Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
1175/B/PK/PJK/2016


DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
 
 
 
 
 
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta 12190, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
1.
Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
2.
Budi Christiadi, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan Banding;
3.
Farchan Ilyas, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
4.
Ari Murti, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
 
 
 
 
 
 
 
Kesemuanya berkantor di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta 12190, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-294/PJ/2015 tanggal 30 Januari 2015;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai  Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 
 
 
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
 
 
 
PT. COSMO POLYURETHANE INDONESIA, beralamat di Wisma Keiai Lantai 17, Jalan Jenderal Sudirman Kav.3, Jakarta 10220, diwakili oleh Emil Unaja selaku Direktur;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;
 
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
 
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.56386/PP/M.IA/15/2014, Tanggal 27 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
 
 
 
Menurut Terbanding
A.
Proses Pemeriksaan Pajak
 
Bahwa Pemeriksa melakukan koreksi biaya royalty sebesar USD249.304 dengan alasan sebagai berikut:
 
a.
Biaya Royalty sebesar USD249.304 karena merupakan Intra Group Service, di mana suatu kondisi R&D yang dimiliki Pemohon Banding tidak memungkinkan untuk menghasilkan formula yang diinginkan konsumen sehingga R&D dilakukan oleh induk. Pada saat aplikasi di lapangan, induk juga mendatangkan tenaga ahlinya. Menurut Pemeriksa biaya ini seharusnya termasuk jasa teknik;
 
b.
Pemohon Banding berdiri sejak tanggal 29 Februari 1996 dan belum ada pembayaran royalty atas penjualan resin premix. Berdasarkan laporan audit 2010, diketahui bahwa pembayaran royalty didasarkan pada adanya Technology License and Technical Services Agreement (Lampiran-3) sejak 2002 yang berlaku selama 10 tahun sejak penjualan pertama atas penjualan pertama tersebut. Perjanjian ini telah mengalami beberapa kali perubahan terakhir tanggal 1 Januari 2009. Dalam amandemen terakhir ini disebutkan daftar pelanggan yang atas penjualannya dikenakan royalty. Penjualan terhadap beberapa pelanggan ini dikenakan royalty sehubungan dengan permintaan untuk memproduksi produk resin premix dengan varian khusus yang tidak bisa dikembangkan oleh research and development yang dimiliki Pemohon Banding. Pemohon Banding kemudian meminta Mitsui Chemical Inc (MCI) untuk membuatkan formula atas permintaan pelanggan tersebut. Setelah formula tersebut diproduksi Pemohon Banding, aplikasi produk tersebut dan apabila ada masalah dalam aplikasinya di tempat konsumen maka tenaga ahli dari MCI yang akan menyelesaikannya. Pemeriksa telah meminta surat perjanjian kerjasama dalam pembuatan formula tersebut, tetapi tidak ada. Dengan kondisi diatas, Pemeriksa menilai bahwa transaksi tersebut masuk dalam kategori Intra Group Services.;
 
c.
Berdasarkan OECD Guidelines Pasal 7.29, nilai service yang diberikan oleh induk harus diketahui nilainya, sedangkan Pemohon Banding belum memberikan dokumen perincian biaya R&D untuk formula tersebut;
 
 
 
 
 
 
 
B.
Proses Keberatan Pajak
 
a.
Bahwa Terbanding melakukan pengujian untuk menilai kewajaran biaya royalty yang telah dibebankan oleh Pemohon Banding;
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
Terbanding melakukan analisis kesebandingan menggunakan 8 perusahaan pembanding dengan menerapkan metode TNNM (Transactional Net Margin Method) untuk menentukan kewajaran transaksi (arm's length);
 
 
 
 
 
 
 
 
d.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh Q1,Q2, dan Q3 rata-rata tertimbang Return on Sales laporan perusahaan pembanding selama 4 tahun adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
e.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemohon Banding diketahui Return on Sales menurut Pemohon Banding dan menurut Pemeriksa adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
f.
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perhitungan net profit margin Pemohon Banding berdasarkan metode TNNM Return on Sales menurut Pemohon Banding adalah sebesar 3,17%. Angka tersebut berada di luar rentang laba wajar (the arm's length range), sedangkan penghitungan net profit margin Pemohon Banding setelah dikoreksi Pemeriksa menurut penghitungan Terbanding dengan metode yang sama yaitu TNNM menunjukkan rasio sebesar 4,31% berada dalam inter quartile (rentang laba wajar).
 
 
 
 
 
 
 
Menurut Pemohon Banding
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding (baik Pemeriksa maupun Peneliti) atas koreksi biaya Royalti sebesar USD249.304 dan mengajukan banding atas koreksi tersebut dengan alasan dan penjelasan sebagai berikut:
1.
Latar Belakang Kegiatan Usaha
 
a.
Pemohon Banding adalah perusahaan yang memproduksi resin-premix yang merupakan bahan pembuat foam yang digunakan untuk industri lemari es atau otomotif;
 
b.
Resin — Premix tersebut Pemohon Banding jual sebagai satu paket dengan Isocyanate, baik secara langsung ataupun tidak langsung kepada pelanggan-pelanggan Pemohon Banding yang merupakan pabrikan lemari es atau otomotif;
 
c.
Oleh pelanggan Pemohon Banding, kedua produk tersebut dicampurkan ke dalam injection mechine untuk dibentuk menjadi foam;
 
d.
Untuk membuat suatu varian produk f, dibutuhkan formula yang spesifik yang akan berbeda antara satu produk dan produk lainnya;
 
e.
Formula tersebut ditemukan melalui kegiatan research & development oleh Mitsui Chemicals Inc (MCI) yang dahulu bernama Mitsui Toatsu Chemicals Inc (MTC). CPI melakukan perjanjian Technology License and Technical Service Agreement dengan MCI dimana Pemohon Banding diberikan hak untuk dapat menggunakan formula yang dimiliki oleh MCI untuk memproduksi suatu produk;
 
f.
Apabila diperlukan, tenaga ahli dari MCI akan datang untuk memberikan bantuan dalam penerapan formula tersebut;
2.
Jenis Transaksi
 
Bahwa dalam mendefinisikan jenis transaksi antara Pemohon Banding dengan MCI, Pemohon Banding merujuk pada ketentuan yang ada sebagai berikut:
 
a.
Technology License and Technical Service Agreement
 
 
Bahwa Pemohon Banding memiliki perjanjian dengan MCI (dahulu MTC) yang tertuang dalam Technology License and Service Agreement. Dalam perjanjian tersebut tertuang beberapa hal yang disepakati kedua belah pihak diantaranya:
 
 
● 
Article 2. Grant
 
 
 
Bahwa MCI akan memberikan CPI lisensi untuk menggunakan informasi untuk membuat polyurethane dan menggabungkan isocyanate ke dalamnya.
 
 
Article 5. Royalty
 
 
 
Bahwa atas informasi yang diberikan oleh MCI, CPI akan membayar royalty sebesar 3% dari penjualan bersih;
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Undang-Undang Pajak Penghasilan
 
 
Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 4 huruf h angka 1, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) No. 36/2008, pengertian royalti adalah sebagai berikut:
 
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
 
 
 
 
1.
Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
 
 
2.
Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
 
 
3.
pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial; 
 
 
 
(dst.)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 4 huruf h angka 1 tersebut, informasi yang diserahkan oleh MCI kepada Pemohon Banding termasuk dalam pengertian royalty;
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
P3B antara Indonesia dengan Jepang
 
 
Bahwa kemudian definisi royalti berdasarkan pasal 12 ayat 3 P3B antara Indonesia dengan Jepang, adalah:
"The term "royalties" as used in this Article means payments of any kind received as a consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph films and films or tapes for radio or television broadcasting, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for the use of, or the right to use, industrial, commercial or scientific equipment, or for information concerning industrial, commercial or scientific experience."
 
bahwa untuk memahami maksud dari "... for information concerning industrial ..." dalam Article 12 mengenai Royalty P3B tersebut, Pemohon Banding merujuk pada OECD Commentaries on The Articles of The Model Tax Convention ("OECD Commentaries"). Adapun paragraph 11 OECD Commentaries mengenai Royalty menyebutkan sebagai berikut:
"In classifying as royalties payments received as consideration for information concerning industrial, commercial or scientific experience, paragraph 2 is referring to the concept of "know-how". Various specialist bodies and authors have formulated definitions of know-how. The words "payments ... for information concerning industrial, commercial or scientific experience" are used in the context of the transfer of certain information that has not been patented and does not generally fall within other categories of intellectual property rights…”
 
Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut, yang dimaksud dengan "...information concerning industrial..." adalah "know-how" yang belum dipatenkan. Dalam konteks P3B antara Indonesia-Jepang, pembayaran atas know-how juga termasuk dalam pengertian royalty;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
d.
OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations
 
 
Bahwa dalam Butir 6.3 dalam OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations mengenai intangible asset menyebutkan bahwa:
"Commercial intangibles include patents, know-how, designs, and models that are used for the production of a good or the provision of a service, as well as intangible rights that are themselves business assets transferred to customers or used in the operation of business";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
e.
Sejalan dengan latar belakang bisnis CPI dan beberapa definisi diatas, dapat ditarik suatu benang merah mengenai definisi royalti itu sendiri, yaitu pembayaran yang timbul akibat penggunaan suatu hak untuk menggunakan formula atau proses rahasia yang dimiliki oleh MCI;
 
 
 
 
 
 
 
3.
Rekarakterisasi Biaya Royalty menjadi Jasa
 
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding (baik Pemeriksa maupun Peneliti) yang menyatakan bahwa biaya royalti tersebut merupakan jasa teknik dan merupakan bagian dari Intra Group Service;
 
a.
Sesuai dengan penjelasan pada butir 1 dan 2 di atas, bahwa yang Pemohon Banding bayarkan terhadap MCI murni merupakan hak atas penggunaan formula untuk Pemohon Banding aplikasikan dalam proses produksi Resin-Premix. Bahwa Pemohon Banding tidak meminta MCI untuk melakukan pekerjaan atau pemberian jasa untuk membuat suatu formula spesifik. Yang terjadi adalah Pemohon Banding menggunakan formula yang sebenarnya masih dimiliki oleh MCI yang dapat diaplikasikan untuk membuat suatu spesifik produk seperti yang diinginkan oleh konsumen. Formula tersebut merupakan intangible asset milik MCI yang atas hak pemakaian yang diberikan kepada Pemohon Banding terutang biaya royalti;
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Kemudian apabila terdapat masalah dalam penerapan teknologi MCI oleh Pemohon Banding, teknisi MCI akan datang untuk membantu menyelesaikan masalah. Hal ini dibebankan secara terpisah melalui technical fee, hal ini telah Pemohon Banding jelaskan secara terpisah selama proses pemeriksaan, sehingga pemberian bantuan oleh teknisi MCI terhadap Pemohon Banding tidak ada kaitannya dengan biaya penggunaan formula Pemohon Banding (royalti);
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
Pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa biaya tersebut merupakan biaya Jasa Teknik adalah tidak tepat. Sehingga penggunaan pasal 7.29 dalam OECD Guidline yang mengharuskan Pemohon Banding untuk membuktikan biaya yang dikeluarkan oleh MCI dalam mengembangkan formula tersebut sangat tidak relevan. Dalam konteks perjanjian penggunaan intangible assets dengan kompensasi berupa pembayaran royalty, balk dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa maupun dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa, adalah sangat tidak lazim apabila Pemohon Banding diminta untuk mengetahui biaya pengembangan yang telah dikeluarkan sehubungan dengan pengembangan aset tersebut;
 
bahwa MCI adalah Wajib Pajak luar negeri, sedangkan Pemohon Banding adalah Wajib Pajak dalam negeri. Bagaimana mungkin sebuah Wajib Pajak Badan harus membuktikan biaya yang terjadi pada Wajib Pajak Badan lain. Setiap Wajib Pajak mempunyai hak dan kewajiban pajak sendiri-sendiri;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
d.
Sesuai dengan Pasal 17 dari Per-32/PJ./2011, intangible assets pada umumnya berasal dari kegiatan riset dan pengembangan yang beresiko dan mahal, sehingga pemiliknya berusaha untuk mengganti pengeluaran tersebut melalui penjualan barang, perjanjian lisensi atau kontrak jasa. Hal ini merupakan latar belakang adanya Technology License and Technical Service Agreement antara MCI dan Pemohon Banding. Dimana MCI memiliki formula khusus yang telah mereka kembangkan dengan biaya sendiri sementara di lain sisi CPI membutuhkan formula tersebut untuk memenuhi kebutuhan produksinya. Karena itu, timbullah biaya royalti yang merupakan kompensasi Pemohon Banding atas penggunaan formula milik MCI tersebut. Karena itu, pertanyaan mengenai biaya yang ditimbulkan dalam proses pengembangan formula dan perincian kontribusi terhadap Pemohon Banding menjadi tidak relevan dalam konteks transaksi Pemohon Banding dengan MCI;
 
 
 
 
 
 
 
 
e.
Jika Pemeriksa tetap berpendapat untuk merekarakterisasi royalty tersebut menjadi jasa, tidak ada ketentuan perpajakan yang mengharuskan pembeli atau penerima jasa untuk membuktikan harga pokok atau biaya yang dikeluarkan oleh pemberi jasa. Selain itu permintaan Pemeriksa untuk memberikan detail biaya pengembangan yang telah dikeluarkan sehubungan dengan pengembangan asset tersebut baru akan menjadi relevan apabila kepemilikan atas formula tersebut juga dimiliki bersama antara MCI dan Pemohon Banding. Dalam hal ini, pengaturan tersebut dikenal dengan istilah Cost Contribution Arrangements atau kesepakatan kontribusi biaya. Dalam konteks ini, biaya royalti menjadi tidak relevan karena masing-masing pihak menjadi effective owners atas aset tersebut dan memperoleh manfaat yang sebanding dengan biaya yang dibebankan/dialokasikan. Sementara, dalam hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, formula tersebut merupakan milik Pemohon Banding;
 
 
 
 
 
 
 
 
f.
Berdasarkan penjelasan diatas, menurut Pemohon Banding biaya royalti tersebut merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan kena pajak. Pendapat Terbanding yang menyatakan royalti sebagai jasa sangat dipaksakan dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan, biaya tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam perhitungan Pajak Penghasilan Badan Tahun 2010. Oleh karenanya Pemohon Banding berpendapat koreksi atas biaya royalti seharusnya dibatalkan;
 
 
 
 
 
 
 
KESIMPULAN
Bahwa berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, Pemohon Banding tidak setuju dengan atas koreksi Pemeriksa didalam SKPLB PPh Badan No.00021/406/10/052/12 tanggal 18 April 2012, yang kemudian dipertahankan oleh Terbanding didalam Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-1361/WPJ.07/2013 tanggal 15 Juli 2013;
 
Oleh karena itu, Pemohon Banding memohon kepada Majelis Hakim agar berkenan menerima seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding dan membatalkan seluruh koreksi Terbanding atas royalti sebesar USD249.304. Dengan demikian, perhitungan PPh Badan PT. Cosmo Polyurethane Indonesia ("CPI") untuk tahun pajak 2010 yang seharusnya adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.56386/PP/M.IA/15/2014, Tanggal 27 Oktober 2014, yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Mengabulkan Seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1361/WPJ.07/2013 tanggal 15 Juli 2013, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2010 Nomor: 00021/406/10/052/12 tanggal 18 April 2012, atas nama: PT. Cosmo Polyurethane Indonesia, NPWP: 01.071.436.8-052.000, Jenis Usaha:-, beralamat di Wisma Keiai Lt.17, Jalan Jenderal Sudirman Kav.3, Jakarta 10220, sehingga jumlah pajak yang masih harus
 
 
 
 
 
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.56386/PP/M.IA/15/2014, Tanggal 27 Oktober 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 12 November 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-294/PJ/2015 tanggal 30 Januari 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 6 Februari 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 6 Februari 2015;
 
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 23 April 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 22 Mei 2015; dibayar dihitung kembali menjadi sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
 
 
 
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
I.
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali
 
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah:
Koreksi terhadap Penghasilan Neto yaitu atas biaya royalti sebesar US$249,304.00
 
   
II.
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
 
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT. 56386/PP/M.IA/15/2014 tanggal 27 Oktober 2014, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
1.
Bahwa pendapat dan kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa Peninjauan Kembali ini sebagaimana tertuang dalam putusan a quo, antara lain berbunyi sebagai berikut:
 
2.
Bahwa ketentuan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo;
 
 
2.1
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
 
 
 
Pasal 69 ayat (1):
 
 
 
Alat bukti dapat berupa:
 
 
 
a.
Surat atau tulisan;
 
 
 
b.
Keterangan ahli;
 
 
 
c.
Keterangan para saksi
 
 
 
d.
Pengakuan para pihak; dan/atau
 
 
 
e.
Pengetahuan hakim” Pasal 76:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
 
Pasal 78
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.
 
Pasal 84 ayat (1)
Putusan Pengadilan Pajak harus memuat:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
e.
Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
       
 
 
 
Pasal 91
 
 
 
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
 
 
 
e.
Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.2
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
 
Pasal 18 ayat (3)
"Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya
 
Penjelasan
"Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya diantara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (CUP), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya plus (cost plus method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit silt method) dan metode laba bersih transaksional (TNMM) Pasal 18 ayat (4)
 
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir;
 
 
 
b.
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
 
 
 
c.
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semena dalam garis keturunan lurus dan/atau kesamping satu derajat;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasal 9 ayat (1) huruf f
 
 
 
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
 
 
 
f.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.3
P3B Indonesia-Jepang

Pasal 9
 
 
 
1.
"Where:
 
 
 
 
a.
an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, Or
 
 
 
 
b.
the same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the otherContracting State, and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.56386/PP/M.IA/15/2014 tanggal 27 Oktober 2014, serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan fakta-fakta yang nyata-nyata terungkap pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat keberatan dengan pendapat dan kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan pada Butir V.1 di atas dengan penjelasan sebagai berikut:
 
 
3.1
Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa banding adalah atas koreksi positif atas Penyesuaian Fiskal Positif berupa Biaya Royalti ini adalah masalah yuridis atas perubahan koreksi Pemohon PK yang sebelumnya menyatakan bahwa koreksi sebesar US$249,304.00 merupakan Intra Group Services berupa Jasa Teknik yang kemudian diklasifikasikan kembali oleh Pemohon PK sebagai biaya royalti, serta masalah pembuktian atas kewajaran biaya royalti yang dibayarkan oleh Termohon PK kepada Mitsui Chemical Inc. Jepang (MCI) terkait dengan penggunaan formula untuk memproduksi Resin-Premix;
 
 
3.2
Bahwa Pemegang Saham atas Termohon PK diketahui sebagai berikut:
 
 
 
a.
Mitsui Chemical Polyurethanes Incorporation, Tokyo, Jepang: 81%
 
 
 
b.
Mitsui & Co,Ltd Tokyo, Jepang: 14%
 
 
 
c.
PT Pintu Mas Mulia, Jakarta: 5%
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Pasal 18 UU PPh mengatur:
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
 
 
 
 
 
 
a.
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
 
 
 
b.
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sehingga dapat disimpulkan bahwa antara Termohon PK dengan Mitsui Chemical Polyurethanes Inc. Jepang terdapat hubungan istimewa karena terdapat penyertaan modal langsung serta penguasaan langsung sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut di atas;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.3
Bahwa pada awalnya (dalam proses pemeriksaan) Pemohon PK menetapkan koreksi sebesar US$249,304.00 merupakan bentuk Intra Group Services berupa jasa teknik, berdasarkan fakta berikut:
 
 
 
a.
Pembayaran royalti didasarkan pada adanya technology license and technical services agreement;
 
 
 
b.
Dalam amandemen terakhir disebutkan daftar pelanggan yang atas penjualannya dikenakan royalti karena adanya permintaan untuk memproduksi resin-premix dengan variasi khusus yang tidak dapat dikembangkan oleh Research & Development yang dimiliki oleh Termohon PK, sehingga Termohon PK meminta kepada MCI untuk membuatkan formulanya;
 
 
 
c.
Bahwa dalam hal terdapat masalah dalam pengaplikasian formula dimaksud, maka tenaga ahli/teknis dari MCI akan datang untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.4
Bahwa namun dalam proses keberatan, Pemohon PK berpendapat bahwa koreksi sebesar US$249,304.00 merupakan Biaya Royalti dan bukan merupakan Imbalan atas Jasa Teknik, yang selanjutnya dilakukan penelitian terhadap kewajaran pembayaran royalti kepada MCI berdasarkan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/P1/2010, dengan hasil penelitian antara lain sebagai berikut:
 
 
 
a.
Technology license and Technical Services Agreement
 
 
 
 
bahwa sesuai agreement, Termohon PK menyatakan berkewajiban membayar royalti sebesar 3% dari nilai penjualan produk kepada MCI atas penggunaan formula untuk memproduksi resin-premix;
         
 
 
 
b.
TP Dokumen
 
 
 
 
bahwa Termohon PK tidak membuat TP Dokumen atas transaksi dengan pihak MCI, sehingga tidak diketahui langkah-langkah yang dilakukan dalam menerapkan prinsip-prinsip kewajaran dan kelaziman usaha;
 
Bahwa menurut Termohon PK rate dimaksud wajar digunakan oleh perusahaan sejenis dengan menggunakan metode Comparable Uncontrolled Price. Sebagai pembanding besaran royalti yang sama juga dikenakan kepada afiliasi Termohon PK di Malaysia dan Thailand.
 
 
 
 
         
 
 
 
c.
Eksistensi formula
 
 
 
 
a)
Bahwa Formula diberikan kepada Termohon PK melalui email atau staf MCI datang ke Indonesia dengan melakukan diskusi langsung dengan teknisi di Indonesia sehingga tidak ada agreement yang rapi, setelah itu oleh Termohon PK baru didokumentasikan;
 
 
 
 
b)
Bahwa untuk menjamin mutu produksi yang berasal dari formula MCI, ada kalanya Staf MCI datang ke Indonesia untuk bertemu ekspatriat Jepang yang bekerja di perusahaan konsumen;
 
 
 
 
c)
Bahwa formula (secret receipt) Pemohon PK tidak didaftarkan karena formula tersebut selalu berubah;
 
 
 
 
d)
Bahwa Termohon PK berpendapat bahwa formula tidak harus dipatenkan, berdasarkan OECD Paragraf 6.5 dinyatakan sebagai berikut:
 
 
 
 
 
"Intellectual property such as know-how and trade secrets can be trade intangibles or marketing intangibles. Know-how and trade secrets are proprietary information or knowledge that assists or improves a commercial activity, but that is not registered for protection in the manner of a patent or trademark.."
 
 
 
 
e)
Terdapat manfaat ekonomis dan komersial bagi Termohon PK.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
d.
Nilai kewajaran
 
 
 
 
a)
 
Bahwa oleh karena Pemohon PK tidak membuat TP Dokumen, maka Termohon PK melakukan pengujian untuk menilai kewajaran biaya royalti yang dibebankan kepada Termohon PK dengan menggunakan metode TNMM (Transactional Net Margin Method);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b)
Bahwa berdasarkan OECD Paragraf 3.9 dinyatakan sebagai berikut:
"Ideally, in order to arrive at the most precise approximation of arm's length conditions, the arm's length principle should be applied on a transaction-by-transaction basis. However, there are often situations where separate transactions are so closely linked or continuous that they cannot be evaluated adequately on a separate basis... Such transactions should be evaluated together using the most appropriate arm's length metode."
 
Terjemahan bebasnya:
Idealnya untuk sampai pada pendekatan yang paling tepat pada suatu kondisi kewajaran (arm's length), prinsip kewajaran seharusnya diterapkan transaksi per transaksi. Namun sering terdapat situasi dimana transaksi yang terpisah begitu erat berhubungan dan dilakukan secara terus menerus sehingga tidak akan memadai apabila dievaluasi secara terpisah...Transaksi tersebut harus dievaluasi bersama-sama dengan menggunakan metode yang paling mendekati nilai kewajaran."
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
c)
Bahwa Pemohon PK menggunakan metode TNNM (Transactional Net Margin Method) karena transaksi royalti sangat berhubungan dengan produk yang akan. dihasilkan. Untuk menjamin mutu barang pihak teknisi dari Jepang (MCI) datang ke Indonesia bertemu langsung dengan pihak pembeli hal ini dibuktikan dengan adanya technical fees yang harus dibayar ke MCI;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
d)
Bahwa berdasarkan data-data pembanding yaitu perusahaan-perusahan dengan kegiatan usaha yang paling mendekati dengan jenis usaha Termohon PK yang diperoleh Pemohon PK dari Database ORIANA, diketahui bahwa perhitungan net profit margin Termohon PK berdasarkan metode TNMM Return on Sales adalah sebesar 3,14%, angka tersebut berada di luar rentang laba wajar, sedangkan perhitungan net profit margin Pemohon PK berdasarkan metode TNMM menunjukkan angka 4,28% yang berada dalam inter quartile (rentang laba wajar);
 
Bahwa sehingga berdasarkan hal tersebut di atas, Pemohon PK berpendapat bahwa koreksi biaya royalti sebesar USD249.304 telah tepat;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.5
Bahwa atas koreksi Pemohon PK,Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan alasan:
 
 
 
a.
Bahwa terdapat inkonsistensi antara alasan koreksi pada saat pemeriksaan dengan keberatan;
 
 
 
b.
Bahwa dalam pemeriksaan Pemohon PK menyatakan biaya royalti merupakan jasa teknik dan merupakan bagian dari Intra Group Services, sedangkan dalam proses keberatan Pemohon PK/Terbanding menolak pengajuan keberatan Termohon PK berdasarkan ketidakwajaran nilai transaksi;
 
 
 
c.
Bahwa menurut Termohon PK pembayaran royalti telah sesuai dengan perjanjian dengan MCI dan didukung dengan bukti pembayaran yang sah;
 
 
 
d.
Bahwa apabila terdapat masalah dalam penerapan teknologi, MCI akan datang membantu untuk menyelesaikan masalah dan hal ini dibebankan secara terpisah melalui technical fee;
 
 
 
e.
Bahwa menurut Termohon PK menguji kewajaran royalty dengan metode TNMM adalah tidak tepat karena net margin berhubungan dengan bermacam-macam unsur. Menurut Pemohon PK hasil pengujian dengan metode TNMM menghasilkan angka Q1 Tahun 2010 sebesar 2,29%, maka berarti net margin Termohon PK sebesar 3,17% masuk dalam rentang laba wajar;
 
 
 
f.
Bahwa oleh karena Permohonan Keberatan atas koreksi royalty yang dianggap sebagai Intra Group Services tidak dijawab tetapi kemudian ditolak dengan menggunakan alasan lain yang tidak sehubungan, yaitu dengan pengujian net margin, maka berarti bahwa Keberatan Pemohon PK belum dijawab, dengan demikian Keputusan Keberatan tidak menjawab Permohonan Keberatan Pemohon Banding, sehingga seharusnya Keputusan Keberatan menjadi batal demi hukum;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.6
Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tanggal 9 Maret 2010 mengatur definisi jasa teknik sebagai berikut:
 
Angka 3
Jasa teknik sebagaimana dimaksud butir 1 huruf b merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
 
 
 
b.
Pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
 
 
 
c.
Pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.7
Bahwa pengertian royalti berdasarkan memori penjelasan Pasal 4 huruf h angka 1 UU PPh adalah sebagai berikut:
 
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
 
 
 
 
 
 
1.
Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
 
 
 
2.
Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
 
 
 
3.
Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Article 12 OECD Model
The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph films, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for information concerning industrial, commercial, or scientific experience
 
Article 12 UN Model
The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph, films or tapes used for radio or television broadcasting, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for the use of, or the right to use industrial, commercial or scientific equipment, or for information concerning industrial, commercial or scientific experience."
 
Berdasarkan perbandingan di atas jelas bahwa UN Model memberikan definisi yang lebih luas dibandingkan OECD Model tentang royalti, yakni UN Model juga mencakup:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai hak cipta atas karya seni berupa pita-pita yang dipakai untuk penyiaran radio maupun televisi. ·
 
 
 
b.
Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai perlengkapan perindustrian, perdagangan dan perlengkapan ilmiah.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.8
Bahwa dalam penelitiannya, Ning Rahayu menyimpulkan bahwa dalam kumpulan treaty antara Indonesia dengan beberapa Negara, didapatkan variasi definisi atas pengertian jasa teknik, antara lain:
 
 
 
a.
Variasi pertama, pengertian jasa teknik tidak diberikan tersendiri, melainkan tercakup secara implisit dalam kata-kata “furnishing of services” yaitu sebagai bagian dari kegiatan yang dianggap memenuhi kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) apabila telah memenuhi ambang batas waktu (time test). Dalam hal ini imbalan jasa teknik yang dimaksud termasuk dalam bagian penghasilan dari usaha (business income);
 
 
 
b.
Variasi kedua, yakni pengertian jasa teknik dicantumkan dalam pasal tersendiri yang secara khusus mengatur mengenai imbalan jasa teknik (fees for technical services). Pengenaan pajak atas imbalan jasa teknik dilaksanakan dengan cara yang sama atas pengenaan pajak atas royalti, yaitu melalui pemotongan oleh pihak yang membayarkan jasa teknik, namun dengan penerapan reduce rate yang berbeda dengan reduced rate untuk royalti
 
 
 
c.
Variasi ketiga, dimana pengertian jasa teknik dicantumkan di dalam pasal yang mengatur mengenai royalti dan imbalan jasa teknik (royalties and fees for technical services). Jadi baik jasa teknik maupun royalti diatur dalam pasal yang sama dengan pengenaan pajak yang sama yaitu melalui pemotongan dengan pihak lain (with holding) serta dengan penerapan reduced rate. Namun demikian, pengertian mengenai royalti diberikan masing-masing;
 
 
 
d.
Variasi keempat, dimana pengertian jasa teknik dicantumkan di dalam pasal yang mengatur tentang royalti. Jadi meskipun pada hakikatnya merupakan imbalan jasa teknik, namun dianggap sebagai royalti, sepanjang jasa teknik yang diberikan tersebut merupakan pelengkap (subsidiary) dan dilakukan sebagai upaya untuk memungkinkan pemakaian hak (hak cipta dan lain-lain), harta (hak paten, merk dagang dan lain-lain), perlengkapan (perlengkapan perindustrian, ilmu pengetahuan, dan perdagangan) dan informasi mengenai pengalaman (di bidang ilmu pengetahuan, perdagangan dan industri).
 
(sumber: Rahayu Ning, Pajak Penghasilan PPh) atas Royalti dan Imbalan Jasa Teknik: Dalam Ketentuan Domestik maupun Perjanjian Internasional, Tesis Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, Hal. 44-54)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.9
Bahwa dari situs indonesian taxation (http://indonesiantaxation. blogspot.com/2009/11/interpretasi-klasifikasi-royalti-jasa.html) diperoleh informasi mengenai kriteria perbedaan antara royalti dari know how dengan imbalan jasa teknik menurut praktik internasional sebagai berikut:
 
Menurut Michael Krausse kriteria perbedaan antara royalti dengan jasa teknik adalah:
“As a general rule, the transfer of know how involves the provision of industrial, commercial or scientific information which remains unrevealed to the public an likewise, the grantor is not required to take part in the application of the formula or to guarantee the result thereof. On the contrary, a typical contract for the provision of technical services, is that in which one of the parties undertakes to use his skills to execute work himself for the other party. In other words, existing know-how which is required for performing the work will be for on his own benefit within the framework of the services provided and he will also accept responsibility for it’s result”
 
Dari kutipan di atas, secara garis besar dapat diambil kesimpulan bahwa dalam praktiknya, royalti diberikan atas transfer know how dari seseorang kepada pihak lain tanpa pihak yang memiliki hak royalti tersebut harus ikut serta dalam penerapan suatu formula tersebut. Dengan demikian, pemegang royalti juga tidak bertanggung jawab terhadap hasil yang diperoleh atas pengaplikasian formula tersebut. Hal ini berbeda dengan jasa teknik, dimana pemegang hak atas jasa teknik tersebut turut serta dalam pengaplikasian formula yang dimilikinya, yang juga menjadikannya turut bertanggung jawab atas hasil yang didapat dari pengaplikasian formula tersebut.
 
Dalam hal pemberian informasi, diferensiasi definitif antara royalti dan jasa teknik dapat dilihat dari makalah Adolfo Alchahabian sebagaimana juga dikutip oleh Ning Rahayu yang menyebutkan bahwa royalti dari know how merupakan transfer pengetahuan teknik (technical knowledge) yang berhubungan dengan formula atau rahasia untuk membuat atau memproduksi sesuatu (manufacturing). Sedangkan ruang lingkup pemberian jasa adalah pemberian bantuan teknik melalui penyediaan royalti dari know how yang berhubungan dengan keahlian tertentu dari adviser di lapangan yang dapat diberikan dalam bentuk training (bagi karyawan), nasihat atau penerapan metode produksi tertentu. Selain itu, pemberian jasa juga mungkin dilakukan dengan pembekalan manual tertentu bagi operator di lapangan.
 
Dengan demikian, terdapat hubungan efektif antara jasa yang diberikan dengan imbalan yang diberikan (imbalan jasa teknik), dan tidak semata didasarkan atas persentase penjualan sebagaimana layaknya royalti.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.10
Bahwa dari data/fakta serta pernyataan Termohon PK diketahui fakta-fakta berikut:
 
 
 
a.
Bahwa berdasarkan Technology License and Technical Services Agreement yang dibuat pada Tahun 2002 dan telah mengalami beberapa kali perubahan terakhir tanggal 1 Januari 2009 dimana atas perjanjian dimaksud berlaku selama 10 tahun sejak penjualan pertama, diketahui bahwa Termohon PK berkewajiban membayarkan royalti atas penggunaan formula yang diciptakan oleh Mitsui Chemical Incorporation;
 
 
 
b.
Bahwa untuk menjamin mutu produksi terkait dengan pengaplikasian formula, adakalanya teknisi MCI dari Jepang didatangkan langsung untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.
 
 
 
c.
Bahwa Pemohon PK menyatakan apabila terdapat masalah dalam penerapan teknologi, teknisi MCI akan data untuk membantu menyelesaikan masalah dan dibebankan secara terpisah melalui technical fee;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa hasil penelitian Pemohon PK menunjukkan terdapat pembayaran technical fee sebesar US$17.630 kepada MCI, namun tidak terdapat data/dokumen yang dapat membuktikan bahwa technical fee tersebut terkait dengan biaya teknisi MCI atas penyelesaian masalah mengenai penggunaan formula;
 
bahwa Termohon PK juga tidak menjelaskan mengenai adanya ketentuan pembayaran technical fee di dalam perjanjian dengan MCI.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.11
Bahwa dari fakta serta definisi royalti dan jasa manajemen tersebut di atas, Pemohon PK berpendapat:
 
 
 
a.
Bahwa fakta menunjukkan Termohon PK menggunakan formula rahasia (transfer know how) yang diciptakan oleh MCI untuk memproduksi resin-premix;
 
Bahwa berdasarkan agreement antara Termohon PK dengan MCI diketahui bahwa atas penggunaan formula tersebut Termohon PK berkewajiban untuk membayar royalti sebesar 3% dari nilai penjualan produk yang menggunakan formula dimaksud;
 
Bahwa sehingga pendapat Pemohon PK (dalam proses keberatan) yang mengklasifikasikan kembali koreksi sebesar US$249,304.00 sebagai biaya royalti telah sesuai dengan ketentuan serta pendapat ahli mengenai definisi royalti.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Bahwa fakta juga menunjukkan untuk menjamin mutu produksi terkait dengan pengaplikasian formula, teknisi MCI bertanggung jawab menyelesaikan masalah yang timbul; bahwa menurut Michael Krausse, kriteria perbedaan antara royalti dengan jasa teknik adalah:
 
 
 
 
a) 
Royalti diberikan atas transfer know how dari seseorang kepada pihak lain tanpa pihak yang memiliki hak royalti tersebut harus ikut serta dalam penerapan suatu formula tersebut. Dengan demikian,pemegang royalti juga tidak bertanggung jawab terhadap hasil yang diperoleh atas pengaplikasian formula tersebut.
 
 
 
 
b)
Sedangkan atas jasa teknik, pemegang hak atas jasa teknik turut serta dalam pengaplikasian formula yang dimilikinya, yang juga menjadikannya turut bertanggungjawab atas hasil yang didapat dari pengaplikasian formula tersebut.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan demikian MCI tidak hanya memberikan hak kepada Termohon PK untuk menggunakan formula rahasia yang diciptakannya, namun MCI juga bertanggung jawab terhadap hasil aplikasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pula unsur-unsur jasa teknik yang diberikan oleh MCI;
 
Bahwa Pemohon PK berpendapat, oleh karena nyata-nyata terdapat unsur jasa teknik dalam unsur pembayaran royalti oleh Termohon PK kepada MCI, maka pendapat Pemohon PK dalam proses pemeriksaan yang menyatakan bahwa koreksi sebesar US$249,304.00 adalah merupakan jasa teknik, bukan pula merupakan suatu kesalahan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
Bahwa Ning Rahayu berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam kumpulan treaty antara Indonesia dengan beberapa Negara, didapatkan variasi definisi atas pengertian jasa teknik, antara lain:
 
Variasi keempat, dimana pengertian jasa teknik dicantumkan di dalam pasal yang mengatur tentang royalti. Jadi meskipun pada hakikatnya merupakan imbalan jasa teknik, namun dianggap sebagai royalti, sepanjang jasa teknik yang diberikan tersebut merupakan pelengkap (subsidiary) dan dilakukan sebagai upaya untuk memungkinkan pemakaian hak (hak cipta dan lain-lain), harta (hak paten, merk dagang dan lain-lain), perlengkapan (perlengkapan perindustrian, ilmu pengetahuan, dan perdagangan) dan informasi mengenai pengalaman (di bidang ilmu pengetahuan, perdagangan dan industri).
 
(sumber: Rahayu Ning, Pajak Penghasilan PPh) atas Royalti dan Imbalan Jasa Teknik:Dalam Ketentuan Domestik maupun Perjanjian Internasional, Tesis Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, Hal. 44-54)
 
Bahwa apabila dikaitkan dengan koreksi Pemohon PK yang pada awalnya menyatakan bahwa koreksi atas biaya royalti sebesar US$249,304.00 adalah merupakan biaya jasa teknik namun kemudian diklasifikasikan kembali sebagai biaya royalti, maka dari variasi definisi atas pengertian jasa teknik tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam royalti yang dibayarkan oleh Pemohon Banding memang nyata-nyata terdapat unsur jasa teknik yang diberikan sebagai pelengkap dan dilakukan sebagai upaya untuk memungkinkan pemakaian hak, sehingga petugas evaluasi berpendapat koreksi biaya royalti oleh Terbanding dalam proses keberatan masih sejalan dengan koreksi jasa teknik oleh Terbanding dalam proses pemeriksaan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.12
Bahwa atas koreksi Biaya Royalti sebesar US$249,304.00, oleh karena Termohon PK tidak membuat TP Dokumen maka tidak dapat diketahui langkah-langkah yang dilakukan dalam menerapkan prinsip-prinsip kewajaran dan kelaziman usaha terkait transaksi dengan Mitsui Chemical Inc. Jepang yang mempunyai hubungan istimewa dengan Termohon PK;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.13
Bahwa sehingga Pemohon PK menilai kewajaran pembayaran biaya royalti berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/P1/2010

Pasal 17 ayat (1)
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan dan pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
 
Pasal 17 ayat (2)
Transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
Transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud benar-benar terjadi;
 
 
 
b.
Terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
 
 
 
c.
Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Terbanding melakukan penelitian terhadap keberadaan transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud, keberadaan manfaat ekonomis dan komersial atas transaksi yang dilakukan serta penghitungan terhadap nilai kewajaran transaksi dengan pendekatan Transactional Net Margin Method (TNMM);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.14
Bahwa langkah-langkah yang dilakukan Pemohon PK dalam menilai kewajaran transaksi dengan pendekatan Transactional Net Margin Method (TNMM) adalah sebagai berikut:
 
 
 
a
Bahwa Pemohon PK menggunakan metode TNMM karena transaksi royalti sangat berhubungan dengan dengan produk yang dihasilkan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Bahwa berdasarkan pencarian data pembanding pada Data Base ORIANA diperoleh data pembanding serta penghitungan Ql, Q2 dan Q3 sebagai berikut:
Product Name: ORIANA
NAICS (Primary codes only, incl related words): 326150-Urethane and Other Foam Product (except Polystyrene) Manufacturing
Years with available accounts: 2010, 2009, 2008, 2007
Region/country/region in country: Far East and Central Asia, ASEAN
BvD Independence indicator: A+, A, A
 
Diperoleh data pembanding sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
Bahwa berdasarkan data yang diambil dari program ORIANA diperoleh perusahaan yang kegiatan usahanya paling mendekati dengan jenis usaha Termohon PK dan diperoleh 8 perusahaan pembanding;
 
Bahwa berdasarkan program ORIANA diperoleh Q1, Q2 dan Q3 rata-rata tertimbang Return on Sales laporan perusahaan pembanding selama 4 tahun yaitu:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan Laporan Keuangan Termohon PK diketahui Return on Sales cfm. Termohon PK dan cfm. Pemeriksa/Termohon PK adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
d.
Bahwa berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perhitungan net profit margin Termohon PK berdasarkan metode TNMM Return on Sales adalah sebesar 3,14%, angka tersebut berada di luar rentang laba wajar, sedangkan perhitungan net profit margin Terbanding berdasarkan metode TNMM menunjukkan angka 4,28% yang berada dalam inter quartile (rentang laba wajar);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
e.
Bahwa sehingga berdasarkan hal tersebut di atas, Pemohon PK menyimpulkan bahwa koreksi biaya royalti sebesar USD249.304 telah tepat;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.15
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon PK berpendapat bahwa keputusan untuk tetap mempertahankan koreksi biaya royalti sebesar US$249,304.00 telah didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.16
Bahwa sebagai bahan pertimbangan, Termohon PK menyampaikan pula fakta-fakta sebagai berikut:
 
 
 
1)
Bahwa berdasarkan Amendment to License Agreement tanggal 1 Januari 2009 Attachment A tentang List Customer dinyatakan bahwa royalti harus dibayarkan oleh Pemohon Banding hanya atas penjualan produk resin-premix kepada customer sebagaimana tercantum dalam Attachment A sebagai berikut:
 
 
 
 
a)
Customer having business in an electric refrigerator industry as listed below.
 
 
 
 
 
a.
PT Topjaya Antariksa Elektronic
 
 
 
 
 
b.
PT Sanyo Indonesia
 
 
 
 
 
c.
PT Panasonic Manufacturing Indonesia
 
 
 
 
 
d.
PT Sharp Electronic Indonesia
 
 
 
 
b)
Any customer having business in an automobile and/or two wheeled motor vehicle industry:
 
 
 
 
 
a.
PT Meiwa Indonesia
 
 
 
 
 
b.
PT Karya Bahana Berlian
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2)
Bahwa berdasarkan pembukuan Termohon PK, diketahui terdapat pembayaran royalti yang didasarkan penjualan penjualan ke PT Nagase Impor Ekspor Indonesia sebesar Rp57.890.974.385;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3)
Bahwa sesuai dengan uraian huruf a di atas, PT. Nagase Impor Ekspor Indonesia tidak tercantum dalam daftar customer yang penjualannya harus dipungut royalti;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4)
Bahwa Termohon PK pernah mengajukan banding atas koreksi royalti yang didasarkan penjualan bersih kepada PT. Nagase Impor Ekspor Indonesia tahun pajak 2008, dan pengajuan banding tersebut telah diputus oleh Majelis Hakim I Pengadilan Pajak Nomor PUT.45505/PP/M.1/15/2013 tanggal 10 Juni 2013 dengan keputusan, menolak banding Pemohon Banding, dan diketahui bahwa alasan utama Majelis Hakim menolak adalah (di halaman 41-42) yaitu sbb:
 
"Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan Majelis atas, tidak terdapat klausul yang menyatakan adanya kewajiban Pemohon Banding membayar royalti kepada Mitsui Chemicals Polyurethane Inc. (MCPU) yang didasarkan pada penjualan ke PT Nagase Impor-Ekspor Indonesia;
 
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dalam. persidangan, Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan bukti-bukti berupa perjanjian atau bukti pendukung lainnya mengenai kewajiban pembayaran royalti kepada Mitsui Chemicals Polyurethane Inc (MCPU) yang didasarkan pada penjualan ke PT Nagase Impor-Ekspor Indonesia;
 
bahwa berdasarkan uraian tersebut Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas Biaya Royalti sebesar USD302.228 tetap dipertahankan";
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5)
Bahwa Perjanjian Termohon PK yang dijadikan dasar pertimbangan untuk menolak oleh Majelis Hakim I atas sengketa Pajak Tahun 2008 adalah Memorandum on License Agreement tanggal 7 November 2005 yang mana didalamnya PT. Nagase Impor Ekspor Indonesia tidak tercantum dalam daftar customer yang penjualannya harus dipungut royalti;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
6)
Kesimpulan Terbanding/Pemohon PK
 
 
 
 
Bahwa mengingat isi Amendment to License Agreement tanggal 1 Januari 2009 dan Memorandum on License Agreement tanggal 7 November 2005 secara substantif sama yaitu tidak tercantumnya PT. Nagase Impor Ekspor Indonesia dalam daftar customer yang penjualannya harus dipungut royalti dan juga berdasarkan pendapat Majelis Hakim I di Putusan Nomor PUT.45505/PP/M.I/15/2013 tanggal 10 Juni 2013, maka Pemohon PK berkesimpulan bahwa seharusnya tidak ada biaya royalti yang dibebankan oleh Termohon PK;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.27
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pemohon PK berpendapat bahwa putusan Majelis yang mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap koreksi atas Penghasilan Neto berupa biaya royalti sebesar US$249,304.00, adalah tidak didasarkan pada pembuktian dan ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga tidak sesuai dengan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak. Oleh karenanya diusulkan untuk diajukan PK ke MA.
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan  perundang-undangan yang berlaku, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan, sehingga putusan Majelis Hakim a quo tidak memenuhi ketentuan Pasal 78 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.56386/PP/M.IA/15/2014 tanggal 27 Oktober 2014 harus dibatalkan.
 
 
 
 
 
 
 
 
5.
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor PUT.56386/PP/M.IA/15/2014 tanggal 27 Oktober 2014 yang menyatakan: Mengabulkan Seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1361/WPJ.07/2013 tanggal 15 Juli 2013, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2010 Nomor: 00021/406/10/052/12 tanggal 18 April 2012, atas nama: PT. Cosmo Polyurethane Indonesia, NPWP: 01.071.436.8-052.000, Jenis Usaha:-, beralamat di Wisma Keiai Lt.17, Jalan Jenderal Sudirman Kav.3, Jakarta 10220
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
 
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1361/WPJ.07/2013 tanggal 15 Juli 2013 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2010 Nomor: 00021/406/10/052/12 tanggal 18 April 2012 atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.071.436.8-052.000, sehingga pajak yang lebih dibayar menjadi USD.353,750.00 adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
a.
Bahwa alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi terhadap Penghasilan Neto yaitu atas biaya royalti sebesar USD249,304.00 tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo berupa pembayaran royalty kepada Mitsui Chemicals Inc, Japan yang terikat tax treaty dengan segala turunannya termasuk OECD transfer Pricing Guidlines, sehingga penggunaan nilai kewajaran besarnya Royalty dengan metode TNMM tidak berdasar dan oleh karenanya koreksi Terbanding sekarang Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 12 P3B Indonesia-Japan;
b.
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
 
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
 
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;
 
 
 
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut;
 
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
 
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 26 September 2016, oleh Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., MS., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Yosran, S.H., M.Hum., dan Is Sudaryono, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Joko A. Sugianto, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis:
ttd.
Yosran, S.H., M.Hum.
ttd.
Is Sudaryono, S.H., M.H.
Ketua Majelis,
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., MS.
 
 
 
Panitera Pengganti,
ttd.
Joko A. Sugianto, S.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

1175/B/PK/PJK/2016