Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
831/B/PK/PJK/2017


DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
 
 
 
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
1.
Dadang Suwarna, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak.
2.
Dayat Pratikno, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
3.
Farchan Ilyas, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
4.
Devri Oskandar, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
 
 
 
 
 
Keempatnya pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, berkantor di Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. SKU-2491/PJ./2015 tanggal 07 Juli 2015;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
 
PT. DELTAPACK INDUSTRI, beralamat di Kawasan BIIE C7-7, Sukadami, Bekasi, diwakili oleh Johannes Zaminda Jali selaku Direktur Utama;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
 
Mahkamah Agung tersebut;
 
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
 
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-60392/PP/M.XVA/16/2015, Tanggal 23 Maret 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
 
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
 
Bahwa dengan ini Pemohon Banding mengajukan banding atas keputusan Terbanding Nomor: KEP-1640/WPJ.22/BD.06/2013 tertanggal 11 November 2013 tentang keputusan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor: 00804/207/10/431/12 tanggal 24 September 2012 Masa Pajak Oktober 2010;
A.
Kronologis Terbitnya Keputusan yang Diajukan Banding
 
1.
Bahwa tanggal 24 September 2012 Terbanding menerbitkan SKPKB Masa Oktober 2010 Nomor: 00804/207/10/431/12 (Bukti P-01) dengan perhitungan:
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa tanggal 13 November 2012, atas SKPKB Masa Oktober 2010 Nomor: 00804/207/10/431/12 tanggal 24 September 2012 tersebut Pemohon Banding mengajukan keberatan;
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa tanggal 11 November 2013, Terbanding menolak keberatan Pemohon Banding dengan Surat Nomor: KEP-1640/WPJ.22/BD.06/2013 (Bukti P-02);
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa berdasarkan Ikhtisar Pembahasan Akhir (Bukti P-03) dan Risalah Pembahasan (Bukti P-04) tanggal 19 September 2012, diketahui sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa tidak disetujui koreksi Terbanding karena untuk penghitungan PPh Terbanding melakukan gross-up Peredaran Usaha, dan sehubungan dengan gross-up Peredaran Usaha tersebut Terbanding melakukan koreksi atas penyerahan atau dasar pengenaan pajak (DPP) yang terutang PPN sebesar seperduabelas dari gross-up peredaran bruto tersebut;
 
Bahwa Pemohon Banding dalam melakukan penjualan ataupun penyerahan barang kena pajak (BKP), telah mencatat/membukukan dan melaporkan dalam SPT data pembelian/penjualan yang sebenarnya. Jika ada perbedaan antara laporan audit dengan SPT PPh dengan SPT Masa PPN, disebabkan perbedaan waktu pengakuan pembelian/penjualan dengan pengakuan penyerahan BKP untuk penghitungan PPN;
 
Bahwa koreksi Terbanding DPP PPN untuk setiap Masa Pajak adalah: 1/12 x Rp3.568.129.050,00 = Rp297.344.087,50 (bulat Rp297.344.088,00)
 
Bahwa meskipun telah diberitahukan dan dijelaskan Terbanding tetap menolak permohonan keberatan Pemohon Banding;
 
Bahwa koreksi DPP yang dilakukan oleh Terbanding untuk penghitungan PPN per Masa Pajak Tahun 2010 dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5.
Bahwa sandingan perhitungan PPN terutang Masa Pajak Oktober 2010, menurut SPT, menurut Terbanding (Pemeriksa)/SKPKB dan keputusan Keberatan sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa pokok sengketa adalah koreksi DPP sebesar Rp297.344.088,00 yang berasal dari gross-up Peredaran Usaha dalam menghitung PPh Badan 2010 dibagi 12 dengan perhitungan sebagaimana telah disebutkan di atas;
 
 
 
 
 
 
6.
Bahwa atas Surat Nomor: KEP-1640/WPJ.22/BD.06/2013 tertanggal 11 November 2013, Pemohon Banding mengajukan banding melalui surat ini ke Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
B.
Alasan Pengajuan Banding
 
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam Surat Banding ini adalah ditetapkannya Surat Terbanding Nomor: KEP-1640/WPJ.22/BD.06/2013 tanggal 11 November 2013 yang menolak seluruhnya surat keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor: 00804/207/10/431/12 tanggal 24 September 2012 dengan jumlah Rp59.468.818,00 (lima puluh sembilan juta empat ratus enam puluh delapan ribu delapan ratus delapan belas rupiah);
 
Bahwa Terbanding menghitung DPP PPN berdasarkan koreksi Peredaran Usaha untuk perhitungan PPh 2010, dibagi 12 (untuk Masa Pajak Tahun 2010). Perhitungan Terbanding tidak berdasarkan adanya bukti bahwa SPT yang telah disampaikan tidak benar, melainkan berdasarkan koreksi Peredaran Usaha, sedangkan Pemohon Banding telah menghitung dan memberitahukan PPN terutang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; Bahwa menurut Pemohon Banding koreksi DPP PPN oleh Terbanding tidak benar dan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), karena setiap pembelian dan penyerahan BKP telah dicatat dan dibukukan dengan itikad baik sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
 
Bahwa Terbanding dalam menerbitkan Surat Ketetapan Pajak tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yaitu:
 
 
 
1.
Bahwa ketentuan Pasal 12 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1983 stdtd UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak menetapkan pajak terutang apabila mendapatkan bukti jumlah pajak terutang menurut surat pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar; Penjelasannya antara lain menyebutkan: "Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar…….”
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf a mengatur, Terbanding berwenang menerbitkan surat ketetapan pajak berdasarkan hasil pemeriksaan dan keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. Dengan penjelasan antara lain:
“…Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang. Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan…”;
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa berkaitan dengan "pemeriksaan" Ketentuan Pasal 29 ayat (1) mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
 
Dalam penjelasan disebutkan antara lain
“…Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak…”;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa Pasal 4 ayat 1 huruf a (UU PPN), yang menyebutkan: bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Penyerahan Barang Kena Pajak Didalam Daerah Pabean;
 
 
 
 
 
 
Bahwa sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Terbanding, Terbanding tidak dapat membuktikan dalam hal mana Pemohon Banding "tidak patuh" atau dengan "data konkret mana yang tidak dilaporkan", yang menyebabkan pajak terutang kurang dibayar. Terbanding tidak dapat menunjukkan dengan data konkret, penyerahan BKP yang mana yang menyebabkan PPN terutang kurang dibayar. Terbanding hanya melakukan dengan perhitungan atau analisanya sendiri, bukan membuktikan ketidak patuhan ataupun membuktikan dengan data yang konkret yang menyebabkan pajak terutang kurang dibayar;
 
Bahwa Terbanding menghitung 1/12 dari ekualisasi dengan koreksi Peredaran Usaha Tahun 2010, dimana koreksi Peredaran Usaha tersebut yang juga tidak berdasarkan bukti, melainkan berdasarkan perhitungan dan analisa Terbanding sendiri, tidak memperhitungkan beda waktu penghitungan penyerahan BKP dalam melaksanakan UU PPN dengan penghitungan penghasilan menurut UU PPh, tidak memperhitungkan barang dalam proses produksi, dengan demikian Terbanding telah menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) yang ada padanya;
 
Bahwa meskipun koreksi Terbanding yang menjadi dasar perhitungan SKPKB tidak benar, Terbanding tetap menolak keberatan Pemohon Banding, tanpa mempertimbangkan berdasarkan ketentuan perundang-Undang perpajakan yang berlaku. Oleh karenanya Pemohon Banding mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-60392/PP/M.XVA/16/2015, Tanggal 23 Maret 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1640/WPJ.22/BD.06/2013 tanggal 11 November 2013 tentang Keberatan Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Masa Pajak Oktober 2010 Nomor: 00804/207/10/431/12 tanggal 24 September 2012, atas nama: PT Deltapack Industri, NPWP 02.048.781.5-431.000, beralamat di Kawasan BIIE C7-7, Sukadami, Bekasi, sehingga penghitungan PPN menjadi sebagai berikut: DPP:
 
 
 
 
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-60392/PP/M.XVA/16/2015, Tanggal 23 Maret 2015, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 21 April 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-2491/PJ./2015, Tanggal 07 Juli 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 14 Juli 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 14 Juli 2015;
 
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 30 November 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 30 Desember 2015;
 
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
 
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
 
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali
 
Koreksi DPP PPN Masa Pajak Oktober 2010 sebesar Rp297.344.088,00 yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
 
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
1.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana tertuang dalam putusan a quo, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
 
Halaman 18-19:
Bahwa Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:
 
 
 
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
 
a.
Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
 
b.
Impor Barang Kena Pajak;
 
c.
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
 
d.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
 
e.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
 
f.
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
 
g.
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
 
h.
Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan penelitian Majelis terhadap data-data yang disampaikan dalam persidangan, Majelis berpendapat Pemohon Banding dapat membuktikan bahwa selisih dari ekualisasi pembelian dengan DPP Pajak Masukan adalah pembelian yang dilakukan di tahun 2009 yang telah dibebankan dalam harga pokok penjualan tahun 2009 yang Faktur Pajaknya baru diterbitkan di tahun 2010 sehingga baru dapat dikreditkan oleh Pemohon Banding di tahun 2010;
 
Bahwa berdasarkan bukti/dokumen yang diajukan dalam persidangan, keterangan para pihak, peraturan yang berlaku dan keyakinan hakim, Majelis berkesimpulan pencatatan Pemohon Banding atas pembelian dalam harga pokok penjualan sudah sesuai dengan keadaan sebenarnya sehingga koreksi Terbanding sebesar Rp.297.344.088,00 berdasarkan gross up penjualan atas koreksi negatif pembelian tidak dapat dipertahankan karena koreksi tidak memenuhi Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pokok sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara lain sebagai berikut:
 
2.1.
Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), antara lain menyatakan sebagai berikut:
 
Pasal 69 ayat (1):
Alat bukti dapat berupa:
 
 
 
 
 
 
a.
Surat atau tulisan;
 
 
b.
Keterangan ahli;
 
 
c.
Keterangan para saksi;
 
 
d.
Pengakuan para pihak; dan/atau
 
 
e.
Pengetahuan Hakim 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 76:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
 
Penjelasan Pasal 76:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang perpajakan.
 
Pasal 77 ayat (3):
Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
 
Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.
 
Penjelasan Pasal 78:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Pasal 84 ayat (1) huruf f:
Putusan Pengadilan Pajak harus memuat:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
f.
Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 91 huruf c dan huruf e:
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
 
 
 
 
c.
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
 
 
e.
Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
2.2.
Bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan UU KUP), mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 26A ayat (4)
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.3.
Bahwa Undang-Undang nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan UU PPN), antara lain mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 4 ayat (1)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
 
 
 
 
 
 
a.
Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
 
 
b.
Impor Barang Kena Pajak;
 
 
c.
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
 
 
d.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
 
 
e.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
 
 
f.
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
 
 
g.
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
 
 
h.
Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
 
 
 
 
 
3.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan dalam butir V.I di atas, dengan alasan sebagai berikut:
3.1.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat sebagaimana berita acara uji bukti bahwa Termohon Peninjauan Kembali menyatakan bahwa nilai sengketa sebesar Rp 3.180.434.130,00 hasil ekualisasi antara HPP dan Pajak Masukan adalah memang dari Faktur Pajak Pembelian bahan baku, namun Termohon Peninjauan Kembali beralasan terdapat beda waktu pengakuan;
 
 
 
3.2.
Bahwa dari 11 Faktur yang ditunjukkan oleh Termohon Peninjauan Kembali diketahui sebagai berikut:
Bahwa semua faktur tersebut terbit di Masa Januari 2010 dengan dasar penerbitan berupa invoice yang diterbitkan bulan Januari 2010:
 
 
 
 
 
3.3.
Bahwa menurut Termohon Peninjauan Kembali pembukuan/pencatatan Termohon Peninjauan Kembali berdasarkan tanda terima barang dengan nilai yang dicatat dalam ledger sebesar nilai sesuai PO dikalikan dengan Kurs Bl pada saat tanggal terima barang. Untuk transaksi 11 Faktur tersebut barang diterima bulan Desember 2009 sehingga menurut Termohon Peninjauan Kembali sudah dicatat dalam ledger pembelian (HPP) Tahun 2009;
 
 
 
3.4.
Bahwa berdasarkan Ledger pembelian (Purchase Raw Material) Tahun 2009 sebagai contoh tanggal 30 Desember 2009 sesuai Tanda terima barang nomor WH-1622 diketahui bahwa Termohon Peninjauan Kembali mencatat pembelian sebesar Rp423.202.112,00;
 
 
 
3.5.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali melakukan pengecekan perhitungan namun hasilnya belum sama dengan perhitungan Termohon Peninjauan Kembali, sebagai berikut;
 
Tanda terima barang nomor WH-1622:
32.000 kg x 1.362 USD x Kurs Bl Rp9.433= Rp411.127.872,00
 
 
 
 
 
3.6.
Bahwa menurut Termohon Peninjauan Kembali dokumen yang dipinjamkan pada saat pemeriksaan dan keberatan hanya bukti terima barang dan Faktur Pajak Masukan sedangkan dokumen lainnya yang terkait pembelian/HPP untuk Tahun Pajak 2010 dan 2009 (sebelumnya) telah diminta oleh Pemohon Peninjauan Kembali (Pemeriksa);
 
 
 
3.7.
Bahwa tidak ada prosedur pemeriksaan dan peminjaman dokumen yang dilanggar oleh Pemohon Peninjauan Kembali. Prosedur pemeriksaan telah sesuai dengan ketentuan dalam PMK Nomor 82/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
 
 
 
3.8.
Bahwa pada saat proses pemeriksaan dan keberatan,Termohon Peninjauan Kembali hanya memberikan bukti terima barang dan Faktur Pajak Masukan sedangkan dokumen lainnya yang terkait dengan pemeriksaan tidak diberikan.
 
 
 
3.9.
Bahwa atas dokumen baru ini, berlaku ketentuan dalam Pasal 26A ayat (4) UU KUP dan Pasal 14 ayat (1) PMK Nomor 9 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, yang menyatakan bahwa pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diminta pada saat pemeriksaan tetapi tidak diberikan oleh Termohon Peninjauan Kembali, tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Termohon Peninjauan Kembali pada saat pemeriksaan.
 
 
 
3.10.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa, ketentuan dalam Pasal 26A ayat (4) UU KUP, jelas merupakan pedoman yang harus dijalankan oleh Pemohon Peninjauan Kembali dalam melaksanakan tugas, sehingga atas dokumen baru yang disampaikan pada saat proses keberatan namun tidak disampaikan pada saat pemeriksaan, tidak dapat dipertimbangkan dalam proses keberatan.
 
 
 
3.11.
Bahwa dalam putusannya, Majelis telah mengabulkan seluruhnya atas koreksi peredaran usaha, dengan pertimbangan bahwa dalam persidangan Termohon Peninjauan Kembali telah menunjukkan software asli (database) dan mempresentasikan di hadapan Majelis dan Pemohon Peninjauan Kembali mengenai penyebab selisih yang menjadi dasar koreksi Pemohon Peninjauan Kembali. Sehingga Majelis dengan dasar Pasal 69 ayat (1) huruf e dan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak, Majelis meyakini bahwa dalil yang dikemukakan Termohon Peninjauan Kembali sudah benar.
 
 
 
3.12.
Bahwa atas putusan Majelis tersebut, Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa sesuai dengan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak, Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.
 
 
 
3.13.
Bahwa sesuai Pasal 76, Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).penilaian pembuktian;
 
 
 
3.14.
Bahwa dalam buku Asas-asas hukum pembuktian perdata oleh Prof Dr. Achmad Ali S.H., M.H. dan Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H. (hal 51) dinyatakan:
“Selain menilai pembuktian sebagai salah satu tugas hakim, maka tugas hakim yang lain sehubungan dengan masalah pembuktian ini adalah untuk membebani pembuktian kepada para pihak yang berperkara”
 
Dalam halaman 62 disebutkan sbb:
“Dengan asas Audi Et Alteram Partem ini, hakim harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang berperkara, agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua pihak tetap sama, tidak pincang atau berat sebelah. Disini perlunya hakim memerhatikan asas-asas beban pembuktian”.
 
 
 
 
 
 
3.15.
Pertimbangan Majelis sangat tidak adil bagi Pemohon Peninjauan Kembali, mengingat sampai dengan persidangan, tidak ada penjelasan dengan lebih detail mengenai angka-angka yang menjadi koreksi disertai dokumen pendukungnya.
 
 
 
3.16.
Bahwa Majelis juga tidak mempertimbangkan alasan Pemohon Peninjauan Kembali mengenai data baru yang disampaikan dalam proses keberatan, sehingga berlaku ketentuan dalam Pasal 26A ayat (4) UU KUP dan Pasal 14 ayat (1) PMK Nomor 9 tahun 2013.
 
 
3.17.
Majelis Hakim telah mengabaikan ketentuan yuridis formal dalam Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP 2007), yang menyatakan:
 
Pasal 26A ayat (4)
“Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya;”
 
 
 
 
3.18.
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak seharusnya mempertimbangkan ketentuan dalam Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP, karena apabila Majelis mempertimbangkan data-data yang disampaikan pada saat persidangan, sedangkan data-data tersebut tidak pernah disampaikan Termohon Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada saat pemeriksaan, maka hal tersebut akan menjadi preseden buruk di masa depan dimana Wajib Pajak menyampaikan dokumen pendukung bukan pada saat pemeriksaan tetapi pada saat persidangan banding;
 
 
3.19.
Bahwa sebagai bahan pertimbangan dalam memutus sengketa, disampaikan aspek yuridis dalam sistem hukum di Indonesia, yang seharusnya menjadi basis atau dasar dalam penegakan hukum, sebagai berikut:
 
a.
Logemann dalam Buku Pengantar dalam Hukum Indonesia Edisi 3 oleh Ernst Utrecht, Balai Buku Indonesia, 1956, pada halaman 1414 menyatakan bahwa “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden”, dimana dapat diartikan bahwa orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-Undang menjadi tafsiran yang tepat.
 
Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada hakim, seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht, adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht, substantive law);
 
 
 
 
 
 
b.
Bahwa dalam sistem perpajakan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 merupakan hukum formal atau hukum acara (formele recht, adjective law) yang mengatur tata cara pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak.
 
Bahwa secara formal, aturan mengenai tidak dapat digunakannya data pada proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan telah jelas aturannya dalam Pasal 26A Ayat (4) Undang-Undang KUP 2007, aturan ini mengikat fiskus dalam melaksanakan tugasnya namun Majelis Hakim telah mengabaikan hal tersebut.
 
Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka seharusnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukum dengan memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan;
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
Bahwa dengan demikian, Majelis Hakim nyata-nyata mengabaikan ketentuan yuridis formal terkait penyelesaian keberatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian Putusan Majelis dalam sengketa a quo tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
3.20.
Bahwa meskipun Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan kekuatan pembuktian dan alat bukti yang digunakan, namun dalam sengketa a quo Majelis telah memutus sengketa tidak berdasarkan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
3.21.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, atas pendapat majelis yang tidak mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali atas DPP PPN sebesar sebesar Rp297.344.088,00 nyata-nyata tidak sesuai dengan Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak, oleh karenanya Pemohon Peninjauan Kembali mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
 
   
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor PUT.60392/PP/M.XVA/16/2015 Tanggal 23 Maret 2015 yang menyatakan: Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1640/WPJ.22/BD.06/2013 tanggai 11 November 2013 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Masa Pajak Oktober 2010 Nomor: 00804/207/10/431/12 tanggai 24 September 2012, atas nama: PT Deltapack Industri, NPWP 02.048.781.5-431.000, beralamat di Kawasan BIIE C7-7, Sukadami, Bekasi, sehingga penghitungan PPN menjadi sebagaimana tersebut diatas (halaman 2);
 
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1640/WPJ.22/BD.06/2013 tanggal 11 November 2013 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Oktober 2010 Nomor: 00804/207/10/431/12 tanggal 24 September 2012 atas nama Pemohon Banding, NPWP: 02.048.781.5-431.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp26.562.428,00; adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
a.
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Oktober 2010 sebesar Rp297.344.088,00; yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo berupa gross up penjualan berdasarkan Uji Kebenaran Materi (UKM) para pihak di hadapan Majelis Pengadilan Pajak, Pemohon Banding telah menyerahkan bukti pendukung yang memadai dan sudah benar dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) mengenai perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
b.
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
 
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
 
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;
 
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
 
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
 
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu, tanggal 24 Mei 2017, oleh Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Yosran, S.H., M.Hum., dan Is Sudaryono, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis dan dibantu oleh Joko A. Sugianto, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis:
ttd.
Dr. Yosran, S.H., M.Hum.
ttd.
Is Sudaryono, S.H., M.H.
Ketua Majelis,
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., MS.
 
 
 
Panitera Pengganti,
ttd.
Joko A. Sugianto, S.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

831/B/PK/PJK/2017