Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANDUNG BARAT,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa dalam rangka memperkuat basis sumber penerimaan daerah dari sektor Pendapatan Asli Daerah, guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah perlu mengatur sistem pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang efektif dan berkepastian hukum;
|
|||
b.
|
bahwa restrukturisasi jenis pajak daerah dan retribusi daerah, merupakan kebijakan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam rangka memperkuat kebijakan fiskal daerah guna memberikan pelayanan ke masyarakat;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||
d.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah;
|
|||
e.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4688);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
|||
5.
|
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
6.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang Dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
13.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT
dan
BUPATI BANDUNG BARAT
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut Daerah adalah Kabupaten Bandung Barat.
|
|||
2.
|
Bupati adalah Bupati Bandung Barat.
|
|||
3.
|
Pemerintah Daerah Kabupaten adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom.
|
|||
4.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
5.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
6.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
7.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
8.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan Pajak.
|
|||
9.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
10.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
11.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
|
|||
12.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
13.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||
14.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||
15.
|
Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||
16.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||
17.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
18.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
|
|||
19.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||
20.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
|||
21.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||
22.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||
23.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||
24.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||
25.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||
26.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||
27.
|
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||
28.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
|||
29.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||
30.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||
31.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
|
|||
32.
|
Pajak MBLB adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||
33.
|
Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
34.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah atas pokok Pajak Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
35.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah atas pokok Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
36.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
37.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
38.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
39.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
40.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai flexibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||
41.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak atau wajib Retribusi serta pengawasan setorannya.
|
|||
42.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||
43.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, obyek pajak dan/atau bukan obyek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
44.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
|
|||
45.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang.
|
|||
46.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||
47.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||
48.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
49.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
|
|||
50.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
51.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
52.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||
53.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak Daerah kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak, dan semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak.
|
|||
54.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
|
|||
55.
|
Jurusita Pajak Daerah adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
|||
56.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||
57.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
58.
|
Putusan Banding adalah putusan Badan Peradilan Pajak atas Banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
59.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan retribusi daerah.
|
|||
60.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
|||
61.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
62.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
63.
|
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi yang selanjutnya disebut Insentif adalah tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
BPHTB;
|
||
|
c.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau minuman;
|
|
|
|
2.
|
Tenaga listrik;
|
|
|
|
3.
|
Jasa perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
Jasa parkir;
|
|
|
|
5.
|
Jasa kesenian dan hiburan.
|
|
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
e.
|
PAT;
|
||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
||
|
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||
|
h.
|
Opsen PKB:
|
||
|
i.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
c.
|
PAT;
|
||
|
d.
|
Opsen PKB;
|
||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak, terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
BPHTB
|
||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
Makanan dan Minuman;
|
|
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
|
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
Jasa Parkir;
|
|
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan;
|
|
|
c.
|
Pajak MBLB.
|
||
|
d.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
|
|||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
|
|||
(5)
|
Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Objek Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
|
||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
|
|||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||
(5)
|
Penetapan NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan Daerah.
|
|||
(6)
|
Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan:
|
|||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten.
|
||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen);
|
|||
(2)
|
Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak sebesar 0,2% (nol koma dua persen); dan
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai lahan produksi pangan dan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
|
|||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||
(4)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
|
|
|
3.
|
hibah;
|
|
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|
|
|
5.
|
waris;
|
|
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|
|
|
13.
|
hadiah;
|
|
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
hak milik;
|
||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||
|
d.
|
hak pakai;
|
||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
|
||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
|||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
|||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||
(4)
|
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 15 |
||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
|
||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
|||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||
|
a.
|
dengan peredaran usaha/omzet tidak melebihi Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) per bulan;
|
||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
c.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara;
|
||
|
d.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b, adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||
|
a.
|
hotel;
|
||
|
b.
|
hostel;
|
||
|
c.
|
vila;
|
||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||
|
e.
|
motel;
|
||
|
f.
|
losmen;
|
||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||
|
k.
|
glamping.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e meliputi:
|
|||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||
|
e.
|
pameran;
|
||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran;
|
||
|
c.
|
pertunjukan kesenian dan hiburan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dengan tidak dipungut bayaran; dan
|
||
|
d.
|
pameran pembangunan daerah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dengan tidak dipungut bayaran.
|
||
(3)
|
Ketentuan jenis permainan ketangkasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
(2)
|
Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||
(2)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
||
(3)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik, dan
|
||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||
(4)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Tarif Pajak PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
|
|||
(3)
|
Khusus Tarif Pajak PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||
|
a.
|
pengguna kegiatan sosial sebesar 3% (tiga persen);
|
||
|
b.
|
rumah tangga:
|
||
|
|
1.
|
pengguna daya 450 VA sampai dengan 900 VA sebesar 4,5% (empat koma lima persen);
|
|
|
|
2.
|
pengguna daya di atas 900 VA sebesar 6% (enam persen);
|
|
|
c.
|
bisnis:
|
||
|
|
1.
|
pengguna daya sampai dengan 200 KVA sebesar 7% (tujuh persen); dan
|
|
|
|
2.
|
pengguna daya diatas 200 KVA sebesar 8% (delapan persen);
|
|
|
d.
|
pengguna industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, traksi, curah dan layanan khusus sebesar 3% (tiga persen);
|
||
|
e.
|
konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
|||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran media Reklame.
|
|||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan reklame.
|
|||
(4)
|
Khusus untuk reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pajak PAT
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
peternakan rakyat; dan
|
||
|
e.
|
keperluan keagamaan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||
(3)
|
Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor berikut:
|
|||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak MBLB
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|||
|
a.
|
asbes;
|
||
|
b.
|
batu tulis;
|
||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
||
|
d.
|
batu kapur;
|
||
|
e.
|
batu apung;
|
||
|
f.
|
batu permata;
|
||
|
g.
|
bentonit;
|
||
|
h.
|
dolomit;
|
||
|
i.
|
feldspar;
|
||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
||
|
k.
|
grafit;
|
||
|
l.
|
granit/andesit;
|
||
|
m.
|
gips;
|
||
|
n.
|
kalsit;
|
||
|
o.
|
kaolin;
|
||
|
p.
|
leusit;
|
||
|
q.
|
magnesit;
|
||
|
r.
|
mika;
|
||
|
s.
|
marmer;
|
||
|
t.
|
nitrat;
|
||
|
u.
|
obsidian;
|
||
|
v.
|
oker;
|
||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
||
|
y.
|
perlit;
|
||
|
z.
|
fosfat;
|
||
|
aa.
|
talk;
|
||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
||
|
dd.
|
tanah liat;
|
||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
||
|
ff.
|
tras;
|
||
|
gg.
|
yarosit;
|
||
|
hh.
|
zeolit;
|
||
|
ii.
|
basal;
|
||
|
jj.
|
trakhit;
|
||
|
kk.
|
belerang;
|
||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
|||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
|
||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
|
||
|
c.
|
untuk keperluan pembangunan rumah ibadah yang dibiayai oleh masyarakat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
|||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
|||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen PKB
Pasal 41 |
||||
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||
(1)
|
Besaran Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen BBNKB
Pasal 46 |
||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB merupakan wajib pajak BBNKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Besaran Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 49.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam Bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), kecuali untuk BPHTB.
|
|||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Masa Pajak dan Tahun Pajak ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 52 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h, dialokasikan sebesar 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h, dialokasikan sebesar 2% (dua persen) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pemungutan PKB.
|
|||
(3)
|
Hasil penerimaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i, dialokasikan sebesar 2% (dua persen) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pemungutan BBNKB.
|
|||
(4)
|
Penggunaan hasil penerimaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB untuk mendukung kegiatan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) digunakan antara lain untuk:
|
|||
|
a.
|
sosialisasi atau edukasi untuk meningkatkan kepatuhan Masyarakat dalam membayar pajak;
|
||
|
b.
|
penyelenggaraan pelayanan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT);
|
||
|
c.
|
penegakan hukum atau operasi gabungan penertiban administrasi kendaraan bermotor; dan/atau
|
||
|
d.
|
penelusuran Kendaraan Tidak Melakukan Daftar Ulang (KTMDU) atau penagihan tunggakan PKB/pendataan Wajib Pajak.
|
||
(5)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c angka 2, dialokasikan sebesar 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||
(6)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||
(7)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e, dialokasikan sebesar 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
|||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati dengan mempedomani Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
|
|||
(9)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 53 |
||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Retribusi Jasa Umum
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a, meliputi:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disediakan atau diberikan oleh Daerah berdasarkan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a, merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai/klinik pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan:
|
|||
|
a.
|
jalan umum;
|
||
|
b.
|
taman;
|
||
|
c.
|
tempat ibadah;
|
||
|
d.
|
sosial; dan
|
||
|
e.
|
tempat pemakaman umum.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan penyediaan tempat parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf d, merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana yang dikelola oleh Pemerintah Daerah berupa:
|
|||
|
a.
|
pelataran;
|
||
|
b.
|
los; dan
|
||
|
c.
|
kios.
|
||
(2)
|
Klasifikasi kelas pasar ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Tipe A merupakan kelas pasar yang beroperasi setiap hari, memiliki jumlah Pedagang paling sedikit 400 (empat ratus) orang, dan memiliki luas lahan paling sedikit 5.000 M² (lima ribu meter persegi);
|
||
|
b.
|
Tipe B merupakan kelas pasar yang beroperasi paling sedikit 3 (tiga) hari dalam 1 (satu) pekan, memiliki jumlah Pedagang paling sedikit 275 (dua ratus tujuh puluh lima) orang, dan memiliki luas lahan paling sedikit 4.000 M² (empat ribu meter persegi);
|
||
|
c.
|
Tipe C merupakan kelas pasar yang beroperasi paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) pekan, memiliki jumlah Pedagang paling sedikit 200 (dua ratus) orang, dan memiliki luas lahan paling sedikit 3.000 M² (tiga ribu meter persegi); dan
|
||
|
d.
|
Tipe D merupakan kelas pasar yang beroperasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) pekan, memiliki jumlah Pedagang paling sedikit 100 (seratus) orang, dan memiliki luas lahan paling sedikit 2.000 M² (dua ribu meter persegi).
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Jasa Umum
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
|
||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
||
(3)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya, sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(3)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 62 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b, meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
h.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
i.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk penyediaan/pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
Pemerintah pusat;
|
||
|
b.
|
badan usaha milik negara;
|
||
|
c.
|
badan usaha milik daerah; dan
|
||
|
d.
|
pihak swasta.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a, merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Klasifikasi tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Tipe A merupakan kelas pasar yang beroperasi setiap hari, memiliki jumlah Pedagang paling sedikit 400 (empat ratus) orang, dan memiliki luas lahan paling sedikit 5.000 M² (lima ribu meter persegi);
|
||
|
b.
|
Tipe B merupakan kelas pasar yang beroperasi paling sedikit 3 (tiga) hari dalam 1 (satu) pekan, memiliki jumlah Pedagang paling sedikit 275 (dua ratus tujuh puluh lima) orang, dan memiliki luas lahan paling sedikit 4.000 M² (empat ribu meter persegi);
|
||
|
c.
|
Tipe C merupakan kelas pasar yang beroperasi paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) pekan, memiliki jumlah Pedagang paling sedikit 200 (dua ratus) orang, dan memiliki luas lahan paling sedikit 3.000 M² (tiga ribu meter persegi); dan
|
||
|
d.
|
Tipe D merupakan kelas pasar yang beroperasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) pekan, memiliki jumlah Pedagang paling sedikit 100 (seratus) orang, dan memiliki luas lahan paling sedikit 2.000 M² (dua ribu meter persegi);
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b, merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf c, merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf d, merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf e, merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (l) huruf f, merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf g, merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf h, merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Jasa Usaha
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
|
||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
|
||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
h.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||
|
i.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(3)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur,
|
||
|
tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(4)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
(5)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||
(6)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(7)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||
(8)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(9)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||
(10)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 74 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||
(1)
|
Pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a, meliputi penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung, inspeksi bangunan gedung, penerbitan Sertifikat Laik Fungsi dan SBKBG, serta pencetakan plakat Sertifikat Laik Fungsi.
|
|||
(3)
|
Penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki Persetujuan Bangunan Gedung dan/atau Sertifikat Laik Fungsi;
|
||
|
c.
|
Persetujuan Bangunan Gedung perubahan untuk:
|
||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|
|
d.
|
Persetujuan Bangunan Gedung perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||
(4)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung untuk:
|
|||
|
a.
|
bangunan milik pemerintah dan/atau pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
bangunan yang dibangun dan dibiayai melalui APBN dan/atau APBD; dan
|
||
|
c.
|
bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
|
||
(5)
|
Bangunan milik pemerintah atau pemerintah daerah yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a adalah Bangunan Gedung negara untuk keperluan dinas yang menjadi barang milik negara atau daerah dan diadakan dengan sumber pendanaan yang berasal dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau perolehan lainnya yang sah.
|
|||
(6)
|
Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan bangunan dari program pemerintah/pemerintah daerah untuk hunian masyarakat berpenghasilan rendah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||
(1)
|
Pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan untuk:
|
|||
|
a.
|
instansi pemerintah pusat;
|
||
|
b.
|
instansi pemerintah daerah;
|
||
|
c.
|
perwakilan negara asing;
|
||
|
d.
|
badan internasional;
|
||
|
e.
|
lembaga sosial;
|
||
|
f.
|
lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Perizinan Tertentu
Pasal 77 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan;
|
||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan; dan
|
||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
|
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
|
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Volume;
|
|
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
(3)
|
Pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
|||
(4)
|
Pelayanan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||
(3)
|
Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung
|
||
(4)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||
(5)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||
(6)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
(9)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
|
|||
(10)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 80 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
(4)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mendaftarkan diri, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
|
|||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
|
|||
(5)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
|||
(6)
|
Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(7)
|
Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
|
|||
(8)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
|||
(9)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SPTPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar:
|
|||
|
a.
|
Rp50.000,- (lima puluh ribu rupiah) bagi wajib pajak orang pribadi; dan/atau
|
||
|
b.
|
Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) bagi wajib pajak badan.
|
||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||
(5)
|
Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||
(7)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
|||
(8)
|
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) didahului dengan Surat Teguran.
|
|||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
|||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||
(7)
|
Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
|||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||
|
b.
|
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
|||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
|||
(5)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) atau ayat (2), dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
|||
(6)
|
Penetapan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah Daerah.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||
(2)
|
Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN INVESTASI
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah dan diberitahukan kepada dewan perwakilan rakyat daerah.
|
|||
(5)
|
Pemberitahuan kepada dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak dan Wajib Retribusi.
|
|||
(4)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
lahan pertanian yang sangat terbatas;
|
||
|
b.
|
tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu;
|
||
|
c.
|
nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu; dan
|
||
|
d.
|
objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Pelanggaran kewajiban Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah oleh Wajib Pajak Daerah dan/atau Wajib Retribusi Daerah, dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SSPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 merupakan pendapatan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB IX
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 96 |
||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
|
|||
(3)
|
Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 97 |
||||
Perangkat Daerah yang membidangi Pendapatan berwenang melaksanakan rekonsiliasi penerimaan retribusi Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 98 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di bidang Pajak dan Retribusi Daerah yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||
(1)
|
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 101 |
||||
(1)
|
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:
|
|||
|
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2010 Nomor 6);
|
||
|
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 11 Tahun 2010 tentang Retribusi di Bidang Perhubungan (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2010 Nomor 11);
|
||
|
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2011 Nomor 1);
|
||
|
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 6 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 6 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013 Nomor 4 Seri C);
|
||
|
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 8 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penataan Bangunan dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2011 Nomor 8);
|
||
|
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2011 Nomor 22);
|
||
|
g.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 16 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2012 Nomor 16 seri C);
|
||
|
h.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 5 Tahun 2013 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013 Nomor 5 seri C);
|
||
|
i.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2014 Nomor 6 seri C);
|
||
|
j.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2016 Nomor 12 seri B);
|
||
|
k.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2021 Nomor 1 Seri A, Noreg Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (1/108/2021), Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 1);
|
||
|
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||
(2)
|
Peraturan pelaksana dari Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan tetap berlaku sepanjang mengenai ketentuan dan belum diganti serta tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pencegahan, Penanggulangan Bahaya Kebakaran dan Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2011 Nomor 9);
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemakaman dan Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2012 Nomor 17 seri C);
|
|||
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Peternakan, Kesehatan Hewan, dan Retribusi Pelayanan Kesehatan Hewan Pada Pusat Kesehatan Hewan dan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2014 Nomor 2 seri C);
|
|||
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik dan Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2016 Nomor 10 seri C);
|
|||
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Menara Telekomunikasi dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2016 Nomor 11 seri C);
|
|||
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 1 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Tera/Tera Ulang dan Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2018 Nomor 1 Seri C, Noreg Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (1/30/2018);
|
|||
sepanjang mengatur mengenai retribusi daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||
Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Ngamprah
Pada tanggal 3 Januari 2024
Pj. BUPATI BANDUNG BARAT,
ttd.
ARSAN LATIF
Diundangkan di Ngamprah
pada tanggal 4 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT,
ttd.
ADE ZAKIR
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Kabupaten Bandung Barat selaku daerah otonom mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan tersebut, daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat yang bersifat memaksa yang diatur dengan Undang-Undang sebagaimana telah ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, dan penempatan beban pajak yang didasarkan pada Undang-Undang perpajakan daerah.
Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang pemungutannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka menindaklanjuti perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, diperlukan adanya penyesuaian Pengaturan Pajak Daerah dengan membentuk peraturan daerah baru.
Dengan diberlakukannya peraturan daerah tentang pajak daerah ini, diharapkan kemampuan daerah dalam perpajakan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah. Di pihak lain, dengan ditetapkannya jenis pajak daerah ini akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Besaran persentase NJOP atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Termasuk pelayanan administrasi antara lain pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 66
Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1
|