
I.
|
UMUM
|
|||
|
Peningkatan kesejahteran rakyat dimulai adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah yang menjadi simpul rerata peningkatan kesejahteraan secara nasional. Sejalan dengan hal itu maka peran daerah-daerah amat penting untuk menopang keberlangsungan peningkatan kesejahteraan rakyat secara nasional. Daerah-daerah diberikan peran yang proporsional berdasarkan asas desentralisasi dalam rangka semangat otonomi daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, memerintahkan adanya otonomi daerah kabupaten/kota dan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai hak dan kewajiban kepada para penyelenggara pemerintahan daerah. Penerapan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan (urusan) pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah. Kebijakan desentralisasi tersebut ditetapkan dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di masing-masing daerah. Keberhasilan kebijakan desentralisasi melalui pelaksanaan otonomi daerah tersebut tentu saja memerlukan banyak faktor pendukung, salah satunya adalah kemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya, dalam rangka menggerakkan roda pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat daerah yang bersangkutan. Salah satu sumber pendapatan daerah yang sangat signifikan menopang pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharapkan terdapat penyempurnaan implementasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan keuangan pusat dan daerah sebelumnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang akuntabel, efisien, transparan dan berkeadilan guna mewujudkan pemerataan pelayanan publik dan 8 peningkatan kesejahteraan di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mencapai tujuan tersebut hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terdiri dari 4 (empat) unsur utama yaitu mengembangkan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mengembangkan sistem pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional, harmonisasi kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan peningkatan kualitas belanja daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Bab II telah merubah pengaturan terkait pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Pemerintah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru, penyederhanaan jenis retribusi, dan harmonisasi dengan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten dan kota terdiri atas: |
|||
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
1.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2);
|
||
|
2.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
|
||
|
3.
|
Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT);
|
||
|
4.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
5.
|
Pajak Air Tanah (PAT);
|
||
|
6.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB);
|
||
|
7.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||
|
8.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB); dan
|
||
|
9.
|
Opsen Biaya Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
|
||
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 ayat (2) tersebut di atas merubah struktur pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perbedaan Struktur Pajak Daerah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah antara lain: PBJT, Opsen PKB dan Opsen BBNKB merupakan nomenklatur dan sumber Pajak daerah baru bagi Pemerintah Kabupaten.
Pasal 87 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa jenis layanan retribusi terdiri terdiri atas:
|
|||
|
||||
|
1.
|
Retribusi Jasa Usaha Umum
|
||
|
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum meliput:
|
||
|
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
|
|
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
|
|
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
|
|
|
|
d.
|
pelayanan pasar; dan
|
|
|
|
e.
|
pelayanan pengendalian lalu lintas.
|
|
|
2.
|
Retribusi Jasa Usaha
|
||
|
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
|
||
|
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
|
|
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
|
|
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|
|
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
|
|
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
|
|
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
|
|
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
|
|
|
h.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
|
|
|
i.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
|
|
|
j.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
|
3.
|
Retribusi Perizinan Tertentu
|
||
|
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
|
||
|
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung;
|
|
|
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing; dan
|
|
|
|
c.
|
pengelolaan pertambangan rakyat.
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 tersebut di atas merubah struktur retribusi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa jenis pajak dan retribusi, subjek pajak dan wajib pajak, subjek retribusi dan wajib retribusi, objek pajak dan retribusi, dasar pengenaan pajak dan tingkat pengenaan jasa retribusi, saat terutang pajak, wilayah pemungutan pajak serta tarif pajak dan retribusi, untuk seluruh jenis pajak dan retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah dan menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah. Pasal tersebut merupakan amanat baru untuk menyatukan atau menyederhanakan peraturan terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah agar ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah karena pada umumnya pemerintah daerah selama ini menetapkan peraturan daerah per jenis pajak daerah maupun retribusi daerah.
Pasal 188 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) dinyatakan tetap berlaku. Hal tersebut merupakan amanat agar Pemerintah Daerah segera menyusun Peraturan Daerah agar kebijakan pemerintah dalam penyempurnaan struktur pajak dan retribusi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat segera dilaksanakan.
|
|||
|
||||
|
|
|
|
|
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||
|
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan dipungut oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Misalnya terdapat ruas jalan tol yang melintas di suatu Kabupaten. Pemungutan PBB-P2 atas jalan tol yang membentang dalam wilayah Kota X dan Kabupaten Y wilayah pemungutannya akan dibagi dua sesuai batas administratif kota dan kabupaten dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undanganan.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Cukup jelas
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Cukup jelas
Pasal 116
Cukup jelas
Pasal 117
Cukup jelas
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119
Cukup jelas
Pasal 120
Cukup jelas
|
|||
|
|
|
|
|
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 84
|