Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
1774/B/PK/PJK/2017

 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
 
 
 
 
 
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
1.
Peni Hirjanto, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
2.
Dayat Pratikno, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan Banding;
3.
Farchan Ilyas, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
4.
Anndy Dailami, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
 
 
 
 
 
 
 
Keempatnya pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, beralamat di Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-3237/PJ/2016 tanggal 9 September 2016;

untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 
 
 
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
 
 
 
PT IVO MAS TUNGGAL, beralamat di Sinar Mas Land Plaza Menara 2 Lantai 30, Jalan MH. Thamrin Nomor 51, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat 10350, diwakili oleh Tjan Yanto selaku Direktur;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
 
Mahkamah Agung tersebut;
 
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
 
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.71377/PP/M.IA/16/2016, Tanggal 6 Juni 2016 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Terbanding Nomor: KEP-2248/WPJ.19/2014 tanggal 4 Nopember 2014 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN Nomor: 00004/207/09/092/14 tanggal 9 Januari 2014 untuk Masa Pajak Mei 2009, maka berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Pemohon Banding mengajukan banding atas Keputusan Terbanding Nomor: KEP-2248/WPJ.19/2014 tanggal 4 Nopember 2014;
 
Ketentuan Formal Banding
1.
Sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Nomor 14 Tahun 2002 menyebutkan:
 
(1)
Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak;
 
(2)
Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perUndang-Undangan perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
2.
Sesuai dengan Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Nomor 14 tahun 2002 menyebutkan:
 
(1).
Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding;
 
(2).
Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
 
(3).
Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding (dalam lampiran);
 
(4).
Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah pajak yang terutang yang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen);
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa untuk memenuhi persyaratan formal banding, Pemohon Banding telah membayar jumlah pajak yang terutang sebesar Rp594.000.000,00;
 
 
 
 
 
 
 
3.
Sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) bahwa:
 
“Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau Kuasa Hukumnya”
 
 
 
 
 
 
 
Kronologis Dan Dasar Koreksi Pemeriksa
1.
Bahwa pada tanggal 09 Januari 2014, KPP Wajib Pajak Besar Dua menerbitkan SKPKB PPN Masa Pajak Mei 2009 Nomor: 00004/207/09/092/14 sebesar Rp.1.156.790.770,00 dengan perincian sebagai berikut:
 
Tabel 1 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa atas SKPKB PPN tersebut, Pemohon Banding mengajukan permohonan keberatan melalui Surat Nomor: 033/III-14/AB.V/IMT tanggal 27 Maret 2014 yang diterima oleh KPP Wajib Pajak Besar Dua dengan Bukti Penerimaan Surat Nomor: PEM:005590\mar\2014 tanggal 28 Maret 2014;
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa atas permohonan keberatan tersebut, Terbanding menerbitkan Keputusan Nomor: KEP-2248/WPJ.19/2014 tanggal 4 Nopember 2014, yang isinya menolak keberatan Pemohon Banding dengan rincian sebagai berikut:
 
Tabel 2 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
Permohonan Banding
Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas keputusan Terbanding Nomor: KEP-2248/WPJ.19/2014 tanggal 4 Nopember 2014 yang isinya menolak keberatan Pemohon Banding atas SKPKB PPN Masa Pajak Mei 2009 Nomor: 00004/207/09/092/14 tanggal 9 Januari 2014, dengan alasan sbb:
Koreksi Pajak Masukan yang digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) sebesar Rp.578.395.385,00;
-
Pemeriksa melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1983 stdtd UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 16B ayat (3) dan KMK-575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 dan SE-90/PJ./2011 tanggal 23  November 2011;
 
 
 
 
 
 
 
-
Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Penelaah Keberatan yang mempertahankan koreksi Pemeriksa atas koreksi Pajak Masukan sebesar Rp.578.395.385,00 tersebut, karena Pemohon Banding bergerak dalam bidang industri minyak kelapa sawit yang terintegrasi dimana produk yang dijual oleh Pemohon Banding adalah Minyak Kelapa Sawit (CPO), Inti Sawit (PK), Crude Palm Kernel Oil (CPKO) dan Palm Kernel Expeller (PKE);
 
 
 
 
 
 
 
-
Dalam melakukan kegiatan usahanya tersebut, Pemohon Banding mengelola perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan hasil perkebunan kelapa sawit yaitu Tandan Buah Segar (TBS). Adapun hasil perkebunan kelapa sawit Pemohon Banding ini tidak dimaksudkan dijual, tetapi seluruhnya akan diolah lebih lanjut menjadi produk Minyak Kelapa Sawit (CPO), Inti Sawit (PK), Crude Palm Kernel Oil (CPKO) dan Palm Kernel Expeller (PKE) yang dihasilkan inilah yang kemudian dijual kepada pihak lain dan merupakan pendapatan bagi Pemohon Banding;
 
 
 
 
 
 
 
-
Sebagaimana diatur dalam UU PPN dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 1 Mei 2007 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, produk CPO, PK, CPKO dan PKE tidak termasuk sebagai barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga atas penyerahan CPO, PK, CPKO dan PKE yang dilakukan oleh PT. Ivo Mas Tunggal harus dikenakan PPN sebesar 10%.
 
 
 
 
 
 
 
-
Kemudian Pasal 9 ayat (5) UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 mengatur bahwa: "Apabila dalam suatu masa pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, maka jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak".
 
 
 
 
 
 
 
-
Lebih lanjut di Pasal 16B Ayat 3 UU PPN Nomor 18 tahun 2000 juga menyebutkan:
"Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau Perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari PPN tidak dapat dikreditkan."
 
 
 
 
 
 
 
 
-
Dapat disimpulkan bahwa UU PPN secara jelas menekankan bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan yaitu penyerahan yang terutang PPN dan yang dibebaskan dari PPN maka Pajak Masukan berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN tidak dapat dikreditkan;
 
 
 
 
 
 
 
-
Dengan demikian, karena jelas Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan/penjualan TBS (yang dibebaskan dari PPN) akan tetapi hanya melakukan kegiatan usaha yang mana atas seluruh penyerahannya terutang PPN 10% yaitu dalam hal ini melakukan penjualan produk CPO, PK, CPKO dan PKE, maka dapat disimpulkan bahwa Pajak Masukan yang Pemohon Banding kreditkan tersebut berkaitan dengan barang untuk menghasilkan CPO, PK, CPKO dan PKE yang mana atas penyerahannya seluruhnya terutang PPN 10%;
 
Sehingga menurut Pemohon Banding seharusnya pajak masukan yang dikoreksi oleh pemeriksa tersebut dapat dikreditkan;
 
 
 
 
 
 
 
 
-
Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KMK-575/KMK.04/2000 berisi mengenai Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, dalam rangka melaksanakan Pasal 9 ayat (6) UU PPN Nomor 18 Tahun 2000;
 
 
 
 
 
 
 
-
Berdasarkan Pasal 9 ayat (6) UU PPN Nomor 18 Tahun 2000, menyebutkan bahwa:
"Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
 
 
 
 
 
 
 
 
-
Jelas terlihat berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa harus ada penyerahan yang tidak terutang pajak terlebih dahulu, baru dilakukan penghitungan pengkreditan pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan.
 
Ketentuan tersebut sama sekali tidak mengatur bahwa pajak masukan atas perolehan BKP/JKP yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan BKP/JKP yang dibebaskan dari PPN, pajak masukannya tidak dapat dikreditkan. Konteks dari ketentuan tersebut adalah harus adanya "Penyerahan".
 
 
 
 
 
 
 
 
-
Sehingga berdasarkan penjelasan diatas, jelas dapat disimpulkan, apabila tidak ada penyerahan yang tidak terutang pajak (dalam hal ini TBS) maka KMK-575/KMK.04/2000 tidak dapat diterapkan.
 
Dengan demikian, menurut Pemohon Banding koreksi pajak masukan sebesar Rp.578.395.385,00 seharusnya dibatalkan;
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sesuai dengan uraian di atas, menurut Pemohon Banding jumlah PPN yang kurang dibayar adalah NIHIL dengan perincian sebagai berikut:
 
Tabel 3 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa demikian permohonan banding ini disampaikan. Pemohon Banding bersedia hadir dalam sidang sesuai dengan undangan Majelis untuk memberikan data, penjelasan dan informasi yang diperlukan dalam persidangan permohonan banding. Jika Majelis yang memeriksa dan mengadili permohonan banding ini berpendapat lain, maka mohon agar Majelis dapat memutuskan perkara seadil-adilnya (ex aequo et bono) dengan memberikan semua hak Pemohon Banding yang dijamin oleh Undang-Undang Perpajakan;
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.71377/PP/M.IA/16/2016, Tanggal 6 Juni 2016, yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
 
Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-2248/WPJ.19/2014 tanggal 4 Nopember 2014, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Mei 2009 Nomor: 00004/207/09/092/14 tanggal 9 Januari 2014, atas nama: PT Ivo Mas Tunggal, NPWP: 01.213.128.0-092.000, beralamat di Sinar Mas Land Plaza Menara 2 Lantai 30, Jl. MH. Thamrin No.51, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, 10350, sehingga jumlah yang masih harus dibayar adalah sebagai berikut:
 
Tabel 4 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.71377/PP/M.IA/16/2016, Tanggal 6 Juni 2016, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 24 Juni 2016, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-3237/PJ/2016 tanggal 9 September 2016, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 21 September 2016, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 21 September 2016;
 
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 17 April 2017, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 17 Mei 2017;
 
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima.
 
 
 
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
I.
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali
 
Sengketa tentang Koreksi Positif Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan Masa Pajak Mei 2009 sebesar Rp578.395.385,00 yang merupakan Pajak Masukan yang digunakan oleh Termohon Peninjauan Kembali untuk unit/kegiatan perkebunan kelapa sawit dalam rangka perolehan Tandan Buah Segar (TBS), yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
   
II.
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
 
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.71377/PP/M.IA/16/2016 tanggal 6 Juni 2016, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan pertimbangan sebagai berikut:
 
1.
Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa a quo ini sebagaimana tertuang dalam putusan a quo yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPN dalam pasal 1, Pasal 4, Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) dan Pasal 16B ayat (1) dan ayat (3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 jo Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 Majelis berpendapat sebagai berikut:
 
 
 
 
-
Bahwa yang menjadi obyek PPN adalah penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP), dengan kata lain ada atau tidak adanya obyek PPN adalah ada atau tidak adanya penyerahan BKP atau JKP;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
-
Bahwa karena obyek PPN adalah penyerahan BKP atau JKP maka bagi penjual BKP atau yang menyerahkan JKP, PPN yang telah dipungut berfungsi sebagai PPN Keluaran sedangkan bagi pembeli BKP atau penerima JKP, PPN yang telah dibayar berfungsi sebagai PPN Masukan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
-
Bahwa terdapat penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang dalam hal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, antara lain berupa barang strategis yang didalamnya termasuk hasil perkebunan yakni TBS Kelapa Sawit;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
-
Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang PPN sangat jelas dan tidak dapat diinterpretasikan lain, yakni mengatur tentang PPN Masukan yang dapat dikreditkan, apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 4A dan Pasal 16B;
 
Bahwa ketentuan tersebut dengan tegas menyatakan apabila dalam satu masa pajak Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan atas BKP yang terutang pajak dan BKP yang tidak terutang pajak, maka PPN Masukan yang dapat dikreditkan adalah PPN Masukan yang berkenaan dengan penyerahan BKP yang terutang pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
-
Bahwa ketentuan Pasal 16B ayat (3) dengan jelas bahwa "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan";
 
Bahwa ketentuan tersebut dengan jelas memberikan makna bahwa apabila terdapat penyerahan JKP atau BKP yang PPN atas penyerahannya dibebaskan, maka tidak ada PPN Keluaran, oleh karena itu PPN Masukan yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, Majelis menyimpulkan hubungan antara Pasal 1, Pasal 4, Pasal 4 A, Pasal 9 dan Pasal 16B Undang-Undang PPN seluruhnya sejalan yakni mengatur tentang penyerahan BKP atau JKP yang dikenakan PPN atau yang dibebaskan, serta mengatur tentang pengkreditan PPN Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN; Bahwa Terbanding menyatakan PPN Masukan dalam rangka menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan karena TBS adalah BKP tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga ada atau tidak penyerahan TBS maka PPN Masukan untuk memperoleh TBS tersebut tidak dapat dikreditkan;
 
Bahwa Majelis tidak sependapat dengan Terbanding, karena berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPN sebagaimana diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan obyek PPN adalah penyerahan BKP atau JKP, selanjutnya adanya PPN Keluaran atau PPN Masukan merupakan akibat dari adanya penyerahan BKP atau JKP yang dikenakan PPN, sedangkan dapat atau tidaknya PPN Masukan dikreditkan tergantung dari ada atau tidaknya PPN Keluaran sebagai akibat adanya penyerahan BKP atau JKP yang dikenakan atau dibebaskan dari pengenaan PPN;
 
Bahwa dalam hal terjadi penyerahan TBS yang merupakan barang strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, maka tidak ada PPN Keluaran yang dipungut, sehingga PPN Masukan yang terkait dengan perolehan TBS yang dijual/diserahkan tidak dapat dikreditkan; bahwa ketentuan ini berlaku sama kepada semua Wajib Pajak termasuk kepada perusahaan integrated, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B Undang-Undang PPN;
 
Bahwa berdasarkan data dan fakta yang terungkap dalam persidangan, pada Masa Mei 2009 Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan TBS kepada pihak ketiga karena seluruh TBS yang dihasilkan dijadikan bahan baku oleh pabrik/unit pengolahan Pemohon Banding untuk diolah menjadi CPO dan Kernel yang selanjutnya CPO dan Kernel tersebut yang dijual kepada para pelanggannya;
 
Bahwa karena Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan TBS, Majelis berpendapat sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN, maka tidak ada Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pemohon Banding yang tidak dapat dikreditkan,
 
Bahwa karena yang dijual oleh Pemohon Banding adalah CPO dan Kernel yang merupakan BKP yang atas penyerahannya terutang PPN, Majelis berpendapat seluruh PPN Masukan yang terkait dengan penyerahan CPO dan Kernel dapat dikreditkan seluruhnya;
bahwa terkait dengan azas kesetaraan dan keadilan, Terbanding menyatakan bahwa perlakuan pengenaan PPN atas TBS harus menerapkan azas kesetaraan dan keadilan bagi seluruh Wajib Pajak; Bahwa menurut Terbanding, penyerahan TBS yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang hanya bergerak di bidang perkebunan tidak dikenakan PPN sehingga PPN Masukan untuk menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan, maka PPN Masukan untuk menghasilkan TBS yang dilakukan oleh Pemohon Banding (sebagai perusahaan perkebunan terintegrasi) harus diperlakukan sama yaitu tidak dapat dikreditkan;
 
Bahwa secara prinsip Majelis sependapat dengan Terbanding bahwa azas kesetaraan dan keadilan harus diterapkan dalam pengenaan pajak kepada semua Wajib Pajak, sepanjang azas kesetaraan dan keadilan yang diterapkan didasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
 
bahwa dalam konteks sengketa ini, Terbanding memperlakukan kesetaraan dan keadilan dengan mengabaikan bahkan menentang peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dalam hal ini adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
-
Bahwa Obyek PPN adalah penyerahan BKP atau JKP (Pasal 4 UU PPN);
 
 
-
Bahwa penyerahan TBS dari Unit Kebun kepada Unit Pengolahan CPO dan Kernel yang semuanya dimiliki Pemohon Banding tidak termasuk dalam pengertian penyerahan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU PPN, sehingga tidak terdapat Obyek PPN;
 
 
-
Bahwa Terbanding berkesimpulan PPN Masukan yang digunakan oleh Unit Kebun Pemohon Banding tidak dapat dikreditkan, karena terkait kegiatan untuk menghasilkan TBS, tidak peduli apakah TBS yang dihasilkan tersebut dijual atau diserahkan atau tidak;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa simpulan Terbanding tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 UU PPN bahwa yang dikenakan PPN adalah atas penyerahan BKP atau JKP bukan atas menghasilkan BKP atau JKP;
 
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, Majelis berpendapat azas kesetaraan dan keadilan terhadap pengenaan PPN atas TBS, harus diterapkan kepada semua Wajib Pajak (baik yang hanya bergerak di bidang perkebunan semata maupun yang bergerak di bidang perkebunan yang terintegrasi), apabila terdapat penjualan atau penyerahan TBS sebagaimana dimaksud pasal 4 UU PPN;
 
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, Majelis berpendapat Terbanding telah melakukan koreksi atas PPN Masukan yang terkait dengan Unit Kebun yang menghasilkan TBS dengan dalil penerapan azas kesetaraan dan keadilan, namun azas kesetaraan dan keadilan yang diterapkan oleh Terbanding dibangun berdasarkan pemahaman atau asumsi yang bertentangan dengan UU PPN itu sendiri, yang seharusnya wajib dilaksanakan berdasarkan azas kesetaraan dan keadilan;
 
Bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan sebagaimana diuraikan sebelumnya, Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas Pajak Masukan Masa Pajak Mei 2009 yang dapat dikreditkan sebesar Rp578.395.385,00 tidak dapat dipertahankan sehingga harus dibatalkan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pokok sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum Peninjauan Kembali antara lain sebagai berikut:
 
 
2.1.
Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (“UU Pengadilan Pajak”), antara lain menyebutkan:
 
Pasal 69 ayat (1):
Alat bukti dapat berupa:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Surat atau tulisan;
 
 
 
b.
Keterangan ahli;
 
 
 
c.
Keterangan para saksi;
 
 
 
d.
Pengakuan para pihak; dan/atau
 
 
 
e.
Pengetahuan Hakim 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 76:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
 
Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang perpajakan.
 
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.
 
Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.
 
Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.2.
Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 (“UU PPN”), antara lain mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 9 ayat (5):
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
 
Penjelasan Pasal 9 ayat (5):
...Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B....
 
Pasal 9 ayat (6):
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
 
Pasal 16B ayat (1):
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
 
 
 
b.
Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
 
 
 
c.
Impor Barang Kena Pajak tertentu;
 
 
 
d.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
 
 
 
e.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 
Penjelasan Pasal 16B ayat (1):
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
 
Pasal 16B ayat (3):
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan."
 
Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
 
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
 
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
 
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
 
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.3.
Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 01 Mei 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (“PP 31”), antara lain mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 1 angka 1 huruf c:
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah barang hasil pertanian;
 
Pasal 1 angka 2 huruf a:
Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;
 
Lampiran:
Antara lain diatur bahwa jenis barang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Tandan Buah Segar (TBS);
 
Pasal 2 ayat (2) huruf c:
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
 
Pasal 3:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
       
 
 
2.4.
Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tanggal 2 April 2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis (“KMK-155”) antara lain mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 7:
Pajak Masukan atas impor dan atau atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.5.
Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang tidak Terutang Pajak (“KMK-575”), antara lain menyatakan: Pasal 2 ayat (1):
 
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
 
 
 
 
 
 
a.
Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
 
 
 
b.
Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
 
 
 
c.
Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
 
 
 
d.
Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
 
 
 
1)
Nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
 
 
 
2)
Digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya
 
 
 
3)
Nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
Contoh Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud dalam ayat ini, misalnya:
 
 
 
 
 
 
a.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha terpadu (integrated) yang menghasilkan jagung (jagung adalah bukan Barang Kena Pajak), yang juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung adalah Barang Kena Pajak).
 
 
 
b.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang perhotelan, di samping melakukan usaha jasa di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha.
 
 
 
c.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misal Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
 
 
 
d.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan perluasan usaha dan menghasilkan bukan Barang Kena Pajak, misal Pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah mewah yang terutang PPN dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
         
 
 
 
(1)
Contoh Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah:
 
 
 
 
-
Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung adalah bukan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
 
 
 
 
-
Pajak Masukan untuk pembelian truck yang digunakan untuk jasa angkutan, karena jasa angkutan adalah bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
 
 
 
 
-
Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
 
 
 
(2)
Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali adalah:
 
 
 
 
-
Pajak Masukan untuk perolehan truck yang digunakan baik untuk, perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung.
 
 
 
(3)
Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepenuhnya adalah:
 
 
 
 
-
Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung.”
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.6.
Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011 tanggal 23 November 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan Pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit (“SE-90”), antara lain menyatakan:
 
Butir 6:
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
 
 
 
b.
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
 
 
 
c.
Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya.
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.71377/PP/M.IA/16/2016 tanggal 6 Juni 2016 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali dan fakta-fakta yang nyata-nyata terungkap pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali menyatakan sangat keberatan dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan pada Butir V.1. di atas dengan alasan sebagai berikut:
 
 
3.1.
Bahwa dalam alasan bandingnya Termohon Peninjauan Kembali menyampaikan bahwa koreksi Pajak Masukan senilai Rp578.395.385,00 terkait dengan pengeluaran/pembelian yang berhubungan dengan kebun, seperti pembelian pupuk, pestisida dan sebagainya yang nyata-nyata merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dalam memproduksi/menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP) berupa Minyak Sawit/Crude Palm Oil (CPO) dan Inti Sawit/Palm Kernel (PK). Oleh karena itu sudah sewajarnya dan seharusnya Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan.
       
 
 
3.2.
Bahwa berdasarkan data dan fakta, Termohon Peninjauan Kembali memiliki 2 (dua) unit sebagai berikut:
 
 
 
a.
Unit Perkebunan:
 
 
 
 
a.
Menyerahkan TBS, yang dapat diserahkan kepada unit pengolahan;
 
 
 
 
b.
Atas penyerahan TBS oleh unit perkebunan dibebaskan dari pengenaan PPN;
 
 
 
b.
Unit Pengolahan (CPO dan/atau Palm Kernel):
 
 
 
 
a.
Menyerahkan CPO dan/atau Palm Kernel;
 
 
 
 
b.
Atas penyerahannya oleh unit pengolahan, dikenakan PPN;
       
 
 
3.3.
Bahwa dalam putusannya Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyampaikan dasar pertimbangan dan kesimpulan sebagaimana telah diuraikan pada Butir V.1. di atas yang pada intinya menyatakan:
 
 
 
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, Majelis berpendapat azas kesetaraan dan keadilan terhadap pengenaan PPN atas TBS, harus diterapkan kepada semua Wajib Pajak (baik yang hanya bergerak di bidang perkebunan semata maupun yang bergerak di bidang perkebunan yang terintegrasi), apabila terdapat penjualan atau penyerahan TBS sebagaimana dimaksud pasal 4 UU PPN;
 
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, Majelis berpendapat Terbanding telah melakukan koreksi atas PPN Masukan yang terkait dengan Unit Kebun yang menghasilkan TBS dengan dalil penerapan azas kesetaraan dan keadilan, namun azas kesetaraan dan keadilan yang diterapkan oleh Terbanding dibangun berdasarkan pemahaman atau asumsi yang bertentangan dengan UU PPN itu sendiri, yang seharusnya wajib dilaksanakan berdasarkan azas kesetaraan dan keadilan; bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan sebagaimana diuraikan sebelumnya, Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas Pajak Masukan Masa Pajak Mei 2009 yang dapat dikreditkan sebesar Rp578.395.385,00 tidak dapat dipertahankan sehingga harus dibatalkan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.4.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali tidak sependapat dengan pendapat dan putusan Majelis yang tidak dapat mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali atas Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan Masa Pajak Mei 2009 sebesar Rp578.395.385,00 dengan penjelasan sebagai berikut:
 
 
 
3.4.1.
Bahwa sengketa banding koreksi Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan Masa Pajak Mei 2009 sebesar Rp578.395.385,00 merupakan sengketa yang bersifat yuridis fiskal, yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan TBS yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) dapat dikreditkan atau tidak.
         
 
 
 
3.4.2.
Bahwa UU PPN dalam Pasal 16B ayat (3) serta penjelasannya mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 16B ayat (3):
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.
 
Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
 
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. 
 
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
 
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
 
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak "B" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.4.3.
Bahwa PP 31, antara lain mengatur sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 huruf a:
 
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah: a. barang hasil pertanian.
 
Pasal 1 angka 2 huruf a:
Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang: a. pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
 
Bahwa jenis barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha dibidang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah TBS.
 
Pasal 2 ayat (2) huruf c:
Atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
 
Pasal 3:
Pajak Masukan atas perolehan barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.4.4.
Bahwa KMK-575 antara lain mengatur sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) huruf a:
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari UNIT atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan UNIT atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN, maka PM yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk UNIT atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.4.5.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali mempertahankan koreksi Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan Masa Pajak Mei 2009 sebesar Rp578.395.385,00 karena merupakan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis dalam hal ini TBS yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
 
Bahwa sedangkan menurut Termohon Peninjauan Kembali TBS yang dihasilkan dari kebun sendiri tidak dijual melainkan diolah lebih lanjut menjadi produk Minyak Kelapa Sawit (CPO) dan Inti Sawit (PK).
 
Bahwa oleh karena Termohon Peninjauan Kembali tidak melakukan penyerahan/penjualan TBS (yang dibebaskan dari PPN) akan tetapi hanya melakukan penyerahan penjualan BKP berupa CPO dan PK yang mana atas seluruh penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai 10% maka seluruh Pajak Masukan yang dikreditkan Termohon Peninjauan Kembali berkaitan dengan kegiatan usaha penyerahan BKP yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai 10% dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.4.6.
Bahwa dengan demikian dalam sengketa a quo: pokok sengketa Peninjauan Kembali ini terdapat perbedaan pendapat/penafsiran ketentuan perundang-undangan perpajakan mengenai Pajak Masukan atas perolehan BKP (seperti pembelian pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan dan sebagainya) yang digunakan untuk UNIT yang menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis (TBS), yaitu apakah atas Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan atau tidak dengan kondisi bahwa TBS yang dihasilkan digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya yang terjadi dalam satu entitas perusahaan yang sama (integrated).
 
Bahwa terkait perbedaan pendapat mengenai apakah Pajak Masukan atas perolehan BKP (seperti pembelian pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan dan sebagainya) yang digunakan untuk UNIT yang menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis (TBS) dapat dikreditkan atau tidak pada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), berikut akan dijelaskan lebih lanjut:
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Bahwa landasan filosofis Pasal 16B UU PPN adalah sebagai berikut:
Bahwa untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak, menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan perlakuan khusus.
 
Bahwa namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam undang-Undang perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Bahwa Pasal 16B ayat (3) UU PPN menyatakan bahwa "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan".
 
Bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 1277, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta 2007, kata “yang” bermakna: kata yang menyatakan bahwa bagian kalimat berikutnya menjelaskan kata yang didepannya.
 
Bahwa oleh karena itu, Kalimat: “atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan”, bukan merupakan kalimat utama, melainkan kalimat keterangan atau penjelas dari kalimat “Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak”.
 
Bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan BKP atau JKP yang bagaimana Bahwa kalimat tersebut bukan kalimat utama, melainkan kalimat penjelas kalimat sebelumnya.
 
Bahwa dengan demikian, penentuan Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP dapat dikreditkan atau tidak, bukan didasarkan pada ada tidaknya penyerahan, melainkan jenis BKP/JKP yang diperolehnya, yang dalam kasus ini adalah TBS. Bahwa mengingat TBS merupakan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Pasal 16B ayat (3) UU PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
Bahwa PPN merupakan pajak objektif, yaitu suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif (taatbestand) atau objek pajak.
 
Bahwa mengingat dalam hal ini, obyeknya adalah TBS yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada Pajak Keluaran baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS);
 
 
 
 
 
Dengan tidak ada Pajak Keluaran, maka tidak ada Pajak Masukan yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
d.
Bahwa penjelasan Pasal 16B ayat 3 menyatakan “Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
 
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
 
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
 
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
 
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
Bahwa kata yang digunakan dalam Pasal 16B adalah “Memproduksi” bukan “Menyerahkan” Bahwa pemilihan kata “Memproduksi” dalam Penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU PPN menguatkan karakter objektif PPN, kepada siapapun, dengan cara apapun, dan dalam kondisi apapun, sesuai karakter objektif dari pengenaan PPN, atas produk TBS dibebaskan dari pengenaan PPN.
 
Bahwa mengenai perihal ketentuan khusus dari Pasal 16B UU PPN, bahwa karena kekhususannya tersebut maka Pasal 16B UU PPN lebih utama dibandingkan dengan ketentuan yang bersifat umum.
 
Bahwa jika untuk mengkoreksi Pajak Masukan menurut Pasal 16B UU PPN harus memastikan adanya penyerahan kepada pihak ketiga, lalu pertanyaan yang timbul kemudian adalah untuk apa UU PPN mengatur dua kali.
 
Bahwa bukankah hal tersebut sudah diatur di Pasal 9 ayat (5), inilah kekhususan dari Pasal 16B UU PPN tersebut.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
e.
Bahwa kedudukan Pasal 16B di dalam UU PPN diatur dalam Bab VA mengenai Ketentuan Khusus. Bahwa selain Pasal 16B, Bab VA yang mengatur mengenai Ketentuan Khusus juga diatur dalam Pasal 16A, Pasal 16C, Pasal 16D, Pasal 16E , dan Pasal 16F.
 
Bahwa keberadaan norma khusus akan mengenyampingkan norma umumnya, artinya ada pemberlakuan yang khusus tidak seperti pada umumnya.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
f.
Bahwa secara garis besar ketentuan umum mengatur bahwa PPN dikenakan atas penyerahan/pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (Pasal 4 UU PPN).
 
Bahwa di dalam penjelasan Pasal 4 UU PPN dinyatakan bahwa syarat terutangnya PPN yang dilakukan oleh PKP adalah:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,
 
 
 
 
 
Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
 
 
 
 
 
Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
 
 
 
 
 
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa PPN yang dipungut oleh PKP merupakan Pajak Keluaran baginya.
Bahwa selanjutnya Pajak Masukan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, dengan kondisi apabila Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP dan sebaliknya apabila Pajak Masukan yang lebih besar daripada Pajak Keluaran maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasi (Pasal 9 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU PPN).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
g.
Bahwa selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ketentuan khusus akan menyimpang dari ketentuan umumnya.
 
Bahwa berikut ini dapat dijabarkan penjelasan penyimpangannya:
Bahwa Pasal 16A mengatur penyerahan kepada Pemungut PPN, umumnya yang memungut PPN adalah PKP penjual namun diatur khusus ketika penyerahan kepada Pemungut maka yang memungut PPN adalah Pemungut PPN.
 
Bahwa Pasal 16C mengenakan atas kegiatan membangun sendiri, umumnya PPN dipungut oleh PKP atas penyerahan/pemanfaatan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak namun diatur khusus bahwa bukan PKP pun harus menyetor PPN KMS dan tiada penyerahan/pemanfaatan yang dilakukan. Bahwa Pasal 16D mengatur penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak diperjualbelikan namun dengan syarat pajak masukannya saat diperoleh dapat dikreditkan, umumnya bahwa syarat dikenakan PPN sebagaimana diatur Pasal 4 tanpa harus dilihat pajak masukannya dapat dikreditkan atau tidak, syarat inilah kekhususan dalam Pasal 16D.
 
Bahwa Pasal 16E mengenai PPN yang sudah dibayar dapat diminta kembali, umumnya seperti diatur dalam Pasal 9 ayat (4) yang dilakukan oleh PKP namun secara khusus diatur dimana bukan PKP pun dapat minta kembali PPN yang telah dibayar.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
h.
Bahwa secara umum bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan diatur dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN namun Pasal 16B ayat (3) UU PPN juga mengatur adanya larangan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Artinya ada aturan khusus mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
 
Bahwa suatu pasal merupakan satuan aturan dalam perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas.
 
Bahwa apabila dalam batang tubuh belum memberikan kejelasan bunyi pasalnya maka dapat dilihat dalam penjelasan pasal tersebut.
 
Bahwa dengan demikian untuk memahami pasal 16B ayat (3) maka harus dilihat dahulu pasal 16B ayat (1) dan penjelasannya.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
i.
Bahwa Pasal 16B ayat (1) UU PPN menyatakan bahwa Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
 
 
 
 
 
a.
;
 
 
 
 
 
b.
Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
 
 
 
 
 
c.
;
 
 
 
 
 
d.
; dan
 
 
 
 
 
e.
...........
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa penjelasan Pasal 16B ayat (1) menyatakan “Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
 
Bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
j.
Bahwa dapat dilihat secara tersurat bahwa pasal 16B ayat (1) menganut prinsip equal treatment.
 
 
 
 
 
Bahwa prinsip perlakuan yang sama atau aequal dil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax).
 
Bahwa Sally M. Jones dan Shelley C. Rhoades-Catanach dalam bukunya Priciples of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw Hill/Irwin halaman 22 menulis:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
a)
Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai penerimaan pemerintah
 
 
 
 
 
b)
Pajak yang baik seharusnya mudah untuk diadministrasikan Pemerintah maupun bagi rakyat untuk membayar
 
 
 
 
 
c)
Pajak yang baik seharusnya efisien bagi perekonomian negara
 
 
 
 
 
d)
Pajak yang baik seharusnya adil
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa selanjutnya dalam halaman 32-37 menyebutkan beberapa kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
a)
Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan seharusnya mencerminkan sumber daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib Pajak tersebut.
 
 
 
 
 
b)
Keadilan horizontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama seharusnya mendapat perlakuan pajak yang sama
 
 
 
 
 
c)
Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum pengenaan pajak memiliki kesejahteraan yang lebih baik daripada Wajib Pajak B, maka setelah pengenaan pajak tingkat kesejahteraan Wajib Pajak A seharusnya tetap lebih baik daripada Wajib Pajak.
 
 
 
 
 
d)
Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme redistribusi kesejahteraan di dalam suatu masyarakat
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan menerapkan equal treatment ini DJP telah melaksanakan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang baik yakni azas persamaan perlakuan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
k.
Bahwa sesuai dengan prinsip Pasal 16B menekankan kepada aspek keadilan dan pendapat ahli juga menekankan adanya keadilan dalam pungutan pajak.
 
Bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (1) bahwa penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN dan Pasal 16B ayat (3) bahwa Pajak Masukan untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan.
 
Bahwa ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila penyerahan/penjualan CPO dan PK, maka Pajak Masukan yang sehubungan dengan perolehan TBS, dapat dikreditkan (menurut Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding dan Majelis Hakim).
 
Bahwa pendapat demikian telah mengabaikan prinsip keadilan yang dianut dalam Pasal 16B.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
l.
Bahwa menjadi pertanyaan di dalam Pasal 16B ayat (3), apakah diharuskan adanya syarat penyerahan BKP?
 
Bahwa apabila dalam pasal belum jelas maka dapat dilihat penjelasannya, dimana dalam penjelasan Pasal 16B ayat (3) mencontohkan Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
 
Bahwa frase kalimat “yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai” menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan oleh PKP.
Bahwa dicontohkan PKP yang memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan.
 
Bahwa dalam sengketa ini Termohon Peninjauan Kembali menghasilkan TBS.
 
Bahwa kekhususan Pasal 16B ada pengertian dalam menghasilkan sebagai penyerahan.
 
Bahwa dengan demikian bahwa Termohon Peninjauan Kembali seharusnya tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan terkait pemakaian TBS.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
m.
Bahwa sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum lebih luas pengertiannya daripada Undang-Undang”.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
n.
Bahwa negara dalam hal ini Pemerintah (DJP) telah mengeluarkan SE-90 untuk mengatur pengkreditan Pajak Masukan pada perusahaan terpadu kelapa sawit.
 
Bahwa nyata-nyata dengan jelas di butir 6 huruf b bahwa “Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
o.
Bahwa PP 31 merupakan aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 16B UU PPN (atribusi).
 
Bahwa PP 31, merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang keberadaanya secara sah dapat dijadikan dasar hukum.
 
Bahwa ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
p.
Bahwa penerapan koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali telah sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya fasilitas: meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama.
 
Bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah mengabaikan berprinsip equal karena tidak mempertimbangakan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
q.
Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas Pajak Keluaran dan Pajak Masukan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
 
 
 
 
 
Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
            (i) Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS;
            (ii) Pajak Masukan kebun tidak dapat dikreditkan;
            (iii) Pajak Masukan kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO dan PK; 
 
 
 
 
 
Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO/PK saja:
            (i) Atas penyerahan CPO dan PK terutang PPN;
            (ii) Tidak ada Pajak Masukan atas Pembelian TBS;
            (iii) Pajak Masukan kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi unsur HPP bagi CPO dan PK;
 
 
 
 
 
Dalam hal usaha Wajib Pajak terintegrasi Kebun Sawit dengan Pabrik CPO:
            (i) Tidak ada PPN atas TBS;
            (ii) PPN hanya atas CPO dan PK;
            (iii) Pajak Masukan kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO dan PK;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa apabila pada perusahaan yang terintegrasi antara kebun sawit dengan pabrik CPO dan PK, Pajak Masukan kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang berbeda pada:
 
 
 
 
 
Pajak Masukan kebun, antara perusahaan sawit saja yang mengkapitalisasi Pajak Masukan kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang mengkreditkan Pajak Masukan kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan mengkreditkan Pajak Masukan kebun;
 
 
 
 
 
Harga jual CPO dan PK, dan Pajak Keluaran atas CPO dan PK, yang berpotensi memunculkan persaingan yang tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO dan PK bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO dan PK, mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga harga cenderung lebih rendah.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa oleh karena itu, demi terciptanya persaingan bisnis yang sehat dan menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan harus sama, yaitu tidak ada Pajak Keluaran baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS), dan tidak ada Pajak Masukan yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun ketika tidak ada penyerahan (TBS).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
r.
Bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan, karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis, Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (termasuk didalamnya adalah para petani), akan kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena PM menjadi HPP).
 
Bahwa hal tersebut bertentangan dengan netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
s.
Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Pasal 16B ayat (3) UU PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.
 
Ilustrasi:
 
Tabel 5 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT X yang mandiri dan peran unit Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang mandiri, dan mengingat penyerahan DPP TBS oleh PT X (perkebunan kelapa sawit) dibebaskan, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
 
Tabel 1)
 
Tabel 6 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali), dan Pajak Masukan atas pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan dan sebagainya (yang digunakan untuk perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan banding Termohon Peninjauan Kembali, maka penghitungan PPN  adalah sebagai berikut:
 
Tabel 2)
 
Tabel 7 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Membandingkan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai pada tabel 1) dan tabel 2) di atas, maka:
 
 
 
 
 
Pengkreditan Pajak Masukan pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan dan sebagainya atas penyerahan TBS yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, melanggar ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN;
 
 
 
 
 
Terjadi ketidaksamaan perlakuan yang menciptakan ketidakadilan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali), dan Pajak Masukan atas pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan dan sebagainya (yang digunakan untuk perolehan TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana pendapat Pemohon Peninjauan Kembali maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
 
Tabel 3)
Membandingkan perlakuan PPN pada tabel 1) dan tabel 3) di atas, maka terdapat kesamaan perlakuan yang menciptakan keadilan
 
Bahwa mengingat hal-hal tersebut di atas dan mengingat bahwa pokok pikiran dalam UU PPN dan Memori Penjelasan Pasal 16B UU PPN menghendaki keadilan pembebanan pajak dan diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang  sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
t.
Bahwa dalam SE-90, ditegaskan kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka:
 
 
 
 
 
Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan BKP (CPO/PKO), dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan BKP sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa PPN atas pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan dan sebagainya yang dikeluarkan di kebun, nyata-nyata digunakan untuk menghasilkan TBS, yang merupakan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
u.
Bahwa pendirian dan kebijakan Direktur Jenderal Pajak dalam pengenaan PPN atas kegiatan terpadu (integrated) tertuang dalam KMK-575 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN, yang didalamnya juga mengatur mengenai pelaksanaan Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 16B UU PPN.
 
Bahwa KMK-575 (yang kemudian digantikan oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78/PMK.03/2010 (“PMK-78”)) secara kaidah dan norma sudah dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung dan dalam hal ini keputusan Mahkamah Agung memenangkan Pemohon Peninjauan Kembali.
 
Bahwa dengan demikian secara yuridis kebijakan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa kemudian secara materi dalam proses pemeriksaan diungkap bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan Kembali adalah terkait dengan perolehan barang antara lain berupa pupuk yang dipergunakan di unit perkebunan yang menghasilkan TBS yang merupakan BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
v.
Bahwa PMK-78 sebagai pengganti dari KMK-575 dan SE-90 juga mengatur sebagai berikut:
 
 
 
 
 
2)
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam rangka menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam 2 (dua) ketentuan tersebut di atas berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi usaha kelapa sawit (integrated) maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated), hal ini sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN.
 
 
 
 
 
3)
Bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (Integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan demikian dapat disampaikan:
 
 
 
 
 
1)
Bahwa mengingat TBS merupakan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai PP 31, maka Pasal 16B ayat (3) UU PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
2)
Bahwa PPN atas pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan dan sebagainya yang dikeluarkan di kebun, nyata-nyata digunakan untuk menghasilkan TBS yang merupakan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
           
 
 
 
 
w.
Bahwa berdasarkan uraian diatas, baik TBS yang diserahkan kepada pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan CPO dan PK atas keseluruhan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
x.
Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa amar pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruhnya permohonan banding Termohon Peninjauan Kembali terhadap koreksi Pajak Masukan berupa pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan dan sebagainya, yang digunakan untuk menghasilkan TBS di UNIT Perkebunan sebesar Rp578.395.385,00 bertentangan dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN dan KMK-575, serta SE-90.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.5.
Bahwa atas pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang pada pokoknya menyatakan:
 
 
 
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali adalah perusahaan terintegrated yang melakukan kegiatan usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang berupa TBS, dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai berupa CPO dan PK, dan
 
 
 
Bahwa dalam hal ini Majelis berkesimpulan bahwa pemakaian untuk kegiatan produksi tersebut di atas bukanlah penyerahan TBS, namun untuk kegiatan produksi lebih lanjut dalam rangka menghasilkan BKP berupa CPO dan PK yang kemudian dijual oleh Termohon Peninjauan Kembali.
 
 
 
Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang menyatakan, “Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan’’
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa pendapat Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan alasan sebagai berikut:
 
 
 
Bahwa dalam KMK-575 , jelas disebutkan bahwa kegiatan usaha terpadu (integrated) terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai.
 
 
 
Bahwa faktanya, Termohon Peninjauan Kembali memenuhi kriteria melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), yaitu memiliki Unit Perkebunan yang menghasilkan TBS yang atas penyerahannya tidak terutang PPN, dan Unit Pengolahan yang menghasilkan barang jadi berupa CPO dan PK, yang atas penyerahannya terutang PPN.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa oleh karena itu ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan merujuk pada Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 9 ayat (6) UU PPN yang diatur lebih lanjut dalam KMK-575.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.6.
Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 51/P.PTS/XII/2011/57/P/HUM/2010 mengenai Perkara Permohonan Hak Uji Materi Terhadap PMK-78 pada intinya memutuskan bahwa norma atau kaidah di dalam PMK-78 tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang lebih tinggi (UU PPN).
 
Bahwa norma atau kaidah yang diatur dalam PMK-78 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN pada prinsipnya sama dengan norma atau kaidah dalam KMK-575 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN.
 
Bahwa dengan demikian kebijakan Pemohon Peninjauan Kembali yang tertuang di dalam norma atau kaidah KMK-575 sah secara hukum.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.7.
Bahwa dengan demikian, KMK-575 yang digantikan oleh PMK-78 dapat diterapkan pada sengketa yang diajukan Termohon Peninjauan Kembali dan tidak terdapat kesalahan penerapan hukum.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.8.
Bahwa kemudian, terdapat Putusan Mahkamah Agung No-70P/HUM/2014 Perkara Permohonan Hak Uji Materiil antara Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) melawan Presiden Republik Indonesia, yang mana dalam putusan tersebut Mahkamah Agung menerima uji materi yang disampaikan oleh KADIN.
 
Bahwa sebagaimana diketahui bahwa Permohonan Hak Uji Materi terhadap PP 31, berkaitan dengan materi:
 
 
 
 
 
 
Pasal 1 ayat (1) huruf C:
 
 
 
 
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah: barang hasil pertanian;
 
 
 
Pasal 1 ayat (2) huruf A:
 
 
 
 
Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang: pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
 
 
 
●-
Pasal 2 ayat (1) huruf F:
 
 
 
 
Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa: barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c,dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
 
 
 
Pasal 2 ayat (2) huruf c:
 
 
 
 
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa: barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c; dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sehubungan dengan putusan Mahkamah Agung atas Hak Uji Materiil tersebut, dengan ini dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut:
Bahwa apabila suatu putusan telah dibuat maka ada jangka waktu pelaksanaannya sampai dengan dinyatakan tidak berlaku atau dicabut.
Bahwa dalam ketentuan UU PERATUN dikenal asas vermoeden van rechmatigheid yang berarti bahwa “keputusan organ pemerintahan yang digugat hanya dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum”.
 
Bahwa istilah dibatalkan atau vernietigbar, berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau badan pemerintah lain yang berwenang. Badan pemerintah lain yang berwenang di sini dapat dikatakan adalah Presiden selaku yang berwenang dalam penetapan PP tersebut.
 
 
Bahwa dalam vernietigbaar, salah satu unsurnya adalah ex nunc, yang secara harfiah diterjemahkan “sejak saat sekarang”. Dalam konteks ini, ex nunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat pembatalannya.
 
Bahwa sesuai dengan penjelasan di atas berarti bahwa sebelum ada terbit putusan yang memperbarui atau membatalkan peraturan yang lama, maka peraturan tersebut, dalam hal ini PP 31, masih tetap berlaku dan dipakai sebagai pedoman sampai dengan dinyatakan Tidak Berlaku lagi atau dicabut.
 
Bahwa sesuai dengan asas vermoeden van rechmatigheid, MA dalam putusannya membatalkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf C, Pasal 1 ayat (2) huruf A, Pasal 2 ayat (1) huruf F, dan Pasal 2 ayat (2) huruf C, PP 31.
 
Bahwa Putusan Perkara Permohonan Hak Uji Materi No.70P/HUM/2014 tersebut ditetapkan pada tanggal 25 Februari 2014. Dan sesuai dengan kaidah ex nunc maka perlakuan atas kasus-kasus yang terjadi sebelum keluarnya putusan Uji Materi ini masih TETAP menggunakan ketentuan yang berlaku pada saat itu sebelum putusan MA tersebut ditetapkan, dalam hal ini PP 31 atau ketentuan-ketentuan sebelumnya.
 
Bahwa dengan demikian, Pemohon Peninjauan Kembali berkesimpulan bahwa Putusan perkara Permohonan Hak Uji Materi mulai berlaku ke depan sejak tanggal ditetapkan.
 
Bahwa sejak tanggal ditetapkan tersebut dan ke depannya, perlakuan perpajakan atas barang pertanian yang bersifat strategis tidak dapat lagi mengacu kepada PP 31.
 
Bahwa dengan demikian, Putusan MA atas Uji Materiil PP 31 tersebut TIDAK BERPENGARUH terhadap sengketa antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Termohon Peninjauan Kembali untuk Tahun Pajak 2010 karena dalam kurun waktu tersebut, PP tersebut masih berlaku dan belum dibatalkan, dan dengan demikian masih sangat relevan dijadikan pedoman oleh Pemohon Peninjauan Kembali dalam melaksanakan tugas di bidang perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
       
 
 
3.9.
Bahwa sebagai bahan pertimbangan, atas sengketa yang sama terkait dengan koreksi Pajak Masukan atas perolehan BKP yang bersifat strategis, Majelis XVB Pengadilan Pajak telah memutuskan untuk menolak Banding Pemohon Banding atas nama PT PP London Sumatra Indonesia, Tbk dan mempertahankan koreksi Pajak Masukan atas perolehan BKP yang bersifat strategis Masa Pajak Januari s.d. Oktober 2012,  Desember 2012 yaitu:
 
Tabel 8 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam putusan-putusan tersebut di atas menyatakan antara lain:
 
 
 
Bahwa tidak ada korelasi langsung antara saat pengkreditan Pajak Masukan dengan penyerahan BKP akan tetapi berkaitan langsung dengan saat tersedianya BKP untuk dijual (apabila sudah berproduksi);
 
 
 
Bahwa perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak harus dikaitkan dengan tujuan dan maksud diberikannya kemudahan tersebut yaitu mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis dalam sengketa a quo berupa Tandan Buah Segar Sawit;
 
 
 
Bahwa atas sengketa a quo Terbanding telah benar memberlakukan dan menerapkan perlakuan yang sama atas tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan atas pupuk, pestisida, traktor, sepatu boot dan sebagainya yang berkaitan dengan unit/divisi yang menghasilkan TBS (BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN) baik pada perusahaan yang hanya melakukan penyerahan TBS dan perusahaan yang menghasilkan TBS untuk diolah pada divisi pengolahan;
 
 
 
Bahwa TBS yang dikonsumsi oleh Pemohon Banding merupakan bahan baku pabrik yang akan diproses lebih lanjut untuk keperluan menghasilkan CPO, maka pemakaian bahan baku dapat dikategorikan sebagai tindakan konsumsi, tetapi bukan merupakan konsumsi langsung;
 
 
 
Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, TBS termasuk ke dalam kriteria barang strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka konsumsi TBS oleh Pemohon Banding tidak dikenakan PPN sehingga Pajak Masukan yang telah dibayar dalam rangka menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.10.
Bahwa perlu Pemohon Peninjauan Kembali sampaikan bahwa atas sengketa yang sama, yaitu koreksi positif Pajak Masukan terkait perolehan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis, terdapat beberapa Putusan Mahkamah Agung yang tetap mempertahankan koreksi Pajak Masukan Pemohon Peninjauan Kembali tersebut antara lain:
 
Tabel 9 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dalam pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan-putusan tersebut di atas menyatakan antara lain adalah karena dalam perkara a quo pengkreditan atas Pajak Masukan haruslah dikaitkan dengan bidang usaha dan penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding sebagai PKP sesuai dengan norma atau kaidah serta kebijakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B ayat (3) UU PPN.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.11.
Bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia, Norma Hukum dalam hal ini adalah undang-Undang merupakan hukum konkrit sebagai peraturan yang riil berlaku sebagai hukum positif, yang mengikat untuk dilaksanakan.
 
Bahwa demi menjamin kepastian hukum, maka ketentuan tersebut sebagai Norma Hukum tidak dapat dikesampingkan oleh Majelis Hakim.
Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka seharusnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukum dengan memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Bahwa Pasal 78 UU Pengadilan Pajak menyatakan:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas telah jelas bahwa Pajak Masukan dalam rangka menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan mengingat TBS merupakan BKP yang bersifat strategis.
 
Bahwa oleh karenanya putusan Majelis Hakim yang tidak mempertahankan koreksi atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan sebesar Rp578.395.385,00 adalah tidak tepat.
 
Bahwa fokus seharusnya terletak pada TBS sebagai BKP yang bersifat strategis, dengan demikian baik TBS tersebut diserahkan kepada pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan CPO dan PK atas keseluruhan Pajak Masukannya tetap tidak dapat dikreditkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5.
Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa amar pertimbangan dan amar putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan sebesar Rp578.395.385,00 bertentangan dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, PP 31 dan KMK-575, sehingga melanggar ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak dan oleh karenanya diajukan Peninjauan Kembali  ke Mahkamah Agung.
 
 
 
 
 
 
 
 
6.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp578.395.385,00 atas perolehan BKP tertentu yang atas penyerahan dari hasil kegiatan tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN, telah dibuat tanpa pertimbangan yang cukup dan bertentangan dengan fakta yang nyata-nyata terungkap dalam persidangan, serta aturan perpajakan yang berlaku, khususnya Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) UU PPN juncto Pasal 2 ayat (1) KMK-575 sehingga melanggar ketentuan dalam Pasal 76 dan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak.
 
Bahwa dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.71377/PP/M.IA/16/2016 tanggal 6 Juni 2016 tersebut harus dibatalkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
III.
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor PUT.71377/PP/M.IA/16/2016 tanggal 6 Juni 2016 yang menyatakan: Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-2248/WPJ.19/2014 tanggal 4 Nopember 2014 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Mei 2009 Nomor: 00004/207/09/092/14 tanggal 9 Januari 2014, atas nama: PT. Ivo Mas Tunggal, NPWP: 01.213.128.0-092.000, beralamat di: Sinar Mas Land Plaza Menara 2 Lantai 30, Jalan MH. Thamrin Nomor 51 Gondangdia Menteng, Jakarta Pusat 10350, sehingga jumlah yang masih harus dibayar; sebagaimana tersebut di atas (pada halaman 2); adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-2248/WPJ.19/2014 tanggal 4 Nopember 2014, mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Mei 2009 Nomor: 00004/207/09/092/14 tanggal 9 Januari 2014, atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.213.128.0-092.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
a.
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Positif Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan Masa Pajak Mei 2009 sebesar Rp578.395.385,00 yang merupakan Pajak Masukan yang digunakan oleh Termohon Peninjauan (semula Pemohon Banding) Kembali untuk unit/kegiatan perkebunan kelapa sawit dalam rangka perolehan Tandan Buah Segar (TBS), yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo Pajak Masukan yang penyerahan atas BKP dibebaskan dari pengenaan PPN, yang didalilkan tidak dapat dikreditkkan, bahwa Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali melakukan pengolahan terpadu dari Kebun Sawit menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang pada dasarnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP) Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, kemudian daripada itu, Tandan Buah Segar (TBS) dimaksud diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) yang merupakan Barang Kena Pajak. Lagi pula Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali hanya menyerahkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) serta menyertakan fakta-fakta dan bukti-bukti yang dapat menggugurkan dalil-dalil Terbanding sekarang Pemohon Peninjauan Kembali, sehingga perkara a quo yang telah dilakukan pengujian dan penilaian serta pertimbangan hukum oleh Majelis Pengadilan Pajak dengan benar, maka Majelis Hakim Agung berketetapan untuk menguatkan atas Putusan Pengadilan Pajak a quo dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a angka (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000.
b.
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, sehingga pajak yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi sebesar:
 
Tabel 10 Put MA 1774/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
 
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
 
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;
 
 
 
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut;
 
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
 
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu, tanggal 25 Oktober 2017, oleh Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., MS., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Yosran, S.H., M.Hum., dan Is Sudaryono, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Joko A. Sugianto, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak
Anggota Majelis
ttd.
Dr. Yosran, S.H., M.Hum.
ttd.
 Is Sudaryono, S.H., M.H.
Ketua Majelis
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., MS.
 
 
 
Panitera Pengganti
ttd.
Joko A. Sugianto, S.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

1774/B/PK/PJK/2017