Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
378/B/PK/PJK/2014

 

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
 
 
 
 
 
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta 12190;

Selanjutnya memberikan kuasa kepada:
1.
CATUR RINI WIDOSARI, Jabatan Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
2.
BUDI CHRISTIADI, Jabatan Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
3.
HERU MARHANTO UTOMO, Jabatan Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
4.
SITI ‘AISIYAH, Jabatan Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
 
 
 
 
 
 
 
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-772/PJ./2012, tanggal 01 Juni 2012;

untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 
 
 
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
 
 
 
PT PAN ASSETS INDONESIA, beralamat di Gedung Graha Irama Lantai 212 Jalan H.R. Rasuna Said Blok X-l Kavling 1-2, Jakarta Selatan 12950;

untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012, tanggal 14 Februari 2012 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
 
 
 
1.
Latar belakang;
 
Bahwa pada tanggal 26 Juni 2009 Terbanding (Kantor Pelayanan Pajak PMA III) menerbitkan SKPKB PPh Pasal 23 Nomor 00068/203/07/056/09 Masa Pajak Januari-Desember 2007 yang menetapkan koreksi Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp6.769.804.168 (Rp59.152.285.330–Rp52.382.481.162) dan koreksi kredit pajak sebesar Rp121.257.057 (Rp2.397.174.250–Rp2.275.917.193) sehingga jumlah PPh Pasal 23 yang masih harus dibayar adalah sebesar Rp1.203.379.592 (termasuk sanksi bunga) dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa selanjutnya Pemohon Banding mengajukan Surat Permohonan Keberatan Nomor 008/PAI-KPP/VIII/2009 tertanggal 25 Agustus 2009 yang diterima oleh KPP PMA III pada tanggal 16 September 2009 yang pada intinya menyampaikan keberatan Pemohon Banding: atas seluruh koreksi Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp6.769.804.168,00 dan kredit pajak sebesar Rp121.257.057,00 dan berpendapat bahwa seharusnya terdapat PPh Pasal 23 yang terutang sebesar Rp2.397.174.250,00 dan kredit pajak sebesar Rp2.397.174.250,00. Sehingga nilai SKPKB PPh Pasal 23 sebesar Rp1.203.379.592,00 termasuk sanksi bunga tersebut seharusnya dibatalkan. Dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa menjawab permohonan keberatan Pemohon Banding, Terbanding telah menerbitkan SK Keberatan Nomor KEP-533/WPJ.07/2010 tanggal 1 Juni 2010 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 3 Juni 2010 yang memutuskan menambah besarnya pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak yang diajukan keberatan oleh Pemohon Banding atas SKPKB PPh Pasal 23, dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Ketentuan formal banding;
 
Bahwa merujuk pada Pasal 27 UU KUP dan Pasal 35 dan Pasal 36 UU Pengadilan Pajak, dengan ini Pemohon Banding:
 
a.
Mengajukan permohonan banding dalam Bahasa Indonesia kepada,Pengadilan Pajak;
 
b.
Surat Permohonan Banding ini diajukan terhadap SK Keberatan Nomor KEP-533/WPJ.07/2010 tanggal 1 Juni 2010 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 3 Juni 2010;
 
c.
Surat Permohonan Banding ini disampaikan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya SK Keberatan oleh Pemohon Banding;
 
d.
Pemohon Banding telah membayar seluruh Pajak yang terutang (termasuk sanksi bunga) berdasarkan SK Keberatan Nomor KEP-533/WPJ.07/2010 PPh Pasal 23 sebesar Rp1.300.761.561,00 dengan Surat Setoran Pajak yang dapat dirinci dalam tabel sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan demikian Pemohon Banding telah memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
3.
Pokok sengketa;
 
Bahwa dasar menambah besarnya pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak yang diajukan keberatan oleh Pemohon Banding yang tercantum dalam SK Keberatan adalah terdapat cukup alasan untuk menambah besarnya pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan oleh Pemohon Banding. Selanjutnya, pokok sengketa antara Terbanding dan Pemohon Banding adalah sebagai berikut:

Menurut Terbanding;

Bahwa Terbanding telah melakukan koreksi atas Objek PPh Pasal 23 sebesar Rp6.563.762.402,00 (Rp58.946.243.584,00-Rp52.382.481.182,00) dimana seharusnya total menurut SPT adalah Rp52.382.481.162,00 bukan Rp52.382.481.182,00 sehingga seharusnya nilai koreksi menjadi Rp6.563.762.422,00;

Bahwa menurut Terbanding koreksi tersebut berasal dari:
 
 
 
 
a.
Koreksi Objek PPh Pasal 23:
 
 
1)
Biaya Royalti kepada Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 merupakan Objek PPh Pasal 23 yang terutang PPh Pasal 23 dengan tarif 15%;
 
 
2)
Selanjutnya koreksi atas Objek PPh Pasal 23 lainnya sebesar Rp4.240.821.466,00 Terbanding berpendapat saat terutangnya PPh Pasal 23 dan kurs KMK yang digunakan adalah pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu;
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Koreksi kredit pajak sebesar Rp121,257.057,00 karena Pemohon Banding tidak mempunyai alasan keberatan atas koreksi kredit pajak;

Menurut Pemohon Banding;

Bahwa Pemohon Banding berpendapat:
 
 
 
 
 
 
1)
Koreksi Objek PPh Pasal 23:
 
 
 
a)
Koreksi Objek PPh Pasal 23 atas biaya Royalti kepada Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 tidak seharusnya dilakukan karena dalam hal ini Royalti bukan Objek Pajak, sehingga biaya Royalti ini tidak seharusnya menjadi objek PPh Pasal 23;
 
 
 
b)
Koreksi terhadap Objek PPh Pasal 23 lainnya sebesar Rp4.240.821.466,00 Pemohon Banding berpendapat pemotongan PPh Pasal 23 telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
 
 
2)
Kredit pajak PPh Pasal 23 telah dibayarkan dan telah Pemohon Banding sampaikan kepada Terbanding pada saat pemeriksaan dan keberatan;
 
 
 
 
 
 
 
4.
Permohonan Banding;
 
Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding terhadap pokok sengketa sebagaimana diuraikan di atas. Berikut ini adalah uraian dasar koreksi yang dilakukan oleh Terbanding yang mengakibatkan terbitnya SKPKB PPh Pasal 23 beserta alasan dan penjelasan Pemohon Banding atas pokok sengketa tersebut:
 
a.
Koreksi Objek PPh Pasal 23 sebesar Rp6,563,762,422,00
 
 
1)
Menurut Terbanding;
 
 
 
a)
Koreksi Objek PPh Pasal 23:
 
 
 
 
(1)
Bahwa biaya Royalti kepada Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 merupakan kewajiban PT Fajar Sakti Prima (PT FSP) selaku pemegang hak penambangan sehingga Royalti yang dibayarkan oleh PT PAI atas nama PT FSP merupakan Objek PPh Pasal 23 yang terutang PPh Pasal 23 dengan tarif 15%;
 
 
 
 
(2)
Bahwa selanjutnya koreksi atas Objek PPh Pasal 23 lainnya sebesar Rp4.240.821.466 Terbanding berpendapat saat terutangnya PPh Pasal 23 adalah pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu. Dan dalam hal terdapat transaksi dengan mata uang asing maka untuk kepentingan penghitungan Dasar Pengenaan Pajak harus dilakukan konversi nilai transaksi dengan menggunakan kurs KMK pada saat terutangnya penghasilan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa adapun Perincian koreksi Objek PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b)
Bahwa Kredit Pajak sebesar Rp121.257.057,00 karena Pemohon Banding tidak memberikan alasan keberatan atas koreksi Terbanding terhadap Kredit Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2)
Menurut Pemohon Banding;
 
 
 
a)
Koreksi Objek PPh Pasal 23 atas Biaya Royalti Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00;
 
 
 
 
Bahwa Pemohon Banding keberatan dengan koreksi objek PPh Pasal 23 atas biaya royalty yang dibayarkan ke Pemerintah karena sesuai dengan peraturan yang berlaku; (i) Pemerintah bukan merupakan Pemohon Banding, (ii) pembayaran royalty ke Pemerintah bukan merupakan objek pajak, dan (iii) pembayaran royalty disetor secara langsung ke Pemerintah melalui rekening kas Negara;
 
 
 
 
1.
Pembayaran Royalti ke Pemerintah bukan Objek Pajak:
 
 
 
 
 
Bahwa pembayaran ke Pemerintah Kutai Kartanegara disebut sebagai pembayaran Royalti ke Pemerintah. Meskipun pembayaran ini disebut sebagai Royalti, namun pada substansinya pembayaran ini tidak termasuk dalam pengertian Royalti secara umum namun pembayaran ini merupakan bagi hasil produksi batubara antara pengusaha Batubara sesuai dengan Perjanjian Kerjasama Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Pemerintah seperti halnya pertambangan-pertambangan lainnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 tentang tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, atas penerimaan bagi hasil ini merupakan PNBP;
 
Bahwa definisi Royalti secara umum yang menjadi objek PPh mengacu pada penjelasan Pasal 4 huruf h UU PPh, yang pada dasarnya merupakan imbalan, sehubungan dengan penggunaan:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
i.
hak atas harta tak berwujud;
 
 
 
 
 
ii.
hak atas harta berwujud;
 
 
 
 
 
iii.
informasi;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa menurut pendapat Pemohon Banding, pembayaran bagi hasil ke Pemerintah tidak termasuk dalam pengertian Royalti sesuai dengan UU PPh karena pembayaran royalty ini merupakan PNBP. Oleh karena itu, pembayaran bagi hasil ke Pemerintah bukan merupakan objek PPh;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Pemerintah bukan Wajib Pajak:
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku, Pemerintah Kutai Kartanegara bukan merupakan Wajib Pajak. Dengan demikian, pembayaran Royalti kepada pemerintah Kutai Kartanegara bukan merupakan objek pajak penghasilan bagi si penerima penghasilan ataupun objek pajak pemotongan bagi si pembayar. Hal ini juga diperkuat dengan fakta bahwa Pemerintah Kutai Kartanegara tidak pernah terdaftar sebagai Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak manapun;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Pembayaran bagi hasil kepada Pemerintah telah disetor langsung ke Kas Negara:
 
 
 
 
 
Bahwa Pemohon Banding melakukan penyetoran bagi hasil kepada Pemerintah Kutai Kartanegara secara langsung ke Kas Negara;

Bahwa sebagai bukti Pemohon Banding lampirkan pembayaran/transfer atas bagi hasil yang disetorkan Pemohon Banding ke rekening Kas Negara cq KPKN Jakarta;

Bahwa dengan demikian, jelas sekali bahwa berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, pembayaran bagi hasil ke Pemerintah bukan merupakan objek PPh Pasal 23. Oleh karena itu, Pemohon Banding menolak koreksi Terbanding atas biaya Royalti Pemerintah sebesar Rp2.322,940.956,00 karena koreksi Terbanding tidak berdasar;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b)
Koreksi atas Objek PPh Pasal 23 lainnya sebesar Rp4.240.821.466,00
 
 
 
 
Bahwa Terbanding telah melakukan koreksi objek PPh Pasal 23 sebesar Rp4.240.821.466,00 dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
1.
Biaya Pengolahan Batu Bara sebesar Rp6.261.132.129,00;
 
 
 
 
2.
Biaya Analisis Batubara sebesar Rp76.804.019,00;
 
 
 
 
3.
Biaya Royalti Non Pemerintah (Komisi Penjualan) sebesar (Rp2.1,16.114.683,00);
 
 
 
 
4.
Biaya Jasa Audit sebesar Rp19.000.00,00;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa menurut Terbanding, Pemohon Banding belum melaporkan objek PPh Pasal 23 atas biaya Royalti sebesar tersebut di atas dan oleh karenanya terutang PPh Pasal 23 dengan tarif 15%;

Bahwa Pemohon Banding tidak sependapat dengan koreksi Terbanding berdasarkan alasan dan penjelasan sebagai berikut: Bahwa Pemohon Banding telah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 terhadap seluruh pembayaran atas biaya-biaya tersebut di atas. Tarif pajak pemotongan PPh Pasal 23 disesuaikan dengan jenis objek pemotongannya berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan bukti pemotongan yang telah dilaporkan ke KPP domisili, Pemohon Banding melakukan penyetoran dan pelaporan pajak pada saat dilakukan pembayaran terhadap tagihan biaya-biaya tersebut. Dasar dilakukannya pelaporan dan pembayaran PPh Pasal 23 yang berdasarkan saat pembayaran tagihan adalah untuk kemudahan di mana pada saat itu sudah diketahui besarnya nilai tagihan yang harus dibayar. Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 Pasal 23, saat terutangnya pajak adalah pada saat terjadi pembayaran atau pengakuan biaya (terutang). Undang-undang tersebut tidak menyebutkan terutangnya pajak berdasarkan kondisi yang mana yang terjadi lebih dahulu atas pembayaran atau pengakuan biaya. Dengan demikian. Pemohon Banding berpendapat bahwa saat pemotongan PPh Pasal 23 atas obyek sebesar Rp4.240.821.466,00 yang dilakukan Pemohon Banding telah sesuai atau tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 UU PPh Tahun 2000;

Bahwa selanjutnya, apabila Terbanding berpendapat bahwa Pemohon Banding belum menyetorkan PPh Pasal 23 atas objek pemotongan sebagaimana tersebut di atas di tahun 2007, bagaimana dengan bukti pemotongan yang telah dilaporkan oleh Pemohon Banding di tahun 2008? Menurut Pemohon Banding, tidaklah adil bila Pemohon Banding dikenakan pajak dua kali atas obyek pemotongan yang sama karena pada dasarnya Pemohon Banding sebagai Pemohon Banding telah patuh memenuhi kewajiban perpajakannya, yaitu menyetor dan melaporkan pemotongan pajak;

Bahwa Terbanding telah melakukan koreksi tarif pada proses keberatan yang diajukan Pemohon Banding sehingga mengakibatkan tambahan pajak yang kurang dibayar sebesar Rp97.381.969,00 termasuk sanksi bunga, yaitu dengan mengenakan tarif 15%. Pemohon Banding tidak sependapat dengan Terbanding karena pembayaran yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah atas komisi penjualan yang mana tarif PPh Pasal 23 seharusnya adalah 4,5%;

Bahwa atas dasar dan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas. dengan demikian Pemohon Banding menolak koreksi Terbanding sebesar Rp4.240.821.466,00;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b..
Koreksi atas Kredit Pajak sebesar Rp121.257.057,00
 
 
1)
 Menurut Terbanding-pada saat proses Pemeriksaan dan Keberatan;
 
 
 
Bahwa Terbanding berpendapat bahwa Pemohon Banding tidak memberikan alasan keberatan atas koreksi Terbanding terhadap kredit pajak, sehingga Terbanding tidak dapat mempertimbangkan keberatan atas koreksi kredit pajak sebesar Rp121.257.057,00 (Rp2.397.174.250,00-Rp2.275.917.193,00);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2)
Menurut Pemohon Banding;
 
 
 
Bahwa alasan keberatan Pemohon Banding atas Kredit Pajak sebesar Rp2.397.174.250,00 telah tercermin pada penjelasan equalisasi biaya objek PPh Pasal 23. Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 masa pajak Januari sampai dengan Desember 2007 juga telah Pemohon Banding lampirkan sejak awal pemeriksaan, demikian pula dalam surat Pemohon Banding Nomor 002/PAI-KPP/ll/2010 tanggal 17 Februari 2010 mengenai jawaban permintaan penjelasan/tambahan data, telah Pemohon Banding sampaikan penjelasan kredit pajak tersebut pada daftar objek/sanding/equalisasi PPh Pasal 23 sesuai SPT PPh Pasal 23 masa Januari sampai dengan Desember 2007 yang telah Pemohon Banding setorkan; Bahwa Pemohon Banding juga telah mengajukan permohonan penjelasan atas koreksi dalam Pemberitahuan Hasil Penelitian Keberatan Nomor S-1524/WPJ.07/2010 tanggal 11 Mei 2010, dan telah ditanggapi melalui surat Nomor S-2325/WPJ.07/2010 tanggal 30 Juni 2010, namun hanya perhitungan atas DPP PPh Pasal 23 saja yang diberikan penjelasan kepada Pemohon Banding;

Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka Pemohon Banding menolak koreksi Terbanding atas Kredit Pajak sebesar Rp121.257.057,00;
 
 
 
 
 
 
 
5.
Kesimpulan dan perhitungan menurut Pemohon Banding; Bahwa merujuk pada seluruh uraian penjelasan di atas, Pemohon Banding mohon agar Majelis Hakim dapat menerima permohonan banding Pemohon Banding dan membatalkan Keputusan Terbanding Nomor KEP-533/WPJ.07/2010 yang menambah Permohonan Keberatan atas SKPKB Nomor 00068/203/07/056/09 PPh Pasal 23 Tahun Pajak 2007 sehingga perhitungan pajak dalam SK Keberatan/SKPKB seharusnya Nihil. Dengan demikian, karena Pemohon Banding telah melunasi seluruh pajak terutang, maka jumlah PPh Pasal 23 yang harus dikembalikan adalah sebesar Rp1.300.761.561,00 dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/ M.XIII/12/2012, tanggal 14 Februari 2012 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Berbanding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Nomor KEP-533/WPJ.07/2010 tanggal 01 Juni 2010 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Januari-Desember 2007 Nomor 00068/203/07/056/09 tanggal 26 Juni 2009, atas nama: PT Pan Assets Indonesia, NPWP 02.414.362.0-056.000, Alamat: Gedung Graha Irama Lantai 212, Jalan H.R. Rasuna Said Blok X-1 Kavling 1-2, Jakarta Selatan 12950, dengan perhitungan menjadi sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012, tanggal 14 Februari 2012 diberitahukan kepada Terbanding pada tanggal 13 Maret 2012, kemudian terhadapnya oleh Terbanding dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-772/PJ./2012, tanggal 01 Juni 2012, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 06 Juni 2012, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 06 Juni 2012;

Menimbang, bahwa tentang permohonan Peninjauan Kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 29 Juni 2012, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 14 Agustus 2012;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
 
 
 
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan-alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
I.
Tentang Alasan Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali;
 
1.
Bahwa Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Pajak) menyatakan:
“Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:
“Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa dalam putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012 tanggal 14 Februari 2012 yang amarnya Menyatakan mengabulkan seluruhnya, Majelis Hakim tidak memperhatikan atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut, sehingga Majelis Hakim menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia;
 
 
 
 
 
 
 
II.
Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali;
 
1.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 92 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak, menyatakan sebagai berikut:
“Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim”;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012, atas  nama: PT. Pan Assets Indonesia (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan secara patut kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dan disampaikan secara langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) oleh Pengadilan Pajak melalui surat Nomor P.237.a/SP.23/2012 tanggal 07 Maret 2012 dengan cara disampaikan secara langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 15 Maret 2012 sesuai surat Tanda Terima Dokumen Direktorat Jenderal Pajak Nomor Dokumen: 2012031501600005;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa mengingat pengajuan permohonan Peninjauan Kembali didasari ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak, dengan demikian pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012 ini, masih dalam tenggang waktu yang diizinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah sepatutnya-lah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
 
 
 
 
 
 
 
III.
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali;
 
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah:
Tentang Koreksi positif Royalty–Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
IV.
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali;
 
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012 tanggal 14 Februari 2012, maka dengan ini Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, yang kami kemukakan dalam dalil-dalil hukum sebagai berikut:
 
1.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

Halaman 36 Alinea ke-7 dan Alinea ke-8:
Bahwa Majelis berpendapat bahwa walaupun didalam bukti pembayaran oleh Pemohon Berbanding tercantum sebagai Pembayaran Royalti kepada Pemerintah, namun yang dibayarkan oleh Pemohon Berbanding kepada Pemerintah Kutai Kartanegara untuk dan atas nama PT. Fajar Sakti Prima adalah merupakan bagian keuntungan Pemerintah dari penjualan batubara sesuai dengan Perjanjian antara Pemohon Banding dengan PT. Fajar Sakti Prima dan bukan sebagai Royalti sebagai objek PPh sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat (1) huruf h UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang PPh beserta Penjelasannya karena yang dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada Pemerintah Kutai Kartanegara tersebut tidak termasuk dalam pengertian Royalti sebagai objek PPh;

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berkesimpulan koreksi positif Royalty-Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 tidak dapat dipertahankan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012 tanggal 14 Februari 2012 tersebut di atas, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan ini menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut telah salah dan keliru atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan (error facti) dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya dengan telah mengabaikan fakta hukum dan atau peraturan perpajakan yang berlaku terkait koreksi positif Royalty-Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, sehingga hal tersebut nyata-nyata telah melanggar asas kepastian hukum dalam bidang perpajakan di Indonesia;
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak) menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 69 ayat (1):
“Alat bukti dapat berupa:
 
 
 
 
 
 
a.
surat atau tulisan;
 
 
b.
keterangan ahli;
 
 
c.
keterangan para saksi;
 
 
d.
pengakuan para pihak; dan/atau
 
 
e.
pengetahuan Hakim;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kemudian dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis atau Hakim Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain”;
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa Pasal 76 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”;

Kemudian dalam memori penjelasan Pasal 76 alinea 1 dan 2 menyebutkan bahwa “Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan; Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak”;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5.
Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim”;
Kemudian dalam memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan bahwa “Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
6.
Bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PPh) menyatakan:

Pasal 4 ayat (1) huruf h:
“Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
 
 
 
 
 
 
h.
Royalty;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf h:
Pada dasarnya imbalan berupa Royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:
 
 
 
 
1.
hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
 
 
2.
hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;
 
 
3.
informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri atau bidang usaha lainnya;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 23:
Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
 
 
 
 
a.
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
 
 
 
1)
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
 
 
 
2)
bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
 
 
 
3)
royalti;
 
 
 
 
 
 
 
 
7.
Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012 tanggal 14 Februari 2012 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding)) dan fakta-fakta yang telah dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata terungkap pada persidangan, yaitu:
 
 
a.
Bahwa koreksi positif Royalty-Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 berasal dari ekualisasi biaya pada PPh Badan sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT. 35987/PP/M.XIII/15/2011 tanggal 14 Februari 2012;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Bahwa atas biaya royalti tersebut telah diakui oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan Majelis Hakim sebagai pengurang penghasilan bruto di dalam SPT PPh Badan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding);

Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan diketahui bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) memperoleh hak pengelolaan tambang (hak konservasi) dari PT Fajar Sakti Prima, dan berdasarkan agreement antara Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) dengan PT Fajar Sakti Prima tanggal 01 Februari 2005 Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) wajib membayar USD 1 tiap memproduksi 1 ton batubara serta membayar kompensasi perolehan hak konservasi tambang PT Fajar Sakti Prima yang diperoleh dari negara sebesar 3% dari omzet serta pungutan daerah sebesar 0,5 USD per metrik ton produksi;Bahwa atas transaksi tersebut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dapat uraikan dengan skema sebagai berikut:

Bahwa dalam proses penelitian diperoleh informasi bahwa pemegang hak penambangan PT Fajar Sakti Prima mempunyai kewajiban untuk membayar royalti kepada Pemerintah (pusat maupun daerah), hal ini terlihat dari adanya tagihan dari pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yang ditujukan kepada PT Fajar Sakti Prima selaku pemegang hak penambangan;

Bahwa selanjutnya atas tagihan royalti tersebut diteruskan ke Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) dan kemudian dibayar oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) ke kas negara dengan keterangan “Pungutan Pembangunan Daerah PT Fajar Sakti Prima”;

Bahwa pembayaran tagihan royalti tersebut dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) sesuai agreement antara Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) dengan PT Fajar Sakti Prima tanggal 01 Februari 2005;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) tidak setuju dengan koreksi tersebut dengan alasan sebagai berikut:
 
 
 
1.
Pembayaran Royalty ke Pemerintah bukan Objek Pajak;
Karena pembayaran ke Pemerintah (baik pusat maupun daerah) meskipun disebut sebagai royalti namun substansinya pembayaran ini tidak termasuk dalam pengertian royalti secara umum, namun pembayaran ini merupakan bagi hasil produksi batubara antara pengusaha batubara sesuai dengan Perjanjian Kerjasama Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Pemerintah seperti halnya pertambangan-pertambangan lainnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 tentang tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, atas penerimaan bagi hasil ini merupakan PNBP;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Pemerintah bukan Wajib Pajak;
Pemerintah Kutai Kartanegara bukan merupakan Wajib Pajak. Dengan demikian, pembayaran royalti kepada Pemerintah Kutai Kartanegara bukan merupakan objek pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Pembayaran bagi hasil kepada Pemerintah telah disetor langsung ke Kas Negara;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sebagai bukti Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) telah melampirkan bukti pembayaran atas bagi hasil yang disetorkan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) ke rekening Kas Negara cq KPKN Jakarta;
 
 
 
 
 
 
 
 
8.
Bahwa dalam amar pertimbangannya di Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012 tanggal 14 Februari 2012 Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan bahwa:

Halaman 36 Alinea ke-7 dan Alinea ke-8
Bahwa Majelis berpendapat bahwa walaupun didalam bukti pembayaran oleh Pemohon Berbanding tercantum sebagai Pembayaran Royalti kepada Pemerintah, namun yang dibayarkan oleh Pemohon Berbanding kepada Pemerintah Kutai Kartanegara untuk dan atas nama PT. Fajar Sakti Prima adalah merupakan bagian keuntungan Pemerintah dari penjualan batubara sesuai dengan Perjanjian antara Pemohon Banding dengan PT. Fajar Sakti Prima dan bukan sebagai Royalti sebagai objek PPh sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang PPh beserta Penjelasannya karena yang dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada Pemerintah Kutai Kartanegara tersebut tidak termasuk dalam pengertian Royalti sebagai objek PPh;

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berkesimpulan koreksi positif Royalty-Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 tidak dapat dipertahankan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
9.
Bahwa dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dinyatakan “Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk h. Royalty”;

Bahwa dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dinyatakan “Pada dasarnya imbalan berupa Royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan: 1.hak atas harta tak berwujud,.................. ;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
10.
Bahwa berdasarkan Pemeriksaan Pemohon Peninjauan kembali (semula Terbanding) terhadap agreement antara Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding dengan PT Fajak Sakti Prima diketahui bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) memperoleh hak pengelolaan tambang (hak konservasi) dari PT Fajar Sakti Prima, dan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) wajib membayar USD 1 tiap memproduksi 1 ton batubara serta membayar kompensasi perolehan hak konservasi tambang PT Fajar Sakti Prima yang diperoleh dari negara sebesar 3% dari omzet serta pungutan daerah sebesar 0,5 USD per metrik ton produksi;
 
 
 
 
 
 
 
 
11.
Bahwa berdasarkan fakta sebagaimana dimaksud pada poin 12 dapat dibuktikan bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) memperoleh hak pengelolaan tambang (hak konservasi) dari PT Fajar Sakti Prima, sehingga terbukti secara nyata bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) telah mendapatkan hak atas harta tidak berwujud sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;
 
 
 
 
 
 
 
 
12.
Bahwa berdasarkan pemeriksaan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) diketahui bahwa pemilik hak pengelolaan Tambang adalah PT Fajar Sakti Prima sehingga Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat yang wajib membayar royalty kepada Pemerintah adalah PT Fajar Sakti Prima, hal ini dibuktikan dengan fakta-fakta sebagai berikut:
 
 
a.
Invoice dari Pemerintah atas royalty dimaksud ditujukan kepada PT Fajar Sakti Prima selaku pemegang hak penambangan bukan kepada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Bukti pembayaran royalty ke Pemerintah berupa pembayaran PNBP walaupun dibayarkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tetapi atas nama PT Fajar Sakti Prima bukan atas nama Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);

Berdasarkan fakta tersebut, nama yang tercantum dalam bukti setor adalah Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding). Bahwa “a.n. (atas nama)” atau dengan kata lain qq singkatan dari qualitate qua yang artinya “dalam kedudukan (kualitas) sebagai wakil", sehingga arti dari Permohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) an PT Fajar Sakti Prima adalah Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dalam kedudukan (kualitas) sebagai wakil PT Fajar Sakti Prima;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
Bahwa berdasarkan fakta, diketahui bahwa tambang batu bara adalah milik Pemerintah dan hak penambangannya diberikan kepada PT Fajar Sakti Prima sehingga yang wajib membayar royalty atas hak penambangan kepada Pemerintah adalah PT Fajar Sakti Prima;

Bahwa pembayaran royalti tersebut dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) sesuai agreement antara Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) dengan PT Fajar Sakti Prima tanggal 01 Februari 2005;

Apabila penggunaan hak dan pembayaran royalty tersebut diserahkan kepada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) seharusnya didahulukan atas persetujuan Pemerintah. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya agreement antara Pemerintah dengan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), tetapi faktanya tidak terdapat antara kontrak antara Pemerintah dengan Termohon Peninjauan kembali (semula Pemohon Banding) mengenai penggunaan dan dan pembayaran royalty;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
13.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas dapat dibuktikan bahwa pembayaran royalty Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) seharusnya dibayarkan kepada PT Fajar Sakti Prima bukan langsung kepada Pemerintah, sehingga atas pembayaran royalty tersebut yang dibayarkan kepada subjek Pajak Dalam Negeri terutang Pajak Penghasilan Pasal 23 sebagaimana dimaksud Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;

Pembayaran royalty oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) langsung kepada Pemerintah bertujuan agar tidak terutang PPh Pasal 23, sehingga terbukti secara nyata telah merugikan pendapatan Negara;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
14.
Bahwa atas biaya royalti tersebut telah dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam SPT PPh Badan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan telah dikuatkan oleh putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor PUT.35766/PP/ M.XIII/15/2011 tanggal 05 Juli 2011 atau dengan kata lain belum dikenakan pajak penghasilan, sehingga apabila tidak terutang PPh Pasal 23 akan menimbulkan kerugian pada negara sesuai prinsip perpajakan taxable deductible;
 
 
 
 
 
 
 
 
15.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo sepanjang mengenai sengketa koreksi positif Royalty-Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012 tanggal 14 Februari 2012 menyangkut sengketa koreksi Royalty-Pemerintah sebesar Rp2.322.940.956,00 harus dibatalkan;
 
 
 
 
 
 
 
V.
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor PUT.36662/PP/M.XIII/12/2012 tanggal 14 Februari 2012 yang menyatakan:

Mengabulkan sebagian permohonan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Berbanding) terhadap Keputusan Direktur Jenderal Nomor KEP-533/WPJ.07/2010 tanggal 01 Juni 2010 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Januari-Desember 2007 Nomor 00068/203/07/056/09 tanggal 26 Juni 2009, atas nama: PT Pan Assets Indonesia, NPWP 02.414.362.0-056.000, Alamat: Gedung Graha Irama Lantai 212, Jalan H.R. Rasuna Said Blok X-1 Kavling 1-2, Jakarta Selatan 12950, dengan Perhitungan jumlah Pajak yang masih harus dibayar menjadi sebagaimana perhitungan di atas;
adalah tidak benar dan telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
 
 
 
 
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Berbanding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Nomor KEP-533/WPJ.07/2010 tanggal 01 Juni 2010 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Januari-Desember 2007 Nomor 00068/203/07/056/09 tanggal 26 Juni 2009, atas nama Pemohon Banding, NPWP 02.414.362.0-056.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp819.912.783,00 sudah tepat dan benar, dengan pertimbangan:
a.
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tentang koreksi positif Royalty–Pemerintah atas perkara a quo sebesar Rp2.322.940.956,00 tidak dapat dibenarkan, karena dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali yang tertuang dalam Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, oleh karenanya koreksi Terbanding atas perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Pajak Penghasilan;
b.
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: Direktur Jenderal Pajak tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;
 
 
 
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu, tanggal 27 Agustus 2014 oleh Dr. H. Imam Soebechi, S.H., M.H., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. dan H. Yulius, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Subur MS, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis:
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
ttd.
H. Yulius, S.H., M.H.
Ketua Majelis, ttd.
Dr. H. Imam Soebechi, S.H., M.H.
   
 
Panitera Pengganti,
ttd.
 Subur MS, S.H., M.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

378/B/PK/PJK/2014