Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
237/B/PK/PJK/2017


DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
 
 
 
 
 
 
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
1.
CATUR RINI WIDOSARI, jabatan Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak.
2.
BUDI CHRISTIADI, jabatan Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
3.
FARCHAN ILYAS, jabatan Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
4.
DEDY DAMHADI, jabatan Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
 
 
 
 
 
 
 
 
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-454/PJ./2014, tanggal 26 Februari 2014;

untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 
 
 
 
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
 
 
 
 
PT. RIO TINTO INDONESIA, beralamat di Menara Anugerah Lantai 15, Jalan Ide Anak Agung Gde Agung Lot 8.6 – 8.7, Kawasan Mega Kuningan, Kuningan Timur, Jakarta Selatan 12950;

untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, Bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.48651/PP/M.I/25/2013, tanggal 27 November 2013, yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor: L.21/III-13/INDO 03-02 tanggal 25 Maret 2013, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut ini:

Bahwa berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 (UU KUP), mengajukan Banding atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1631/WPJ.19/2012 tanggal 28 Desember 2012 yang Pemohon Banding terima tanggal 2 Januari 2013 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 Final Nomor 00005/440/10/091/12 tanggal 11 Mei 2012 Masa Pajak Mei 2010 dengan jumlah PPh yang lebih bayar menurut Keputusan Direktur Jenderal sebesar Rp627.728,00;

Bahwa adapun alasan dan penjelasan Permohonan Banding Pemohon Banding adalah sebagai berikut:
I.
Latar Belakang
 
Bahwa KPP Wajib Pajak Besar Satu telah melakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan perpajakan PT Rio Tinto Indonesia (PTRTI) sehubungan dengan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 Final Tahun 2010. Sebagai hasil pemeriksaan pajak, KPP Wajib Pajak Besar Satu pada tanggal 11 Mei 2012 telah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 Final Nomor: 00005/440/10/091/12 Tanggal 11 Mei 2012 Masa Pajak Mei 2010 (SKPLB) - lampiran 1, dimana ditetapkan Bahwa Pemohon Banding memiliki pajak yang lebih dibayar sebesar Rp627.728,00 dengan rincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa atas SKPLB sebesar Rp627.728,00 telah dikembalikan oleh Terbanding seluruhnya melalui transfer dari KPKN dan telah diterima di rekening kami pada Bank of America pada tanggal 29 Mei 2012;

Bahwa atas SKPLB tersebut di atas, Pemohon Banding telah mengajukan Surat Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP WP Besar Satu dengan surat nomor L.27/VIII-12/INDO 03-02 tanggal 8 Agustus 2012 - (lampiran 2);

Bahwa atas Surat Keberatan tersebut diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1631/WPJ.19/2012 tanggal 28 Desember 2012 (lampiran 3) tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar PPh Pasal 4 ayat 2 Final Nomor 00005/440/10/091/12 tanggal 11 Mei 2012 Masa Pajak Mei 2010 (Keputusan Keberatan);

Bahwa dalam Keputusan Keberatan tersebut, Terbanding mempertahankan jumlah pajak yang lebih dibayar sebagaimana dimaksud dalam SKPLB PPh pasal 4 ayat 2 final sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa oleh karenanya, Pemohon Banding mengajukan banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1631/WPJ.19/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar PPh Pasal 4 ayat 2 Final Nomor 00005/440/10/091/12 tanggal 11 Mei 2012 Masa Pajak Mei 2010;
 
 
 
 
 
 
 
 
II.
Alasan dan Penjelasan Permohonan Banding
 
Bahwa berikut ini Pemohon Banding sampaikan alasan dan penjelasan permohonan Banding:

Koreksi Negatif Atas Penghasilan Kena Pajak/DPP sebesar Rp6.277.284,00

Menurut Terbanding
Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 33A ayat (4) UU PPh dan dengan berdasarkan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-176/KM-04/1996 tanggal 1 April 1996 PT Rio Tinto Indonesia terikat dengan Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company dan Undang-Undang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Karya ditandatangani yaitu UU Nomor 7 tahun 1983 (UU PPh Tahun 1984);
 
Bahwa pendapat Pemohon Banding Bahwa Pemohon Banding tidak menanggung pajak yang menjadi tanggung jawab pihak ketiga tidak dapat diterima karena sesuai dengan Pasal 13 butir 5 huruf (a) Kontrak Karya Pemohon Banding berkewajiban memotong dan menyetorkan kepada Pemerintah pajak-pajak penghasilan atas pembayaran royalti, sewa dan kompensasi lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta kekayaan yang tidak bergerak dan kompensasi dibayarkan untuk bantuan teknik atau jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia dengan tarif 15 (lima belas) persen yang mengacu pada Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Persetujuan ini;

Bahwa koreksi Pemeriksa dalam melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 23 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Pasal 13 Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company (FI). Pendapat Pemohon Banding yang menyatakan Bahwa objek PPh Pasal 23 hanya terbatas pada jasa teknik dan jasa manajemen tidak dapat diterima karena dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1983 disebutkan Bahwa salah satu objek PPh Pasal 23 adalah sewa, royalti dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

Bahwa koreksi Pemeriksa dalam melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) sejalan dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-37925/PP/M.I/25/2012 tanggal 2 Mei 2012 yang pada intinya memutuskan Bahwa pembayaran atas jasa renovasi design interior kantor, sewa gedung termasuk service charge merupakan objek PPh Pasal 23;

Bahwa berdasarkan hasil penelitian, maka Tim Peneliti berpendapat Bahwa koreksi Pemeriksa telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku;

Menurut Pemohon Banding
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi yang dilakukan oleh Terbanding dengan mereklas objek PPh Pasal 4 (2) Final menjadi objek PPh Pasal 23 atas dasar pemikiran sebagai berikut:

Bahwa mengutip kalimat pengantar dalam KK antara PTFI dan Pemerintah RI yang berlaku bagi RTI yang berbunyi "Persetujuan ini, disepakati dan dibuat di Jakarta, Republik Indonesia, pada tanggal 30 Desember 1991 oleh dan antara Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia, (selanjutnya disebut "Pemerintah"); dan PT Freeport Indonesia Company (suatu badan hukum Indonesia yang didirikan dengan Akta Notaris nomor 102 tanggal 26 Desember tahun 1991...", dapat disimpulkan Bahwa yang mengikat perjanjian disini adalah Pemerintah RI dengan Badan hukum yang dalam hal ini adalah PTFI. Oleh karenanya, secara legal ketentuan dalam KK seyogianya mengikat para pihak yang membuat kesepakatan, yang dalam hal ini adalah Pemerintah RI dan PTFI;

Bahwa PPh Pasal 4 ayat (2) Final adalah pajak pihak ketiga. Oleh karenanya pihak ketiga secara hukum tidak terikat dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang melakukan kesepakatan dalam KK. RTI adalah pihak yang ikut terikat dalam kesepakatan sesuai KK karena adanya surat Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia nomor 1826/05/M.SJ/1996 tanggal 29 April 1996. Terkait dengan penerapan Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, sama sekali tidak ada ketentuan yang dilanggar mengingat pajak yang dikenakan terhadap Pemohon Banding masih tetap mempergunakan ketentuan perpajakan pada saat KK ditandatangani, yakni menggunakan tarif 35% untuk tarif tertinggi Pajak Penghasilan Badan;

Bahwa kewajiban RTI sebagai pihak yang membuat kesepakatan terkait PPh Pasal 4 ayat (2) Final adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pengantar pasal 13 KK yang berbunyi "Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, Perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut:
 
(i)
...........
 
(ii)
...............
 
(v)
Kewajiban memotong dari Pajak Penghasilan atas bunga, dividen, sewa, jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya.";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan demikian Pemohon Banding berpendapat Bahwa semangat (spirit) dari Pasal 13 KK yang berkaitan dengan kewajiban pajak pihak ketiga adalah melakukan pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan atas pembayaran yang terutang PPh Pasal 4 ayat (2) Final yang pada saat ini objeknya berkembang tidak hanya berkaitan dengan penghasilan dari bunga tabungan atau deposito, tetapi juga dari penyewaan ruangan, service charge dan jasa konstruksi;

Bahwa mengingat PPh Pasal 4 (2) Final adalah pajak pendahuluan pihak ketiga yang tidak tunduk pada ketentuan dalam KK dan RTI mempunyai amanat untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 4 (2) sesuai amanat KK maka untuk menghindari permasalahan sistem administrasi perpajakan bagi pihak ketiga yang kewajiban perpajakan mengikuti ketentuan yang berlaku dari waktu ke waktu (prevailing) maka RTI mengenakan objek pemajakan dan tarif sesuai yang berlaku yakni atas objek sewa ruangan dan jasa konstruksi dengan tarif pajak final;

Bahwa Surat penegasan Direktur Peraturan Perpajakan II sebagaimana dinyatakan dalam surat No.S-1289/PJ.031/2010 tanggal 1 Oktober 2010 (lampiran 4) kepada FI yang menyebutkan Bahwa ketentuan KK FI hanya berlaku bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut, dan karenanya tidak berlaku bagi pihak lain. Berikut kutipan dari surat penegasan tersebut;
"...Kontrak (Karya) berlaku bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.." (catatan: kata dalam kurung "(Karya)" merupakan tambahan dari Pemohon Banding untuk memperjelas maksud dari kata "Kontrak".

Bahwa sebagai konsekuensi dari hal tersebut maka pajak yang terkait langsung dengan RTI tetap menggunakan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam KK. Hal ini dapat ditunjukkan Bahwa tarif PPh Badan RTI mengikuti ketentuan UU PPh 1984;

Bahwa sejalan dengan hal tersebut maka maksud kata "pajaknya" dalam ketentuan Pasal 33A ayat (4) UU PPh dimaksudkan sebagai pajak yang berkaitan langsung dengan pemegang Kontrak, yang dalam hal ini termasuk RTI. Oleh karenanya tidak tepat seandainya ketentuan pasal ini digunakan bagi PPh Pasal 4 (2) yang merupakan pajak pihak ketiga;

Bahwa Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) yang menyatakan Bahwa kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, kontrak tersebut tidak dapat mengikat pihak ketiga dan tidak boleh merugikan pihak ketiga (lampiran 5);

Bahwa dengan menerapkan ketentuan perpajakan sebagaimana yang dimaksud dalam Kontrak Karya terhadap pajak pihak ketiga, maka hal ini menyalahi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP.
 
 
 
 
 
 
 
 
III.
Kesimpulan
 
Bahwa berdasarkan alasan dan penjelasan permohonan Banding di atas, maka Pemohon Banding berpendapat sebagai berikut:

Bahwa KK mengatur kewajiban perpajakan pihak yang terikat dalam kontrak;
 
Bahwa PPh Pasal 4 ayat (2) Final adalah pajak pihak ketiga yang telah selesai perhitungannya saat dilakukan pemotongan pajaknya oleh pihak yang membayarkan, oleh karenanya pengenaan lex specialist KK tidak dapat diberlakukan terhadap pemotongan pajak yang bersifat final;

Bahwa dengan demikian PPh pasal 4 ayat (2) Final terutang untuk Masa Pajak Mei 2010 menjadi sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
IV.
Penutup
 
Bahwa demikian permohonan banding ini Pemohon Banding sampaikan. Apabila Majelis Hakim Yang Terhormat masih memerlukan tambahan data dan keterangan serta penjelasan tentang hal-hal yang belum Pemohon Banding sebutkan dalam Surat Banding ini, Pemohon Banding bersedia untuk menyampaikan secara tertulis atau dalam sidang Pengadilan Pajak, dan mohon agar Pemohon Banding dapat dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan keterangan yang diperlukan;

Bahwa besar harapan Pemohon Banding Majelis Hakim Yang Terhormat dapat mengabulkan seluruh permohonan Banding Pemohon Banding seperti yang Pemohon Banding uraikan di atas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku;

Menimbang, Bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.48651/PP/M.I/25/2013, tanggal 27 November 2013, yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Menyatakan mengabulkan seluruhnya Banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1631/WPJ.19/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Final Nomor: 00005/440/10/091/12 tanggal 11 Mei 2012 Masa Pajak Mei 2010 atas nama: PT Rio Tinto Indonesia, NPWP 01.071.781.7-091.000, beralamat di Menara Anugerah Lantai 15, Jalan Ide Anak Agung Gde Agung Lot 8.6 – 8.7 Kawasan Mega Kuningan, Kuningan Timur, Jakarta Selatan 12950, sehingga perhitungan PPh Pasal 4 (2) Final Masa Pajak Mei 2010 yang masih harus (lebih) dibayar menjadi sebagai berikut:
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, Bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.48651/PP/M.I/25/2013, tanggal 27 November 2013, diberitahukan kepada Terbanding pada tanggal 18 Desember 2013, kemudian terhadapnya oleh Terbanding dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: SKU-454/PJ./2014, tanggal 26 Februari 2014, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 12 Maret 2014, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 12 Maret 2014;

Menimbang, Bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 21 November 2014, namun terhadapnya oleh pihak lawannya tidak diajukan Jawaban sesuai dengan surat keterangan Wakil Panitera Pengadilan Pajak Nomor: TKM-87/PAN.Wk/2016, tanggal 12 Februari 2016;

Menimbang, Bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima.
 
 
 
 
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
I.
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Memori Peninjauan Kembali
 
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah:
Tentang Koreksi Negatif Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp6.277.284,- yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
 
 
 
 
II.
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
 
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.48651/PP/M.I/25/2013 tanggal 27 November 2013, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru dengan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak (tegenbewijs) atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan dalil-dalil dan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
 
1.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan/pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

Halaman 37 Alinea ke-7 dan ke-8
Bahwa Majelis berpendapat, untuk pembayaran penghasilan sehubungan dengan service charge sewa tanah dan atau bangunan sebesar Rp6.277.284,00, adalah merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2), sehingga pemotongan pajak yang dilakukan oleh Pemohon Banding sebagai pemotongan atas objek PPh Pasal 4 ayat (2) sudah tepat;

Bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis berkesimpulan atas Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) koreksi negatif oleh Terbanding sebesar Rp6.277.284,00 tidak dapat dipertahankan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan Bahwa “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.” Kemudian dalam memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan Bahwa “Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PPh) menyatakan:

Pasal 4 ayat (2)
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23 ayat (1)
Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau yang terutang oleh Badan Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri, selain bank atau lembaga keuangan lainnya, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto, oleh pihak yang wajib membayarkan:
 
 
a.
dividen dari perseroan dalam negeri;
 
 
b.
bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;
 
 
c.
sewa, royalti, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 
 
d.
imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik dan jasa managemen yang dilakukan di Indonesia;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 33A ayat (4)
“Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.”
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan berkas sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.48651/PP/M.I/25/2013 tanggal 27 November 2013, data dan fakta yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
4.1.
Bahwa yang menjadi alasan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tetap mempertahankan Koreksi Negatif Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Mei 2010 sebesar Rp6.277.284,- adalah:

Bahwa sengketa fiskal yang terjadi antara Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding – Pemeriksa) terkait dengan penerapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyebabkan timbulnya koreksi negatif yang bersumber dari reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) menjadi objek PPh Pasal 23;

Bahwa penerapan UU Nomor 7 Tahun 1983 oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) karena terkait dengan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang membentuk unicoperated joint venture pada tanggal 11 Oktober 1996 dengan PT Freeport Indonesia sebagai tindak lanjut surat Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: S-1048/M.SJ/1995 tanggal 28 Maret 1995 dan surat Nomor: S-1828/05/M.SJ/1996 tanggal 29 April 1996 sehubungan dengan pengalihan "interest" dalam kontrak karya kepada Rio Tinto indonesia;

Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) merujuk kepada surat Menteri Keuangan Nomor: S-176/KM-04/1996 tanggal 1 April 1996 yang menegaskan Bahwa perlakuan perpajakan terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) diberlakukan sama dengan PT Freeport Indonesia yaitu tunduk pada Kontrak Karya antara pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia. Kontrak Karya antara pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia ditandatangani pada 30 Desember 1991 sehingga berlaku ketentuan pada UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;

Bahwa penelitian terhadap Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company (Contract of Work Between The Government of The Republik of Indonesia) adalah sebagai berikut:

Bahwa penelitian perjanjian antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia dilakukan karena PT Rio Tinto Indonesia merupakan subsidiary dari PT Freeport Indonesia yang melakukan kegiatan eksplorasi, penambangan, pemrosesan, penimbunan, pengangkutan, penjualan dan pemanfaatan mineral atas 40% dari Area Kontrak, dengan PT. Freeport Indonesia tetap sebagai operator penambangan;

Bahwa sesuai Surat Menteri Keuangan Nomor: S-176/KM-04/1996 tanggal 1 April 1996 tentang Permohonan Tax Ruling atas Perlakuan Perpajakan Kerjasama antara PT Freeport Indonesia dengan RTZ disampaikan penegasan Bahwa:
 
a.
Mengingat ketentuan yang diatur dalam Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT FIC mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang dan pengalihan tersebut pada butir 3 telah mendapat persetujuan dari Menteri Pertambangan dan Energi tanggal 28 Maret 1995 Nomor 1048/03/M.SJ/1995 berdasarkan Pasal 29 Kontrak Karya, maka kami dapat menyetujui perlakuan perpajakan terhadap PT RTZI diperlakukan sama dengan PT FIC yaitu tunduk pada Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT FIC dan undang-undang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Karya ditandatangani;
 
b.
Untuk selanjutnya agar PT FIC dan PT RTZ masing-masing harus mempunyai NPWP dan harus memenuhi kewajiban perpajakan masing-masing secara terpisah sesuai dengan penghasilan masing-masing.
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan Contract of Work between The Government of The Republic of Indonesia and PT. Freeport Indonesia Company yang disepakati di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1991 antara lain diatur:

Bahwa berdasarkan Pasal 13 Kontrak Karya tentang Pajak-pajak dan Lain-lain Kewajiban Keuangan disebutkan:
Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, Perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut:
 
(v)
kewajiban memotong dari Pajak Penghasilan atas bunga, dividen, sewa, jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya.
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Pasal 13 Kontrak Karya tentang Pajak Penghasilan atas dividen, bunga dan royalti pada angka 5 huruf (a) diatur: Perusahaan harus sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Persetujuan ini, memotong dan menyetorkan kepada Pemerintah pajak-pajak penghasilan atas pembayaran royalti, sewa dan kompensasi lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta kekayaan yang tidak bergerak dan kompensasi dibayarkan untuk bantuan teknik atau jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia, dengan tarif sebagai berikut) atau tarif lain yang lebih rendah yang berlaku dari waktu ke waktu menurut suatu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang relevan): lima belas persen dalam hal pembayaran kepada seorang wajib pajak dalam hal pembayaran kepada seorang wajib pajak dalam negeri dan dua puluh persen dalam hal pembayaran kepada seorang wajib pajak luar negeri.

Bahwa Pasal 32 Kontrak Karya tentang Pilihan Hukum menyebutkan antara lain:
 
1.
Kecuali ditetapkan lain dalam Persetujuan ini, pelaksanaan dan operasi Persetujuan ini akan diatur, tunduk kepada dan ditafsirkan sesuai dengan hukum Republik Indonesia yang saat ini berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan penelitian perjanjian antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia Company dapat disimpulkan sebagai berikut:
 
a.
Di antara kewajiban perpajakan yang harus ditunaikan oleh Pemohon Banding adalah memotong Pajak Penghasilan atas bunga, dividen, sewa, jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya;
 
b.
Ketentuan tentang Pajak Penghasilan yang diberlakukan adalah Undang-undang Pajak Penghasilan yang diterapkan pada saat terjadinya penandatanganan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia; dengan PT Freeport Indonesia Company yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983;
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa merujuk kepada ketentuan Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan Pasal 13 Contract of Work between The Government of The Republic of Indonesia and PT Freeport Indonesia Company tanggal 30 Desember 1991 maka undang-undang tentang perpajakan yang diberlakukan kepada PT Freeport Indonesia dan subsidiarinya termasuk di dalamnya Wajib Pajak (PT Rio Tinto Indonesia) - sesuai Surat Menteri Keuangan Nomor: S-176/KM-04/1996 tanggal 1 April 1996 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;

Bahwa pemberlakuan ketentuan dalam Kontrak Karya terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) merupakan penerapan kaidah lex specialist derogat lex generalis yang artinya undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum dengan penjelasan sebagai berikut:
 
a.
Terhadap seluruh Wajib Pajak yang melakukan Kontrak Karya, sesuai Pasal 33A ayat (4) UU PPh pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak karya sampai dengan berakhirnya kontrak;
 
b.
Dalam kontrak karya antara Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia menyatakan mengikuti ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya kontrak/persetujuan;
 
c.
Wajib Pajak (PT Rio Tinto Indonesia) merupakan subsidiary dari PT Freeport Indonesia yang mengelola 40% dari Area Kontrak (Contract of Work between The Government of The Republic of Indonesia and PT Freeport Indonesia Company) yang wajib mengikuti seluruh ketentuan kontrak karya termasuk di dalamnya ketentuan tentang perpajakan sehingga undang-undang yang diterapkan kepada PT. Rio Tinto Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tidak termasuk di dalamnya perubahan Undang-Undang (UU No. 7 Tahun 1991, UU No. 10 Tahun 1994, UU No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 36 Tahun 2008).
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-34/PJ.22/1988 tanggal 1 Oktober 1988 juga ditegaskan Bahwa ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya Pertambangan yang telah disetujui oleh Pemerintah diberlakukan ketentuan khusus (special treatment/lex specialist). Dengan perkataan lain, undang-undang perpajakan berlaku secara umum kecuali diatur secara khusus dalam kontrak karya yang telah disetujui pemerintah tersebut;

Bahwa berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur mengenai objek pajak serta berdasarkan Pasal 13 Contract of Work between The Government of The Republic of Indonesia and PT Freeport Indonesia Company tanggal 30 Desember 1991, objek pajak yang wajib dilakukan pemotongan PPh-nya adalah sebagai berikut:
 
-
Bunga
 
-
Dividen
 
-
Sewa
 
-
Royalti
 
-
Jasa teknik
 
-
Jasa manajemen
 
-
Jasa lainnya
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diatur tata cara pemotongannya hanyalah bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan lainnya;

Bahwa dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ.22/1989 mengenai PPh Pasal 23/26 atas Sewa diatur Bahwa atas pembayaran sewa ruangan yang didalamnya termasuk unsur "service charge" ditegaskan Bahwa pemotongan PPh Pasal 23 nya sebesar 15% dari jumlah pembayaran bruto;

Bahwa dengan memperhatikan uraian di atas maka atas objek pajak sewa tanah dan bangunan yang semula dilaporkan Wajib Pajak sebagai objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2) Final direklasifikasikan sebagai objek pajak PPh Pasal 23;

Bahwa berdasarkan hasil penelitian sesuai dokumen yang ada berupa bukti SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Final, bukti potong, LPP dan bukti lainnya, serta merujuk kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan atas objek pajak yang dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Final Mei 2010 direklasifikasi menjadi objek PPh Pasal 23 sebesar Rp6.277.284,00;

Bahwa adapun objek pajak yang yang dikoreksi pada Masa Mei 2010 adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan berdasarkan koreksi tersebut di atas maka objek PPh Pasal 4 (2) yang dilaporkan Pemohon Banding dalam; SPT Masa PPh Pasal 4 (2) Final Masa Pajak Mei 2010 menjadi nihil, sehingga penghitungan PPh Pasal 4 (2) terutang menjadi sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan:
 
a.
Penelitian kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menunjukkan Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) merupakan subsidiary dari PT Freeport Indonesia yang mengelola 40% dari Area Kontrak. Berdasarkan surat Menteri Keuangan Nomor: S-176/KM-04/1996 tanggal 1 April 1996, ditegaskan Bahwa perlakuan perpajakan terhadap PT Rio Tinto Indonesia (Termohon Peninjauan Kembali) diperlakukan sama dengan PT Freeport Indonesia Company yaitu tunduk pada Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT FIC dan Undang-Undang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Karya ditandatangani;
 
b.
Sesuai ketentuan Pasal 33A ayat (4) UU PPh, dan dengan berdasarkan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-176/KM-04/1996 tanggal 1 April 1996, maka PT Rio Tinto Indonesia (Termohon Peninjauan Kembali) terikat dengan Contract of Work between The Government of The Republic of Indonesia and PT. Freeport Indonesia Company yang disepakati di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1991 khususnya Pasal 13 yang mengatur tentang Pajak-pajak dan Lain-lain Kewajiban Keuangan Perusahaan;
 
c.
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sudah setuju Bahwa sesuai dengan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-176/KM-04/1996 tanggal 1 April 1996 perlakuan perpajakan terhadap RTI diberlakukan sama dengan PT Freeport Indonesia (FI) yaitu tunduk pada Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan FI;
 
d.
Pendapat Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak menanggung pajak yang menjadi tanggung jawab pihak ketiga tidak dapat diterima karena sesuai dengan Pasal 13 butir 5 huruf (a) Kontrak Karya, Wajib Pajak berkewajiban memotong dan menyetorkan kepada Pemerintah pajak-pajak penghasilan atas pembayaran royalti, sewa dan kompensasi lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta kekayaan yang tidak bergerak dan kompensasi dibayarkan untuk bantuan teknik atau jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia, dengan tarif 15 (lima belas) persen yang mengacu pada Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Persetujuan ini;
 
e.
Koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Pasal 13 Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company. Pendapat Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang menyatakan Bahwa objek PPh Pasal 23 hanya terbatas pada jasa teknik dan jasa manajemen tidak dapat diterima karena dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1983 disebutkan Bahwa salah satu objek PPh Pasal 23 adalah sewa, royalti dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 
f.
Koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) sejalan dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-37925/PP/M.I/25/2012 tanggal 2 Mei 2012 mengenai Putusan Banding atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-598/WPJ.19/BD.05/2010 tanggal 22 November 2010 tentang Keberatan atas SKPLB PPh Pasal 4 ayat (2) Final Nomor: 00023/440/08/091/10 tanggal 9 Februari 2010 Masa Pajak Desember 2008 pada intinya memutuskan Bahwa pembayaran kepada PT Saraswati (atas renovasi design interior kantor), PT Abadi Guna Papan (atas service charge) dan PT Menara Anugrah (atas sewa gedung) merupakan objek PPh Pasal 23 sesuai dengan Pasal 13 butir 5 huruf a Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia sehingga Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding: PT Rio Tinto Indonesia) harus memotong dan menyetorkan pajaknya kepada Pemerintah dengan tarif 15%;
 
g.
Koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) didasarkan pada UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Pasal 13 Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company;
 
h.
Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1983 hanya mengatur mengenai pemotongan bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan lainnya, sehingga atas objek pajak berupa sewa tanah dan atau bangunan termasuk didalamnya service charge serta jasa konstruksi yang dilaporkan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagai objek PPh Pasal 4 (2) Final direklasifikasi sebagai objek pajak PPh Pasal 23;
 
i.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ.22/1989 mengenai PPh Pasal 23/26 atas Sewa diatur Bahwa atas pembayaran sewa ruangan yang di dalamnya termasuk unsur "service charge" ditegaskan Bahwa pemotongan PPh Pasal 23 nya sebesar 15% dari jumlah pembayaran bruto;
 
j.
Berdasarkan hasil penelitian, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat Bahwa koreksi telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Pendapat Pemohon Banding yang menyatakan Bahwa objek Pasal 23 UU PPh Tahun 1983 hanya terbatas pada jasa teknik dan manajemen tidak dapat diterima, karena dalam pasal 23 ayat (1), jenis penghasilan yang wajib dipotong PPh Pasal 23 juga termasuk sewa, royalti, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 
 
 
 
 
 
4.2.
Bahwa atas koreksi negatif DPP PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Mei 2010 sebesar Rp6.277.284,- tersebut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berpendapat sebagai berikut:
 
Bahwa mengutip kalimat pengantar dalam KK antara PTFI dan Pemerintah RI yang berlaku bagi RTI yang berbunyi "Persetujuan ini, disepakati dan dibuat di Jakarta, Republik Indonesia, pada tanggal 30 Desember 1991 oleh dan antara Pemerintah RI, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi RI, (selanjutnya disebut "Pemerintah"); dan PT Freeport Indonesia Company (suatu badan hukum Indonesia yang didirikan dengan Akta Notaris nomor 102 tanggal 26 Desember 1991..." dapat disimpulkan Bahwa yang mengikat perjanjian di sini adalah Pemerintah RI dengan Badan Hukum yang dalam hal ini adalah PTFI. Oleh karenanya, secara legal ketentuan dalam KK seyogianya mengikat para pihak yang membuat kesepakatan, yang dalam hal ini adalah Pemerintah RI dan PTFI;

Bahwa PPh Pasal 4 ayat (2) Final adalah pajak pihak ketiga. Oleh karenanya pihak ketiga secara hukum tidak terikat dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang melakukan kesepakatan dalam KK. RTI adalah pihak yang ikut terikat dalam kesepakatan sesuai KK karena adanya surat Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia Nomor 1826/05/M.SJ/1996 tanggal 29 April 1996. Terkait dengan penerapan Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, sama sekali tidak ada ketentuan yang dilanggar mengingat pajak yang dikenakan terhadap Pemohon Banding masih tetap mempergunakan ketentuan perpajakan pada saat KK ditandatangani, yakni menggunakan tarif 35% untuk tarif tertinggi Pajak Penghasilan Badan;

Bahwa kewajiban RTI sebagai pihak yang membuat kesepakatan terkait PPh Pasal 4 ayat (2) Final adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pengantar Pasal 13 KK yang berbunyi "dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut:
  (i)  
 
(ii)
.............
 
(v)
Kewajiban memotong dari Pajak Penghasilan atas bunga, dividen, sewa, jasa teknik,jasa manajemen dan jasa lainnya";
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan demikian Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berpendapat Bahwa semangat (spirit) dari pasal 13 KK yang berkaitan dengan kewajiban pajak pihak ketiga adalah melakukan pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan atas pembayaran yang terutang PPh Pasal 4 ayat (2) Final yang pada saat ini objeknya berkembang tidak hanya berkaitan dengan penghasilan dari bunga tabungan atau deposito, tetapi juga dari penyewaan ruangan, service charge dan jasa konstruksi;

Bahwa Surat Penegasan Direktur Peraturan Perpajakan II sebagaimana dinyatakan dalam Surat Nomor S-1289/PJ.031/2010 tanggal 01 Oktober 2010 (lampiran 4) kepada FI yang menyebutkan Bahwa ketentuan KK FI hanya berlaku bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut dan karenanya tidak berlaku bagi pihak lain. Berikut kutipan dari surat penegasan tersebut;
"...Kontrak (karya) berlaku bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut..." (catatan: kata dalam kurung "(karya) merupakan tambahan dari Pemohon Banding untuk memperjelas maksud dari kata "Kontrak";

Bahwa sebagai konsekuensi dari hal tersebut maka pajak yang terkait langsung dengan RTI tetap menggunakan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam KK, Hal ini dapat ditunjukan Bahwa tarif PPh Badan RTI mengikuti ketentuan UU PPh 1984;
 
Bahwa sejalan dengan hal tersebut maka maksud kata "pajaknya" dalam ketentuan Pasal 33A ayat (4) UU PPh dimaksudkan sebagai pajak yang berkaitan langsung dengan pemegang kontrak, yang dalam hal ini termasuk RTI. Oleh karenanya tidak tepat seandainya ketentuan pasal ini digunakan bagi PPh Pasal 4 ayat (2) yang merupakan pajak pihak ketiga;

Bahwa Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) yang menyatakan bahwa kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, kontrak tersebut tidak dapat mengikat pihak ketiga dan tidak boleh merugikan pihak ketiga;

Bahwa dengan menerapkan ketentuan perpajakan sebagaimana yang dimaksud dalam Kontrak Karya terhadap pajak pihak ketiga, maka hal ini menyalahi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP. berdasarkan alasan dan penjelasan permohonan banding diatas maka Pemohon Banding berpendapat sebagai berikut:

Bahwa KK mengatur kewajiban perpajakan pihak yang terikat dalam kontrak;

Bahwa PPh Pasal 4 ayat (2) Final adalah pajak pihak ketiga yang telah sesuai perhitungannya saat dilakukan pemotongan pajaknya oleh pihak yang membayarkan, oleh karenanya pengenaan lex specialist KK tidak dapat diberlakukan terhadap pemotongan pajak yang bersifat final;
 
 
 
 
 
 
4.3.
Bahwa terhadap sengketa fiskal yang terjadi antara Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) terkait dengan penerapan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyebabkan timbulnya koreksi negatif Objek PPh Pasal 4 ayat (2) menjadi koreksi positif DPP PPh Pasal 23 karena dalam UU Nomor 7 tahun 1983 tidak dikenal Objek PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa dan penghasilan sehubungan penggunaan harta, Majelis Hakim dalam amar putusannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak a quo halaman 36-37, berpendapat sebagai berikut:

Bahwa sekalipun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.011/2013 tanggal 27 Februari 2013 a quo, baru diberlakukan 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diundangkan (diundangkan pada tanggal 27 Februari 2013), namun berdasarkan isi peraturan tersebut Majelis dapat menyimpulkan Bahwa kewajiban Pemohon Banding yang terikat dengan kontrak karya adalah melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan pihak lain yang terutang, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan harus dilakukan;

Bahwa Majelis berpendapat, berdasarkan Pasal 1338 dan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata a quo, maka perjanjian/kontrak tersebut tidak dapat mengikat pihak ketiga dan tidak boleh merugikan pihak ketiga yang tidak mengikatkan diri pada perjanjian tersebut, sehingga Majelis berpendapat ketentuan lex specialist dalam Kontrak Karya hanya berlaku dan mengikat para pihak yang mengikatkan diri dalam kontrak, dalam hal ini Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia (serta Pemohon Banding yang juga tunduk pada Kontrak Karya tersebut);

Bahwa Majelis berpendapat, atas: pajak-pajak yang terkait langsung dengan Pemohon Banding berlaku ketentuan dalam Kontrak Karya sebagaimana diatur dalam Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang PPh;

Bahwa Majelis berpendapat, dalam hal pajak yang menjadi kewajiban pihak ketiga, kewajiban Pemohon Banding adalah melakukan pemotongan dan penyetoran pajak atas pembayaran yang terutang pajak;

Bahwa Majelis berpendapat, hak dan kewajiban pihak ketiga yang dikenakan pemotongan ataupun pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pemohon Banding, tunduk pada Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku pada saat dilakukan Pemotongan oleh Pemohon Banding, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

Bahwa Majelis berpendapat penghasilan atas jasa atas sewa tanah dan atau bangunan harus dipotong pajak penghasilan sesuai ketentuan Pasal 4 Ayat (2) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan a quo;

Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam Putusan Nomor PUT-43262/PPM.I/25/2013 a quo, yang dalam amarnya mengabulkan banding Pemohon Banding;

Bahwa Majelis berpendapat, untuk pembayaran penghasilan sehubungan dengan service charge sewa tanah dan atau bangunan sebesar Rp6.277.284,00, adalah merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2), sehingga pemotongan pajak yang dilakukan oleh Pemohon Banding sebagai pemotongan atas objek PPh Pasal 4 ayat (2) sudah tepat;

Bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis berkesimpulan atas Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) koreksi negatif oleh Terbanding sebesar Rp6.277.284,00 tidak dapat dipertahankan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana telah diuraikan pada Butir V.1 dan Butir V.4.4.3 di atas, dengan alasan sebagai berikut:
5.1.
Bahwa Pasal 33A ayat (4) UU PPh mengatur sebagai berikut:
Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud;
5.2.
Bahwa mengingat Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) merupakan Subsidiari dari PT Freeport Indonesia, maka perlakukan perpajakan terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) diberlakukan sama dengan PT Freeport Indonesia yaitu tunduk pada Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia;
5.3.
Bahwa dalam Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia diatur hal-hal sebagai berikut:
Pasal 13:
Pajak-pajak dan Lain-lain Kewajiban Keuangan Perusahaan:
Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, Perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut:
 
(v)
Kewajiban memotong dari Pajak Penghasilan atas bunga, deviden, sewa, jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa lainnya.
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 13 angka 5 huruf (a):
Perusahaan harus sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Persetujuan ini, memotong dan menyetorkan kepada Pemerintah pajak-pajak penghasilan atas pembayaran royalti, sewa dan kompensasi lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta kekayaan yang tidak bergerak dan kompensasi dibayarkan untuk bantuan teknik atau jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia, dengan tarif sebagai berikut (atau tarif lain yang lebih rendah yang berlaku dari waktu ke waktu menurut suatu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang relevan): lima belas persen dalam hal pembayaran kepada seorang wajib pajak dalam negeri dan dua puluh persen dalam hal pembayaran kepada seorang wajib pajak luar negeri;

Pasal 13 angka 13 Pemenuhan Kewajiban Pajak:
Perusahaan dan Subsidiary dan Afiliasinya tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 mengenai Ketentuan-Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan dan Persetujuan ini yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban formal dan prosedural hal-hal perpajakan...“
5.4.
Bahwa ketentuan Kontrak Karya Pasal 13 romawi (V) jo. Pasal 13 angka 5 huruf (a) jo. Pasal 13 angka 13 romawi (ii) tersebut telah dengan jelas menyatakan Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berkewajiban memotong dan menyetorkan Pajak Penghasilan atas bunga, dividen, sewa, jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa lainnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh Tahun 1984);
5.5.
Bahwa dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 1984 hanya mengatur mengenai pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan lainnya (tidak mengatur mengenai pengenaan pajak atas sewa);
5.6.
Bahwa terbukti dalam Masa Pajak Mei 2010 Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah pihak yang wajib membayar imbalan dan atau penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan sebesar Rp6.277.284,-;
5.7.
Bahwa berdasarkan UU PPh Tahun 1984, imbalan dan atau penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah merupakan Objek PPh Pasal 23 (cfm. Pasal 23 ayat (1) huruf c dan d);
5.8.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan Bahwa koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yang melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) menjadi objek PPh Pasal 23 adalah benar, sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU PPh Tahun 1984;
5.9.
Bahwa selain hal di atas, terdapat hal yang menguatkan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sebagaimana Putusan Pengadilan Pajak atas sengketa yang sama terhadap PT Rio Tinto Indonesia, untuk Masa Pajak Desember 2008. Bahwa terdapat Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.37925/PP/M.I/25/2012 tanggal 2 Mei 2012, yang tetap mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas koreksi negatif atas DPP PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Desember 2008. Di dalam putusannya, atas sengketa koreksi negatif DPP PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Desember 2008, Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut:
 
a.
Bahwa dalam Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia yang ditandatangani di Jakarta tanggal 30 Desember 1991, dimana di dalam pasal 13 yang mengatur tentang “Pajak-pajak dan Lain-lain Kewajiban Perusahaan”, menyatakan:
“dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, Perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan berikut:
 
 
(i)
Iuran tetap untuk wilayah Kontrak Karya atas suatu Wilayah Pertambangan,
 
 
(ii)
Iuran eksploitasi/produksi (royalty) untuk Mineral yang diproduksi Perusahaan,
 
 
(iii)
Pajak Penghasilan Badan atas Penghasilan yang diperoleh Perusahaan,
 
 
(iv)
Kewajiban memotong atas Pajak Penghasilan Karyawan,
 
 
(v)
Kewajiban memotong dari Pajak Penghasilan atas bunga, deviden, sewa, jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya,
 
 
(vi)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas……
 
b.
Bahwa dalam Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia, yang ditandatangani di Jakarta tanggal 30 Desember 1991, Pasal 13 butir 5 huruf a menyatakan: “Perusahaan harus sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya persetujuan ini, memotong dan menyetorkan kepada Pemerintah RI, Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti, sewa dan kompensasi lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta kekayaan yang tak bergerak dan kompensasi yang dibayarkan untuk bantuan teknik atau jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia… dengan tarif 15% dalam hal pembayaran kepada Wajib Pajak Dalam Negeri”;
 
c.
Bahwa ketentuan hukum yang muncul kemudian menggugurkan ketentuan yang lama, asalkan berada dalam satu level yang sama, derajat atau platform. Sedangkan Kontrak Karya adalah lex specialist sehingga tidak berada dalam satu level yang sama;
 
d.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, Majelis Hakim berpendapat Bahwa atas pembayaran kepada PT Saraswati, PT Abadi Guna Papan dan PT Menara Anugrah merupakan objek PPh Pasal 23 sesuai dengan UU Pajak Penghasilan Tahun 1983 dan harus memotong dan menyetorkan pajaknya kepada Pemerintah RI dengan tarif 15%.
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Pasal 67 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, menyatakan Bahwa alasan diajukan peninjauan kembali salah satunya adalah apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

Bahwa dengan adanya putusan yang bertentangan tersebut, jelas membawa pengaruh kepada kepastian hukum dan keadilan, sehingga dapat membawa dampak yang kurang baik bagi tujuan terciptanya penegakan hukum di Indonesia;
 
 
 
 
 
 
5.10.
Bahwa ketentuan yang digunakan Majelis Hakim untuk memutus sengketa, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.011/2013 tanggal 27 Februari 2013 adalah ketentuan yang tidak berlaku surut, dimana ketentuan tersebut baru diberlakukan 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diundangkan (diundangkan pada tanggal 27 Februari 2013), sehingga tidak tepat apabila ketentuan tersebut digunakan untuk memutus sengketa yang terjadi sebelum diberlakukannya ketentuan dimaksud;
5.11.
Bahwa dengan demikian, Putusan Majelis Hakim yang tidak mempertahankan koreksi Negatif Terbanding atas DPP PPh Pasal 4 (2) sebesar Rp6.277.284,- adalah tidak benar, karena tidak sesuai dengan data, fakta, dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga Putusan Majelis Hakim tidak memenuhi ketentuan Pasal 78 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
6.
Bahwa sebagai bahan pertimbangan juga, paparan Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D sebagai nara sumber dalam Pelatihan Hukum Kontrak Internasional dalam Sistem Hukum Nasional di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak tanggal 9 November 2011, menjelaskan antara lain:
6.1.
Ketentuan Pasal 33A ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan melegitimasi ketentuan yang ada dalam Kontrak Karya.
6.2.
Jika Pasal 32 dikaitkan dengan Pasal 13 dalam Kontrak Karya, semua ketentuan yang diterapkan adalah sesuai ketentuan yang berlaku saat ini, kecuali dinyatakan lain dalam Kontrak Karya.
6.3.
Ketentuan yang digunakan adalah ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. Walaupun isi dan ketentuan tersebut telah mengalami perubahan.

Pihak-pihak yang melakukan kontrak tidak bisa keluar dari ketentuan yang ada dalam Kontrak Karya, walaupun pemerintahan berganti.
6.4.
Dalam membaca undang-undang, biasanya terdapat kalimat undang-undang nomor sekian yang merupakan perubahan kesekian dari undang-undang nomor sekian, atau dalam bahasa Inggris adalah “as amended”;

Karena Kontrak Karya tidak ditulis “as amended”, berarti yang dipakai tetap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
6.5.
Kontrak Karya bersifat nail down, baik untuk perusahaan yang menjadi kontraktor dan juga berlaku bagi pemotongan untuk pihak ketiga sesuai Pasal 13 Kontrak karya, dan sesuai Pasal 32 Kontrak Karya Bahwa yang diatur hanya yang dinyatakan dalam Kontrak Karya.
6.6.
Bila berdasarkan Kontrak Karya, kontraktor harus menerapkan ketentuan bersifat nail down, ketentuan tersebut harus diterapkan oleh kontraktor dengan segala konsekuensinya, baik penerapan ketentuan bersifat nail down tersebut akan mengakibatkan kerugian maupun menguntungkan kontraktor.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
7.
Berdasarkan uraian tersebut, maka koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yang melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) menjadi objek PPh Pasal 23 dan diterapkan pemotongan pajak sebesar 15% dari jumlah bruto atas objek-objek dimaksud adalah sudah benar dan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang PPh Tahun 1984;
 
8.
Bahwa dengan demikian putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi a quo telah dibuat tanpa pertimbangan yang cukup dan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yaitu Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 1984 juncto Pasal 13 Kontrak Karya sehingga melanggar ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
 
 
 
 
III.
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: PUT.48651/PP/M.I/25/2013, tanggal 27 November 2013 yang menyatakan:
Mengabulkan seluruhnya Banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1631/WPJ.19/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Final Nomor: 00005/440/10/091/12 tanggal 11 Mei 2012 Masa Pajak Mei 2010 atas nama: PT Rio Tinto Indonesia, NPWP 01.071.781.7-091.000, beralamat di Menara Anugerah Lantai 15, Jalan Ide Anak Agung Gde Agung Lot 8.6 - 8.7 Kawasan Mega Kuningan, Kuningan Timur, Jakarta Selatan 12950, sehingga perhitungan PPh Pasal 4 (2) Final Masa Pajak Mei 2010 yang masih harus (lebih) dibayar menjadi sebagaimana perhitungan diatas: adalah tidak benar serta nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, Bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1631/WPJ.19/2012, tanggal 28 Desember 2012, mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Final, Masa Pajak Mei 2010, Nomor: 00005/440/10/091/12, tanggal 11 Mei 2012, atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.071.781.7-091.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil adalah sudah tepat dan benar, dengan pertimbangan:
a.
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu koreksi negatif Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp6.277.284,00; yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo pembayaran penghasilan sehubungan dengan sewa tanah dan atau bangunan adalah merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), sehingga pemotongan pajak yang dilakukan Pemohon Banding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) sudah tepat dan benar. Lagi pula, perkara a quo memiliki keterkaitan hubungan hukum dengan Putusan Badan Peradilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) Nomor PUT-43262/PP/M.I/25/2013, yang amar putusannya mengabulkan banding Pemohon Banding (sekarang Termohon Peninjau Kembali), dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) juncto Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;
b.
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, Bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait.
 
 
 
 
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 21 Februari 2017, oleh Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Yosran, S.H., M.Hum., dan Is Sudaryono, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Heni Hendrarta Widya Sukmana Kurniawan, S.H.,M.H, Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis
ttd.
Dr. Yosran, S.H., M.Hum.
ttd.
Is Sudaryono, S.H., M.H.
Ketua Majelis
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
 
 
 
Panitera Pengganti
ttd.
Heni Hendrarta Widya Sukmana Kurniawan, S.H., M.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

237/B/PK/PJK/2017