Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Status : Tidak Diketahui

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
237/B/PK/PJK/2013

 

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
 
 
 
 
 
 
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta 12190, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
1.
CATUR RINI WIDOSARI, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
2.
JON SURYAYUDA SOEDARSO, Pj. Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
3.
YUDI ASMARA JAKA LELANA, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
4.
PUJI RAHAYU, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
 
 
 
 
 
 
 
 
Semuanya berkantor di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-405/PJ./2011 tanggal 11 April 2011;

untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 
 
 
 
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
 
 
 
 
PT. POLYFIN CANGGIH, tempat kedudukan di Jalan Raya Rancaekek Km. 19, Nomor 28, RT. 01/02, Cipacing, Cikeruh, Sumedang 45363, dalam hal ini diwakili oleh DAVID HANAFI, Direktur PT. Polyfin Canggih, beralamat di Jalan Raya Rancaekek Km. 19, Nomor 28, RT. 01/02, Cipacing, Cikeruh, Sumedang, selanjutnya memberi kuasa kepada RACHMAN FIRDAUS, Kuasa Hukum, berkantor di Jalan Buah Batu, Nomor 189, Bandung 40264, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 38/PJ/VI/2011 tanggal 3 Juni 2011;

untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.28176/PP/M.II/10/2010, tanggal 21 Desember 2010 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Pemohon Banding mengajukan permohonan banding terhadap Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-419/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor 00041/201/06/441/08, tanggal 29 Mei 2008;
 
Bahwa berdasarkan uraian Surat Keputusan tersebut, permohonan Pemohon Banding ditolak dengan perhitungan sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa penolakan keberatan didasarkan kepada Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor 00041/201/06/441/08, tanggal 29 Mei 2008 Tahun Pajak 2006, yang merupakan hasil Pemeriksaan dari Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung, dengan perhitungan sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dasar koreksi adalah adanya objek PPh Pasal 21 yang belum diperhitungkan dalam SPT Masa dan Tahunan PPh Pasal 21;

Alasan mengajukan banding:
Bahwa atas koreksi terhadap komponen biaya yang menurut pemeriksa belum diperhitungkan sebagai Objek Pasal 21 sebesar Rp8.166.756.541,00 sebenarnya adalah merupakan cadangan pensiun dan pemberian dalam bentuk natura;

Bahwa atas semua pengeluaran gaji karyawan yang terjadi selama tahun 2006 telah kami bayarkan dan laporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 dan SPT Tahunan Pasal 21 Tahun Pajak 2006;

Bahwa sehingga perhitungan pengurangannya menjadi sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa untuk memenuhi syarat formal banding Pemohon Banding lampirkan Pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor 00041/201/06/441/08 tanggal 29 Mei 2008 melalui:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.28176/PP/M.II/10/2010, tanggal 21 Desember 2010 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-419/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009, mengenai Keberatan Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor 00041/201/06/441/08 tanggal 29 Mei 2008 atas nama PT. Polyfin Canggih NPWP: 01.524.803.2-441.000, alamat Jalan Raya Rancaekek Km. 19, Nomor 28, RT.001, RW.002, Sumedang-45363, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi sebagai berikut:
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT. 28176/PP/M.II/10/2010, tanggal 21 Desember 2010, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 20 Januari 2011, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-405/PJ./2011 tanggal 11 April 2011 diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 13 April 2011 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor PKA-553/SP.51/AB/IV/2011 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Pajak dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 13 April 2011 itu juga;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 5 April 2011, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 15 Juni 2011;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
 
 
 
 
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan peninjauan kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
I.
Tentang Alasan Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali;
 
1.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Pajak) menyatakan sebagai berikut:
"Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan permohonan peninjauan kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:
"Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa dalam Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor PUT.28176/PP/M.II/10/2010 tanggal 21 Desember 2010 yang amarnya memutuskan: Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-419/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009, mengenai Keberatan Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor 00041/201/06/441/08 tanggal 29 Mei 2008 atas nama PT. Polyfin Canggih NPWP: 01.524.803.2-441.000, tidak memperhatikan atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut, sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia;
 
 
 
 
 
 
 
 
II.
Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali;
 
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 92 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak, menyatakan sebagai berikut:
"Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf c, huruf d dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim";
 
1.
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.28176/PP/M.II/10/2010 tanggal 21 Desember 2010, atas nama: PT. Polyfin Canggih (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan secara patut kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dan disampaikan secara langsung oleh Pengadilan Pajak melalui surat Nomor P-49/SP.33/2011 tanggal 14 Januari 2011 dan diterima Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 25 Januari 2011 berdasarkan Tanda Terima Surat TPST Direktorat Jenderal Pajak Nomor Registrasi: 2011012503930002 tanggal 25 Januari 2011;
 
2.
Bahwa dengan demikian, pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.28176/PP/M.II/10/2010 tanggal 21 Desember 2010 ini, masih dalam tenggang waktu yang diizinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah sepatutnya-Iah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
 
 
 
 
 
 
 
 
III.
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali;
 
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan peninjauan kembali ini adalah:
Sengketa atas Koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 sebesar Rp7.321.737.450,00;
 
 
 
 
 
 
 
 
IV.
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali;
 
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.28176/PP/M.II/10/2010 tanggal 21 Desember 2010, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas Putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

Bahwa pokok sengketa dalam pemeriksaan banding adalah koreksi positif atas Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 sebesar Rp8.166.756.541,00 yang terdiri dari:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa terhadap hasil keputusan yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.28176/PP/M.II/10/2010 tanggal 21 Desember 2010 tersebut, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali atas beberapa bagian koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar Rp7.321.737.450,00, yaitu bagian koreksi yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim, yang lebih lanjut akan kami kemukakan dengan dalil-dalil hukum sebagai berikut:
 
1.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

Halaman 17 alinea ke-5, 6 dan 7:
 
 
"1.
Cadangan Pensiun (sesuai Audit KAP) Rp4.036.527.000,00;
 
 
 
Bahwa atas Cadangan Pensiun, Pemohon Banding dalam pembukuan mencatat cadangan pensiun sebesar Rp4.036.527.000,00 dan sudah sesuai dengan hasil Audit KAP Exhibit C/13 yang bukan merupakan objek PPh Pasal 21, dan dalam pelaksanaan uji bukti dalam persidangan Terbanding dapat menerima bukti-bukti yang diperlihatkan dan penjelasan yang disampaikan Pemohon Banding, sehingga Majelis berkesimpulan bahwa koreksi dari Terbanding atas cadangan pensiun yang dijadikan objek PPh Pasal 21 sebesar Rp4.036.527.000,00 tidak dapat dipertahankan";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
"2.
Penggantian Perusahaan ke Rumah Sakit/Dokter Rp2.139.310.450,00;
 
 
 
Bahwa biaya ini merupakan biaya penggantian langsung ke Rumah Sakit/Klinik/Puskesmas rekanan dari Pemohon Banding yang dibayarkan langsung ke rekanan tersebut tidak kepada pegawai, sehingga biaya tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 21 dan dalam pelaksanaan uji bukti dalam persidangan Terbanding dapat menerima bukti-bukti dan penjelasan yang disampaikan Pemohon Banding, sehingga Majelis berkesimpulan bahwa koreksi dari Terbanding atas biaya penggantian langsung ke Rumah Sakit/Klinik/Puskesmas yang dijadikan objek PPh Pasal 21 sebesar Rp2.139.210.450,00 tidak dapat dipertahankan";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
"3.
Natura Rp1.991.019.091,00;
 
 
 
Bahwa Pemohon Banding dalam penelitian ini hanya dapat memperlihatkan bukti biaya transportasi berupa sewa Bus antar jemput kerja kepada karyawan sebesar Rp1.146.000.000,00 yang bukan merupakan objek PPh Pasal 21 dan dalam pelaksanaan penelitian uji bukti ini Terbanding dapat menerima bukti-bukti dan penjelasan yang disampaikan Pemohon Banding, sehingga Majelis berkesimpulan bahwa koreksi dari Terbanding atas biaya transportasi antar jemput karyawan yang dijadikan objek PPh Pasal 21 sebesar Rp1.146.000.000,00 tidak dapat dipertahankan, sedangkan sisanya sebesar Rp845.019.091,00 Pemohon Banding tidak dapat membuktikan dan Pemohon Banding menerima koreksi tersebut, dengan demikian koreksi dari Terbanding sebesar Rp845.019.091,00 tetap dipertahankan";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (1), Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak, menyatakan:

Pasal 69 ayat (1):
"Alat bukti dapat berupa:
 
 
a.
Surat atau tulisan;
 
 
b.
Keterangan ahli;
 
 
c.
Keterangan para saksi;
 
 
d.
Pengakuan para pihak; dan/atau
 
 
e.
Pengetahuan Hakim";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 76:
"Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)";

Pasal 78:
"Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa Pasal 28 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP), menyatakan:

Pasal 28 ayat (3):
"Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya";

Pasal 28 ayat (5):
"Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas";

Penjelasan Pasal 28 ayat (5):
"Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
 
 
a.
Stelsel pengakuan penghasilan;
 
 
b.
Tahun buku;
 
 
c.
Metode penilaian persediaan;
 
 
d.
Metode penyusutan dan amortisasi;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai;

Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai di bidang konstruksi dan metode lainnya yang dipakai di bidang usaha tertentu seperti Build Operate and Transfer (BOT), Real Estate, dan lain-lain;

Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai;

Menurut stelsel ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode tertentu;

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, jasa, dan biaya operasi lainnya;

Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
 
 
1)
Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan;
 
 
2)
Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi;
 
 
3)
Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten);
     
    Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pasal 4 ayat (3) huruf d, Pasal 9 ayat (1) huruf e dan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan penjelasannya dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang-Undang Pajak Penghasilan), menyatakan:

Pasal 4 ayat (1) huruf a:
"Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
 
 
a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 4 ayat (3) huruf d:
"Yang Tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
 
 
d.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 9 ayat (1) huruf e:
 
 
"Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
 
 
e.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 21 ayat (1) huruf a:
"Pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
 
 
a.
Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf a:
"Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan;

Huruf a:
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan;

Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak;

Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi, tantiem;

Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja";


Pasal 21 ayat (5):
"Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5.
Bahwa Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ./2006 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 21 Dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan, menyatakan:

Pasal 5 ayat (1):
"Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
 
 
a.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kehamilan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;
 
 
b.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
 
 
c.
Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
 
 
d.
Uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang tabungan hari tua atau jaminan hari tua dan pembayaran lain sejenis;
 
 
e.
Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, terdiri dari:
 
 
 
1.
Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7);
 
 
 
2.
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
 
 
 
3.
Olahragawan;
 
 
 
4.
Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
 
 
 
5.
Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
 
 
 
6.
Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial;
 
 
 
7.
Agen iklan;
 
 
 
8.
Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, peserta sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan;
 
 
 
9.
Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
 
 
 
10.
Peserta perlombaan;
 
 
 
11.
Petugas penjaja barang dagangan;
 
 
 
12.
Petugas dinas luar asuransi;
 
 
 
13.
Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;
 
 
 
14.
Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
 
 
f.
Gaji, gaji kehormatan, dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 5 ayat (2):
"Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit)";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
6.
Bahwa Pemeriksa melakukan koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Objek PPh Pasal 21 sebesar Rp8.166.756.541,00 karena terdapat selisih yang belum dilaporkan sesuai perhitungan ekualisasi biaya pada SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2006 dan Jumlah Penghasilan Bruto cfm SPT Tahunan PPh Pasal 21 Tahun Pajak 2006 dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
7.
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon banding) tidak setuju dengan koreksi objek PPh Pasal 21 tersebut dengan alasan bahwa biaya tersebut merupakan biaya cadangan pensiun dan pemberian dalam bentuk natura yaitu:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
8.
Bahwa dalam persidangan, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memperlihatkan bukti-bukti antara lain:
 
 
a.
Detail Ledger Transportation Exp;
 
 
b.
Kas Keluar Giro Transportation Exp;
 
 
c.
Kontrak/Surat Perjanjian Pelayanan antar jemput karyawan;
 
 
d.
Audit report Tahun 2006;
 
 
e.
Detail Ledger Employee Benefit;
 
 
f.
Kas Keluar Giro Employee Benefit (Penggantian ke Dokter atau Rumah Sakit);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
9.
Bahwa terkait dengan Koreksi DPP PPh Pasal 21 yaitu Cadangan Pensiun (sesuai Audit KAP) sebesar Rp4.036.527.000,00, berikut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan fakta hukumnya:
 
 
a.
Bahwa pada saat dilakukan uji bukti, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menyatakan bahwa cadangan pensiun sebesar Rp4.036.527.000,00 dalam pembukuan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) merupakan pencadangan dan belum dibayarkan kepada pegawai. Bukti yang ditunjukkan adalah berupa Audit report tahun 2006 (khususnya exhibit C/13). Bahwa penjurnalan atas cadangan pensiun adalah sebagai berikut:
Expense-Provision for employee benefits
 
Liabilities-Provision for employee benefits
 
 
b.
Bahwa berdasarkan Audit Report tahun 2007 yang menyandingkan angka-angka tahun 2006 sebagai perbandingan, diketahui bahwa jumlah Provision for employee benefits untuk tahun 2006 adalah Rp3.531.743.409,00;
 
 
c.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (5) Undang-Undang KUP, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dengan prinsip taat asas. Adanya perbedaan jumlah cadangan pensiun dalam audit report tahun 2006 dengan jumlah pada audit report tahun 2007 menunjukkan bahwa pembukuan yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah dilakukan dengan tidak taat asas sehingga tidak dapat diyakini kebenarannya dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
10.
Bahwa terkait dengan koreksi DPP PPh Pasal 21 yaitu Penggantian Perusahaan ke Rumah Sakit/Dokter sebesar Rp2.139.210.450,00, berikut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan fakta hukumnya:
 
 
a.
Bahwa pengeluaran untuk penggantian ke Rumah Sakit/Klinik/Puskesmas dalam pembukuan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dimasukkan dalam akun Employee Benefits. Atas akun ini dibebankan seluruhnya sebagai pengurang penghasilan bruto di PPh Badan Tahun Pajak 2006. Atas sengketa PPh Badan telah diputus Majelis vide Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.28759/PP/M.II/15/2011. Dalam sengketa PPh badan tidak ada koreksi atas Employee Benefits;
 
 
b.
Bahwa berdasarkan berita acara uji bukti, diketahui bahwa pengeluaran biaya pengobatan merupakan biaya penggantian langsung ke Rumah Sakit/Klinik/Puskesmas yang menjadi rekanan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang pembayarannya dilakukan langsung kepada rekanan tersebut;
 
 
c.
Oleh karena pembayaran biaya pengobatan dilakukan langsung kepada Rumah Sakit/Klinik/Puskesmas dan bukan kepada pegawai, maka atas biaya tersebut merupakan natura/kenikmatan yang berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak termasuk dalam objek PPh;
 
 
d.
Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan, Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan bruto;
 
 
e.
Bahwa dalam pajak penghasilan menganut prinsip "taxable" dan "deductible", namun untuk mendorong investasi di bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah;
 
 
f.
Bahwa ketentuan terkait hal tersebut diatur secara lebih rinci dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000 tentang Penyediaan Makanan Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Dan Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diberikan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Serta Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja;
 
 
g.
Bahwa pemberian natura/kenikmatan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berupa biaya pengobatan bukan merupakan pemberian natura sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000 karena tidak dilakukan di daerah terpencil, sehingga atas pemberian natura/kenikmatan kepada pegawai berupa biaya pengobatan tersebut tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
 
 
h.
Bahwa dalam SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2006, biaya pengobatan (akun Employee Benefits) dibebankan seluruhnya sebagai pengurang penghasilan bruto. Sejalan dengan prinsip "taxable" dan "deductible" maka pemberian natura tersebut dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto jika merupakan objek PPh Pasal 21 bagi pegawai yang menerimanya;
 
 
i.
Bahwa pada saat persidangan Majelis Hakim hanya memeriksa bukti-bukti dengan nilai sebesar Rp69.178.030,00 dari total biaya pengobatan sebesar Rp2.139.210.450,00, untuk menguji kebenaran materi dilakukan uji bukti atas keseluruhan nilai sengketa agar dapat diyakini kebenaran materinya;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
11.
Bahwa terkait dengan tidak dipertahankannya Koreksi atas DPP PPh Pasal 21 yaitu Natura sebesar Rp1.146.000.000,00, berikut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan fakta hukumnya:
 
 
a.
Bahwa menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), natura sebesar Rp1.146.000.000,00 merupakan biaya transportasi yaitu biaya sewa bus untuk antar jemput karyawan;
 
 
b.
Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan, dalam hal pemberian kepada pegawai yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan imbalan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja;
 
 
c.
Bahwa pemberian natura/kenikmatan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berupa biaya transportasi tersebut tidak dibuktikan seluruhnya digunakan untuk antar jemput karyawan sehingga bukan merupakan pemberian natura sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Pajak;
 
 
d.
Bahwa dalam SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2006, biaya natura (transportasi) dibebankan seluruhnya sebagai pengurang penghasilan bruto. Karena dalam uji bukti Majelis Hakim tidak membuktikan keseluruhan biaya transportasi tersebut sebagai antar jemput pegawai, maka atas biaya transportasi tersebut merupakan objek PPh Pasal 21 bagi pegawai yang menerimanya;
 
 
e.
Bahwa pada saat persidangan Majelis hanya memeriksa bukti-bukti dengan nilai sebesar Rp286.500.000,00 dari total biaya transportasi sebesar Rp1.146.000.000,00, untuk menguji kebenaran materi dilakukan uji bukti atas keseluruhan nilai sengketa agar dapat diyakini kebenaran materinya;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
12.
Bahwa dari uraian di atas diketahui Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak melakukan kewajiban pembukuan dengan benar karena angka yang disajikan selalu berubah. Hal ini menunjukkan ada indikasi kuat bahwa pembukuan yang dilakukan tidak mencerminkan keadaan atau kegiatan yang sebenarnya sehingga tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang KUP;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
13.
Bahwa walaupun Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan alat bukti yang digunakan dan kekuatan pembuktian, akan tetapi dalam sengketa ini Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah bersikap tidak cermat dan terburu-buru dengan tidak melakukan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap uji bukti yang dilakukan, sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
14.
Bahwa dengan demikian, pertimbangan Majelis Hakim yang tidak mempertahankan koreksi positif Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 sebesar Rp7.321.737.450,00 nyata-nyata dibuat tanpa pertimbangan yang cukup tentang asal mula koreksi tersebut ditetapkan sebagai objek PPh Pasal 21, fakta di persidangan bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak konsisten dalam pengakuan angkanya, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu Pasal 28 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang KUP, Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan;
 
 
 
 
 
 
 
 
V.
Bahwa dengan demikian, Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor PUT.28176/PP/M.II/10/201 0 tanggal 21 Desember 2010 yang menyatakan:
Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-419/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009, mengenai Keberatan Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor 00041/201/06/441/08 tanggal 29 Mei 2008 atas nama PT. Polyfin Canggih NPWP: 01.524.803.2-441.000, alamat Jalan Raya Rancaekek Km. 19, Nomor 28, RT.001, RW.002, Sumedang 45363, sehingga pajak yang kurang dibayar dihitung kembali dengan perhitungan di atas;
adalah tidak benar dan telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
 
 
 
 
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-419/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009, mengenai Keberatan Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor 00041/201/06/441/08 tanggal 29 Mei 2008 atas nama Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp57.461.299,00 adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
Bahwa atas koreksi DPP PPh Pasal 21 tahun 2006 sebesar Rp7.321.737.450,00 yang tidak dapat dipertahankan oleh Pengadilan Pajak tersebut, sudah benar karena telah dilakukan uji bukti dalam persidangan, dan Terbanding dapat menerima bukti yang telah diperlihatkan oleh Pemohon Banding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali).
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf (e) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: Direktur Jenderal Pajak tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait.
 
 
 
 
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 27 Agustus 2013, oleh Widayatno Sastrohardjono, S.H. M.Sc., Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H.M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. dan Marina Sidabutar, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Subur MS, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
ttd.
Marina Sidabutar, S.H., M.H.
Ketua Majelis
ttd.
Widayatno Sastrohardjono, S.H. M.Sc.
 
 
 
Panitera Pengganti
ttd.
Subur MS, S.H., M.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

237/B/PK/PJK/2013