Quick Guide
Hide Quick Guide
- MELAWAN
- RINGKASAN POSITA BANDING
- KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
- ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
- PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
- MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
276/B/PK/PJK/2017
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
|
||||||||
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, berkedudukan di Jalan Jenderal A. Yani By Pass, Jakarta 13230, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:
|
||||||||
1.
|
IWAN HERMAWAN, S.H., LLM, Kepala Sub Direktorat Upaya Hukum, pada Direktorat Keberatan, Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
2.
|
BENNY WISMO, S.H., M.H., Kepala Seksi Upaya Hukum III pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
3.
|
TATAK SURYAPUTRA, S.H., Pelaksana Pemeriksa pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
4.
|
AL IFTIHAR R. S., S.H., Pelaksana Pemeriksa pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
5.
|
RIKSI AMAREIZA S., S.H., Pelaksana Pemeriksa pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
6.
|
JEFFREY LAWRENCE, S.H., Pelaksana Pemeriksa pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
7.
|
RIA NOVIKA SARI, S.H., Pelaksana Pemeriksa pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
8.
|
ARTIRA PUTRINA, S.H., Pelaksana Pemeriksa pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
9.
|
BONITA CININTYA P, S.H., Pelaksana Pemeriksa pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
10.
|
MARTIN SETIAWAN T, S.H., Pelaksana Pemeriksa pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
11.
|
ROMINA PURNAMA M, S.H., Pelaksana Pemeriksa pada Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kesemuanya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jalan Jenderal A. Yani By-Pass, Jakarta Timur 13230, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-224/BC/2016, tanggal 21 Juni 2016;
untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding; |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MELAWAN |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
PT INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA, beralamat di Wisma Indocement Lt. 13, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 70-71, Jakarta Selatan;
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding; Mahkamah Agung tersebut; Membaca surat-surat yang bersangkutan; Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-68881/PP/M.VIIA/19/2016, tanggal 01 Maret 2016 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut: |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
RINGKASAN POSITA BANDING |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor 004/PD/ITP/2015 tanggal 14 Januari 2015, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Pemohon Banding dengan ini mengajukan banding atas Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.06/2014 tanggal 24 November 2014 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 27 November 2014; |
||||||||
A.
|
Latar Belakang:
|
|||||||
|
1.
|
Bahwa Pemohon Banding merupakan perusahaan yang diberikan fasilitas penjaluran Jalur Mitra Utama (MITA) Non-Prioritas oleh Terbanding. Terbanding melakukan audit di bidang Kepabeanan terhadap Pemohon Banding dengan hasil sebagaimana tersebut dalam Laporan Hasil Audit Nomor LHA-267/BC.62/IV/2014 tanggal 17 November 2014. Berdasarkan LHA-267, Terbanding menerbitkan SPKTNP-481 sebagaimana direvisi dengan Surat Nomor S-2384/BC.6/2014 tentang Revisi LHA dan SPKTNP a.n. Pemohon Banding yang mewajibkan Pemohon Banding untuk membayar kekurangan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor sejumlah Rp7.466.670.000,00 (tujuh miliar empat ratus enam puluh enam juta enam ratus tujuh puluh ribu rupiah). Dengan rincian sebagai berikut:
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Bahwa berdasarkan LHA-267 Kegiatan Audit tentang Perhitungan Kekurangan Pembayaran BM dan PDRI atas pembebanan tarif yang disetujui, Terbanding menetapkan kembali pembebanan tarif atas 12 PIB di SPKTNP-481 yang terdiri dari:
|
||||||
|
|
a.
|
1 PIB yang tanggal PIB yang sudah melebihi jangka waktu 2 tahun;
|
|||||
|
|
b.
|
12 PIB melampirkan dokumen Certificate of Origin Form D yang tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya karena tidak memenuhi persyaratan prosedural yang diwajibkan sesuai ketentuan-ketentuan dalam Operational Certification Procedure (OCP) masing-masing rumusan perjanjian bilateral antar Negara yaitu tidak memberi tanda (√) “Contreng” pada kolom Third Party Invoicing pada Certificate of Origin;
|
|||||
|
|
c.
|
5 PIB melampirkan dokumen Certificate of Origin Form E yang tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya karena tidak memenuhi persyaratan prosedural yang diwajibkan sesuai ketentuan-ketentuan dalam Operational Certification Procedure (OCP) masing-masing rumusan perjanjian bilateral antar Negara yaitu tidak memberi tanda (√) “Contreng” pada kolom Third Party Invoicing pada Certificate of Origin;
|
|||||
|
|
d.
|
1 PIB tidak sesuai pemberitahuan klasifikasi dan pembebanan tarifnya berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia;
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
B.
|
Alasan Pengajuan Banding:
|
|||||||
|
1.
|
Bahwa SPKTNP-481 yang mewajibkan Pemohon Banding untuk membayar kekurangan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor sejumlah Rp7.466.670.000,00 (tujuh miliar empat ratus enam puluh enam juta enam ratus tujuh puluh ribu rupiah) tidak dapat Pemohon Banding setujui;
|
||||||
|
2.
|
Bahwa berdasarkan Kertas Kerja Audit yang menjadi bagian dari LHA-267 untuk kegiatan audit tentang Perhitungan Kekurangan Pembayaran BM dan PDRI atas pembebanan tarif berikut Pemohon Banding sampaikan rincian PIB yang menjadi obyek sengketa:
|
||||||
|
|
a.
|
Daftar PIB yang melebihi jangka waktu 2 (dua) tahun;
Berikut adalah PIB yang sudah melebihi jangka waktu 2 tahun:
|
|||||
|
|
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Nomor 17 Tahun 2006) Pasal 17 yang menyatakan: “Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan Nilai Pabean untuk penghitungan Bea Masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean.” Oleh karena itu, ketiga PIB tersebut dalam dalam tabel diatas tidak dapat dilakukan penetapan kembali;
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
Bahwa daftar PIB yang melampirkan dokumen Certificate of Origin Form D yang tidak dapat dipergunakan:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan:
|
|||||
|
|
|
i.
|
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
|
||||
|
|
|
ii.
|
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pengesahan ASEAN Trade in Goods Agreement (Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN);
|
||||
|
|
|
iii.
|
Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SE-05/BC/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Dokumen PIB dalam Rangka Skema Free Trade Agreement;
|
||||
|
|
|
iv.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-128/PMK.011/2010 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Dalam Rangka ASEAN Trade In Goods Agreement (ATIGA);
|
||||
|
|
|
v.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-208/PMK.011/2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN Trade In Goods Agreement (ATIGA);
|
||||
|
|
|
vi.
|
Annex 8 Operational Certification Procedure For The Rules of Origin Under Chapter 3;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa adapun alasan Pemohon Banding tidak setuju dengan pengguguran Form D sebagaimana disebutkan dalam LHA-267 adalah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Nomor referensi SKA Form D dan kode fasilitas dalam rangka ATIGA sudah Pemohon Banding cantumkan dengan benar pada PIB;
|
||||
|
|
|
2)
|
Lembar asli Form D telah Pemohon Banding sampaikan kepada Terbanding pada pelabuhan pemasukan;
|
||||
|
|
|
3)
|
Lembar asli Form D yang Pemohon Banding sampaikan sebagaimana dimaksud di atas adalah Form D yang valid dan sah yang diterbitkan oleh instansi penerbit (issuing authority) yang berwenang menerbitkan Form D dari negara asal;
|
||||
|
|
|
4)
|
Terbanding (receiving authority) telah menerima Form D yang Pemohon Banding ajukan dan tidak menggugurkan Form D tersebut;
|
||||
|
|
|
|
Sesuai dengan Rule 13 “Presentation of the Certificate of Origin” pada OCP ATIGA disebutkan bahwa:
|
||||
|
|
|
|
1.
|
For the purposes of claiming preferential tariff treatment, the importer shall submit to the customs authority of the importing Member State at the time of import, a declaration, a Certificate of Origin (Form D) including supporting documents (i.e. invoices and, when required, the through Bill of Lading issued in the territory of the exporting Member State) and other documents as required in accordance with the laws and regulations of the importing Member State;
|
|||
|
|
|
|
2.
|
In cases when a Certificate of Origin (Form D) is rejected by the customs authority of the importing Member State, the subject Certificate of Origin (Form D) shall be marked accordingly in Box 4 and the original Certificate of Origin (Form D) shall be returned to the issuing authority within a reasonable period not exceeding sixty (60) days. The issuing authority shall be duly notified of the grounds for the denial of tariff preference.
|
|||
|
|
|
|
3.
|
In the case where Certificates of Origin (Form D) are not accepted, as stated in the preceding paragraph, the importing Member State should accept and consider the clarifications made by the issuing authorities and assess again whether or not the Form D application can be accepted for the granting of the preferential treatment. The clarifications should be detailed and exhaustive in addressing the grounds of denial of preference raised by the importing Member State;
|
|||
|
|
|
|
Sepanjang Rule 13 angka 2 tersebut di atas tidak dilakukan oleh receiving authority maka Tarif Preferensi berdasarkan skema ATIGA dapat diberikan karena pihak receiving authority tidak menggugurkan ataupun menolak lembar asli Form D yang Pemohon Banding serahkan;
|
||||
|
|
|
5)
|
Tidak dilakukan retroactive check atas Form D yang diragukan oleh Terbanding. Berdasarkan Rule 18 OCP ATIGA sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
The importing Member State may request the issuing authority of the exporting Member State to conduct a retroactive check at random and/or when it has reasonable doubt as to the authenticity of the document or as to the accuracy of the information regarding the true origin of the goods in question or of certain parts thereof. Upon such request, the issuing authority of the exporting Member State shall conduct a retroactive check on a producer/exporter's cost statement based on the current cost and prices, within a six-month timeframe, specified at the date of exportation subject to the following conditions:
|
||||
|
|
|
|
(a)
|
The request for retroactive check shall be accompanied with the Certificate of Origin (Form D) concerned and shall specify the reasons and any additional information suggesting that the particulars given on the said Certificate of Origin (Form D) may be inaccurate, unless the retroactive check is requested on a random basis;
|
|||
|
|
|
|
(b)
|
The issuing authority receiving a request for retroactive check shall respond to the request promptly and reply within ninety (90) days after the receipt of the request;
|
|||
|
|
|
|
(c)
|
The customs authorities of the importing Member State may suspend the provisions on preferential treatment while awaiting the result of verification. However, it may release the goods to the importer subject to any administrative measures deemed necessary, provided that they are not held to be subject to import prohibition or restriction and there is no suspicion of fraud;
|
|||
|
|
|
|
(d)
|
the issuing authority shall promptly transmit the results of the verification process to the importing Member State which shall then determine whether or not the subject good is originating. The entire process of retroactive check including the process of noting the issuing authority of the exporting Member State the result of determination whether or not the good is originating shall be completed within one hundred and eighty (180) days. While awaiting the results of the retroactive check, paragraph (c) shall be applied Retroactive checks sebagaimana disebutkan di atas dilakukan tidak terbatas pada keraguan receiving authority atas origin criteria yang tercantum dalam Form D. Dan frase―when it has reasonable doubt as to the authenticity of the document or as to the accuracy of the information regarding the true origin of the goods in question or of certain parts thereof" maka sernua informasi yang terdapat dalam Form D dapat dimintakan Retroactive checks kepada issuing authority;
|
|||
|
|
|
6)
|
Alasan yang menjadi dasar pengguguran Form D oleh Terbanding sebagaimana disebutkan pada LHA-267 adalah karena tidak memenuhi persyaratan prosedural yang diwajibkan sesuai ketentuan-ketentuan dalam Operational Certification Procedure (OCP) masing-masing rumusan perjanjian bilateral antar Negara yaitu tidak memberi tanda contreng pada kolom third party invoicing pada certificate of origin;
Berdasarkan penelitian Pemohon Banding dengan merujuk pada OCP ATIGA dapat Pemohon Banding simpulkan bahwa OCP ATIGA tidak mengatur adanya klausul Third Party Invoicing baik secara definisi maupun klausul yang mengatur perlakuan Third Party Invoicing tersebut sehingga secara hukum, pengguguran Form D oleh Terbanding menjadi batal dan tidak dapat dijadikan dasar untuk menagih kekurangan pembayaran Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
7)
|
Lebih lanjut berdasarkan penelitian Pemohon Banding terhadap format standar Form D dapat Pemohon Banding simpulkan bahwa tidak terdapat kolom Third Party Invoicing dalam Form D sehingga kewajiban memberi tanda contreng pada kolom Third Party. Invoicing sebagaimana dimaksud Terbanding pada LHA-267 tidak dapat dilakukan;
|
||||
|
|
|
8)
|
Bahwa dalam SE 05/BC/2010 tanggal 23 Maret 2010 pada bagian contoh kasus, secara jelas disebutkan bahwa: “impor barang yang menggunakan skema Third Country Invoicing tetap diberikan tarif preferensi sesuai masing-masing FTA, sepanjang dapat ditemukan bukti-bukti saling keterkaitan antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi”;
Bahwa meskipun Form D ATIGA yang Pemohon Banding sampaikan tidak terdapat tanda contreng (√) pada kolom 13 mengenai Third Country Invoicing dan tidak ada nama serta alamat perusahaan penerbit invoice pada kolom (box) 7, tetapi nomor dan tanggal invoice disebutkan pada kolom (box) 10 dan Pemohon Banding dapat membuktikan keterkaitan antara eksportir yang tercantum dalam kolom (box) 1 Form D dengan nama pemasok yang menerbitkan invoice; Bahwa berdasarkan uraian di atas, apabila nomor dan tanggal invoice. disebutkan pada kolom (box) 10, maka hal tersebut tidak menggugurkan Form D dan atas importasi yang menggunakan Form D tersebut dapat diberikan tarif preferensi; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
Bahwa daftar PIB yang melampirkan dokumen Certificate of Origin Form E yang tidak dapat dipergunakan:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan:
|
|||||
|
|
|
i.
|
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
|
||||
|
|
|
ii.
|
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Second Protocol to Amend The Agreement On Trade In Goods Of The Framework Agreement On Comprehensive Economic Cooperation Between The Association Of Southeast Asian Nations And The People's Republic Of China (Protokol Kedua Untuk Mengubah Persetujuan Perdagangan Barang Dalam Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh Antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China);
|
||||
|
|
|
iii.
|
Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SE-05/BC/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Dokumen PIB dalam Rangka Skema Free Trade Agreement;
|
||||
|
|
|
iv.
|
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 117/Pmk.011/2012 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Asean-China Free Trade Area (ACFTA);
|
||||
|
|
|
v.
|
Apendix 1 Attachment A Revised Operational Certification Procedure (OCP) For The Rules of Origin of the Asean-China Free Trade Area;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa adapun alasan Pemohon Banding tidak setuju dengan pengguguran Form D sebagaimana disebutkan dalam LHA-267 adalah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Nomor referensi SKA Form E dan kode fasilitas dalam rangka ATIGA sudah Pemohon Banding cantumkan dengan benar pada PIB;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
Lembar asli Form E telah Pemohon Banding sampaikan kepada Terbanding pada pelabuhan pemasukan;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
Lembar asli Form E yang Pemohon Banding sampaikan sebagaimana dimaksud di atas adalah Form E yang valid dan sah yang diterbitkan oleh instansi penerbit (issuing authority) yang berwenang menerbitkan Form D dari negara asal;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4)
|
Terbanding (receiving authority) telah menerima Form E yang Pemohon Banding ajukan dan tidak menggugurkan Form E tersebut;
Sesuai dengan Rule 8 huruf (e) pada revised OCP ACFTA disebutkan bahwa: In cases when a Certificate of Origin (Form E) is rejected by the Customs Authority of the importing Party, the subject Certificate of Origin (Form E) shall be marked accordingly in Box 4"; Sepanjang Rule 8 huruf e tersebut diatas tidak dilakukan oleh receiving authority maka Tarif Preferensi berdasarkan skema ACFTA dapat diberikan karena pihak receiving authority tidak menggugurkan ataupun menolak lembar asli yang Pemohon Banding serahkan; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5)
|
Tidak dilakukan retroactive check atas Form D yang diragukan oleh Terbanding. Berdasarkan Rule 18 huruf (a) pada revised OCP ACFTA sebagai berikut:
The Customs Authority of the importing Party may request a retroactive check at random and/or when it has reasonable doubt as to the authenticity of the document or as to the accuracy of the information regarding the true origin of the products in question or of certain parts there of;
Retroactive checks sebagaimana disebutkan di atas dilakukan terbatas pada keraguan receiving authority atas keaslian dari Form E atau keakuratan dari origin criteria yang tercantum dalam Form E. Dari frase: “when it has reasonable doubt as to the authenticity of the document or as to the accuracy of the information regarding the true origin of the products in question or of certain parts thereof―maka semua informasi yang terdapat dalam Form E dapat dimintakan Retroactive Checks kepada issuing authority; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6)
|
Alasan yang menjadi dasar pengguguran Form E oleh DJBC sebagaimana disebutkan pada LHA-267 adalah karena tidak memenuhi persyaratan prosedural yang diwajibkan sesuai ketentuan-ketentuan dalam Operational Certification Procedure (OCP) masing-masing rumusan perjanjian bilateral antar Negara yaitu tidak memberi tanda contreng pada kolom third party invoicing pada certificate of origin;
Berdasarkan Appendix 1, Annex 5, Rule of Origin for The Asean — China Free Trade Area, Rule 1 Definition: For the Purpose of This Annex, menyatakan: "a Party" means the individual parties the agreement i.e. Brunei Darussalam, the Kingdom of Cambodia, the Republic of Indonesia, the Lao People's Democratic Republic ("Lao DPR'), Malaysia, the Union of Myanmar, the Republic of Philipines, the Republic of Singapore, the Kingdom of Thailand, the Socialist Republic of Vietnam and the People's Republic of China ("China")." Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SE-05/BC/2010 tanggal 23 Maret 2010 sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SE-16/BC/2010 tanggal 4 Agustus 2010, pada Angka 1 huruf j menyebutkan:
"Third Country Invoicing adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan yang berlokasi di negara-negara anggota FTA atau negara bukan anggota FTA untuk kepentingan perusahaan pengekspor yang berlokasi di negara anggota FTA"; Berdasarkan Rule 23 pada revised OCP ACFTA disebutkan bahwa: "The Customs Authority of the importing Party shall accept a Certificate of Origin (Form E) in cases where the sales invoice is issued either by a company located in a third country or by an ACFTA exporter for the account of the said company, provided that the product meets the requirements of the Rules of Origin for the ACFTA. The third party invoice number should be indicated in Box 10 of the Certificate of Origin (Form E), the exporter and consignee must be located in the Parties and the copy of the third party invoice shall be attached to the Certificate of Origin (Form E) when presenting to the Customs Authority of the importing Party"; Bahwa dalam SE-05/BC/2010 tanggal 23 Maret 2010 pada bagian contoh kasus, secara jelas disebutkan bahwa: "impor barang yang menggunakan skema Third Country Invoicing tetap diberikan tarif preferensi sesuai masing-masing FTA, sepanjang dapat ditemukan bukti-bukti saling keterkaitan antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi"; Bahwa meskipun Form E yang kami sampaikan tidak terdapat tanda contreng ('I) pada kolom 13 mengenai Third Party Invoicing dan tidak ada nama serta alamat perusahaan penerbit invoice pada kolom (box) 7, tetapi nomor dan tanggal invoice disebutkan pada kolom (box) 10 dan kami dapat membuktikan keterkaitan antara eksportir yang tercantum dalam kolom (box) 1 Form E dengan nama pemasok yang menerbitkan invoice; Bahwa berdasarkan uraian di atas, apabila nomor dan tanggal invoice disebutkan pada kolom (box) 10, maka hal tersebut tidak menggugurkan Form E dan atas importasi yang menggunakan Form E tersebut dapat diberikan tarif preferensi; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
d.
|
Kesalahan Klasifikasi Barang (HS Code);
|
|||||
|
|
|
Daftar PIB yang ditetapkan klasifikasinya adalah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Adapun terkait penetapan DJBC mengenai klasifikasi dan pembebanan bea masuk berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia dapat kami setujui dan dilaksanakan;
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
C.
|
Kesimpulan:
|
|||||||
|
Dengan mempertimbangkan alasan dan penjelasan Pemohon Banding tersebut di atas, Pemohon Banding mohon kepada Majelis Hakim yang mulia agar berkenan menerima seluruh permohonan banding Pemohon Banding untuk membatalkan Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.06/2014, tanggal 24 November 2014, sehingga hasil penetapan Bea dan Cukai sebagai berikut:
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar lebih dapat memberikan penjelasan/keterangan yang rinci dan bukti-bukti pendukung lainnya, sudilah kiranya Majelis Hakim yang terhormat memperkenankan Pemohon Banding untuk hadir pada sidang-sidang Pengadilan Pajak yang akan mempertimbangkan dan memutuskan permohonan banding Pemohon Banding ini. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa permohonan banding ini berpendapat lain, ITP selaku Pembanding mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa (ex aequo et bono);
Atas perhatian dan bantuannya kami ucapkan terima kasih;
|
|||||||
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-68881/PP/M.VIIA/19/2016, tanggal 1 Maret 2016 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Membatalkan keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 tentang Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, atas nama: PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk., NPWP: 01.062.119.1.092-000, Alamat: Wisma Indocement Lt. 13, Jalan Jend. Sudirman Kav. 70-71, Jakarta Selatan, sehingga bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang masih harus dibayar nihil; |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-68881/PP/M.VIIA/19/2016, tanggal 1 Maret 2016, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 30 Maret 2016, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-224/BC./2016, tanggal 21 Juni 2016, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 22 Juni 2016, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal itu juga;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 7 Oktober 2016, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 17 November 2016; Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima; |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
|
||||||||
A.
|
Objek Peninjauan Kembali;
|
|||||||
|
Bahwa yang menjadi objek Peninjauan Kembali dalam perkara a quo adalah putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
B.
|
Objek Sengketa;
|
|||||||
|
Bahwa yang menjadi Objek Sengketa (Pajak) dalam perkara a quo adalah Keputusan Pemohon Peninjauan Kembali berupa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 (selanjutnya disebut SPKTNP-481) yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit yang berisi tagihan Bea Masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 sebesar Rp7.466.670.000,00 (tujuh milyar empat ratus enam puluh enam juta enam ratus tujuh puluh ribu rupiah);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
C.
|
Pokok Permasalahan;
|
|||||||
|
1.
|
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan Tim Audit dalam Laporan Hasil Audit (LHA) Nomor LHA-267/BC.62/IU/2014 tanggal 17 November 2014, kedapatan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang tidak memenuhi ketentuan preferensi tarif bea masuk dengan skema ASEAN Trade In Goods Agreement (ATIGA), sehingga atas importasi barang yang diberitahukan di dalam PIB-PIB tersebut dikenakan tarif Bea Masuk umum (tanpa preferensi tarif/tarif yang berbeda) dan auditee (dhi. Termohon PK) wajib membayar Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang kurang dibayar;
|
||||||
|
2.
|
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan audit, diketemukan hal-hal yang menguatkan kesalahan yang dilakukan oleh Termohon PK, antara lain:
|
||||||
|
|
a.
|
Kedapatan dokumen pemberitahuan pabean yang menggunakan skema ATIGA tidak memenuhi ketentuan Operational Certification Procedure For The Rules Of Origin under Chapter 3, pada Rule 23 yang mengatur tentang―Third Country Invoicing" yang berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Relevant Government authorities in the importing Member State shall accept Certificates of Origin (Form D) in cases where the sales invoice is issued either by a company located in a third country or by an ASEAN exporter for the account of the said company, provided that the goods meet the requirements of Chapter 3 of this Agreement;
|
||||
|
|
|
2)
|
The exporter shall indicate "third country invoicing" and such information as name and country of the company issuing the invoice in the Certificate of Origin (Form D);
|
||||
|
|
b.
|
Bahwa berdasarkan Overleaf Note Number 10 Annex 7, Operational Certification Procedure For The Rules Of Origin menyatakan sebagai berikut: ―THIRD COUNTRY INVOICING: ln cases where invoices are issued by a third country, "the Third Country Invoicing" box should be ticked (√) and such information as name and country of the company issuing the invoice shall be indicated in box 7";
|
|||||
|
3.
|
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa kewajiban memberi tanda ticked (√) pada kolom “Third Country Invoicing" harus dilakukan dan informasi nama perusahaan yang mengeluarkan invoice harus dinyatakan dalam kolom 7, agar Surat Keterangan Asal (SKA) berupa Form D dapat diterima sebagai dasar pemberian tarif preferensi;
|
||||||
|
4.
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan audit diketahui bahwa pada SKA Form D atas item barang yang diberitahukan dengan preferensial tarif tidak dilakukan kewajiban memberi tanda ticked (√) pada kolom Third Country Invoicing dan tidak ada informasi nama perusahaan yang mengeluarkan invoice yang harus dinyatakan dalam kolom 7 SKA Form D terkait, sehingga SKA Form D tidak dapat diterima sebagai dasar pemberian tarif preferensi;
|
||||||
|
5.
|
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan audit tersebut, atas kesalahan dengan tidak memenuhi ketentuan untuk mendapatkan tarif preferensi, diterbitkan Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 yang mewajibkan Termohon PK untuk membayar kekurangan Bea Masuk dan PDRI sejumlah Rp7.466.670.000,00 (tujuh milyar empat ratus enam puluh enam juta enam ratus tujuh puluh ribu rupiah);
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
D.
|
Bukti baru yang belum disampaikan dalam Persidangan Pengadilan Pajak (Novum);
|
|||||||
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali mengajukan bukti baru (novum) berupa 4 (empat) Surat Bukti Tertulis yakni:
|
|||||||
|
1.
|
Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 Tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas;
|
||||||
|
2.
|
Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor CI.26-30/V.101/1/06 tanggal 03 Juni 2014 Perihal Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) dan Pelaksana Harian (Plh);
|
||||||
|
3.
|
Surat Kepala Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Republik Indonesia Nomor S-18/SJ.2/2016 tanggal 15 Januari 2016 Hal Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas;
|
||||||
|
4.
|
Surat Kepala Biro Sumber Daya Manusia Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Republik Indonesia Nomor S-131/SJ.5/2016 tanggal 1 Maret 2016 Hal Penjelasan Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Pasca Berlakunya PMK 117/PMK.01/2009;
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa atas bukti-bukti baru tersebut di atas, Pemohon Peninjauan Kembali belum pernah mengajukan dalam persidangan di Pengadilan Pajak dikarenakan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam perkara a quo tidak pernah membahas dan tidak pernah memberikan kesempatan kepada Pemohon Peninjauan Kembali untuk menjelaskan terkait dengan penandatanganan dan penerbitan SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 di muka persidangan sehingga tidak ada kesempatan bagi PEMOHON PENINJAUAN KEMBALI untuk menjelaskan kebenaran maupun membuktikan keabsahan penandatanganan dan penerbitan SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 tersebut;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
E.
|
Analisis Hukum;
|
|||||||
|
1.
|
Bahwa PEMOHON PENINJAUAN KEMBALI memohon hal-hal yang telah diuraikan di dalam Surat Uraian Banding dan hal-hal yang telah disampaikan PEMOHON PENINJAUAN KEMBALI dalam persidangan Pengadilan Pajak mohon untuk dapat dianggap telah diuraikan kembali dalam Memori Peninjauan Kembali ini;
|
||||||
|
2.
|
Bahwa PEMOHON PENINJAUAN KEMBALI sangat berkeberatan atas pertimbangan-pertimbangan hukum dalam PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016 sebagaimana dinyatakan dalam Memori Peninjauan Kembali ini dan untuk selanjutnya Pemohon Peninjauan Kembali akan menguraikan keberatan-keberatan terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak secara lebih terperinci beserta penjelasan sebagaimana tersebut di bawah ini:
|
||||||
|
|
a.
|
KEBERATAN PERTAMA;
|
|||||
|
|
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali menolak dengan tegas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah melampaui kewenangannya dengan alasan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Bahwa di dalam putusannya Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah melampaui kewenangannya yaitu secara nyata dan sengaja masuk ke dalam ranah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
Bahwa hal tersebut dibuktikan melalui PERTIMBANGAN HUKUM putusan pada halaman 14 s/d 18 yang menyatakan:
Bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 diterbitkan oleh Direktorat Audit Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ditandatangani a.n. Direktur Jenderal oleh Plt. Direktur Audit, Sdr. Nirwala Dwi Heryanto; Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 angka 4 menyatakan: “Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”; Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 1 angka 8 menyatakan: “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku"; Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 1 angka 9 menyatakan: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata"; Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, Majelis berpendapat bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 a quo merupakan suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi badan hukum perdata, dengan demikian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 a quo merupakan Keputusan Tata Usaha Negara; Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka 5 menyatakan: “Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan"; Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 15 ayat (1) menyatakan: “Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh: |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
a.
|
masa atau tenggang waktu Wewenang;
|
|||
|
|
|
|
b.
|
wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan
|
|||
|
|
|
|
c.
|
cakupan bidang atau materi Wewenang”;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang;
|
|||
|
|
|
|
(2)
|
Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
larangan melampaui Wewenang;
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
|
||
|
|
|
|
|
c.
|
larangan bertindak sewenang-wenang;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
|
||
|
|
|
|
|
c.
|
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
|
|
|
(2)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan; Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan:
|
||
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa Penjelasan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyatakan:
Ayat (1): Yang dimaksud dengan “tidak sah” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang sehingga dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan pada keadaan semula sebelum Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada; Ayat (2): Yang dimaksud dengan "dapat dibatalkan" adalah pembatalan Keputusan dan/atau Tindakan melalui pengujian oleh Atasan Pejabat atau badan peradilan; Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Departemen Keuangan, pada diktum Memutuskan: Menetapkan: tercantum “Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Departemen Keuangan", dan Pasal 1 angka 2 menyatakan: “Pelaksana Tugas, yang selanjutnya disingkat Plt, adalah Pegawai yang memiliki kompetensi untuk menduduki jabatan struktural di lingkungan Departemen Keuangan, namun belum memenuhi persyaratan administrasi sesuai ketentuan yang berlaku, dan diangkat untuk melaksanakan tugas pada suatu jabatan struktural”. Bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa kewenangan Pelaksana Tugas (Plt.) Dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Departemen Keuangan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009; Bahwa menurut Terbanding, Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Audit memiliki kewenangan yang sama dengan pejabat definitif dalam melaksanakan Undang-Undang Kepabeanan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 110/PMK.01/2014 tentang Pejabat Pengganti Di Lingkungan Kementerian Keuangan; Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.01/2014 tanggal 09 Juni 2014 tentang Pejabat Pengganti Di Lingkungan Kementerian Keuangan, pada diktum Memutuskan: Menetapkan: tercantum “Peraturan Menteri Keuangan tentang Pejabat Pengganti Di Lingkungan Kementerian Keuangan", dan Pasal 1 angka 2 menyatakan: “Pejabat Pengganti adalah Pegawai/pejabat yang dengan Surat Perintah ditugaskan untuk melaksanakan tugas dan fungsi pada suatu jabatan struktural di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, guna menggantikan pejabat definitif yang berhalangan tetap dan/atau berhalangan sementara"; Bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa kewenangan Pejabat Pengganti Di Lingkungan Kementerian Keuangan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.01/2014 tanggal 09 Juni 2014; Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.01/2015 tanggal 13 Mei 2015 tentang Tata Cara Penunjukan atau Pengangkatan Pelaksana Tugas dan Penunjukan Pelaksana Harian Di Lingkungan Kementerian Keuangan, menyatakan: Pasal 26: Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
1.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural Di Lingkungan Departemen Keuangan; dan
|
|||
|
|
|
|
2.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.01/2014 tentang Pejabat Pengganti Di Lingkungan Kementerian Keuangan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27:
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan; Diundangkan di Jakarta; Pada tanggal 25 Mei 2015; Bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.01/2014 tanggal 09 Juni 2014 merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal yang berbeda, dan kedua Peraturan Menteri Keuangan a quo diberlakukan sampai dinyatakan dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.01/2015 tanggal 13 Mei 2015 yang diundangkan tanggal 25 Mei 2015; Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 mengatur secara khusus (lex specialis) kewenangan Pelaksana Tugas dalam jabatan struktural di lingkungan Kementerian Keuangan, dengan demikian dalam menguji kewenangan Plt. Direktur Audit untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, Majelis mendasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Departemen Keuangan; Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Departemen Keuangan, menyatakan: “Pasal 10: Plt tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat yaitu: |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
a.
|
pembuatan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3);
|
|||
|
|
|
|
b.
|
penjatuhan hukuman disiplin;
|
|||
|
|
|
|
c.
|
penetapan surat keputusan; dan
|
|||
|
|
|
|
d.
|
lain-lain keputusan yang menyebabkan pengeluaran negara“; Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas instansi Pemerintah, pada Lampiran, Bab V huruf E. Kewenangan Penandatanganan, butir 1 dan 2, menyatakan:
|
|||
|
|
|
|
|
1.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat dinas antar/keluar instansi pemerintah yang bersifat kebijakan/keputusan/arahan berada pada pejabat pimpinan tertinggi instansi pemerintah;
|
||
|
|
|
|
|
2.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat yang tidak bersifat kebijakan/keputusan/arahan dapat diserahkan/dilimpahkan kepada pimpinan organisasi di setiap tingkat eselon atau pejabat Iain yang diberi kewenangan untuk menandatanganinya;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit, tidak sah, karena Sdr. Nirwala Dwi Heryanto selaku Plt. Direktur Audit tidak berwenang untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 jo. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan demikian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas, penjelasan Pemohon Banding dan Terbanding dalam persidangan dan data yang ada dalam berkas banding, Majelis berkesimpulan untuk membatalkan Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, sehingga bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan denda yang masih harus dibayar oleh Pemohon Banding nihil; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
Bahwa nyata-nyata dalam PERTIMBANGAN HUKUM tersebut Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah berkesimpulan bahwa SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 ditandatangani oleh pejabat yang tidak berwenang sehingga tidak sah dan dinyatakan batal demi hukum;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4)
|
Bahwa hal tersebut justru membuktikan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak di tingkat banding telah memaksakan dirinya dengan cara melampaui kewenangannya untuk memeriksa kewenangan seorang Pejabat Tata Usaha Negara untuk menerbitkan Surat Keputusan (in casu SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014);
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5)
|
Bahwa Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa kewenangan seorang Pejabat Tata Usaha Negara dalam menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara (in casu SPKTNP-481/BC.6/2014) adalah Pengadilan Tata Usaha Negara, hal ini diatur di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut “UU Administrasi Pemerintahan”) sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Pasal 17:
|
|||
|
|
|
|
|
(1)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang;
|
||
|
|
|
|
|
(2)
|
Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
|
|
|
|
|
a.
|
larangan melampaui Wewenang;
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
larangan bertindak sewenang-wenang;
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Pasal 18 ayat (1):
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
|
|||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
a.
|
melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
|
||
|
|
|
|
|
c.
|
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
|
|
|
(3)
|
Pasal 19 ayat (1):
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
|
|||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
(4)
|
Pasal 1 angka 18:
Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara;
|
|||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
(5)
|
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 19 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 8 UU Administrasi Pemerintahan maka yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara dalam menerbitkan Surat Keputusan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan Pengadilan Pajak;
|
|||
|
|
|
|
(6)
|
Bahwa dengan demikian justru Pengadilan Pajak telah melampaui kewenangannya dalam memeriksa substansi permasalahan tersebut sehingga telah mengakibatkan Putusan menjadi cacat hukum, oleh karenanya sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor Nomor PUT-68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
KEBERATAN KEDUA;
|
|||||
|
|
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali menolak dengan tegas pertimbangan hukum mengenai Putusan yang Didasarkan Pada Dasar Hukum Yang Keliru dengan alasan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, di dalam PERTIMBANGAN HUKUM putusan, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah membuat kesimpulannya sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit, tidak sah, karena Sdr. Nirwala Dwi Heryanto selaku Plt. Direktur Audit tidak berwenang untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 jo. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan demikian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
2)
|
Bahwa dasar hukum yang digunakan Majelis Hakim Pajak dalam menyatakan SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 tidak sah sehingga batal demi hukum adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 jo. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012;
|
||||
|
|
|
3)
|
Bahwa dapat kami sampaikan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 terdiri dari 17 Pasal dan tidak satupun ketentuan yang mengatur akibat hukum dari penandatangan suatu Surat Keputusan oleh Plt.;
|
||||
|
|
|
4)
|
Bahwa demikian juga Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, dimana Bab V huruf E ternyata hanya mengatur mengenai kewenangan pejabat untuk melaksanakan dan menandatangani surat dinas antar/keluar instansi pemerintah bukan terkait kewenangan untuk menandatangani Keputusan Tata Usaha Negara;
|
||||
|
|
|
5)
|
Bahwa selain itu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 sama sekali tidak mengatur akibat hukum dari penandatangan suatu surat dinas antar/keluar instansi pemerintah apalagi Surat Keputusan yang dilakukan oleh Plt;
|
||||
|
|
|
6)
|
Bahwa satu-satunya ketentuan yang mengatur keabsahan/kewenangan pejabat tata usaha negara dalam menandatangani Surat Keputusan adalah Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 19 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 8 UU Administrasi Pemerintahan;
|
||||
|
|
|
7)
|
Bahwa pada faktanya, Majelis Hakim tidak pernah mendasarkan kesimpulan PERTIMBANGAN HUKUM yang menyatakan Keputusan Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 tidak sah sehingga batal demi hukum pada UU Administrasi Pemerintahan, namun hanya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 jo. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012;
|
||||
|
|
|
8)
|
Bahwa hal tersebut telah membuktikan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah melakukan suatu kekeliruan yang sangat substansial dengan menggunakan dasar hukum yang tidak relevan;
|
||||
|
|
|
9)
|
Bahwa dengan demikian sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
KEBERATAN KETIGA;
|
|||||
|
|
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali menolak dengan tegas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pajak yang Keliru Dalam Memahami Maksud Peraturan Perundang-undangan dengan alasan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Bahwa dalam PERTIMBANGAN HUKUM, Majelis Hakim mengutip satu Pasal Peraturan Menteri Keuangan sebagai berikut:
Bahwa Pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt.) dan Kewenangannya ditetapkan juga dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Departemen Keuangan; Pasal 10: Plt tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat yaitu: |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
a.
|
pembuatan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3);
|
|||
|
|
|
|
b.
|
penjatuhan hukuman disiplin;
|
|||
|
|
|
|
c.
|
penetapan surat keputusan; dan
|
|||
|
|
|
|
d.
|
lain-lain keputusan yang menyebabkan pengeluaran negara;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
Bahwa selanjutnya, Majelis Hakim juga mengutip satu Pasal Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, pada Lampiran, Bab V huruf E. Kewenangan Penandatanganan, butir 1 dan 2, menyatakan: |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
1.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat dinas antar/keluar instansi pemerintah yang bersifat kebijakan/keputusan/arahan berada pada pejabat pimpinan tertinggi instansi pemerintah;
|
|||
|
|
|
|
2.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat yang tidak bersifat kebijakan/keputusan/arahan dapat diserahkan/dilimpahkan kepada pimpinan organisasi di setiap tingkat eselon atau pejabat lain yang diberi kewenangan untuk menandatanganinya;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
Bahwa atas dasar pasal tersebut Majelis Hakim membuat kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit, tidak sah, karena Sdr. Nirwala Dwi Heryanto selaku Plt. Direktur Audit tidak berwenang untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 jo. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan demikian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4)
|
Bahwa tidak jelas bentuk penafsiran apa yang telah digunakan oleh Majelis Hakim hingga dapat membuat suatu kesimpulan bahwa: SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit, tidak sah,...dst..., dengan demikian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5)
|
Bahwa dalam ilmu hukum dikenal berbagai macam cara penafsiran hukum. Salah satunya adalah prinsip Contextualism, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian McLeod dalam bukunya yang berjudul “Legal Method” (Macmillan, London: 1996), pada halaman 279, 280, dan 282 sebagai berikut:
The noscitur a sociis principle; Turning to some legal illustrations of the principles of language generally, but without yet entering the realm of specifically legal principles, the Latin phrase noscitur a sociis–a literal translation of which might be a thing is known by its associates’–embodies the single fundamental principle that the context of a word governs its meaning; The ejusdem generis principle; Ejusdem generis may be literally translated as meaning of the same class and the principle may be stated thus: where general words follow particular words. The general words are to be restricted to things of the same class as those which are specified. The expressio unius eclusio alterius principle; This principle, which also comes in the form inclusio unius, exclusio alterus, may be translated as the expression (or the inclusion) of one thing implies the exclusion of another; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6)
|
Bahwa pada intinya, Ian McLeod mengemukakan tiga asas dalam Contextualism yaitu:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Asas noscitur a sociis;;
|
|||
|
|
|
|
|
Suatu hal diketahui dari associated-nya. Artinya suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya;
|
|||
|
|
|
|
(2)
|
Asas ejusdem generis;
|
|||
|
|
|
|
|
Artinya sesuai genusnya, yaitu suatu kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya;
|
|||
|
|
|
|
(3)
|
Asas expressio unius eclusio alterius;
|
|||
|
|
|
|
|
Artinya, apabila suatu konsep digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7)
|
Bahwa untuk mengetahui konteks atau substansi dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009, dapat diuraikan sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Bahwa dalam konsiderans “Memperhatikan” Peraturan Menteri Keuangan, disebutkan:
Memperhatikan: Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 perihal Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil sebagai Pelaksana Tugas;
|
|||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Bahwa di dalam batang tubuh, khususnya Angka 2 huruf g, surat Kepala Badan Kepegawaian Negara tersebut, dinyatakan: Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai Pelaksana Tugas tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat seperti pembuatan DP-3, penetapan surat keputusan, penjatuhan hukuman disiplin, dan sebagainya;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Bahwa redaksi tersebut sama persis dengan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural Di Lingkungan Departemen Keuangan yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim dalam membuat putusan dalam perkara a quo;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Bahwa Kementerian Keuangan melalui Kepala Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan pernah menanyakan maksud dari redaksi tersebut kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara, dan melalui surat nomor CI.26-30/V.101-1/06, tanggal 3 Juni 2014, Perihal: Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) dan Pelaksana Harian (Plh), Kepala Badan Kepegawaian Negara menyatakan (pada angka 2):
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
PNS yang diangkat sebagai Pelaksana Tugas maupun Pelaksana Harian tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat seperti pembuatan DP-3, penetapan surat keputusan, penjatuhan hukuman disiplin, dan sebagainya;
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
Bahwa penyebutan sebagainya sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah khusus di bidang kepegawaian;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(5)
|
Bahwa dengan merujuk pada Contextualism sebagaimana yang dikemukakan oleh McLeod, maka makna Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 dapat disampaikan sebagai berikut:
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
Asas noscitur a sociis;
Bahwa keseluruhan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 berisi tentang kewenangan di bidang kepegawaian, seperti pembuatan DP-3, penjatuhan hukuman disiplin, dan sebagainya; Bahkan mana redaksi “dan sebagainya” adalah khusus di bidang kepegawaian; Bahwa dengan dengan demikian, berdasarkan associated-nya, Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 berisi norma tentang rangkaian kewenangan Pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan khusus dalam ranah kepegawaian; |
||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
Asas ejusdem generis;
Bahwa Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 secara khusus mengatur kewenangan pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan dalam bidang kepegawaian; Artinya, sesuai genusnya, keseluruhan substansi norma dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya yaitu di bidang kepegawaian; |
||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
Asas expressio unius eclusio alterius;
Bahwa oleh karena keseluruhan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 berisi konsep tentang kewenangan pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan di bidang kepegawaian, maka berdasarkan asas expressio unius eclusio alterius Pasal 10 tersebut tidak berlaku untuk hal lain; |
||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
d.
|
Bahwa dengan demikian, makna penetapan surat keputusan dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan tersebut adalah penetapan surat keputusan di bidang Kepegawaian;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8)
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah keliru dalam memahami ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural Di Lingkungan Departemen Keuangan sehingga berakibat pada putusan yang keliru;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
9)
|
Bahwa demikian juga Majelis Hakim nyata-nyata telah keliru dalam memahami Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
10)
|
Bahwa konteks atau substansi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, dapat diuraikan sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Bahwa Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi tersebut nyata-nyata mengatur tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, bukan kewenangan Plt.;
|
|||
|
|
|
|
(2)
|
Bahwa hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
Judul Peraturan:
|
||
|
|
|
|
|
|
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah;
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
Judul Lampiran:
|
||
|
|
|
|
|
|
Lampiran Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah;
|
||
|
|
|
|
|
c.
|
Judul Bab:
|
||
|
|
|
|
|
|
Bab V Pejabat Penanda Tangan Naskah Dinas;
|
||
|
|
|
|
(3)
|
Bahwa berdasarkan struktur Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tersebut, sangat jelas Peraturan tersebut hanya mengatur persoalan Tata Naskah Dinas;
|
|||
|
|
|
|
(4)
|
Bahwa selain itu, apabila dikaji redaksi Bab V yang dikutip oleh Majelis Hakim sebagai dasar hukum putusan sebagai berikut:
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat dinas antar/keluar instansi pemerintah yang bersifat kebijakan/keputusan/arahan berada pada pejabat pimpinan tertinggi instansi pemerintah;
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat yang tidak bersifat kebijakan/keputusan/arahan dapat diserahkan/dilimpahkan kepada pimpinan organisasi di setiap tingkat eselon atau pejabat lain yang diberi kewenangan untuk menandatanganinya;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
maka nyata-nyata yang diatur hanyalah kewenangan pejabat dalam menandatangani surat dinas, bukan surat keputusan tata usaha negara;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
11)
|
Bahwa selain itu, apabila dilakukan penafsiran lebih mendalam dengan menggunakan metode Contextualism sebagaimana yang dikemukakan oleh McLeod, dapat disampaikan sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Asas noscitur a sociis;
|
|||
|
|
|
|
|
Bahwa keseluruhan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 berisi tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah.;
Bahwa dengan demikian, berdasarkan associated-nya, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 berisi tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah; |
|||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Asas ejusdem generis;
|
|||
|
|
|
|
|
Bahwa Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 khusus mengatur tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah;
Artinya, sesuai genusnya, keseluruhan substansi norma dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya yaitu terkait Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah; |
|||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Asas expressio unius eclusio alterius;
|
|||
|
|
|
|
|
Bahwa oleh karena keseluruhan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 berisi konsep tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, maka berdasarkan asas expressio unius eclusio alterius Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, termasuk lampirannya tersebut tidak berlaku untuk hal lain;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Maka dengan demikian Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, baik dari aspek associated, genus, dan limitasinya, hanya mengatur mengenai tata naskah dinas atau surat dinas, bukan mengatur mengenai keputusan tata usaha negara;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
12)
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, telah terbukti Majelis Hakim nyata-nyata telah keliru dalam memahami dan telah salah dalam menerapkan peraturan perundang-undangan, baik Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural Di Lingkungan Departemen Keuangan, maupun Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
13)
|
Bahwa kedua peraturan tersebut tidak tepat untuk dijadikan dasar hukum untuk menyatakan bahwa SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit, tidak sah, karena Sdr. Nirwala Dwi Heryanto selaku Plt. Direktur Audit tidak berwenang untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 jo. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan demikian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
d.
|
KEBERATAN KEEMPAT;
|
|||||
|
|
|
Bahwa Majelis Hakim Pajak Keliru Dalam Memahami Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Dalam Menerbitkan Surat Keputusan, dengan alasan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Bahwa Majelis Hakim tidak mempertimbangan seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan a quo, sehingga menghasilkan putusan yang keliru dan tidak berdasar hukum;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
Bahwa Majelis Hakim hanya mengutip sebagian peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
Pada halaman 15 Putusan:
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan:
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
(1)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang;
|
|||
|
|
|
|
(2)
|
Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
larangan melampaui Wewenang;
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
|
||
|
|
|
|
|
c.
|
larangan bertindak sewenang-wenang;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
|
||
|
|
|
|
|
c.
|
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
|
|
|
(2)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
|
|||
|
|
|
|
|
a.
|
di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
|
||
|
|
|
|
|
b.
|
bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
|
|||
|
|
|
|
(2)
|
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pada halaman 17 Putusan:
Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Departemen Keuangan, menyatakan: Pasal 10:
Plt tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat yaitu: |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
a.
|
pembuatan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3);
|
|||
|
|
|
|
b.
|
penjatuhan hukuman disiplin;
|
|||
|
|
|
|
c.
|
penetapan surat keputusan; dan
|
|||
|
|
|
|
d.
|
lain-lain keputusan yang menyebabkan pengeluaran negara;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, pada Lampiran, Bab V huruf E. Kewenangan Penandatanganan, butir 1 dan 2, menyatakan:
|
||||
|
|
|
|
1.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat dinas antar/keluar instansi pemerintah yang bersifat kebijakan/keputusan/arahan berada pada pejabat pimpinan tertinggi instansi pemerintah;
|
|||
|
|
|
|
2.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat yang tidak bersifat kebijakan/keputusan/arahan dapat diserahkan/dilimpahkan kepada pimpinan organisasi di setiap tingkat eselon atau pejabat lain yang diberi kewenangan untuk menandatanganinya;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit, tidak sah, karena Sdr. Nirwala Dwi Heryanto selaku Plt. Direktur Audit tidak berwenang untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 jo. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan demikian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
Bahwa seharusnya Majelis Hakim Pajak juga mempertimbangkan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
1.
|
UU Administrasi Pemerintahan;
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14:
|
|||
|
|
|
|
|
(1)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila:
|
||
|
|
|
|
|
|
a.
|
ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
merupakan pelaksanaan tugas rutin;
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
||
|
|
|
|
|
|
a.
|
pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap;
|
|
|
|
|
|
|
(3)
|
...dst
|
||
|
|
|
|
|
(7)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penjelasan Pasal 14 ayat (7):
Yang dimaksud dengan “Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah; Yang dimaksud dengan “perubahan status hukum organisasi” adalah menetapkan perubahan struktur organisasi; Yang dimaksud dengan “perubahan status hukum kepegawaian” adalah melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai; Yang dimaksud dengan “perubahan alokasi anggaran” adalah melakukan perubahan anggaran yang sudah ditetapkan alokasinya; |
|||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Departemen Keuangan;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 1 angka 2:
Pelaksana Tugas, yang selanjutnya disingkat Plt, adalah Pegawai yang memiliki kompetensi untuk menduduki jabatan struktural di lingkungan Departemen Keuangan, namun belum memenuhi persyaratan administrasi sesuai ketentuan yang berlaku, dan diangkat untuk melaksanakan tugas pada suatu jabatan struktural. |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4)
|
Bahwa ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Departemen Keuangan wajib dikaitkan dengan ketentuan Pasal 14 UU Administrasi Pemerintahan;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5)
|
Bahwa dengan demikian, makna frase “penetapan surat keputusan” dalam pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 yang menyatakan “Plt tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat yaitu:
|
||||
|
|
|
|
c.
|
penetapan surat keputusan;”
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
harus dimaknai sebagai Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6)
|
Bahwa sesuai Penjelasan Pasal 14 UU Administrasi Pemerintahan:
|
||||
|
|
|
|
a.
|
Yang dimaksud dengan “Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah;
|
|||
|
|
|
|
b.
|
Yang dimaksud dengan “perubahan status hukum organisasi” adalah menetapkan perubahan struktur organisasi;
|
|||
|
|
|
|
c.
|
Yang dimaksud dengan “perubahan status hukum kepegawaian” adalah melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai;
|
|||
|
|
|
|
d.
|
Yang dimaksud dengan “perubahan alokasi anggaran” adalah melakukan perubahan anggaran yang sudah ditetapkan alokasinya;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7)
|
Bahwa atas kekeliruan Majelis Hakim Pajak tersebut, perlu kiranya Pemohon Peninjauan Kembali luruskan fakta-fakta hukum dalam perkara a quo sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
a.
|
Bahwa oleh karena terjadi kekosongan jabatan Direktur Audit maka Direktur Jenderal Bea dan Cukai telah mengangkat Sdr. Nirwala Heryanto untuk menjabat sebagai pelaksana tugas Direktur Audit sebagaimana diatur dalam Diktum KEEMPAT angka 1 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor 313/KMK.01/2011 tentang Penunjukan Pelaksana Tugas dalam hal terdapat kekosongan jabatan karena berhalangan tetap;
|
|||
|
|
|
|
b.
|
Bahwa berdasarkan kewenangan atributif yang diberikan oleh Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai mempunyai kewenangan untuk membuat dan menandatangani Surat Keberatan;
|
|||
|
|
|
|
c.
|
Bahwa kewenangan tersebut telah dilimpahkan secara mandat kepada Sdr. Nirwala Dwi Heriyanto selaku Pelaksana Tugas Direktur Audit berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-92/BC/2014 tanggal 16 Juli 2014 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Saudara Nirwala Dwi Heriyanto NIP 196701051991031002 Pelaksana Tugas Direktur Audit Untuk Dan Atas Nama Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Membuat Dan Menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif Dan Nilai Pabean Dan Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar;
|
|||
|
|
|
|
d.
|
Bahwa berdasarkan kewenangan tersebut, Pelaksana Tugas Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Barat membuat dan menandatangani SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014;
|
|||
|
|
|
|
e.
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 adalah sah dan berdasar hukum karena:
|
|||
|
|
|
|
|
i.
|
Pelaksana Tugas Direktur Audit memperoleh kewenangan untuk menerbitkan membuat dan menandatangani Keputusan Keberatan tersebut secara sah;
|
||
|
|
|
|
|
ii.
|
Keputusan SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 bukan merupakan Surat Penetapan yang dikecualikan untuk dapat diterbitkan oleh Pejabat Pengganti, karena tidak termasuk dalam Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 UU Administrasi Pemerintahan jo pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8)
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
e.
|
KEBERATAN KELIMA;
|
|||||
|
|
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali menolak dengan tegas Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tidak logis dengan alasan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Dalam ilmu hukum dikenal adanya Teori Analitis (Analytical Theory). Penjelasan terkait teori ini dapat ditelusuri dalam buku yang disusun oleh M. Natsir Asnawi dengan judul “Hermeneutika Putusan Hakim” (Yogyakarta: UII Press, 2014), halaman 52 yang menyatakan:
“Eksponen teori ini memandang bahwa hakim dalam menerapkan hukum hanya mencocokkan kasus yang diadili dengan bunyi dari teks perundang-undangan. Proses pencocokkan inilah yang kemudian membimbing hakim untuk mencapai suatu kesimpulan dalam kerangka silogisme. Dengan demikian pekerjaan hakim dalam hal ini hanya mencakup tiga tahapan logis, yaitu:
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
a.
|
Menetapkan premis mayor, yaitu memformulasikan norma hukum yang diatur dalam teks Undang-Undang yang dipandang relevan dengan fakta-fakta kasus;
|
|||
|
|
|
|
b.
|
Menetapkan premis minor, yaitu menetapkan fakta-fakta hukum yang ditemukan dalam persidangan; dan
|
|||
|
|
|
|
c.
|
Menyusun konklusi, yaitu membuat kesimpulan apakah fakta tersebut sesuai atau bertentangan dengan teks Undang-Undang”;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
Bahwa dalam membuat putusan Pengadilan Pajak Nomor Nomor PUT-68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016, Majelis Hakim nyata-nyata menggunakan Teori Analitis (Analytical Theory);
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
Bahwa hal tersebut tampak dari susunan PERTIMBANGAN HUKUM putusan sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
a.
|
Premis Mayor
|
|||
|
|
|
|
|
Bahwa Majelis Hakim memformulasikan norma hukum yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan sebagai berikut:
|
|||
|
|
|
|
|
i.
|
Pasal 1 angka 5 UU Administrasi Pemerintahan:
|
||
|
|
|
|
|
|
“Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan”;
|
||
|
|
|
|
|
ii.
|
Pasal 15 angka 1 UU Administrasi Pemerintahan: “Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh:
|
||
|
|
|
|
|
|
a.
|
masa atau tenggang waktu Wewenang;
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
cakupan bidang atau materi Wewenang”;
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
iii.
|
Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan:
|
||
|
|
|
|
|
|
“(1)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang;
|
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
larangan melampaui Wewenang;
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
larangan bertindak sewenang-wenang”;
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
iv.
|
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan
|
||
|
|
|
|
|
|
“(1)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan”;
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
v.
|
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan
|
||
|
|
|
|
|
|
“(1)
|
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”;
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
vi.
|
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan:
“Ayat (1): Yang dimaksud dengan “tidak sah” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang sehingga dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan pada keadaan semula sebelum Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada; Ayat (2): Yang dimaksud dengan “dapat dibatalkan” adalah pembatalan Keputusan dan/atau Tindakan melalui pengujian oleh Atasan Pejabat atau badan peradilan”; Bahwa selanjutnya Majelis Hakim memformulasikan norma hukum yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 Tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural Di Lingkungan Departemen Keuangan sebagai (selanjutnya disebut “PMK 117”) sebagai berikut: |
||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
vii.
|
Pasal 10:
|
||
|
|
|
|
|
|
“Plt tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat yaitu:
|
||
|
|
|
|
|
|
a.
|
Pembuatan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3);
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
Penjatuhan hukuman disiplin;
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
Penetapan surat keputusan; dan
|
|
|
|
|
|
|
|
d.
|
Lain-lain keputusan yang menyebabkan pengeluaran negara”;
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa Majelis Hakim juga memformulasikan norma hukum yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah (selanjutnya disebut “PM PAN&RB 80”) sebagai berikut:
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
viii.
|
Bab V huruf E, Kewenangan Penandatangan, butir 1 dan 2 menyatakan:
|
||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat dinas antar/keluar instansi pemerintah yang bersifat kebijakan/keputusan/arahan berada pada pejabat pimpinan tertinggi instansi pemerintah;
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Kewenangan untuk melaksanakan dan menandatangani surat yang tidak bersifat kebijakan/keputusan/arahan dapat diserahkan/dilimpahkan kepada pimpinan organisasi di setiap tingkat eselon atau pejabat lain yang diberi kewenangan untuk menandatanganinya;
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
Premis Minor:
|
|||
|
|
|
|
|
Bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 diterbitkan oleh Direktorat Audit Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ditandatangani a.n. Direktur Jenderal oleh Plt. Direktur Audit, Sdr. Nirwala Dwi Heryanto;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
Konklusi:
|
|||
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit, tidak sah, karena Sdr. Nirwala Dwi Heryanto selaku Plt. Direktur Audit tidak berwenang untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 jo. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan demikian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4)
|
Bahwa putusan menjadi tidak logis ketika di dalam Premis Mayor Majelis secara terperinci memformulasikan norma-norma hukum yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan, namun di dalam konklusi/kesimpulan Majelis Hakim sama sekali tidak mencamtukan pasal-pasal UU Administrasi Pemerintahan tersebut. Pada faktanya Majelis Hakim hanya mencantumkan norma-norma hukum yang diatur dalam PMK 117 maupun PM PAN&RB 80;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5)
|
Bahwa menjadi hal yang tidak logis karena justru kesimpulan majelis hakim yang pada intinya menyatakan “SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit, tidak sah, karena Sdr. Nirwala Dwi Heryanto selaku Plt. Direktur Audit tidak berwenang untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, dengan demikian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum”, bertumpu pada norma-norma pasal yang terkandung dalam UU Administrasi Pemerintahan tersebut;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6)
|
Bahwa sebaliknya, tidak satupun norma-norma pasal yang terkandung di dalam PMK 117 maupun PM PAN&RB 80 yang mengatur bahwa apabila suatu surat keputusan ditandatangani pejabat yang tidak berwenang maka surat keputusan tersebut tidak sah sehingga batal demi hukum;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7)
|
Bahwa dengan demikian, hal tersebut telah menjadikan putusan menjadi tidak logis, karena tidak ada kesesuaian antara premis mayor, premis minor, dan konklusi;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
f.
|
KEBERATAN KEENAM;
|
|||||
|
|
|
Bahwa Pemohon Peninjauan menolak dengan tegas Amar Putusan Tidak SINKRON Dengan PERTIMBANGAN HUKUM Putusan dengan alasan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Bahwa di dalam PERTIMBANGAN HUKUM, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah membuat kesimpulan sebagai berikut: Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit, tidak sah, karena Sdr. Nirwala Dwi Heriyanto selaku Plt. Direktur Audit tidak berwenang untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 jo. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan demikian Keputusan Terbanding Nomor Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
Bahwa selanjutnya di dalam amar putusan, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan:
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas, penjelasan Pemohon Banding dan Terbanding dalam persidangan dan data yang ada dalam berkas banding, Majelis berkesimpulan untuk membatalkan Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014, sehingga bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan denda yang masih harus dibayar oleh Pemohon Banding nihil. |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
Bahwa telah terjadi inkonsistensi antara PERTIMBANGAN HUKUM yang menyatakan “batal demi hukum” dengan amar putusan yang menyatakan “membatalkan”;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4)
|
Bahwa Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU Kekuasaan Kehakiman”) menyatakan:
“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5)
|
Bahwa terkait hal tersebut, dapat dipahami pendapat Prof. Philipus M. Hadjon di dalam bukunya yang berjudul “HUKUM ADMINISTRASI INDONESIA” (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta:2011) pada halaman 355-356 sebagai berikut:
“Dalam pertimbangan putusan dimuat alasan-alasan hakim secara tepat dan rinci, termasuk ke dalamnya penilaian secara yuridis terhadap setiap bukti yang diajukan dan hal-hal yang terjadi dalam persidangan selama proses perkara itu diperiksa. Ikhwal tersebut merupakan pertanggungjawaban dalam menyelesaikan tugas dan pula tanggung jawabnya kepada masyarakat. Karena itu putusan harus obyektif”; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6)
|
Bahwa PERTIMBANGAN HUKUM merupakan dasar yang sangat esensial dari suatu putusan, oleh karenanya alasan dan argumentasi yang terkandung dalam setiap PERTIMBANGAN HUKUM harus tepat dan logis;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7)
|
Bahwa apabila terjadi ketidaksesuaian antara PERTIBANGAN HUKUM dengan amar putusan maka putusan tersebut menjadi rancu karena putusan tidak didasarkan pada logika hukum yang tepat;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8)
|
Bahwa pada faktanya putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-68881/PP/M.VIIA/19/2016, tanggal 1 Maret 2016 telah mengandung kerancuan tersebut;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
9)
|
Bahwa di dalam PERTIMBANGAN HUKUM, Majelis Hakim berpendapat Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 dinyatakan batal demi hukum, namun dalam amar putusan Majelis Hakim menyatakan membatalkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
10)
|
Bahwa terminologi suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang “batal demi hukum” sangat berbeda dengan terminologi “membatalkan” suatu Keputusan Tata Usaha Negara;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
11)
|
Bahwa konsep “batal demi hukum” berhubungan erat dengan akibat hukum yaitu Keputusan Tata Usaha Negara itu dianggap tidak pernah ada, sedangkan konsep “membatalkan” berkaitan erat dengan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang “dapat dibatalkan” yang mempunyai akibat hukum yaitu dianggap ada sampai ada pembatalannya;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
12)
|
Bahwa perbedaan kedua konsep tersebut secara jelas dapat dibedakan sebagaimana pendapat Prof. Philipus M. Hadjon di dalam bukunya yang berjudul “Hukum Administrasi Dan Good Governance” (Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta: 2010)” pada halaman 30 sebagai berikut:
“Tindakan pemerintahan (a.l. keputusan pemerintahan) dapat berakibat batal demi hukum (van rechtwege nietig), batal (nietig), atau dapat dibatalkan (vernietigbaar) tergantung dari essensial tidaknya kekurangan atau cacat yuridis yang terdapat di dalam keputusan itu”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
13)
|
Bahwa putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016 yang bersumber pada PERTIMBANGAN HUKUM yang nyata-nyata telah mencampuradukkan antara konsep batal demi hukum (van rechtwege nietig) dengan dapat dibatalkan (vernietigbaar) telah mengakibatkan putusan tersebut keliru, tidak logis, rancu, dan cacat hukum;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
14)
|
Bahwa oleh karena telah terbukti putusan Pengadilan Pajak mengandung suatu kekeliruan yang sangat substansial maka sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
g.
|
KEBERATAN KETUJUH;
|
|||||
|
|
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali menolak dengan tegas Pertimbangan hukum Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang Telah Memutus Hal-Hal Yang Tidak Diperiksa Di Dalam Persidangan dengan alasan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Bahwa Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
Bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
“Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan pajak dalam Perkara a quo telah jauh memeriksa hingga masuk ke dalam substansi permasalahan Tata Usaha Negara dimana merupakan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu kewenangan pejabat dalam menandatangani dan menerbitkan SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4)
|
Bahwa berdasarkan Pasal 66 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) menyatakan:
“Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap: d. sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5)
|
Bahwa dikarenakan Majelis Hakim Pengadilan Pajak memeriksa substansi permasalahan Tata Usaha Negara sehingga berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Pengadilan Pajak, seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam perkara a quo melakukan pemeriksaan dengan acara cepat dan tidak perlu masuk substansi permasalahan pokok sengketa serta bersidang dalam waktu yang sangat lama;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6)
|
Bahwa berdasarkan Pasal 82 jo. Pasal 66 ayat (2) UU Pengadilan Pajak telah mengatur bahwa pemeriksaan terkait penerbitan formal terkait penerbitan Surat Keputusan yang dalam perkara a quo SPKTNP-481 harus dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana disebutkan sebagai berikut:
“Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), dinyatakan tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu sebagai berikut: |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
a.
|
30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan Banding atau Gugatan dilampaui;
|
|||
|
|
|
|
b.
|
30 (tiga puluh) hari sejak Banding atau Gugatan diterima dalam hal diajukan setelah batas waktu pengajuan dilampaui”;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7)
|
Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam perkara a quo bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman karena Majelis Hakim tidak melakukan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8)
|
Bahwa Pasal 76 UU Pengadilan Pajak menyatakan:
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
9)
|
Bahwa Pasal 78 UU Pengadilan Pajak menyatakan:
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
10)
|
Bahwa kalaupun (quad non) Majelis Hakim memiliki wewenang memeriksa formal dan ingin mengetahui alasan dan ketentuan penandatangan dan diterbitkan SPKTNP-481 dilakukan oleh Pejabat Pelaksana Tugas (Plt), seharusnya Majelis Hakim membahas dan menentukan apa yang harus dibuktikan dalam persidangan sebagaimana Pasal 76 UU Pengadilan Pajak dan memberikan kesempatan kepada Pemohon Peninjauan Kembali untuk menjelaskan dan membuktikan substansi kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara dalam menandatangani Surat Keputusan (in casu SPKTNP-481);
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
11)
|
Bahwa pada faktanya selama persidangan, Majelis Hakim tidak pernah memeriksa terkait kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara dalam menandatangani Surat Keputusan (in casu SPKTNP-481 melainkan faktanya dalam persidangan materi yang diperiksa adalah pokok permasalahan sebagaimana telah diuraikan oleh PEMOHON PENINJAUAN KEMBALI dalam dalam Bab “Pokok Permasalahan” di dalam Permohonan Peninjauan Kembali ini;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
12)
|
Bahwa hal tersebut telah mengakibatkan Putusan Pengadilan Pajak tidak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, namun cenderung berdasarkan asumsi Majelis Hakim tanpa didasarkan pada alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1) UU Pengadilan Pajak;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
13)
|
Bahwa berdasarkan hal tersebut, telah terbukti Majelis Hakim telah melanggar Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman sekaligus Memutus Di Luar Substansi Yang Diperiksa Di Dalam Persidangan dan melanggar ketentuan Pasal 69 ayat (1) jo. Pasal 76 jis. Pasal 78 UU Pengadilan Pajak sehingga sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
h.
|
KEBERATAN KEDELAPAN;
|
|||||
|
|
|
Bahwa Pemohon Peninjauan menolak dengan tegas Putusan Majelis Hakim yang telah menjatuhkan Putusan ULTRA PETITA dengan alasan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Bahwa putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016 mengandung kekeliruan yang sangat krusial, karena Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan diluar dari apa yang dimintakan TERMOHON PENINJAUAN KEMBALI di dalam petitum Surat Banding-nya;
|
||||
|
|
|
2)
|
Bahwa hal tersebut terbukti dari fakta hukum yaitu Termohon Peninjauan Kembali tidak pernah mempermasalahkan kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara dalam menandatangani Surat Keputusan (in casu SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014) dalam Surat Bandingnya;
|
||||
|
|
|
3)
|
Bahwa di dalam bukunya yang berjudul “HUKUM ADMINISTRASI INDONESIA” (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta:2011) khususnya pada halaman 356 Prof. Philipus M. Hadjon berpendapat: “Amar atau diktum putusan merupakan jawaban terhadap petitum daripada gugatan”;
|
||||
|
|
|
4)
|
Bahwa dengan demikian, tindakan Majelis Hakim yang telah memutus lain daripada apa yang dimintakan oleh Termohon Peninjauan Kembali di dalam petitum Surat Bandingnya, telah mengakibatkan putusan menjadi Ultra Petita;
|
||||
|
|
|
5)
|
Bahwa oleh karena putusan telah terbukti ultra petita maka sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
||||
|
|
|
6)
|
Bahwa berdasarkan hal tersebut, telah terbukti Majelis Hakim telah melanggar Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman sekaligus Memutus Di Luar Substansi Yang Diperiksa Di Dalam Persidangan dan melanggar ketentuan Pasal 69 ayat (1) jo. Pasal 76 jis. Pasal 78 UU Pengadilan Pajak sehingga sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i.
|
KEBERATAN KESEMBILAN;
|
|||||
|
|
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali menolak dengan tegas Pertimbangan hukum Putusan Majelis Hakim yang tidak menjalankan Tugas dan Wewenang berdasarkan UU Pengadilan Pajak dengan alasan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
1)
|
Bahwa Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan pajak Pengadilan Pajak bersifat khusus menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yaitu:
|
||||
|
|
|
|
a.
|
Sidang Peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon Banding atau tergugat, sidang dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum;
|
|||
|
|
|
|
b.
|
Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain;
|
|||
|
|
|
|
c.
|
Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan;
|
|||
|
|
|
|
d.
|
Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan kepadanya;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
Bahwa UU Pengadilan Pajak mengatur yang dimaksud dengan pajak adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga sengketa akibat pungutan tersebut diperiksa, diadili dan diputus di Pengadilan Pajak;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
Bahwa berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Pengadilan Pajak mengatur kekuasaan kehakiman sengketa pajak diselenggarakan oleh Pengadilan Pajak yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 2: Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”; |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4)
|
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut yang dimaksud dengan sengketa pajak sebagaimana Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan Pajak yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 1: |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
(5)
|
Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5)
|
Bahwa dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pengadilan Pajak menegaskan pula Kekuasan Pengadilan Pajak sebagaimana berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
(1)
|
Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak;
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6)
|
Bahwa berdasarkan hal tersebut, telah terbukti Majelis Hakim Pajak tidak menjalankan Tugas dan Wewenang berdasarkan UU Pengadilan Pajak, sehingga sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
F.
|
Terdapat Putusan Pengadilan Pajak Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap (Incracht Van Gewijsde) Yang Pada Intinya Menyatakan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt.) Berwenang Untuk Menandatangani Keputusan Tentang Penetapan Atas Keberatan Terhadap Penetapan Yang Dilakukan Pejabat Bea dan Cukai Dalam Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) (terlampir);
|
|||||||
|
1.
|
Bahwa terdapat dua putusan Pengadilan Pajak yang telah berkekuatan hukum tetap (Incracht Van Gewijsde) dimana di dalam pertimbangan hukumnya pada intinya menyatakan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt.) berwenang untuk menandatangani penetapan keputusan atas keberatan terhadap Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP);
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Bahwa putusan Pengadilan Pajak tersebut antara lain:
|
||||||
|
|
a)
|
Putusan Pengadilan Pajak nomor putusan: 67192/PP/M.IVB/19/2015 tanggal 18 Desember 2015 dengan Pemohon a.n. PT Paberik Tekstil Kasrie yang pertimbangan hukumnya sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan keterangan yang ada dalam berkas sengketa, serta penjelasan terbanding dan pemohon banding dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkan banding pemohon banding, dengan pertimbangan sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
||||||
|
|
|
1.
|
Bahwa yang disengketakan Pemohon Banding dalam surat bandingnya bukan merupakan materi sengketa yang semula diajukan keberatan oleh Pemohon Banding, akan tetapi mengenai kewenangan pejabat pelaksana tugas (Plt) Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah dan DIY untuk menandatangani keputusan nomor KEP-185/WBC.09/2014 tanggal 4 November 2014, tentang Penetapan Atas Keberatan Terhadap Penetapan Yang dilakukan Pejabat Bea dan Cukai Dalam SPTNP Nomor SPTNP-003201/SPKPN/WBC.09/KP.01/2014 tanggal 22 Juli 2014;
|
||||
|
|
|
2.
|
Bahwa penunjukan pelaksana tugas (Plt) adalah untuk menjaga kelancaran tugas dan kelangsungan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan di lingkungan Kementerian Keuangan apabila terjadi kekosongan jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA Keputusan Menteri Keuangan Nomor 313/KMK.01/2011 tanggal 14 September 2011 (tentang Penunjukan Pejabat Pengganti di Lingkungan Kementerian Keuangan);
|
||||
|
|
|
3.
|
Bahwa mengacu pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 yang menjadi dasar terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural Di Lingkungan Kementerian Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-38/BC/2014 tanggal 26 Maret 2014, yang menyatakan PLT tidak memiliki kewenangan menandatangani surat keputusan adalah khusus di bidang kepegawaian sebagai dimaksud dalam penjelasan dari surat BKN Nomor CI.26-30/V.101-1/06 tanggal 3 Juni 2014 perihal Kewenangan Pelaksana Tugas (Plt) dan Pelaksana Harian (Plh);
|
||||
|
|
|
4.
|
Bahwa Nugroho Wahyu Widodo, NIP 196908221989121001, pangkat: Pembina, golongan ruang: IV.a, berdasarkan Surat Perintah Menteri Keuangan Nomor PRIN-87/MK.01/2014 tanggal 13 Juni 2014, diangkat sebagai Pejabat Pengganti Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dikarenakan pejabat definitif Kepala Kanwil DJBC Jateng dan D.I.Y memasuki masa pensiun pada tanggal 31 Agustus 2013;
|
||||
|
|
|
5.
|
Bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SPKTNP-481/BC/2014 kepada Saudara Nugroho Wahyu Widodo, NIP 196908221989121001 Pelaksana Tugas Kepala Kanwil DJBC Jateng dan D.I.Y, diberikan pelimpahan wewenang atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai untuk membuat dan menandatangani Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan di bidang Kepabeanan dan Cukai;
|
||||
|
|
|
6.
|
Bahwa Surat Perintah Menteri Keuangan Nomor PRIN-87/MK.01/2014 tanggal 13 Juni 2014 yang memberi perintah kepada Nugroho Wahyu Widodo, untuk menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta, terhitung mulai tanggal pelantikan sampai dengan pelantikan pejabat definitif atau sampai dengan dicabutnya Surat Perintah, menurut Majelis adalah untuk menentukan masa berlakunya jabatan Saudara Wahyu Widodo sebagai Pelaksana Tugas a quo;
|
||||
|
|
|
7.
|
Bahwa sekalipun dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 a quo, Pegawai/pejabat yang ditunjukan sebagai Plt, tidak perlu dilantik dan diambil sumpah, namun dengan pertimbangan pada angka 6 di atas, pelantikan Pelaksana Tugas tidaklah mengurangi kewenangannya untuk membuat dan menandatangani Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan di bidang Kepabeanan dan Cukai, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SPKTNP-481/BC/2014 a quo;
Bahwa oleh karenanya Majelis berkesimpulan bahwa Saudara Wahyu Widodo Pelaksana Tugas Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, berwenang menandatangani Keputusan Nomor KEP-185/WBC.09/2014 tanggal 4 November 2014 a quo";
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
b)
|
Putusan Pengadilan Pajak nomor putusan: 67193/PP/M.IVB/19/2015 tanggal 18 Desember 2015 dengan Pemohon a.n. PT Paberik Tekstil Kasrie yang pertimbangan hukumnya sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan keterangan yang ada dalam berkas sengketa, serta penjelasan terbanding dan pemohon banding dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkan banding pemohon banding, dengan pertimbangan sebagai berikut: |
|||||
|
|
|
||||||
|
|
|
1.
|
Bahwa yang disengketakan Pemohon Banding dalam surat bandingnya bukan merupakan materi sengketa yang semula diajukan keberatan oleh Pemohon Banding, akan tetapi mengenai kewenangan pejabat pelaksana tugas (Plt) Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah dan DIY untuk menandatangani keputusan nomor Kep-186/WBC.09/2014 tanggal 4 November 2014, tentang Penetapan Atas Keberatan Terhadap Penetapan Yang dilakukan Pejabat Bea dan Cukai Dalam SPTNP Nomor SPTNP-003196/SPKPN/WBC.09/KP.01/2014 tanggal 22 Juli 2014;
|
||||
|
|
|
2.
|
Bahwa penunjukan pelaksana tugas (Plt) adalah untuk menjaga kelancaran tugas dan kelangsungan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan di lingkungan Kementerian Keuangan apabila terjadi kekosongan jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA Keputusan Menteri Keuangan Nomor 313/KMK.01/2011 tanggal 14 September 2011;
|
||||
|
|
|
3.
|
Bahwa mengacu pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 yang menjadi dasar terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Dalam Jabatan Struktural Di Lingkungan Kementerian Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-38/BC/2014 tanggal 26 Maret 2014, yang menyatakan PLT tidak memiliki kewenangan menandatangani surat keputusan adalah khusus di bidang kepegawaian sebagai dimaksud dalam penjelasan dari surat BKN Nomor CI.26-30/V.101-1/06 tanggal 3 Juni 2014 perihal Kewenangan Pelaksana Tugas (Plt) dan Pelaksana Harian (Plh);
|
||||
|
|
|
4.
|
Bahwa Nugroho Wahyu Widodo, NIP 196908221989121001, pangkat: Pembina, golongan ruang: IV.a, berdasarkan Surat Perintah Menteri Keuangan Nomor PRIN: 87/MK.01/2014 tanggal 13 Juni 2014, diangkat sebagai Pejabat Pengganti Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dikarenakan pejabat definitif Kepala Kanwil DJBC Jateng dan D.I.Y memasuki masa pensiun pada tanggal 31 Agustus 2013;
|
||||
|
|
|
5.
|
Bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SPKTNP-481/BC/2014 kepada Saudara Nugroho Wahyu Widodo, NIP 196908221989121001 Pelaksana Tugas Kepala Kanwil DJBC Jateng dan D.I.Y, diberikan pelimpahan wewenang atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai untuk membuat dan menandatangani Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan di bidang Kepabeanan dan Cukai;
|
||||
|
|
|
6.
|
Bahwa Surat Perintah Menteri Keuangan Nomor PRIN-87/MK.01/2014 tanggal 13 Juni 2014 yang memberi perintah kepada Nugroho Wahyu Widodo, untuk menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta, terhitung mulai tanggal pelantikan sampai dengan pelantikan pejabat definitif atau sampai dengan dicabutnya Surat Perintah, menurut Majelis adalah untuk menentukan masa berlakunya jabatan Saudara Wahyu Widodo sebagai Pelaksana Tugas a quo;
|
||||
|
|
|
7.
|
Bahwa sekalipun dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 a quo, Pegawai/pejabat yang ditunjukan sebagai Plt, tidak perlu dilantik dan diambil sumpah, namun dengan pertimbangan pada angka 6 di atas, pelantikan Pelaksana Tugas tidaklah mengurangi kewenangannya untuk membuat dan menandatangani Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan di bidang Kepabeanan dan Cukai, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SPKTNP-481/BC/2014 a quo;
Bahwa oleh karenanya Majelis berkesimpulan bahwa Saudara Wahyu Widodo Pelaksana Tugas Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, berwenang menandatangani Keputusan Nomor KEP-186/WBC.092014 tanggal 4 November 2014 a quo";
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Bahwa dengan demikian Pejabat Pelaksana Tugas (Plt.) berwenang untuk membuat dan menandatangani Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk membuat dan menandatangani SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 yang berisi tagihan Bea Masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 sebesar Rp7.466.670.000,00 (tujuh milyar empat ratus enam puluh enam juta enam ratus tujuh puluh ribu rupiah);
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4.
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, sudah tepat bagi Majelis Hakim Agung di Tingkat Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor Nomor PUT-68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016;
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
G.
|
Bukti baru yang belum disampaikan dalam Persidangan Pengadilan Pajak (Novum);
|
|||||||
|
1.
|
Bahwa pada tanggal 15 Maret 2016, Pemohon Peninjauan Kembali menemukan bukti-bukti baru yang belum diajukan dalam persidangan di Pengadilan Pajak dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda sebagaimana dalam Pasal 91 huruf (b) UU Pengadilan Pajak;
“Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda”; |
||||||
|
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Bahwa dapat Pemohon Peninjauan Kembali sampaikan bukti-bukti baru dimaksud terdiri dari:
|
||||||
|
|
a.
|
Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 Tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas;
|
|||||
|
|
|
1.
|
Bahwa di dalam Putusan Majelis Hakim Pajak nomor: PUT-68881/PP/M.VIIA/19/2016 tanggal 1 Maret 2016 telah menyebutkan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas (yang bahkan menjadi salah satu dasar kesimpulan Majelis Hakim Pajak), namun pada faktanya hal ini tidak pernah dibahas dan disinggung sama sekali di dalam persidangan, sehingga apa yang ditemukan oleh Pemohon PK menjadi layak untuk menjadi sebuah bukti baru (novum) yang perlu disampaikan kepada Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan memutus perkara ini;
|
||||
|
|
|
2.
|
Bahwa dalam Pertimbangan Majelis Hakim pada halaman 7 Putusan Pengadilan Pajak, menyatakan sebagai berikut:
Bahwa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 yang diterbitkan oleh Terbanding ditandatangani oleh Pelaksana Tugas atau Plt. Direktur Audit a.n. Direktur Jenderal merupakan penetapan Keputusan tagihan kurang bayar kepada Pemohon Banding sebesar Rp7.466.670.000,00 (tujuh milyar empat ratus enam puluh enam juta enam ratus tujuh puluh ribu rupiah) dan merupakan tindak lanjut Laporan Hasil Audit (LHA) Nomor LHA-267/BC.62/IU/2014 tanggal 17 November 2014 audit berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, tidak sesuai dengan: |
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
1.
|
Huruf g Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001, bahwa Plt. tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat seperti pembuatan DP-3, penetapan surat keputusan, penjatuhan hukuman disiplin, dan sebagainya;
|
|||
|
|
|
3.
|
Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut, majelis hakim menyatakan SPKTNP-481 tidak sah dan batal demi hukum karena Majelis Hakim berpendapat bahwa Plt. Direktur Audit tidak berwenang untuk menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009;
|
||||
|
|
|
4.
|
Bahwa dalam Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 dimaksud telah menjelaskan terkait Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas dan sekaligus menjelaskan kewenangan yang dimiliki oleh Pelaksana Tugas;
|
||||
|
|
|
5.
|
Bahwa pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 angka 2 huruf (g) menyatakan sebagai berikut:
“Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai Pelaksana Tugas tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat seperti pembuatan DP-3, penetapan surat keputusan, penjatuhan hukuman disiplin dan sebagainya”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
6.
|
Bahwa dengan demikian, yang dimaksud dengan Surat keputusan yang mengikat dalam Pasal 10 PMK 117/PMK.01/2009 tanggal 25 Juni 2009 adalah keputusan yang mengikat dalam bidang kepegawaian dan bukan Keputusan Pejabat terkait penolakan keberatan yang diajukan oleh TERMOHON PENINJAUAN KEMBALI;
|
||||
|
|
|
7.
|
Berdasarkan hal tersebut di atas, Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean bukanlah keputusan dalam bidang kepegawaian sehingga Pelaksana Tugas Direktur Audit berwenang untuk menandatangani SPKTNP-481;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor CI.26-30/V.101/1/06 tanggal 03 Juni 2014 Perihal Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) dan Pelaksana Harian (Plh);
|
|||||
|
|
|
1.
|
Bahwa untuk mempertegas Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 Tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas tersebut, maka Badan Kepegawaian Negara mengirimkan Surat Nomor CI.26-30/V.101/1/06 tanggal 03 Juni 2014 Perihal Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) dan Pelaksana Harian (Plh) tanggal 3 Juni 2014 kepada Kepala Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan Kementerian Keuangan;
|
||||
|
|
|
2.
|
Bahwa dalam Surat dimaksud menyatakan, merujuk kepada surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 yang menentukan apabila dilingkungan instansi tidak terdapat PNS yang memenuhi syarat untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural, maka untuk kelancaran tugas-tugas organisasi, seorang PNS atau Pejabat Lainnya dapat diangkat sebagai Pelaksana Tugas;
|
||||
|
|
|
3.
|
Bahwa berdasarkan ketentuan angka 2 huruf (a) dan (b) Surat Badan Kepegawaian Negara Nomor CI.26-30/V.101/1/06 tanggal 03 Juni 2014 Perihal Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) dan Pelaksana Harian (Plh) menyatakan bahwa:
|
||||
|
|
|
|
“a.
|
PNS yang diangkat sebagai Pelaksana Tugas maupun Pelaksana Harian tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat seperti pembuatan DP-3, penetapan surat keputusan, penjatuhan hukuman disiplin dan sebagainya;
|
|||
|
|
|
|
b.
|
Bahwa penyebutan dan sebagainya sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah khusus di bidang kepegawaian”;
|
|||
|
|
|
4.
|
Berdasarkan penjelasan tersebut, Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor CI.26-30/V.101/1/06 tanggal 03 Juni 2014 kembali mempertegas bahwa PNS sebagai Pelaksana Tugas memiliki kewenangan dalam hal ini menetapkan dan menandatangani SPKTNP-481 untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi dari organisasi dikarenakan tidak menyangkut surat keputusan di bidang Kepegawaian melainkan terkait Pemungutan Pajak dalam rangka Penerimaan Negara;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
|
Surat Kepala Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Republik Indonesia Nomor S-18/SJ.2/2016 tanggal 15 Januari 2016 Hal Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas;
|
|||||
|
|
|
1.
|
Bahwa Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan sependapat dengan Badan Kepegawaian Negara terkait kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) pasca berlakunya PMK 117/PMK.01/2009 berwenang untuk menetapkan dan menandatangani Surat Penetapan terkait tarif dan/atau nilai pabean;
|
||||
|
|
|
2.
|
Bahwa selain itu, kewenangan Pelaksana Tugas (Plt) telah diatur dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa:
“Pelaksana harian atau pelaksana tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
|
||||
|
|
|
3.
|
bahwa dalam menetapkan Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Direktur Audit adalah tugas rutin dan melekat pada jabatan sehingga penerbitan dan penandatanganan oleh pejabat pelaksana tugas Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Barat dimaksud adalah sah dan sesuai dengan ketentuan hukum;
|
||||
|
|
|
4.
|
Bahwa Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kewenangan Pelaksana Tugas telah disebutkan dengan jelas dalam Surat Badan Kepegawaian Negara dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 yaitu Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) memiliki tugas-tugas sebagaimana pejabat definitif yang digantikan kecuali beberapa kewenangan dalam bidang kepegawaian;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
d.
|
Surat Kepala Biro Sumber Daya Manusia Sekretariat Jenderal
|
|||||
|
|
|
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Nomor S-131/SJ.5/2016 tanggal 1 Maret 2016 Hal Penjelasan Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Pasca Berlakunya PMK 117/PMK.01/2009;
|
|||||
|
|
|
1.
|
Bahwa Biro Sumber Daya Manusia Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan telah menyatakan dan menegaskan bahwa dalam penyusunan Pasal 10 PMK 117/PMK.01/2009 terkait kewenangan untuk mengambil atau memutuskan keputusan yang mengikat didasarkan pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 Tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas;
|
||||
|
|
|
2.
|
Bahwa Biro Sumber Daya Manusia Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan menyatakan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) dapat menandatangani Penetapan Surat Keputusan kecuali Keputusan di bidang Kepegawaian;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
e.
|
Surat Keputusan Yang Menjadi Objek Sengketa (in casu SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014) Telah Tepat dan Berdasar Hukum;
|
|||||
|
|
|
1.
|
Bahwa Pasal 86 ayat (1) UU 17/2006 menyatakan:
“Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit kepabeanan terhadap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
2.
|
Bahwa Pasal 86A UU 17/2006 menyatakan:
“Apabila dalam pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan adanya kekurangan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan jumlah dan/atau jenis barang, orang wajib membayar bea masuk yang kurang dibayar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (5)”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
3.
|
Pasal 17 ayat (1) UU 17/2006 menyatakan:
“Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean”;
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
4.
|
KEP-92/BC/2014 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Saudara Nirwala Dwi Heryanto NIP 196701051991031002 Pelaksana Tugas Direktur Audit Untuk dan atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai membuat dan menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean dan Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar;
Bahwa KEP-92/BC/2014 tersebut pada intinya menyampaikan Direktur Jenderal Bea dan Cukai memberikan pelimpahan wewenang kepada Saudara Nirwala Dwi Heryanto NIP 196701051991031002 Pelaksana Tugas Direktur Audit Untuk dan atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai membuat dan menandatangani: |
||||
|
|
|
|
(1)
|
Surat Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006;
|
|||
|
|
|
|
(2)
|
Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor;
|
|||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
Pelimpahan wewenang kepada Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Audit diberikan dalam hal audit kepabeanan dilakukan oleh Direktorat Audit;
|
||||
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
5.
|
Bahwa berdasarkan kewenangan tersebut dan atas hasil Laporan sesuai dengan LHA-267/BC.62/IU/2014, kedapatan Termohon PK telah melakukan kesalahan dengan tidak memenuhi ketentuan untuk mendapatkan tarif preferensi sebagaimana telah Pemohon PK bahas pada Bab POKOK PERMASALAHAN di atas, maka Direktur Audit atas nama Direktur Jenderal menerbitkan SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 yang mewajibkan Termohon PK membayar kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor dengan rincian sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dan didukung dengan adanya Novum beserta Putusan Pengadilan Pajak nomor putusan: 67192/PP/M.IVB/19/2016 dan nomor putusan: 67193/PP/M.IVB/19/2016, maka telah terbukti bahwa SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 adalah suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang berdasar hukum karena diterbitkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa, alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan membatalkan Keputusan Terbanding Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 tentang Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), atas nama Pemohon Banding, NPWP 01.062.119.1.092-000, sehingga bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang masih harus dibayar menjadi nihil, adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
|
||||||||
a.
|
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Keputusan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berupa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 (selanjutnya disebut SPKTNP-481) yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Audit yang berisi tagihan Bea Masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 sebesar Rp7.466.670.000,00 tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo Sdr Nirmala Dewi Heryanto selaku Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Audit Kepabeanan tidak memiliki kewenangan hukum untuk menerbitkan Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor SPKTNP-481/BC.6/2014 tanggal 24 November 2014 (selanjutnya disebut SPKTNP-481) sebagai beschikking, sehingga tidak memiliki legalitas dan validitas hukum dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan jo. Pasal 15 s.d Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
|
|||||||
b.
|
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait; |
||||||||
|
MENGADILI
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu, tanggal 8 Maret 2017, oleh Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Yosran, S.H., M.Hum., dan Is Sudaryono, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis dan dibantu oleh Maftuh Effendi, S.H., M.H., Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota Majelis
ttd. Dr. Yosran, S.H., M.Hum. ttd. Is Sudaryono, S.H., M.H. |
Ketua Majelis
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
|
|
|
|
Panitera Pengganti
ttd. Maftuh Effendi, S.H., M.H. |
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum