Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Status : Tidak Diketahui

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
1623/B/PK/PJK/2016

 
 
 
 
 
 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
 
 
 
 
 
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42, Jakarta 12190, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:
1.
Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
2.
Budi Christiadi, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
3.
Farchan Ilyas, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi Direktorat Keberatan dan Banding;
4.
Budi Rahardjo, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan banding;
 
 
 
 
 
 
Kesemuanya berkantor di Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-525/PJ./2015 tanggal 05 Februari 2015;

untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 
 
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
 
 
PT. BANK CIMB NIAGA, Tbk, beralamat di Graha Niaga, Jl. Jenderal Sudirman Kav.58, Jakarta Selatan 12190, dalam hal ini diwakili oleh Daniel James Rompas dan Wan Razly Abdullah Bin Wan Ali, Jabatan Direktur PT. Bank Cimb Niaga, Selanjutnya memberikan kuasa kepada: Johanes Ponti Partogi Hutauruk, S.E., S.H., Advokat Pengacara dan Penasihat Hukum, dari Kantor Konsultan hukum Hadiputranto, Hadinoto & Partners yang beralamat di Gedung Bursa Efek Indonesia II, Lantai 21. Jl. Jenderal Sudirman Kav, 52-53, Jakarta, 12190 berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 012/SKa/Dir/I/16 tanggal 18 Januari 2016;

untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor PUT.57059/PP/M.IIIA/16/2014, Tanggal 11 November 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon banding, dengan posita perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
 
 
A.
Pemenuhan Ketentuan Formal Pengajuan Banding
 
1.
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyatakan sebagai berikut:
"Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)”

bahwa selanjutnya Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak";

bahwa Surat Banding dalam bahasa Indonesia Pemohon Banding ajukan terhadap keputusan keberatan kepada Pengadilan Pajak. Dengan demikian, Surat Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang KUP dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
2.
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang KUP menyatakan sebagai berikut:
"Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut"

bahwa Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang disbanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan”;

bahwa Surat Banding disusun secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dan diajukan sebelum lewat tiga bulan sejak diterimanya Keputusan Keberatan yang salinannya Pemohon Banding lampirkan dalam Surat Banding ini. Dengan demikian, Surat Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang KUP dan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
3.
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding"

bahwa Pemohon Banding mengajukan surat permohonan banding ini hanya atas 1 (satu) Surat Keputusan Keberatan, yaitu Keputusan Terbanding Nomor KEP-1519/WPJ.19/2012 tanggal 27 November 2012. Dengan demikian, Surat Banding ini telah memenuhi ketentuan pengajuan banding berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
4.
Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding."

bahwa Pemohon Banding mencantumkan alasan-alasan yang jelas atas permohonan banding ini. Surat Keputusan Keberatan yang Pemohon Banding ajukan banding, diterima pada tanggal 27 November 2012. Dengan demikian, Surat Banding ini telah memenuhi ketentuan pengajuan banding berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
5.
Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Pada Surat Banding dilampirkan salinan keputusan yang akan dibanding"
 
bahwa Pemohon Banding melampirkan fotokopi atas Surat Keputusan Keberatan bersamaan dengan Surat Banding ini. Dengan demikian, Surat Banding ini telah memenuhi ketentuan pengajuan banding berdasarkan Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
6.
Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) soda Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)";

bahwa sehubungan dengan persyaratan banding di atas, Pemohon Banding telah memenuhinya dengan penyetoran pajak melalui Surat Setoran Pajak sebesar Rp29.030.707.218,00 pada tanggal 30 Desember 2011 dengan NTPN:1105 1308 0205 1207. Dengan demikian, permohonan banding ini telah memenuhi syarat berdasarkan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
7.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka pengajuan Surat Banding atas Keputusan Keberatan di atas, telah dilakukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara yang telah disyaratkan oleh undang-undang, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan (3) Undang-Undang KUP dan Pasal 35 ayat (1) dan (2), Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu sudah sepatutnya Surat Banding ini diterima oleh Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
B.
Latar belakang atas koreksi yang dilakukan oleh Terbanding dan pokok sengketa yang diajukan banding;
 
bahwa atas permohonan keberatan terhadap SKPKB PPN Barang dan Jasa, Terbanding menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menolak permohonan keberatan Pemohon Banding. Berdasarkan Surat Keputusan Keberatan tersebut, jumlah PPN yang masih harus dibayar adalah sebesar Rp29.030.707.218,00 dengan rincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
bahwa adapun perincian perhitungan koreksi PPN yang dipertahankan oleh Terbanding adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
bahwa dari total keseluruhan koreksi positif atas objek PPN yang dipertahankan oleh Terbanding, Pemohon Banding hanya mengajukan koreksi objek PPN sebesar Rp36.592.094.891,00 atas Pengalihan Aktiva AYDA sebagai pokok sengketa dalam permohonan banding ini;
 
 
 
 
 
 
C.
Alasan Banding
 
Sengketa Koreksi Objek PPN atas Pengalihan Aktiva AYDA sebesar Rp36.592.094.891,00;

Menurut Terbanding
bahwa selama proses penyelesaian keberatan, Pemohon Banding hanya memberikan bukti pendukung berupa audit report (1 set) dan rincian Agunan Yang Diambil Alih/AYDA (2 lembar) dan sampel 34 set SHM/SHGB Sertifikat Hak Penangguhan dan Akta Pengalihan Hak Tanggungan;

bahwa Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) yaitu Aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank;

bahwa tiap-tiap perjanjian yang terkait dengan pengalihan setiap transaksi AYDA seperti perjanjian kredit, surat perjanjian penyerahan agunan, surat perjanjian pemberian Hak Tanggungan memiliki klausul-klausul yang berbeda. Hal pokok yang mendasari apakah suatu transaksi pengalihan AYDA terutang PPN adalah perjanjian yang mengatur apabila debitur gagal melunasi hutangnya, khususnya mengenai perlakuan kelebihan atau kekurangan hasil penjualan AYDA;

bahwa berdasarkan data hasil pembahasan akhir dalam proses pemeriksaan khususnya pengalihan AYDA - OREO (Other Real Estate Owned) sebesar Rp33.100.000.000, Pemohon Banding mencatat kerugian atas pengalihan AYDA pada pos penyesuaian fiskal cadangan penghapusan AYDA, maka dapat diyakini bahwa Wajib Pajak tidak bertindak sebagai kuasa untuk menjualkan agunan milik Debitur tetapi memiliki hak/penguasaan atas agunan yang dijual tersebut sehingga memenuhi persyaratan penyerahan Barang kena Pajak yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN yaitu penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

bahwa menanggapi alasan Pemohon Banding yang menyatakan bahwa penyerahan agunan (kredit macet) oleh Debitur kepada Bank CIMB Niaga merupakan penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan hutang piutang sehingga tidak dikenakan PPN cfm. Pasal 1A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN. Pemohon Banding juga berpendapat bahwa penyerahan AYDA oleh pihak Bank CIMB Niaga kepada pihak pembeli akhir merupakan penyerahan Pasal 16D Undang-Undang PPN yang tidak terutang PPN, karena tidak ada pajak masukkan yang dikreditkan;

bahwa Tim Peneliti tidak dapat menerima alasan keberatan Pemohon Banding dengan pertimbangan sebagai berikut:
 
1.
Pengambilalihan aktiva milik debitur oleh Bank CIMB Niaga karena kredit macet tidak termasuk pengertian penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan hutang piutang yang tidak dikenakan PPN cfm. Pasal 1A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN tetapi merupakan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16D Undang-Undang PPN, seharusnya terdapat pajak masukkan tergantung apakah pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak (debitur) merupakan Pengusaha Kena Pajak;
 
2.
Penyerahan AYDA oleh Pemohon Banding kepada pembeli akhir merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf a Undang-Undang PPN, tidak termasuk pengertian penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D Undang-Undang PPN. Hal ini diperkuat dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 dan Pasal 37 Peraturan Bank Indonesia Nomor 72/PBI/2005, pihak bank memiliki kewajiban secara aktif segera memasarkan dan menjual AYDA. Dengan kata lain tujuan semula AYDA memang dijual kembali;
 
 
 
 
 
 
 
bahwa berdasarkan uraian di atas, koreksi DPP PPN atas pengalihan aktiva AYDA sebesar Rp36.592.094.891,00 telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku;

Alasan Banding
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan dipertahankannya koreksi Terbanding atas objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pengalihan Aktiva AYDA sebesar Rp36.592.094.891,00 dengan dasar hukum sebagai berikut:
 
1.
Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia
 
 
Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit;
 
Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;

Pasal 1 angka 15 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum menyebutkan bahwa Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva yang diperoleh Bank, balk melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank;

Pasal 37 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 menyebutkan bahwa Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki. Penjelasan pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha sesuai dengan fungsinya sebagai penyalur dana masyarakat. Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA;

Pasal 37 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 menyebutkan bahwa Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penjelasan pasal 37 ayat (2) dari pasal yang sama menyebutkan dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA;

Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 menyebutkan bahwa Aktiva Non Produktif yang wajib dinilai kualitasnya meliputi AYDA, Property Terbengkalai, Rekening Antar Kantor dan Suspense Account;

Pasal 44 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 menyebutkan bahwa Bank wajib membentuk PPA (Penyisihan Penghapusan Aktiva) terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif;

Pasal 44 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 menyebutkan bahwa PPA sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa:
 
 
a.
Cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan
 
 
b.
Cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif.
 
 
 
 
 
 
 
2.
Peraturan Perpajakan
 
 
Pasal 1A ayat (2) huruf b Undang Undang PPN No. 18 Tahun 2000 menyebutkan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;

Pasal 16D Undang-Undang PPN No. 18 Tahun 2000 menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan;

Pasal 4 huruf a Undang Undang PPN No. 18 Tahun 2000 mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

Penjelasan dari Pasal 4 huruf a tersebut menyebutkan bahwa Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 
 
a.
Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,
 
 
b.
Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud;
 
 
c.
Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan
 
 
d.
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
 
 
 
 
 
 
 
 
bahwa berdasarkan peraturan Undang-Undang Perbankan, Peraturan Perbankan dan Peraturan Perpajakan di atas:
 
 
a.
Mengingat bahwa Agunan Yang Diambil Alih adalah jaminan yang pada awalnya diserahkan oleh nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit (Jasa Perbankan) oleh Bank, maka berdasarkan sesuai dengan peraturan perpajakan di atas dapat disimpulkan bahwa penyerahan agunan sebagai jaminan utang tersebut tidak termasuk ke dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, karena tidak terdapat pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh Bank. Selain itu, ketika Debitur menyerahkan agunan tersebut secara sukarela atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar/di dalam lelang kepada pihak Bank, atas penyerahan tersebut bukan merupakan penyerahan yang terutang PPN baik berdasarkan Pasal 1A ayat (1) huruf a, karena tidak ada perubahan hak kepemilikan atau perpindahan aset;
 
 
b.
Menimbang bahwa Agunan Yang Diambil Alih adalah merupakan aset Bank yang dimiliki dengan potensi kerugian, sehingga Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk membentuk cadangan kerugian untuk AYDA dan AYDA tersebut harus segera dilakukan upaya-upaya penyelesaian dan dokumentasi atas penyelesaian AYDA, oleh karena Bank tidak diperbolehkan memiliki AYDA agar Bank melakukan kegiatan usaha sesuai dengan fungsinya sebagai penyalur dana masyarakat, maka AYDA merupakan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Bank.
 
 
c.
Kegiatan penjualan agunan yang diambil alih untuk kepentingan pelunasan kredit macet tersebut merupakan bagian dari jasa perbankan yang tidak dikenakan PPN. Hal ini sesuai dengan Pasal 4A Ayat 3(d) Undang-Undang PPN yang menyatakan bahwa jasa keuangan tidak dikenakan PPN. Oleh karena itu, PPN tidak dapat dipungut atas kegiatan penjualan agunan yang diambil alih tersebut. Jika kegiatan penjualan agunan untuk kepentingan pelunasan kredit macet tersebut dianggap sebagai bukan merupakan bagian dari jasa perbankan, maka berdasarkan Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang PPN beserta penjelasannya, tidak ada PPN yang harus dikenakan karena penyerahan dilakukan tidak dalam rangka kegiatan usaha dan kami bukanlah Pengusaha Kena Pajak dengan kegiatan usaha jual beli (trading) barang agunan;
 
 
d.
Berdasarkan pasal 16D Undang-Undang PPN No. 18 Tahun 2000 dapat disimpulkan bahwa atas penyerahan AYDA tidak terutang Pajak Keluaran oleh karena tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Bank pada saat perolehannya, mengingat penyerahaan dan debitur kepada Bank bukan termasuk ke dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
bahwa berdasarkan penjelasan di atas, Pemohon Banding memohon kepada Majelis Hakim untuk mengabulkan permohonan banding kami agar koreksi Terbanding atas objek PPN atas Pengalihan Aktiva AYDA sebesar Rp36.592.094.891,00 dibatalkan;
 
 
 
 
 
 
D.
Kesimpulan dan Perhitungan Pajak Menurut Pemohon Banding
 
bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding tersebut di atas. maka Pemohon Banding mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak agar banding Pemohon Banding dikabulkan seluruhnya dengan penghitungan PPN Barang dan Jasa yang seharusnya terutang adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.57059/PP/M.IIIA/16/2014, Tanggal 11 November 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Menyatakan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1519/WPJ.19/2012 tanggal 27 November 2012, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Masa Pajak Desember 2008 Nomor 00470/207/08/091/11 tanggal 2 Desember 2011, atas nama PT Bank CIMB Niaga, Tbk, NPWP 01.310.668.7-091.000, Jenis Usaha: Perbankan, beralamat di Graha Niaga, Jl. Jenderal Sudirman Kav.58, Jakarta Selatan 12190, sehingga perhitungan PPN Masa Pajak Desember 2008 menjadi sebagai berikut:
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.57059/PP/M.IIIA/16/2014, tanggal 11 November 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 28 November 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-525/PJ./2015 tanggal 05 Februari 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 25 Februari 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 25 Februari 2015;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 21 Desember 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 19 Januari 2016;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
 
 
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
   
I.
Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
 
Bahwa putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.57059/PP/M.IIIA/16/2014 tanggal 11 November 2014 telah dibuat dengan tidak memperhatikan ketentuan yuridis formal atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.57059/PP/M.IIIA/16/2014 tanggal 11 November 2014 diajukan Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak:

Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:
  e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 
 
 
II.
Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali
 
1.
Bahwa Salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.57059/PP/M.IIIA/16/2014 tanggal 11 November 2014, atas nama PT. Bank CIMB Niaga, Tbk (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan secara patut dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melalui surat Sekretariat Pengadilan Pajak Nomor: P.1951/PAN/2014 tanggal 26 November 2014 dengan cara disampaikan secara langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 01 Desember 2014 dengan bukti penerimaan Tempat Pelayanan Surat Terpadu Direktorat Jenderal Pajak Nomor Dokumen 201412010236;
 
2.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92 ayat (3) juncto Pasal 1 angka 11 UU Pengadilan Pajak, maka pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.57059/PP/M.IIIA/16/2014 tanggal 11 November 2014 ini ini masih dalam tenggang waktu yang diizinkan oleh Undang-undang Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
 
 
 
 
 
 
III.
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali
 
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut:
Tentang Sengketa Atas Koreksi Positif Atas DPP PPN Berupa Pengalihan Aktiva AYDA (Agunan Yang Diambil Alih) Sebesar Rp36.592.094.891,00 yang Tidak Dipertahankan Oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
 
 
IV.
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
 
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, meneliti, dan mempelajari lebih lanjut atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.57059/PP/M.IIIA/16/2014 tanggal 11 November 2014 tersebut, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru dengan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak (tegenbewijs) atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan dalil-dalil dan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
     
 
1.
Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa a quo sebagaimana tertuang dalam putusan a quo, antara lain berbunyi sebagai berikut:
 
 
bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian terhadap bukti-bukti dan keterangan yang disampaikan oleh para pihak dalam persidangan Majelis berpendapat:

bahwa aktiva yang dialihkan oleh Pemohon Banding secara substansial bukanlah milik Pemohon Banding, bahwa sesuai dengan akta pemberian hak tanggungan yang menyatakan bahwa Pemohon Banding telah diberikan kuasa oleh debitur untuk menjual aktiva yang dijaminkan jika debitur cidera janji, pernyataan a-quo mengisyaratkan bahwa aktiva yang akan dialihkan tersebut tidak semata mata untuk dijual, kecuali debitur ingkar janji.


bahwa pengalihan AYDA oleh Pemohon Banding kepada konsumen akhir tidak terutang PPN, karena termasuk dalam pengertian penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D Undang-Undang PPN;

bahwa berdasarkan Pasal 16D Undang-Undang PPN, dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah karena Pemohon Banding hanya merupakan pemilik hak tanggungan dan bukan serta merta menjadi pemilik objek hak tanggungan sehingga Pemohon Banding bukan merupakan pihak yang melakukan penyerahan kepada konsumen akhir sehingga pengalihan AYDA tersebut bukan merupakan objek pajak;

bahwa sesuai Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa: "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim"

bahwa berdasarkan pertimbangan a quo Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas Pengalihan Aktiva Yang Di Alihkan (AYDA) sebesar Rp36.592.094.891,00 tidak dapat dipertahankan dan Majelis berpendapat untuk mengabulkan seluruh permohonan Pemohon Banding;
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa ketentuan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo sebagai berikut:
 
 
2.1.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (“UU Pengadilan Pajak”), antara lain menyatakan sebagai berikut:

Pasal 76:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).

Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang perpajakan.

Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.

Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim;

Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
 
2.2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (“UU PPN”), antara lain mengatur sebagai berikut:

Pasal 1 angka 2:
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.

Pasal 1 angka 3:
Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini;

Pasal 1 angka 4:
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3;

Pasal 1A ayat (1)
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah
 
 
 
a.
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
 
 
 
b.
Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa perjanjian leasing;
 
 
 
c.
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
 
 
 
d.
Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
 
 
 
e.
Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
 
 
 
f.
Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
 
 
 
g.
Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 1A ayat (2) huruf b:
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;

Pasal 4 huruf a:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

Penjelasan Pasal 4 huruf a:
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.

Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 
 
 
a.
Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
 
 
 
b.
Barang Tidak Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
 
 
 
c.
Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean; dan
 
 
 
d.
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 4 huruf c:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

Pasal 4A ayat (1):
Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan jenis jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 yang tidak dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

Pasal 4A ayat (2) huruf d:
Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut: d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;

Penjelasan Pasal 9 ayat 8 huruf b UU PPN:
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
 
 
 
 
 
 
   
2.3.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (“PP 144”), mengatur antara lain sebagai berikut:

Pasal 5 huruf d:
Kelompok jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah:
   
 
d.
Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
   
 
 
 
 
 
 
Pasal 8 huruf a:
Jenis jasa di bidang perbankan, asuransi dan sewa guna usaha dengan hak opsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d meliputi:
      a. Jasa perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), serta anjak piutang.
 
 
 
 
 
 
 
 
2.4.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (“UU Perbankan”), antara lain mengatur sebagai berikut:

Pasal 6:
Usaha Bank Umum meliputi:
 
 
 
a.
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
 
 
 
b.
memberikan kredit;
 
 
 
c.
menerbitkan surat pengakuan hutang;
 
 
 
d.
membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
 
 
 
 
1.
surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
 
 
 
 
2.
surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
 
 
 
 
3.
kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
 
 
 
 
4.
Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
 
 
 
 
5.
obligasi;
 
 
 
 
6.
surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
 
 
 
 
7.
instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
 
 
 
e.
memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
 
 
 
f.
menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
 
 
 
g.
menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
 
 
 
h.
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
 
 
 
i.
melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
 
 
 
j.
melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
 
 
 
k.
dihapus;
 
 
 
l.
melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;
 
 
 
m.
menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
 
 
 
n.
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 12A ayat (1):
Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;

Penjelasan Pasal 12A ayat (1):
Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Dalam hal bank sebagai pembeli agunan Nasabah debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya;

Bank dimungkinkan membeli agunan di luar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah debiturnya;

Bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang dibelinya dan secepat-cepatnya harus dijual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh bank.
 
 
 
 
 
 
 
 
2.5.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, antara lain mengatur sebagai berikut:

Pasal 1 angka 1:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain;

Pasal 6:
Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut;

Penjelasan Umum pada romawi I angka 4:
Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam arti, bahwa jika debitur ingkar janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku;

Penjelasan Umum pada romawi I angka 5
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang ditunjuk sebagai hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, sebagai hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.

Penjelasan Umum pada romawi I angka 7:
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahapan kegiatan, yaitu:
 
 
 
a.
Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang piutang yang dijamin;
 
 
 
b.
Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi pemberi Hak Tanggungan kepada kreditur, Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak Tanggungan itu baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku-tanah di Kantor Pertanahan. Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut adalah sangat penting bagi kreditur;
 
 
 
 
 
 
 
 
2.6.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (“PMK-40”), antara lain mengatur sebagai berikut:

Pasal 48 ayat (3):
Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan pertanahan, Bank sebagai kreditur dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan menyampaikan surat pernyataan bahwa pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;

Pasal 48 ayat (4):
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui, bank dianggap sebagai pembeli;
 
 
 
 
 
 
 
 
2.7.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, antara lain mengatur sebagai berikut:

Pasal 1 angka 15
Agunan yang Diambil Alih yang selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank;

Pasal 37 ayat (1):
Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki;

Penjelasan Pasal 37 ayat (1):
Pengaturan ini dimaksud agar bank melakukan kegiatan usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Upaya penyelesaian antara lain dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA;

Pasal 37 ayat (2):
Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

Penjelasan Pasal 37 ayat (2):
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA;
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan koreksi positif DPP PPN atas Penjualan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) sebesar Rp36.592.094.891,00 (yang terbesar adalah AYDA-OREO/Other Real Estate Owned sebesar Rp33.100.000.000,00) karena berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa terdapat obyek PPN berupa penjualan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) yang belum dipungut Pajak Pertambahan Nilainya;
 
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak setuju atas koreksi yang dikenakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) karena menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) penjualan AYDA bukan merupakan objek PPN;
 
 
 
 
 
 
 
5.
Bahwa dengan demikian, sengketa atas koreksi DPP PPN atas penjualan AYDA ini merupakan sengketa yuridis fiskal, yaitu apakah pengalihan aktiva yang dijadikan AYDA kepada pihak lain (selain debitur) terutang Pajak Pertambahan Nilai atau tidak;
 
 
 
 
 
 
 
6.
Bahwa Majelis Hakim menyatakan bahwa koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak dapat dipertahankan dengan pertimbangan dan pendapat sebagaimana diuraikan pada point V.1. tersebut di atas;
 
 
 
 
 
 
 
7.
Bahwa atas putusan Majelis Hakim yang tidak mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan keberatan dan tidak setuju;
 
 
 
 
 
 
 
8.
Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), berdasarkan bukti, fakta, dan ketentuan yang berlaku, maka penjualan AYDA yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memenuhi syarat sebagai penyerahan barang yang dikenakan pajak yaitu:
 
 
8.1.
Bahwa barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
 
 
8.2.
Bahwa Penyerahan BKP tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean;
 
 
8.3.
Bahwa Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau Pekerjaannya;
 
 
8.4.
Bahwa penjualan AYDA bukan merupakan bagian kegiatan penyerahan jasa perbankan yang dikecualikan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d PP 144, karena penjualan AYDA bukan merupakan bagian jasa perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perbankan;
 
 
8.5.
Bahwa jasa di bidang perbankan yang tidak dikenakan PPN adalah jasa perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Perbankan kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), serta anjak piutang;
 
 
8.6.
Bahwa faktanya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) melakukan penyerahan BKP yang merupakan penyerahan di luar jasa di bidang jasa perbankan;

Bahwa oleh karena itu, penyerahan tersebut tidak termasuk dalam jasa di bidang perbankan yang tidak dikenakan PPN;
 
 
8.7.
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) disamping melakukan kegiatan usaha utama jasa perbankan, juga melakukan kegiatan usaha lainnya;

Bahwa penjualan AYDA merupakan penyerahan yang dilakukan dalam rangka kegiatan usaha “business activity”;
 
 
8.8.
Bahwa Penjelasan Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha;
 
 
8.9.
Bahwa Pasal 37 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 71/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum mengatur bahwa Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki;

Bahwa selanjutnya dalam memori penjelasan dinyatakan bahwa: Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA;
 
 
8.10.
Bahwa sehingga penjualan AYDA merupakan kegiatan sehari-hari perbankan. Kegiatan tersebut menjadi regular business activities, sebagai konsekuensi dari pengambilalihan aset debitur;
 
 
8.11.
Bahwa dalam Tax Law Design and Drafting (volume 1; International Monetary Fund: 1996; Victor Thuronyi, ed.) Chapter 6, Value-Added Tax disebutkan: VAT is a tax on supplies made in the course or furtherance of economic activity, or, put another way, as part of a business. It should therefore be confined to activities of this nature and not be imposed on other activities, such as the personal hobbies of an individual, gifts made for personal reasons, or charitable activities with no business or commercial content;

Bahwa PPN adalah pajak atas penyerahan yang dibuat dalam rangka kegiatan ekonomi, atau dengan kata lain, sebagai bagian dari sebuah bisnis. Karena itu, harus terbatas pada kegiatan-kegiatan ini dan tidak dikenakan pada kegiatan lain, seperti hobi perorangan, hadiah dengan alasan pribadi, atau aktivitas sosial tanpa muatan bisnis atau komersial;
 
 
8.12.
Bahwa sejalan dengan pengertian tersebut, penjualan AYDA yang dilakukan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) merupakan aktivitas sehubungan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);

Bahwa dengan demikian, aktivitas tersebut merupakan objek PPN;
 
 
8.13.
Bahwa agunan yang diambil alih merupakan aktiva yang telah menjadi hak Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sehingga ketika dilakukan penjualan atas AYDA tersebut merupakan penyerahan BKP yang terutang PPN;
 
 
8.14.
Bahwa Pasal 1 angka 15 Peraturan Bank Indonesia Nomor 71/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum mendefinisikan Agunan Yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka bank mengakui AYDA sebagai aktiva bank;
 
 
 
 
 
 
 
9.
Bahwa kesimpulan tentang terutangnya AYDA tersebut di atas telah sesuai dengan beberapa penegasan Direktur Jenderal Pajak sebagai berikut:
 
 
9.1.
Bahwa Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-193//PJ/2012 tanggal 27 September 2012 tentang Penegasan atas Surat Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), menegaskan sebagai berikut:
 
 
 
1.
Pengambilalihan agunan milik debitur berupa Barang Kena Pajak oleh bank dalam rangka upaya penyelesaian kewajiban debitur karena debitur tidak menyelesaikan kewajibannya, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang yang tidak dikenai PPN.
 
 
 
2.
Pengambilalihan agunan tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak oleh debitur kepada bank yang terutang PPN sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf a atau Pasal 16D Undang-Undang PPN.
 
 
 
3.
Sedangkan penjualan Barang Kena Pajak berupa AYDA oleh bank merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai PPN sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf a jo. Pasal 1A ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN.
 
 
9.2.
Bahwa Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-186/PJ.53/2004 tanggal 4 Februari 2004 butir 4 huruf a tentang PPN Atas Penjualan Aktiva Yang Ditarik Kembali:
Penjualan aktiva yang ditarik kembali dalam kegiatan pembiayaan konsumen karena default dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;
 
 
9.3.
Bahwa Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-666/PJ.53/2005 tanggal 26 Mei 2005 butir 3 huruf a tentang PPN Atas Penjualan Aktiva Yang Ditarik Kembali:
Dalam hal barang/aktiva yang ditarik/disita tersebut menjadi milik perusahaan pembiayaan maka atas penjualan aktiva yang ditarik kembali oleh perusahaan pembiayaan tersebut dikenakan PPN yang wajib dipungut, disetorkan dan dilaporkan oleh perusahaan pembiayaan;
 
 
 
 
 
 
 
10.
Bahwa berdasarkan Pasal 12A UU Perbankan diketahui bahwa Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
 
 
 
 
 
 
 
11.
Bahwa peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum menyebutkan definisi AYDA yaitu aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank;
 
 
 
 
 
 
 
12.
Bahwa sebagai perbandingan kebijakan penanganan AYDA yang dilakukan oleh Bank Lain adalah sebagai berikut:
 
 
12.1.
Bahwa tahap-tahap penanganan pinjaman yang pembayaran cicilan dan bunga pinjamannya macet (Non Performing Loan atau NPL), yaitu:
12.1.1.
Pembayaran Tunggakan/Lancar kembali
12.1.2.
Pembayaran bertahap
12.1.3.
Pelunasan
12.1.4.
Restrukturisasi
12.1.5.
Penjualan Jaminan oleh Debitur
12.1.4.
Penyerahan agunan kepada Bank dengan Akta Penyerahan, Kuasa Jual dan Perjanjian Perikatan Jual Beli
12.1.3.
Eksekusi Hak Tanggungan
 
 
12.2.
Bahwa timbulnya AYDA disebabkan telah dilakukannya upaya terakhir oleh Bank melalui mekanisme Penyerahan Agunan kepada Bank dengan Akta Penyerahan, Kuasa Jual dan Perjanjian Perikatan Jual Beli dan Eksekusi Hak Tanggungan;
 
 
 
 
 
 
 
13.
Bahwa untuk memastikan apakah AYDA telah ada dalam penguasaan penuh pihak Bank atau belum, perlu diperhatikan apakah atas seluruh hasil penjualan AYDA yang diperoleh akan dimiliki sepenuhnya oleh pihak Bank atau hanya sejumlah hutang pihak Debitur;

Bahwa hal ini untuk memastikan bahwa Debitur masih memiliki hak agunan yang diambil alih tersebut;

Bahwa faktanya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat membuktikan bahwa Debitur mengetahui secara pasti berapa hasil penjualan agunan dan seluruh rincian atas pelunasan hutang (pokok + denda + bunga) yang menjadi kewajiban Debitur, dan apabila terdapat kelebihan harus dikembalikan kepada Debitur, dan jika terdapat kekurangan harus tetap ditagihkan kepada Debitur untuk setiap transaksi pengalihan AYDA;

Bahwa berdasarkan data hasil pembahasan akhir dalam pemeriksaan, khususnya untuk pengalihan AYDA-OREO, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mencatat kerugian atas pengalihan AYDA;

Bahwa dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak bertindak sebagai kuasa untuk menjualkan agunan milik Debitur, tetapi memiliki hak/penguasaan atas agunan yang dijual tersebut, sehingga memenuhi persyaratan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenakan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN yaitu penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
 
 
 
 
 
 
 
14.
Bahwa terkait alasan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang menyatakan bahwa penyerahan agunan sebagai jaminan tidak termasuk ke dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 1A ayat (2) UU PPN, dan tidak terdapat Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak sependapat dengan pernyataan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan alasan sebagai berikut:
 
 
14.1.
Bahwa terdapat beberapa penyerahan yang terjadi dalam kaitannya dengan transaksi antara Debitur dan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yaitu: penyerahan agunan sebagai jaminan, agunan yang kemudian diambil alih oleh Bank karena kredit macet, dan penjualan agunan oleh Bank, dengan deskripsi sebagai berikut:
14.1.1.
Bahwa pada saat penyerahan agunan sebagai jaminan, Debitur masih memiliki hak atas jaminan tersebut, dimana pada dasarnya debitur masih dapat melakukan penjualan barang jaminan dalam rangka melunasi hutangnya kepada Bank/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) (kredit lancar);
14.1.2.
Bahwa pada saat agunan diambil alih oleh Bank karena kredit macet, hak atas aktiva telah diserahkan kepada pihak Bank/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), sehingga tidak termasuk pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sebagai jaminan utang piutang;
14.1.3.
Bahwa pada saat Bank/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berusaha melakukan penjualan dalam rangka pencairan AYDA, pihak Bank/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah bertindak sebagai Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN;
 
 
14.2.
Bahwa dengan demikian Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyimpulkan bahwa penyerahan yang menjadi koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) adalah penyerahan yang terjadi saat pihak Bank/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) melakukan penjualan kepada pihak lain (pembeli akhir) dalam rangka pencairan AYDA, sehingga penyerahan tersebut termasuk ke dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (1) dan Pasal 4 huruf a UU PPN;
 
 
 
 
 
 
 
15.
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menyatakan bahwa AYDA merupakan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Bank sesuai Pasal 16D UU PPN, dimana Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berpendapat bahwa penyerahan AYDA tidak terutang PPN oleh perolehannya, mengingat penyerahan dari Debitur kepada Bank bukan termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak;

Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak sependapat dengan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan alasan sebagai berikut:
 
 
15.1.
Bahwa dasar hukum koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sebagaimana di dalam Laporan Pemeriksaan Pajak, Kertas Kerja Pemeriksaan, serta Laporan Penelitian Keberatan tidak didasarkan pada ketentuan Pasal 16D UU PPN;
 
 
15.2.
Bahwa penyerahan AYDA oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada pembeli akhir tidak termasuk pengertian aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D UU PPN, akan tetapi merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN sesuai ketentuan Pasal 4 huruf a UU PPN;

Bahwa hal ini diperkuat dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 dan Pasal 37 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PRI/2005 dimana pihak Bank memiliki kewajiban secara aktif segera memasarkan dan menjual AYDA dalam rangka mengcover kredit macet;

Bahwa dengan kata lain tujuan semula AYDA memang untuk dijual;
 
 
 
 
 
 
 
16.
Bahwa berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, maka koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sudah sesuai dengan data dan fakta serta ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sehingga sudah seharusnya tetap dipertahankan oleh Majelis Hakim;
 
 
 
 
 
 
 
17.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak yang antara lain mengatur bahwa Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka atas putusan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak sesuai dengan fakta dan data selama persidangan serta ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa putusan yang diambil Majelis telah menyalahi ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak sehingga diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;
 
 
 
 
 
 
 
18.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan sehingga putusan Majelis Hakim a quo tidak memenuhi ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.57059/PP/M.IIIA/16/2014 tanggal 11 November 2014 tersebut harus dibatalkan;
 
 
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1519/WPJ.19/2012 tanggal 27 November 2012 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Desember 2008 Nomor: 00470/207/08/091/11 tanggal 2 Desember 2011 atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.310.668.7-091.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp23.615.077.179,00; adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
a.
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Positif atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai berupa Pengalihan Aktiva AYDA (Agunan Yang Diambil Alih) Sebesar Rp36.592.094.891,00; yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo Pengalihan Aktiva Yang Di Alihkan (AYDA) karena penyerahan agunan (kredit macet) yang ditimbulkan karena cidera janji debitur kepada konsumen akhir bukan merupakan objek pajak PPN dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) mengenai perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo Pasal 4 huruf a jo. Pasal 16D Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai jo Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan jo Pasal 1 angka 15 dan Pasal 37 Peraturan Bank Indonesia Nomor 72/PBI/2005;
b.
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait.
 
 
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 15 Desember 2016, oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S dan Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Kusman, S.IP., S.H., M.Hum,, Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
ttd.
Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N.
Ketua Majelis
ttd.
Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum.
 
 
 
Panitera Pengganti
ttd.
Kusman, S.IP., S.H., M.Hum.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

1623/B/PK/PJK/2016