Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
1588/B/PK/PJK/2016

 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, 12190;
 
Dalam hal ini memberi kuasa kepada:
1.
DADANG SUWARNA, jabatan Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
2.
DAYAT PRATIKNO, jabatan Kepala Sub Direktorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
3.
FARCHAN ILYAS, jabatan Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Sub Direktorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
4.
FRANSISCA WARASTUTI, jabatan Penelaah Keberatan, Sub Direktorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Keempatnya berkantor di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, 12190, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-170/PJ./2016 tanggal 15 Januari 2016;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
PT. CHEVRON PACIFIC INDONESIA, tempat kedudukan di Gedung Sentral Senayan I Lantai 11, Jalan Asia Afrika Nomor 8, Gelora, Jakarta Pusat, 10270;
 
Dalam hal ini diwakili oleh Albert B.M. Simanjuntak, jabatan Presiden Direktur PT. CHEVRON PACIFIC INDONESIA, memberi kuasa kepada:
1.
EVI SAVITRI, S.H., jabatan Senior Tax Advisor PT. Chevron Pasific Indonesia;
2.
WIDYASTUTI, jabatan Tax Analyst PT. Chevron Pasific Indonesia;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 0125/POA/III/2016 tanggal 16 Maret 2016;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
 
Mahkamah Agung tersebut;
 
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
 
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sehubungan dengan penerbitan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014 tentang Keberatan Pemohon Banding atas SKPKB PPh Pasal 26 Nomor: 00001/204/09/081/13 tanggal 23 Januari 2013 Masa Pajak November 2009, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 21 April 2014, maka Pemohon Banding menyampaikan permohonan Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014, sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
I.
Pemenuhan Formalitas Permohonan Banding;
 
Bahwa dasar hukum pemenuhan formalitas permohonan Banding:
 
1.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ("UU PP") mengatur sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 35:
 
 
(1)
"Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
 
 
(2)
Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
 
(3)
............;"
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 36:
 
 
(1)
"Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
 
 
(2)
Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
 
 
(3)
Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.
 
 
(4)
Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)."
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ("UU KUP") mengatur bahwa:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
1)
"Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
 
 
2)
Putusan Pengadilan Pajak bukan merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara.
 
 
3)
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
 
 
4)
dihapus.
 
 
(4a)
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan Banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
 
 
5)
Dihapus....;"
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Berdasarkan UU PP dan UU KUP tersebut di atas, Pemohon Banding telah menyampaikan surat permohonan Banding sesuai dengan persyaratan formal tersebut, yaitu:
 
 
Permohonan Banding diajukan terhadap satu Surat Keputusan Keberatan;
 
 
Permohonan Banding diajukan secara tertulis dan dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak;
 
 
Permohonan Banding diajukan ke Pengadilan Pajak pada tanggal 12 Juli 2014. Oleh karena itu, Pemohon Banding telah menyampaikan permohonan dimaksud dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan Terbanding Nomor KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014. Keputusan Terbanding dimaksud Pemohon Banding terima tanggal 21 April 2014, sehingga masih dalam jangka waktu 3 bulan;
 
 
Jumlah yang telah disetujui berdasarkan Pembahasan Akhir Pemeriksaan adalah Rp0,00;
 
 
Pemohon Banding telah membayar 50% dari SKPKB PPh Pasal 26 Nomor: 00001/204/09/081/13 tanggal 23 Januari 2013 sebesar Rp374.604.841,00 tanggal 10 Juli 2014;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan demikian, surat permohonan Banding yang Pemohon Banding ajukan telah memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam UU PP dan UU KUP tersebut di atas;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
II.
Latar Belakang;
 
Bahwa di bawah ini penjelasan mengenai latar belakang timbulnya permohonan banding atas penerbitan Keputusan Terbanding Nomor KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014:
 
Bahwa Pemohon Banding telah menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 26 Nomor 00001/204/09/081/13 tanggal 23 Januari 2013 untuk Masa Pajak November 2009 sejumlah Rp749.209.682,- SKPKB tersebut diterbitkan oleh KPP Minyak dan Gas Bumi berdasarkan hasil pemeriksaan pajak tahun pajak 2009 (Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Pajak-Lampiran 4) dengan rincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju atas pengenaan koreksi DPP PPh Pasal 26 sejumlah Rp2.531.113.791,- dan mengajukan permohonan keberatan kepada Terbanding melalui surat Nomor 0046/1.1.9139/Tax/2013 tanggal 22 April 2013 (Lampiran 5);
 
Bahwa dalam proses keberatan, Terbanding mempertahankan koreksi Pemeriksa Pajak dan menolak seluruh permohonan Pemohon Banding dengan menerbitkan penerbitan Keputusan Terbanding Nomor KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014. Dengan rincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sesuai dengan Surat Pemberitahuan Daftar Hasil Penelitian Keberatan Nomor S-1858/WPJ.07/2014 tanggal 26 Maret 2014 (Lampiran 6), alasan penolakan dari Pihak Terbanding adalah sebagai berikut:
 
Bahwa alasan ditolaknya keberatan Wajib Pajak:
 
 
a.
Berdasarkan laporan, pernyataan Wajib Pajak maupun hasil penelitian terhadap LPP Pemeriksa diketahui terdapat biaya overhead atau overhead allocation yang kepada Chevron Overseas Services sebesar Rp.2.531.113.791,-. Dari tinjauan Undang-Undang Cost Allocation tersebut merupakan objek PPh sesuai dengan Pasal 26 UU PPh.
 
b.
Berdasarkan Laporan Pemeriksaan, besarnya nilai yang dibayarkan oleh PT CPI kepada Chevron Overseas Services tersebut senilai USD 267,985.00 atau senilai dengan Rp.2.531. 113.791,-. Atas nilai tersebut Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, dengan kata lain, secara materi tersebut telah benar dan sesuai.
 
c.
Dalam surat keberatannya, Wajib Pajak secara materi tidak mempermasalahkan besaran angka/nilai DPP PPh Pasal 26 atas Cost Allocation tersebut, namun menurut Wajib Pajak bahwa sesuai dengan S-604/MK.017/1998 tanggal 24 Nopember 1998 pajak yang timbul dari Cost Allocation atau biaya kantor pusat dalam rangka memenuhi kewajiban production sharing seharusnya ditanggung oleh Pemerintah.
 
d.
Terkait dengan alasan Keberatan yang menyatakan bahwa alokasi biaya tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 26, Tim Peneliti berpendapat sebagai berikut:
 
 
1.
Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa:
 
Bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Didalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) di atas disebutkan sebagai berikut:
 
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya;
 
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan alas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap;
 
Ayat (1):
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto;
 
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
1.
Penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 
 
 
2.
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
 
 
 
3.
Hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
 
 
 
4.
Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
 
 
 
5.
Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
 
 
 
6.
Keuntungan karena pembebasan utang.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
 
Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Dari Pasal di atas maupun penjelasan diketahui bahwa untuk setiap penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tidak dibayarkan atau yang terutang Subjek Pajak Dalam Negeri kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT wajib dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan. Hal ini menegaskan bahwa bentuk pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dalam bentuk alokasi, selama hal tersebut menjadi tambahan penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menerimanya;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Berdasarkan Point 1 Surat Keberatan yang diajukan, Wajib Pajak menyebutkan bahwa Overhead Allocation tersebut merupakan hal yang telah diberikan oleh PSC kepada PT CPI. Menurut Tim Peneliti, overhead Allocation tersebut memang diperbolehkan dan menjadi hak bagi kontraktor, namun demikian hal tersebut tidak serta merta menghapus kewajiban perpajakannya sehingga atas alokasi biaya tersebut tetap diberlakukan pengenaan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5.
Berdasarkan Point 2 Surat Keberatan yang diajukan, Wajib Pajak menyebutkan bahwa Overhead Allocation bukanlah termasuk ke dalam pengertian jasa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 UU PPh tanpa memberikan alasan yang jelas dan pendukung lain untuk membuktikan hal tersebut. Dalam hal ini, Tim Peneliti tetap berpegang dalam uraian di dalam Pasal 26 UU PPh dimana penghasilan yang dikenakan adalah dengan nama dan bentuk apapun termasuk imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
6.
Didalam keterangan tertulis sebagaimana disampaikan Wajib Pajak sebagai pemenuhan permintaan data dan dokumen dari Tim Peneliti, Wajib Pajak menjelaskan bahwa alokasi biaya yang dibayarkan Wajib Pajak kepada Chevron Overseas Services Ltd. Merupakan alokasi biaya umum dan administrasi (overhead) berkaitan dengan pengurusan board dan lodging karyawan CPI di Singapura, pengurusan ground handling pesawat di Singapura;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Dari penjelasan Wajib Pajak Tersebut, tim peneliti berpendapat bahwa Wajib Pajak (CPI) menerima manfaat atas pembayaran/alokasi overhead berupa jasa/services yang diberikan Wajib Pajak Luar Negeri (Chevron Overseas Services). Sehingga hal tersebut telah memenuhi kriteria sebagai penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan PPh sebagaimana diatur di dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
e.
Sehubungan dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK017/1998 tanggal 24 Nopember 1998 perihal Masalah Pajak Atas Technical Services dan Biaya Overhead Kontrak Production Sharing, Penelaah berpendapat sbb:
 
 
1.
Berdasarkan isi surat tersebut ditegaskan bahwa terhadap overhead, technical services dan biaya yang timbul dari Kantor Pusat dalam rangka memenuhi kewajiban kontrak production sharing dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pajak tersebut ditanggung oleh Pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan;
 
 
2.
Pemberian fasilitas Ditanggung Pemerintah atas PPh terutang sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas tidak dalam ketentuan pemberian fasilitas yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Dengan demikian, mekanisme pemberian fasilitas tidak berlaku secara otomatis namun pelaksanaannya dilakukan perhitungan sendiri oleh Direktorat terkait (dahulu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan);
 
 
3.
Karena Tim Peneliti sampai dengan laporan ini dibuat tidak mendapatkan rincian data dari Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (Direktorat Anggaran) terkait dengan perhitungan PPh Ditanggung Pemerintah tersebut maka Penelitian tetap mempertahankan koreksi Pemeriksa atas koreksi DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp. 2.531.113.791,00;
 
 
4.
Selain itu, sesuai dengan tata urutan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu (tahun 2006) yaitu UU No 10 Tahun 2004 Tentang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, Surat Menteri Keuangan bukan merupakan dasar hukum tetap karena keputusan tersebut diambil oleh Pemerintah pada saat itu sehingga selama belum ada aturan lain maupun aturan turunan yang mengatur lebih detail tentang hal tersebut, maka Surat tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam memutuskan sengketa pajak.
 
 
5.
Berdasarkan uraian di atas, Tim Peneliti berpendapat bahwa alasan keberatan Wajib Pajak mendasarkan pembebasan PPh Pasal 26 berdasarkan S-604 tidak dapat diterima sehingga Tim Peneliti tetap mempertahankan koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
f.
Sedangkan terkait penggunaan P3B/Tax treaty atas Overhead Allocation tersebut, Wajib Pajak tidak menjelaskan hal tersebut sebagai alasan di dalam Surat Keberatannya, serta sampai dengan Laporan ini dibuat, Wajib Pajak tidak melampirkan/menyampaikan Surat Keterangan Domisili/COD dari Perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu Tim Peneliti tidak melakukan penelitian atas hal tersebut dan tetap mempertahankan koreksi yang dilakukan Pemeriksaan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, Tim Peneliti mengusulkan untuk menolak keberatan Wajib Pajak dan koreksi DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp2.531.113.791,00 dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
III.
Uraian/Alasan Permohonan Banding;
 
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan penerbitan Keputusan Terbanding Nomor KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014 yang masih mempertahankan jumlah koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 26 sejumlah Rp2.531.113.791,00. Pemohon Banding berpendapat bahwa jumlah koreksi DPP PPh Pasal 26 dimaksud seharusnya adalah Nihil, dengan alasan dan dasar hukum sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
A.
Biaya Overhead Allocation bukan merupakan objek PPh Pasal 26;
 
 
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding, dengan alasan dan penjelasan sebagai berikut:
 
 
1.
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang menyimpulkan bahwa alokasi overhead merupakan jasa sehingga terhutang PPh Pasal 26. Pemohon Banding tetap berpendapat bahwa alokasi overhead bukan merupakan jasa dengan alasan dan penjelasan sebagai berikut:
 
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) menyatakan bahwa:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
"(1)
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
 
 
 
 
a.
...
 
 
 
 
b.
...
 
 
 
 
c.
...
 
 
 
 
d.
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
 
 
 
 
e.
...
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa biaya alokasi overhead yang dikoreksi oleh Pemeriksa bukanlah termasuk ke dalam pengertian jasa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 dari UU Pajak Penghasilan sehingga dapat disimpulkan bahwa biaya overhead allocation bukan merupakan objek PPh Pasal 26;
 
Bahwa biaya overhead allocation merupakan hak yang telah diberikan oleh PSC kepada Pemohon Banding sebagai pengurang biaya. Sesuai dengan Pasal 111.2 Exhibit C dari kontrak PSC Blok Rokan antara Pertamina (sekarang SKKMIGAS) dan PT Caltex Pacific Indonesia (sekarang PT Chevron Pacific Indonesia) yang ditandatangani pada tanggal 15 Oktober 1992 dan telah disetujui oleh Menteri Pertambangan dan Energi pada tanggal 15 Oktober 1992, overhead allocation merupakan biaya operasi yang dapat di-recovery-kan sebagaimana dikutip di bawah ini:
 
 
 
 
 
 
"2.
Overhead Allocation
 
 
 
 
General and Administrative cost, other than direct charges, allocable to this operation should be determined by a detailed study, and the method determined by such study shall be applied each Year consistently. The method selected must be approved by PERTAMINA, and such approval can be reviewed periodically by PERTAMINA and the CONTRACTOR."
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dari klausul Kontrak PSC di atas jelas bahwa General & Administrative Cost (Overhead Allocation) bukanlah jasa sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 UU Pajak Penghasilan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa Terbanding dalam point d.4 menyatakan bahwa overhead allocation tersebut memang diperbolehkan dan menjadi hak bagi kontraktor, namun demikian hal tersebut tidak serta merta menghapus kewajiban perpajakannya. Sesuai dengan penjelasan Pemohon Banding pada point 1, maka sesuai dengan ketentuan perpajakan tidak ada kewajiban bagi Pemohon Banding untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas biaya overhead allocation karena biaya overhead allocation bukan jasa/service, sehingga bukan merupakan objek PPh Pasal 26 berdasarkan UU PPh;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju atas pendapat Terbanding pada point d.5 yang menyatakan bahwa Pemohon Banding tidak memberikan alasan yang jelas untuk membuktikan bahwa overhead allocation bukanlah termasuk ke dalam pengertian jasa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 UU PPh. Dalam surat keberatan, Pemohon Banding sudah memberikan alasan bahwa alokasi overhead bukan merupakan objek PPh Pasal 26 karena bukan merupakan Jasa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 UU PPh;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding pada point d.6 yang berpendapat bahwa Pemohon Banding menerima manfaat atas alokasi overhead berupa jasa/service. Pemohon Banding berpendapat bahwa alokasi overhead terkait dengan sengketa tidak dapat diartikan sebagai pembayaran jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh karena alokasi overhead tersebut bukan merupakan jasa yang dimanfaatkan oleh Pemohon Banding secara langsung;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5.
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa atas nilai biaya overhead allocation sebesar USD267,985.00 atau senilai dengan Rp2.531.113.791,00 Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, dengan kata lain secara materi nilai tersebut telah benar dan sesuai;
 
Bahwa Pada Bagian A Surat Keberatan Pemohon Banding Nomor 0046/1.1.9139/Tax/2013 tanggal 22 April 2013, Pemohon Banding telah memaparkan bahwa:
 
 
 
 
 
 
a.
"Sengketa pajak karena Wajib Pajak dianggap oleh Pemeriksa Pajak Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu kurang memotong PPh Pasal 26 atas jumlah objek pajak sejumlah Rp2.531.113.791,00 untuk Masa Pajak November 2009;
 
 
 
b.
Menurut Pemeriksa Pajak atas koreksi objek pajak PPh Pasal 26 sejumlah Rp2.531.113.791,- (equivalent US$267,985) yang dipertahankan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan Pajak dan Risalah Pembahasan adalah karena belum adanya Certificate of Domicile (COD) atas biaya overhead allocation dari Chevron Overseas Service Ltd;
 
 
 
c.
Wajib Pajak tidak setuju dan mengajukan keberatan dengan penjelasan dan dasar hukum sebagaimana di bawah;” Bahwa dengan demikian, pendapat Terbanding yang menyatakan Pemohon Banding tidak mengajukan keberatan atas nilai Rp2.531.113.791,00 adalah tidak berdasar;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
B.
Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998 harus dihormati;
 
 
Bahwa Pemohon Banding menyatakan tidak setuju atas pendapat Terbanding terkait dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 (S-604) (Lampiran 7) dengan alasan sebagai berikut:
 
 
a.
Bahwa butir ke-1 Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 menyatakan bahwa terhadap overhead, technical services dan biaya yang timbul dari Kantor Pusat dalam rangka memenuhi kewajiban kontraktor production sharing dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana telah dijelaskan Pemohon Banding dalam surat keberatannya dan pada point 1 di atas maka dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku, maka overhead allocation bukanlah objek PPh Pasal 26 sehingga tidak ada PPh Pasal 26 terhutang atas biaya overhead allocation tersebut;
 
 
b.
Bahwa Terbanding menyatakan bahwa mekanisme pemberian fasilitas tidak berlaku secara otomatis namun pelaksanaannya dilakukan perhitungan sendiri oleh Direktorat terkait (dahulu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan). Dengan demikian menurut Pemohon Banding seharusnya pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (Direktorat Jenderal Anggaran) menjalankan S-604 tersebut dengan menerbitkan prosedur pelaksanaannya. Apabila belum ada prosedur pelaksanaannya bukan berarti hak Pemohon Banding atas pajak ditanggung Pemerintah menjadi hilang. Seharusnya demi keadilan dan kepastian hukum maka sebelum adanya prosedur pelaksanaan dari Surat Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 tersebut, bukan berarti beban pajaknya dialihkan kepada Pemohon Banding dengan cara menerbitkan SKPKB PPh Pasal 26. Oleh karenanya SKPKB PPh Pasal 26 Nomor 00001/204/09/081/13 tanggal 23 Januari 2013 tidak semestinya diterbitkan dan kalau pun telah terlanjur diterbitkan semestinya dapat dibatalkan demi keadilan dan kepastian hukum;
 
 
c.
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan kesimpulan Terbanding yang menyatakan bahwa Surat Menteri Keuangan bukan merupakan dasar hukum tetap sehingga selama belum ada aturan lain maupun aturan turunan yang mengatur lebih detail tentang hal tersebut, maka tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam memutuskan sengketa pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Pemohon Banding sampaikan bahwa Landasan hukum berdirinya Kontrak Bagi Hasil adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 ("UU Nomor 8/1971") tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ("Pertamina"). Pasal 12 UU No 8/1971 menyatakan bahwa Pertamina dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil. Dalam hal ini, Kontrak Bagi Hasil Rokan telah ditandatangani pada 15 Oktober 1992 dan telah disetujui oleh Menteri Energi dan Pertambangan pada tanggal 15 Oktober 1992;
 
Bahwa dalam UU Nomor 8/1971 disebutkan bahwa Pertamina adalah satu-satunya Perusahaan Negara atau Wakil Pemerintah yang telah ditugaskan untuk menampung dan melaksanakan semua kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Untuk itu, penerbitan Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 adalah berdasarkan permohonan Pertamina sebagai Wakil Pemerintah kepada Menteri Keuangan melalui Surat Nomor 688/C0000/98-S4 (Lampiran 8). Dengan demikian, sudah sepatutnya Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 harus dihormati;
 
Bahwa lebih lanjut, sebagaimana telah diketahui, Surat tersebut dikeluarkan oleh Menteri Keuangan sebagai lembaga yang secara hierarki hukum dan pemerintah berada diatas Dirjen Pajak dan oleh karenanya Dirjen Pajak harus menghormati Surat Menteri Keuangan. Perlu Pemohon Banding sampaikan juga bahwa saat ini, Surat tersebut belum dicabut. Sehingga tidak ada alasan bagi Dirjen Pajak untuk tidak melaksanakan Surat tersebut;
 
Bahwa selain itu, Surat Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 tersebut pun sudah ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pajak ("DirJen Pajak") dan sejak diterbitkannya S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 tersebut pihak Dirjen Pajak tidak pernah melakukan bantahan atau gugatan atas pajak yang ditanggung pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Surat tersebut. Oleh karena itu, sudah selayaknya pihak Dirjen Pajak memahami hak dari Pemohon Banding atas Surat Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 tersebut yaitu hak berupa pajak ditanggung pemerintah terhadap biaya-biaya yang telah menjadi dasar koreksi Pemeriksa;
 
Bahwa Terbanding juga menyatakan "bahwa Surat Menteri Keuangan bukan merupakan dasar hukum tetap sehingga selama belum ada aturan lain maupun aturan turunan yang mengatur lebih detail tentang hal tersebut, maka tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam memutuskan sengketa pajak.". Menurut Pemohon Banding hal itu artinya selama belum ada aturan lain maupun aturan turunan yang mengatur lebih detail tentang hal tersebut seharusnya S-604 tetap dilaksanakan sampai dengan diterbitkannya aturan lebih lanjut mengenai aturan pelaksanaannya;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
C.
Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 menjadi acuan dalam Putusan Pengadilan Pajak atas sengketa pajak yang sama;
 
 
Bahwa perlu Pemohon Banding sampaikan bahwa Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 telah menjadi acuan dalam Pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak pada Putusan Sengketa Banding Nomor PUT.40784/PP/M.I/13/2012 yang diucapkan pada tanggal 17 Oktober 2012 (Lampiran 9) yang mengabulkan seluruh banding Pemohon Banding atas sengketa pajak yang sama. Dengan demikian, seharusnya Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998 tersebut di atas, dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
 
Bahwa berdasarkan penjelasan dasar hukum dan uraian di atas, Pemohon Banding memohon kepada Majelis Hakim agar koreksi Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp.2.531.113.791 dalam Keputusan Terbanding Nomor KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014 dibatalkan sehingga jumlah PPh Pasal 26 yang masih harus dibayar untuk Masa Pajak November 2009 menjadi nihil;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
IV.
Kesimpulan Dan Permohonan Banding
 
Bahwa sesuai dengan uraian, penjelasan dan dasar hukum tersebut di atas, Pemohon Banding memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk:
 
1.
Mengabulkan permohonan Banding Pemohon Banding untuk seluruhnya dan membatalkan Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014 tentang Keberatan Wajib Pajak atas SKPKB PPh Pasal 26 Nomor 00001/204/09/081/13 tanggal 23 Januari 2013 Masa Pajak November 2009, sehingga perhitungan pajaknya menjadi sebagai berikut:
 
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
 
Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak November 2009 Nomor: 00001/204/09/081/13 tanggal 23 Januari 2013, atas nama: PT Chevron Pacific Indonesia, NPWP: 01.308.508.9-081.000, Alamat: Gedung Sentral Senayan I Lantai 11, Jalan Asia Afrika Nomor 8, Jakarta, 10270, sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015 diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 5 November 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 15 Januari 2016 diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 25 Januari 2016, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 26 Januari 2016;
 
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 11 Maret 2016, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 18 Maret 2016;
 
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan-alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
I.
Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
 
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015 telah dibuat dengan tidak memperhatikan ketentuan yuridis formal atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015 diajukan Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak:
 
Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:
 
 
e.
Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
II.
Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali;
 
1.
Bahwa Salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015, atas nama PT Chevron Pacific Indonesia (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan secara patut dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dan diterima Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melalui Tempat Pelayanan Surat Terpadu dengan Nomor Dokumen: 201511100194 tanggal 10 November 2015.
 
2.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92 ayat (3) juncto Pasal 1 angka 11 UU Pengadilan Pajak, maka pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015 ini ini masih dalam tenggang waktu yang diizinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
III.
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali;
 
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut:
 
A.
Sengketa pemenuhan persyaratan formal pengajuan banding;
 
B.
Koreksi DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp2.531.113.791,00;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
IV.
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali;
 
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan dalil-dalil dan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
 
A.
Sengketa pemenuhan persyaratan formal pengajuan banding;
 
 
1.
Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa a quo ini antara lain berbunyi sebagai berikut:
 
Menurut Terbanding, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 12 UU PP, dalam hal pengiriman Surat Keputusan melalui PT. Pos Indonesia atau Perusahaan Jasa Pengiriman lainnya, tanggal diterima adalah tanggal dikirim, oleh karena itu batas waktu pengajuan banding oleh Pemohon Banding ke Pengadilan Pajak adalah 3 (tiga) bulan sejak tanggal Keputusan Keberatan dikirimkan oleh Terbanding kepada PT. Pos Indonesia atau Perusahaan Jasa Pengiriman lainnya.
 
Majelis berpendapat, simpulan Terbanding tersebut tidak tepat, dikarenakan hanya didasarkan pada interpretasi secara harfiah terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 dan angka 12 UU PP, tanpa memperhatikan substansi materinya secara utuh, dan tanpa memperhatikan bahkan mengabaikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 Ayat (2) UU PP.
 
Majelis berpendapat bahwa Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman yaitu tanggal pada saat pihak pengirim dalam hal ini Terbanding menyerahkan dokumen kepada PT. Pos Indonesia atau Perusahaan Jasa Pengiriman lainnya, untuk dikirimkan/diserahkan kepada pihak yang dituju dalam hal ini Pemohon Banding. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman yaitu tanggal pada saat PT. Pos Indonesia atau Perusahaan Jasa Pengiriman lainnya menyerahkan dokumen dan diterima oleh pihak yang dituju dalam hal ini Pemohon Banding.
 
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, terbukti bahwa:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Surat Keputusan Terbanding tanggal 15 April 2014 dikirimkan oleh Terbanding melalui PT. Pos Indonesia pada tanggal 16 April 2014 barcode pengiriman dari PT. Pos Indonesia Nomor: 13566297679;
 
 
 
Surat Keputusan Terbanding tersebut diterima oleh Pemohon Banding dari PT. Pos Indonesia pada tanggal 21 April 2014 berdasarkan bukti berupa Surat PT Pos Indonesia no. 42/PenjualanSurKet-IV/10/A/0315 tanggal 18 Maret 2015
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Berdasarkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta berdasarkan ketentuan yang diatur Pasal 35 Ayat (2) UU PP, Majelis berpendapat bahwa batas waktu pengajuan banding oleh Pemohon Banding dihitung 3 (tiga) bulan sejak tanggal 21 April 2014.
 
Surat Banding tanggal 11 Juli 2014 dikirimkan oleh Pemohon Banding melalui PT. Pos Indonesia tanggal 19 Juli 2014, oleh karena itu pengajuan banding oleh Pemohon Banding, adalah masih dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, sehingga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa dasar hukum terkait sengketa ini adalah sebagai berikut:
 
 
 
2.1.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 1 angka 11:
Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.
 
Pasal 1 angka 12:
Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.
 
Pasal 35:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
1)
Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
2)
Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
 
 
 
3)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.2.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), mengatur antara lain:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 1 angka 40:
Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.
 
Pasal 1 angka 41:
Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.
 
Pasal 27 ayat (3):
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan fakta-fakta yang nyata-nyata terungkap pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat keberatan dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan di atas dengan alasan sebagai berikut:
 
 
 
3.1.
Bahwa dalam Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak telah diatur secara jelas bahwa jangka waktu untuk mengajukan Banding adalah 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding dimana berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU Pengadilan Pajak adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.
 
Pengertian tanggal diterima dalam Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak sudah sangat jelas diatur/ditulis dalam Pasal 1 angka 12 UU Pengadilan Pajak sehingga tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut (asas lex scripta lex stricta).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.
UU KUP terbaru yaitu Tahun 2007 (yang kemudian diubah pada Tahun 2009) telah mengadopsi secara penuh pengertian tanggal dikirim dan tanggal diterima sebagaimana terdapat sebelumnya dalam UU Pengadilan Pajak. Definisi tanggal dikirim dan tanggal diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 dan 12 UU Pengadilan Pajak adalah sama persis dengan definisi yang diatur dalam Pasal 1 angka 40 dan 41 UU KUP.
 
Mengenai frase kata "3 (tiga) bulan sejak surat keputusan keberatan diterima" sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) UU KUP tentunya harus merujuk kepada suatu tanggal yang dapat dijadikan acuan. Oleh karena itu jawaban atas pertanyaan kapan suatu surat keputusan keberatan diterima (jika ingin merujuk kepada satu tanggal tertentu yang dapat dijadikan acuan) pastinya adalah pada tanggal diterimanya surat keputusan keberatan dimana definisi tanggal diterima akan langsung merujuk kepada definisi yang sudah diatur jelas dalam Pasal 1 angka 41 UU KUP yaitu tanggal stempel pos pengiriman dalam hal surat keputusan keberatan dikirimkan melalui pos.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.3.
Dalam bukti tanda terima surat kilat khusus dari Pos Indonesia yang dimiliki oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terdapat informasi mengenai tanggal dikirimkannya seluruh Surat Keputusan Keberatan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berikut jam/waktu pengirimannya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pada saat menerima seluruh keputusan keberatan yang diajukan banding, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah mengetahui secara pasti/tidak terdapat keragu-raguan mengenai tanggal dikirimkannya seluruh Surat Keputusan Keberatan tersebut oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding).
 
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengajuan Banding telah melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sehingga pengajuan Banding tidak memenuhi ketentuan jangka waktu pengajuan Banding sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.4.
Fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa surat keputusan keberatan dikirim pada tanggal 16 April 2014 dengan barcode pengiriman 13566297679 sedangkan surat permohonan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dikirimkan melalui PT Pos Indonesia pada tanggal 19 Juli 2014.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.5.
Berdasarkan ketentuan dan fakta persidangan diatas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
 
 
 
 
a)
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU KUP menyatakan bahwa permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut. Dalam hal ini frase frase kata "3 (tiga) bulan sejak surat keputusan keberatan diterima" sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) UU KUP tentunya harus merujuk kepada suatu tanggal yang dapat dijadikan acuan. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilihat ketentuan di pasal lain dalam Undang-Undang tersebut yang relevan dengan pengertian saat diterimanya surat keputusan keberatan.
           
 
 
 
 
b)
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 41 UU KUP secara tegas dinyatakan bahwa tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, dalam persidangan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah menunjukkan bukti bahwa surat keputusan keberatan dikirim pada tanggal 16 April 2014 dengan barcode pengiriman 13566297679.
           
 
 
 
 
c)
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa sesuai dengan asas lex scripta lex stricta maka suatu ketentuan yang sudah diatur dengan jelas dan tegas tidak memerlukan adanya penafsiran lebih lanjut. Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa dalam membaca suatu pasal dalam Undang-Undang harus memperhatikan juga ketentuan di pasal lain yang terkait terutama yang berhubungan dengan definisi atau pengertian suatu kata sehingga pada akhirnya akan diperoleh pemahaman atas Undang-Undang secara utuh dan menyeluruh.
           
 
 
 
 
d)
UU KUP Tahun 2007 telah mengadopsi secara penuh pengertian tanggal dikirim dan tanggal diterima sebagaimana terdapat sebelumnya dalam UU Pengadilan Pajak. Dalam hal ini kedudukan UU KUP adalah sama dengan UU Pengadilan Pajak sehingga Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak sependapat dengan penjelasan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang menyatakan bahwa UU KUP adalah aturan hukum khusus sedangkan UU Pengadilan Pajak adalah aturan hukum umum sehingga asas lex specialis derogat lex generalis yang dikemukakan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah tidak tepat dan tidak relevan.
           
 
 
 
 
e)
Salah satu prinsip dasar keadilan adalah adanya persamaan perlakukan bagi seluruh pihak. Persamaan perlakuan yang Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) terapkan dalam proses administrasi perpajakan bagi seluruh Wajib Pajak (yang dalam hal ini adalah Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)) berkaitan dengan penerapan tanggal diterima adalah merupakan tanggal stempel pos pengiriman dalam hal dikirimkan melalui pos. Demikian pula halnya dalam hal proses persidangan di Pengadilan Pajak, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) juga tidak pemah mempermasalahkan tanggal jatuh tempo pengajuan banding/gugatan apabila surat banding/gugatan dikirimkan melalui pos. Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) akan melihat tanda stempel pos pengiriman Surat Banding/Gugatan, bukan tanggal diterimanya Surat Banding/Gugatan yang dikirimkan tersebut di Sekretariat Pengadilan Pajak.
           
 
 
 
 
f)
Dalam bukti tanda terima surat kilat khusus dari Pos Indonesia yang dimiliki oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terdapat informasi mengenai tanggal dikirimkannya seluruh Surat Keputusan Keberatan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berikut jam/waktu pengirimannya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pada saat menerima seluruh keputusan keberatan yang diajukan banding, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah mengetahui secara pasti/tidak terdapat keragu-raguan mengenai tanggal dikirimkannya seluruh Surat Keputusan Keberatan tersebut oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding).
           
 
 
 
 
g)
Berdasarkan hal tersebut maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan tidak sependapat dengan Majelis yang menyatakan bahwa "simpulan Terbanding tersebut tidak tepat, dikarenakan hanya didasarkan pada interpretasi secara harfiah terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 dan angka 12 UU PP, tanpa memperhatikan substansi materinya secara utuh, dan tanpa memperhatikan bahkan mengabaikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 Ayat (2) UU Pengadilan Pajak". Perlu ditegaskan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) selalu memperhatikan dan mempertimbangkan semua ketentuan perpajakan yang terkait karena argumentasi yang dikemukakan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) bahwa tanggal diterima adalah tanggal dikirim, oleh karena itu batas waktu pengajuan banding oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) ke Pengadilan Pajak adalah 3 (tiga) bulan sejak tanggal Keputusan Keberatan dikirimkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) kepada PT. Pos Indonesia atau Perusahaan Jasa Pengiriman lainnya adalah tepat karena telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU Pengadilan Pajak jo. Pasal 1 angka 41 UU KUP jo. Pasal 27 ayat (3) UU KUP jo. Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
           
 
 
 
 
h)
Disamping itu Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) juga menyatakan tidak sependapat dengan Majelis yang menyatakan bahwa pengajuan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memenuhi ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak. Pendapat Majelis pada putusan Pengadilan Pajak hal. 78 yang menyatakan bahwa:
 
"ketentuan Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 12 UU PP harus dimaknai bahwa yang dimaksud dengan tanggal stempel pos pengiriman adalah tanggal pada saat PT. Pos Indonesia atau Perusahaan Jasa Pengiriman lainnya menyerahkan dokumen kepada yang dituju (penerima) sebagaimana yang terdapat pada bukti penerimaan" adalah merupakan penafsiran bebas yang dilakukan oleh Majelis tanpa dasar yang jelas dan bertentangan dengan bunyi Undang-Undang itu sendiri. Perlu ditegaskan bahwa suatu ketentuan yang sudah diatur dengan jelas dan tegas tidak memerlukan adanya penafsiran lebih lanjut (asas lex scripta lex stricta) sehingga setiap individu tidak dapat memberikan penafsiran lain daripada yang sudah diatur dalam ketentuan tertulis tersebut.
 
 
 
 
 
           
 
 
 
 
i)
Lebih lanjut sebagai bahan pertimbangan disampaikan adanya Putusan Pengadilan Pajak atas sengketa pajak sejenis yaitu yang menyangkut pemenuhan ketentuan formal jangka waktu pengajuan Banding/Gugatan sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
j)
Dalam putusan Pengadilan Pajak tersebut dinyatakan bahwa seluruh Putusan tersebut menghitung jangka pemenuhan ketentuan formal pengajuan Banding/Gugatan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (3) UU Pengadilan pajak sejak surat keputusan dikirimkan oleh Terbanding/Tergugat (bukti stempel pos pengiriman), bukan sejak keputusan diterima oleh Pemohon Banding/Penggugat.
           
 
 
 
 
k)
Sebagai tambahan informasi bahwa atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT-31450/PP/M.XI/16/2011 diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung oleh pihak Pemohon Banding/Pemohon Peninjauan Kembali dan telah dikeluarkan Putusan Nomor: 568/C/PK/PJK/2012 tanggal 10 Desember 2012 yang amar putusannya adalah menolak permohonan peninjauan kembali dari pihak Pemohon Peninjauan Kembali.
           
 
 
 
 
l)
Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak antara lain diatur bahwa "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim".
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Dengan demikian maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa putusan Majelis yang menyatakan bahwa surat banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)memenuhi persyaratan formal pengajuan banding adalah tidak tepat karena tidak sesuai dengan fakta persidangan maupun ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa atas sengketa formal pengajuan banding diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
B.
Koreksi DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp2.531.113.791,00;
 
 
1.
Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa a quo ini antara lain berbunyi sebagai berikut: Berdasarkan Pasal III.2 Exhibit C dari kontrak PSC Blok Rokan antara Pertamina (sekarang SKKMIGAS) dan PT Caltex Pacific Indonesia (sekarang PT Chevron Pacific Indonesia) yang ditandatangani pada tanggal 15 Oktober 1992 dan telah disetujui oleh Menteri Pertambangan dan Energi pada tanggal 15 Oktober 1992, antara lain dinyatakan overhead allocation merupakan biaya operasi yang dapat di-recovery-kan sebagaimana ketentuan sebagai berikut:
 
 
 
"2.
Overhead Allocation
 
 
 
 
General and Administrative cost, other than direct charges, allocable to this operation should be determined by a detailed study, and the method determined by such study shall be applied each Year consistently. The method selected must be approved by PERTAMINA, and such approval can be reviewed periodically by PERTAMINA and the CONTRACTOR.
 
Berdasarkan ketentuan tersebut, pengertian Overhead Allocation adalah biaya administrasi dan umum, selain biaya langsung, yang dapat dialokasikan pada operasi ini (production sharing) harus didasarkan pada study yang rinci, dan metode yang ditetapkan berdasarkan hasil study tersebut harus diterapkan secara konsisten setiap tahun. Metode yang dipilih harus disetujui oleh Pertamina (Pemerintah) dan persetujuan tersebut dapat direview oleh Pertamina dan Kontraktor secara periodik.
 
Berdasarkan uraian tersebut Majelis berpendapat bahwa overhead allocation bukan merupakan biaya langsung yang dapat diidentifikasi per transaksi maupun nilai besaran suatu transaksi, tetapi merupakan pengalokasian biaya dari berbagai transaksi biaya administrasi dan umum yang terjadi di kantor pusat, yang dialokasikan pada seluruh anak perusahaannya berdasarkan metode tertentu.
 
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon Banding, Majelis berpendapat Overhead Allocation bukan merupakan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan yang secara langsung diberikan oleh kantor pusat kepada Pemohon Banding, tetapi merupakan alokasi biaya administrasi dan umum, yang pengalokasiannya didasarkan pada kontrak perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon Banding, oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa Overhead Allocation bukan merupakan obyek PPh Pasal 26 sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 Ayat (1) UU PPh.
 
Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor: S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998, antara lain dinyatakan:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
1)
Terhadap overhead, technical services dan biaya yang timbul dari Kantor Pusat dalam rangka memenuhi kewajiban kontraktor production sharing dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
 
 
 
 
2)
Pajak sebagaimana dijelaskan pada butir (1) di atas ditanggung oleh Pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Berdasarkan Surat Menteri Keuangan a quo, dinyatakan bahwa overhead yang timbul dari kantor pusat dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perUndang-Undang yang berlaku, yang dalam hal sengketa ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU PPh).
 
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pengalokasian Biaya Overhead dari kantor pusat ke Pemohon Banding bukan merupakan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan yang secara langsung diberikan oleh kantor pusat kepada Pemohon Banding, sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 Ayat (1) UU PPh. Dengan demikian pengalokasian biaya overhead dari kantor pusat kepada Pemohon Banding bukan merupakan Obyek PPh Pasal 26, sehingga tidak ada kewajiban bagi Pemohon Banding untuk memungut PPh Pasal 26.
 
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis berkesimpulan bahwa koreksi Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 26 sebesar Rp2.531.113.791,00 harus dibatalkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa dasar hukum terkait sengketa ini adalah sebagai berikut:
 
 
 
2.1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), mengatur antara lain:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 26 ayat (1):
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Dividen;
 
 
 
 
b.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
 
 
 
 
c.
Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 
 
 
 
d.
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
 
 
 
 
e.
Hadiah dan penghargaan;
 
 
 
 
f.
Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
 
 
 
 
g.
Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
 
 
 
 
h.
Keuntungan karena pembebasan utang.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.2.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan antara lain:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 7 ayat (1):
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
a.
UUD Negara RI Tahun 1945;
 
 
 
 
b.
Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
 
 
 
 
c.
Peraturan Pemerintah;
 
 
 
 
d.
Peraturan Presiden;
 
 
 
 
e.
Peraturan Daerah;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 7 ayat (4):
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
 
Pasal 7 ayat (5):
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.3.
Peraturan Pemerintah 138 Tahun 2000 menyatakan antara lain:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 8 ayat (4):
Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan fakta-fakta yang nyata-nyata terungkap pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat keberatan dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan di atas dengan alasan sebagai berikut:
 
 
 
3.1.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan koreksi DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp2.531.113.791,00 atas pembayaran biaya overhead yang belum dipotong PPh Pasal 26 oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
         
 
 
 
3.2.
Dalam proses penelitian keberatan, koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tetap dipertahankan dengan pertimbangan sebagai berikut:
 
Terkait dengan alasan dalam surat Permohonan Banding yang menyatakan bahwa alokasi biaya tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 26, Tim Peneliti berpendapat sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Dalam Pasal 26 UU PPh maupun penjelasannya diketahui bahwa untuk setiap penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau yang terutang Subjek Pajak Dalam Negeri kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT wajib dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan. Hal ini menegaskan bahwa bentuk pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dalam bentuk alokasi, selama hal tersebut menjadi tambahan penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menerimanya.
 
 
 
 
b.
Berdasarkan Point 1 Surat Keberatan yang diajukan, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menyebutkan bahwa Overhead Allocation tersebut merupakan hak yang telah diberikan oleh PSC kepada PT CPI. Menurut Tim Peneliti, overhead Allocation tersebut memang diperbolehkan dan menjadi hak bagi kontraktor, namun demikian hal tersebut tidak serta merta menghapus kewajiban perpajakannya sehingga atas alokasi biaya tersebut tetap diberlakukan pengenaan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 
 
 
 
c.
Berdasarkan Point 2 Surat Keberatan yang diajukan, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menyebutkan bahwa Overhead Allocation bukanlah termasuk ke dalam pengertian jasa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 UU PPh tanpa memberikan alasan yang jelas dan dokumen pendukung lain untuk membuktikan hal tersebut bahwa pembayaran yang dilakukan oleh PT CPI tidak ada unsur manfaat yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga dalam hal ini, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tetap berpegang dalam uraian di dalam Pasal 26 UU PPh dimana penghasilan yang dikenakan adalah dengan nama dan bentuk apapun termasuk imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
 
 
 
 
d.
Di dalam keterangan tertulis sebagaimana disampaikan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagai pemenuhan permintaan data dan dokumen dari Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), Wajib Pajak menjelaskan bahwa alokasi biaya yang dibayarkan Wajib Pajak kepada Chevron Overseas Services Ltd. merupakan alokasi biaya umum dan administrasi (overhead) berkaitan dengan pengurusan board dan lodging karyawan CPI di Singapura dalam rangka training, medical treatment, pengurusan keimigrasian karyawan CPI di Singapura, pengurusan ground handling pesawat perusahaan di Singapura.
 
 
 
 
e.
Dari penjelasan Wajib Pajak tersebut, tim peneliti berpendapat bahwa Wajib Pajak (CPI) menerima manfaat atas pembayaran/alokasi overhead berupa jasa/services yang diberikan Wajib Pajak Luar Negeri (Chevron Overseas Services). Sehingga hal tersebut telah memenuhi kriteria sebagai penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan PPh sebagaimana diatur di dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sehubungan dengan alasan Wajib Pajak terkait Surat Menteri Keuangan Nomor: S-604/MK.017/1998 tanggal 24 Nopember 1998 perihal Masalah Pajak Atas Technical Services dan Biaya Overhead Kontrak Production Sharing, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat sebagai berikut:
 
 
 
 
a.
Berdasarkan isi surat tersebut ditegaskan bahwa terhadap overhead, technical services dan biaya yang timbul dari Kantor Pusat dalam rangka memenuhi kewajiban kontrak production sharing dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pajak tersebut ditanggung oleh Pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.
 
 
 
 
b.
Pemberian fasilitas Ditanggung Pemerintah atas PPh terutang sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas tidak diatur dalam ketentuan pemberian fasilitas yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Dengan demikian, mekanisme pemberian fasilitas tidak berlaku secara otomatis namun pelaksanaanya dilakukan perhitungan sendiri oleh Direktorat terkait (dahulu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan).
 
 
 
 
c.
Karena Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampai dengan laporan penelitian dibuat tidak mendapatkan rincian data dari Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (Direktorat Anggaran) terkait dengan perhitungan PPh Ditanggung Pemerintah tersebut maka Peneliti tetap mempertahankan koreksi Pemeriksa atas koreksi DPP PPh Pasal 26.
 
 
 
 
d.
Selain itu, sesuai dengan tata urutan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu (tahun 2006) yaitu UU no 10 tahun 2004 Tentang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, Surat Menteri Keuangan bukan merupakan dasar hukum tetap karena keputusan tersebut diambil oleh Pemerintah pada saat itu sehingga selama belum ada aturan lain maupun aturan turunan yang mengatur lebih detail tentang hal tersebut, maka Surat tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam memutuskan sengketa pajak.
 
 
 
 
e.
Berdasarkan uraian di atas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa alasan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tentang pembebasan PPh Pasal 26 berdasarkan S-604 tidak dapat diterima sehingga Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tetap mempertahankan koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sedangkan terkait penggunaan P3B/Tax treaty atas Overhead Allocation tersebut, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak menjelaskan hal tersebut sebagai alasan di dalam Surat Keberatannya maupun dalam surat bandingnya, serta sampai dengan Laporan penelitian dibuat, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak melampirkan/menyampaikan Surat Keterangan Domisili/COD dari Perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu Tim Peneliti pada saat proses keberatan tidak melakukan penelitian atas hal tersebut dan tetap mempertahankan koreksi yang dilakukan Pemeriksa.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.3.
Secara umum jenis usaha Wajib Pajak adalah menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Bagi Hasil. Hal ini juga sesuai dengan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar yang diterbitkan oleh KPP Minyak dan Gas Bumi. Sesuai dengan PSC Rokan blok bahwa PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang mempunyai tugas untuk melakukan eksplorasi, pengembangan dan produksi minyak dan gas pada wilayah kerja yang diberikan. Sebagai perusahaan KKKS, minyak dan gas, PT CPI menghasilkan minyak bumi (crude oil).
 
Landasan hukum berdirinya Kontrak Bagi Hasil adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 ("UU Nomor 8/1971") tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ("Pertamina"). Pasal 12 UU No 8/1971 menyatakan bahwa Pertamina dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil. Dalam hal ini, Kontrak Bagi Hasil Rokan telah ditandatangani pada 15 Oktober 1992 dan telah disetujui oleh Menteri Energi dan Pertambangan pada tanggal 15 Oktober 1992. Sesuai dengan Pasal 111.2 Exhibit C dari kontrak PSC Blok Rokan antara Pertamina (sekarang SKK Migas) dan PT Caltex Pacific Indonesia (sekarang PT Chevron Pacific Indonesia) overhead allocation merupakan biaya operasi yang dapat di-cost recovery-kan.
 
Dalam UU Nomor 8/1971 disebutkan bahwa Pertamina adalah satu-satunya Perusahaan Negara atau Wakil Pemerintah yang telah ditugaskan untuk menampung dan melaksanakan semua kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Untuk itu, penerbitan Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 adalah berdasarkan permohonan Pertamina sebagai Wakil Pemerintah kepada Menteri Keuangan melalui Surat Nomor 688/C0000/98-S4 yang pada intinya meminta Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan dari pajak bagi KPS dan juga menyamakan pengertian bahwa induk perusahaan tetap sebagai kantor pusat. Dimana overhead, technical services dan biaya yang timbul dari kantor pusat sebagai kewajiban KPS diperlakukan sebagai alokasi at cost yang tidak dikenakan pajak.
 
Berdasarkan Rapat di Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) 26 November 2009 yang dihadiri Direktorat PNBP, Ditjen Anggaran, Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak, KPP WP Besar Satu, Kantor Pengendalian Keuangan BP Migas dan Kantor Perwakilan BPKP DKI Jakarta II yang membahas Penyelesaian Pajak Terutang (PPh Pasal 26 dan PPN) atas transaksi Technical services dan Biaya Overhead dari Kantor Pusat KKKS Migas diambil kesimpulan untuk diusulkan agar S-604 tersebut dicabut dan akan ditindaklanjuti dengan mekanisme perpajakan atas transaksi ini.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.4.
Berdasarkan ketentuan, fakta serta data-data diatas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
 
 
 
 
a.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat biaya overhead atau overhead allocation yang kepada Chevron Overseas Services sebesar Rp2.531.113.791,00. Mekanisme Overhead Allocation adalah Parent company membukukan biaya overhead yang terjadi di Parent Company. Biaya tersebut kemudian dialokasikan ke masing-masing legal entity termasuk PT CPI dan ditagih melalui invoice yang dikirimkan melalui email. PT CPI melakukan review atas tagihan tersebut dan melakukan settlement. PT CPI membukukan biaya overhead allocation tersebut ke biaya overhead allocation.
 
 
 
 
b.
Pihak yang menerima manfaat atas overhead allocation adalah PT CPI. PT CPI menerima manfaat atas pengelolaan yang dilakukan oleh Kantor Pusat dalam rangka menunjang operasi migas di Indonesia. Biaya pengelolaan yang timbul dimaksud sesuai dengan Kontrak Bagi Hasil Rokan diperkenankan menjadi biaya operasional bagi PT CPI dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
 
 
 
 
c.
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa pembebanan biaya overhead allocation tersebut merupakan pembebanan jasa yang dilakukan di luar negeri dan dimanfaatkan di wilayah pabean Indonesia, maka atas transaksi tersebut terutang PPh Pasal 26
 
 
 
 
d.
Sehubungan dengan alasan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang menyatakan bahwa biaya overhead sebesar Rp2.531.113.791,00 adalah merupakan overhead allocation dari Kantor Pusat sehingga menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak ada jasa yang diberikan Kantor Pusat kepada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa alasan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tersebut adalah tidak tepat karena berdasarkan pemeriksaan terhadap SPT Tahunan PPh Badan tidak terdapat penyesuaian fiskal positif terhadap overhead allocation yang dibebankan dalam SPT Tahunan PPh Badan padahal apabila biaya overhead tersebut hanya merupakan overhead allocation dari Kantor Pusat maka overhead allocation tersebut hanya boleh dibebankan oleh Bentuk Usaha Tetap (BUT) sedangkan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah anak perusahaan dan bukan BUT dari Kantor Pusat. Bahwa sebagai anak perusahaan maka Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah suatu entitas tersendiri dan tidak menjadi satu dengan induk perusahaan sehingga biaya yang dapat dibebankan adalah biaya yang benar-benar dikeluarkannya sendiri dan tidak boleh ada biaya kantor pusat yang ditanggung anak perusahaan. Mengingat induk perusahaan adalah entitas yang terpisah dari anak perusahaan maka biaya kantor pusat/induk perusahaan hanya dapat dibebankan sendiri oleh induk perusahaan. Bahwa dengan tidak adanya penyesuaian fiskal atas biaya overhead maka dapat disimpulkan bahwa memang terdapat suatu fasilitas atau kemudahan yang diberikan induk perusahaan kepada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagai anak perusahaan sehingga Kantor Pusat/Induk Perusahaan dapat menagih fasilitas atau kemudahan tersebut kepada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding). Bahwa fasilitas atau kemudahan yang diberikan kantor pusat kepada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagai anak perusahaan merupakan jasa sehingga pertimbangan Majelis yang menyatakan bahwa Overhead Allocation tersebut bukan merupakan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan adalah tidak tidak benar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 
 
 
 
e.
Sehubungan dengan putusan banding Nomor: PUT-40784/PP/M.I/13/2012 serta alasan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang menyatakan bahwa apabila atas biaya overhead allocation dari kantor pusat terdapat pajak yang terhutang maka pajak tersebut ditanggung pemerintah sehingga tidak dapat dibebankan kepada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagaimana diatur dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK017/1998 tanggal 24 November 1998, dengan ini Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan Bahwa pertimbangan Majelis tersebut adalah tidak tepat dengan alasan sebagai berikut:
 
 
 
 
 
1)
Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK017/1998 tanggal 24 November 1998 yang menjadi salah satu pertimbangan Majelis dalam memutus sengketa banding, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
"Sehubungan dengan Surat Saudara Nomor 688/C0000/98-S4 tanggal 18 Juni 1998 dan No 1120/C0000/98-S4 tanggal 11 September 1998 perihal perpajakan kontrak production sharing, dengan ini disampaikan sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
(1)
Terhadap overhead, technical services dan biaya yang timbul dari Kantor Pusat dalam rangka memenuhi kewajiban kontrak production sharing dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
(2)
Pajak sebagaimana dijelaskan pada butir (1) diatas ditanggung oleh Pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Berkenaan dengan hal-hal tersebut diatas diminta bantuan Saudara agar para kontraktor production sharing menyampaikan bahan-bahan serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pengenaan pajak tersebut di atas kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2)
Majelis hanya mempertimbangkan ayat (2) tanpa melihat kembali keseluruhan isi surat dimana dalam Surat tersebut telah jelas disampaikan bahwa biaya overhead dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU Perpajakan. Bahwa faktanya, dalam UU PPN dan peraturan pelaksanaanya tidak terdapat ketentuan yang mengatur bahwa pajak atas biaya-biaya yang disengketakan ditanggung pemerintah;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3)
Namun demikian, Menteri Keuangan selanjutnya menyatakan bahwa pajak atas overhead, technical services dan biaya yang timbul dari Kantor Pusat dalam rangka memenuhi kewajiban kontrak production sharing ditanggung pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (sekarang DJA) dan bukan oleh Direktorat Jenderal Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4)
Berdasarkan fakta bahwa Objek yang disengketakan berupa Biaya Overhead yang merupakan objek PPh Pasal 26 sehingga berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor: 604/MK.017/1998 tersebut maka mekanisme pajak ditanggung pemerintah tidak melalui mekanisme penerapan ketentuan perpajakan, melainkan melalui mekanisme lain yang akan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (sekarang DJA).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean tetap dikenakan atas pemanfaatan jasa overhead dari Chevron USA Inc. oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 dan 6, dan Pasal 4 huruf e UU PPN sedangkan mekanisme PPN ditanggung Pemerintah akan diberikan melalui mekanisme lainnya atau melalui reimburse;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
6)
Mekanisme reimburse ini diperkuat oleh adanya Rokan Production Sharing Contract antara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PT Pertamina) dan PT Caltex Pacific Indonesia tanggal 15 Oktober 1992 pada Section XIII Other Provisions angka 2. Laws and Regulations, yang antara lain mengatur bahwa:
 
 
 
 
 
 
2.1
The laws of the Republic of Indonesia shall apply to this Contract, dan
Section IV Rights and Obligations of the Parties:
CONTRACTOR shall
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
(b)
furnish all technical aid, including foreign personnel, required for the performance of the Work Program, payment whereof requires Foreign Exchange;
 
 
 
 
 
 
 
(c)
furnish such other Funds for the performance of the Work Program that required payment in Foreign Exchange, including payment to foreign third parties who perform services as a contract,
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan PSC tersebut maka pihak yang terlibat dalam perjanjian harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;
 
bahkan berdasarkan PSC tersebut maka kewajiban kontraktor dalam hal ini PT Chevron Pacific Indonesia adalah membayarkan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang terjadi kemudian PERTAMINA berkewajiban untuk mengembalikan/mereimburse biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh PT CPI paling lambat selama 60 hari (kewajiban PERTAMINA Section IV Rights and Obligations of the Parties 1.3 huruf b);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
7)
Pernyataan bahwa Biaya-biaya Overhead dapat di reimburse juga sesuai dengan Surat Pertamina Nomor: S-1120/C0000/98-S4 tanggal 11 September 1998 yang ditujukan kepada Menteri Keuangan, pada angka (3) yang menyatakan pengenaan PPN atas objek pajak butir (1) sesuai dengan kontrak akan di reimburse (diganti) oleh Pertamina/Pemerintah sedangkan PPh Pasal 23 dalam pembebanannya ke operating cost KPS akan mengalokasikan Overhead dan Technical Services tidak atas dasar cost, sehingga selanjutnya KPS tidak menanggung beban;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
8)
Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tanggal 14 Oktober 2004, Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) antara lain diatur bahwa Biaya Pengeluaran, Biaya Investasi dan Operasi dari Kontrak Bagi Hasil wajib mendapatkan persetujuan Badan Pelaksana dan Pengembalian biaya tersebut disetujui oleh Badan Pelaksana. Artinya bahwa biaya tersebut akan dibayarkan/dibebankan terlebih dahulu oleh kontraktor, kemudian atas biaya itu akan dikembalikan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
9)
Dengan demikian terbukti bahwa mekanisme reimburse atas pajak yang ditanggung Pemerintah telah diatur dalam aturan pelaksanaan sebagaimana disampaikan di atas;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
10)
Terkait dengan Surat Menteri Keuangan yang dijadikan pertimbangan Majelis dalam memutus sengketa banding maka dapat disampaikan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1), (4) dan (5), yang antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
(1)
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
a.
UUD Negara RI Tahun 1945;
 
 
 
 
 
 
 
b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
 
 
 
 
 
 
 
c.
Peraturan Pemerintah;
 
 
 
 
 
 
 
d.
Peraturan Presiden;
 
 
 
 
 
 
 
e.
Peraturan Daerah;
 
 
 
 
 
 
(4)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi"
 
 
 
 
 
 
(5)
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
11)
Dengan ini disampaikan bahwa bahwa Surat Menteri Keuangan tersebut harus dilihat posisinya sebagai jawaban atas permasalahan yang disampaikan Pertamina bukan dijadikan sebagai satu-satunya pertimbangan untuk memutus sengketa karena Surat Menteri Keuangan tidak termasuk dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004. Bahwa faktanya, Majelis dalam mempertimbangkan Surat Menteri Keuangan tersebut juga tidak mempertimbangkan keseluruhan isi dari Surat tersebut namun hanya mengambil bagian penjelasan bahwa pajak yang terutang ditanggung pemerintah, padahal pada ayat (1) secara jelas telah disampaikan bahwa biaya overhead dan biaya lain-lain akan dikenakan Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu ketentuan UU Perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.5.
Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak antara lain diatur bahwa "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim".
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.6.
Bahwa dengan demikian maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa putusan Majelis untuk tidak mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak tepat karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa atas DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp2.531.113.791,00 diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.64476/PP/M.IB/13/2015 tanggal 7 Oktober 2015 harus dibatalkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
V.
Bahwa dengan demikian, Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor PUT.64504/PP/M.XB/15/2015 tanggal 7 Oktober 2015 yang menyatakan:
 
Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak November 2009 Nomor: 00001/204/09/081/13 tanggal 23 Januari 2013, atas nama: PT Chevron Pacific Indonesia, NPWP 01.308.508.9-081.000, Alamat: Gedung Sentral Senayan I Lantai 11, Jalan Asia Afrika Nomor 8, Jakarta, 10270, sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebagaimana perhitungan tersebut di atas,
 
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
 
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-745/WPJ.07/2014 tanggal 15 April 2014 mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPLB) Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak November 2009 Nomor: 00001/204/09/081/13 tanggal 23 Januari 2013 atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.308.508.9-081.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Nihil adalah sudah tepat dan benar, dengan pertimbangan:
a.
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu alasan butir A tentang Sengketa pemenuhan persyaratan formal pengajuan banding dan alasan butir B tentang Koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar Rp2.531.113.791,00; tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo berupa butir A telah memenuhi syarat banding Pemohon Banding, sedangkan butir B berdasarkan ketentuan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon Banding Overhead Allocation bukan merupakan imbalan jasa dan bukan merupakan obyek pajak Pajak Penghasilan Pasal 26, dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b.
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
 
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini;
 
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
 
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
 
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2016 oleh H. Yulius, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. dan Is Sudaryono, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Agus Budi Susilo, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
ttd.
Is Sudaryono, S.H., M.H.
Ketua Majelis
ttd.
H. Yulius, S.H., M.H.
 
 
 
Panitera Pengganti
ttd.
Agus Budi Susilo, S.H., M.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

1588/B/PK/PJK/2016