Quick Guide
Hide Quick Guide
- MELAWAN
- RINGKASAN POSITA BANDING
- KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
- ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
- PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
- MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
1112/B/PK/PJK/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto, No. 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
|
||||||||||||||||||
1.
|
Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
|
|||||||||||||||||
2.
|
Budi Christiadi, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan Banding;
|
|||||||||||||||||
3.
|
Farchan Ilyas, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
|
|||||||||||||||||
4.
|
Devri Oskandar, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Kesemuanya berkantor di Jalan Jenderal Gatot Subroto, No. 40-42, Jakarta berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1359/PJ./2015 tanggal 30 Maret 2015;
untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
MELAWAN |
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
PT. ASTRA DAIHATSU MOTOR, beralamat di Jalan Gaya Motor III No. 5 Sunter II, Jakarta 14330,
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-58510/PP/M.IIIB/15/2014, Tanggal 16 Desember 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
RINGKASAN POSITA BANDING |
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Bahwa berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Pemohon Banding mengajukan banding atas Keputusan Terbanding Nomor: KEP-294/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 12 April 2011 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Nomor: 00015/206/07/092/10 tanggal 15 Januari 2010 Tahun Pajak 2007, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 14 April 2011;
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
PEMENUHAN KETENTUAN FORMAL PENGAJUAN BANDING
|
||||||||||||||||||
Bahwa Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur bahwa:
“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”;
Bahwa selanjutnya, Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengatur bahwa:
“Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak”;
Bahwa Surat Banding dalam Bahasa Indonesia Pemohon Banding ajukan terhadap Keputusan Keberatan kepada Pengadilan Pajak dan Surat Banding Pemohon Banding hanya ditujukan untuk satu Keputusan Terbanding (Keputusan Keberatan), dengan demikian, Surat Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak; Bahwa Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur bahwa:
“Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak Keputusan diterima, dilampiri salinan dari Surat Keputusan tersebut”;
bahwa Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Pajak mengatur bahwa:
“Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan”;
Bahwa Surat Banding disusun secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dan diajukan sebelum lewat 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Keputusan Keberatan yang fotokopinya Pemohon Banding lampirkan dalam Surat Banding ini. Keputusan Keberatan yang Pemohon Banding ajukan banding, baru Pemohon Banding terima tanggal 14 April 2011 dan Surat Banding Pemohon Banding ajukan ke Pengadilan Pajak masih belum melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Surat Keputusan Keberatan tersebut. Dengan demikian, Surat Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
Bahwa Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak mengatur bahwa:
“Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)”;
Bahwa Keputusan Keberatan yang Pemohon Banding banding menunjukkan pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp260.686.255.824,00, sehubungan dengan persyaratan pengajuan permohonan banding ini, Pemohon Banding telah membayar ke Kas Negara sebesar Rp260.686.255.824,00 pada tanggal 12 Februari 2010;
Bahwa dengan demikian, Surat Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
Bahwa memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka pengajuan Surat Banding atas Keputusan Keberatan di atas, telah dilakukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara yang telah disyaratkan oleh Undang-Undang, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 35 ayat (1) dan (2), dan Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
Bahwa dengan demikian, Surat Banding Pemohon Banding telah memenuhi semua ketentuan formal, sehingga Pemohon Banding memohon Majelis Yang Mulia berkenan memeriksa dan mengadili materi yang Pemohon Banding ajukan banding sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
ASPEK MATERIAL
|
||||||||||||||||||
Bahwa pada tanggal 15 Januari 2010, Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Nomor 00015/20607/092/10 untuk Tahun Pajak 2007 dengan jumlah Pajak Penghasilan yang masih dibayar sebesar Rp260.686.255.824,00;
Bahwa pada tanggal 12 Februari 2010, Pemohon Banding telah melakukan pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan sebesar Rp260.686.255.824,00 melalui Surat Setoran Pajak dan telah dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua pada tanggal 22 Februari 2010;
Bahwa Pemohon Banding tidak menyetujui Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan dimaksud dan oleh karena itu Pemohon Banding telah mengajukan permohonan keberatan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua melalui surat Nomor: ADM.Fa/Dir/004/IV.10 tanggal 13 April 2010 yang diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua pada tanggal 14 April 2010;
Bahwa pada tanggal 12 April 2011, Terbanding menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-294/WPJ.19/BD.05/2011 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Nomor: 00015/206/07/092/10 tanggal 15 Januari 2010 untuk Tahun Pajak 2007 yang menetapkan menolak permohonan keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Nomor: 00015/206/07/092/10 tanggal 15 Januari 2010 dengan perincian sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Bahwa Keputusan Terbanding Nomor KEP-294/WPJ.19/BD.05/2011 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Nomor 00015/206/07/092/10 tanggal 15 Januari 2010 yang Surat Keputusannya baru Pemohon Banding terima pada tanggal 14 April 2011;
Bahwa selanjutnya, Pemohon Banding tidak menyetujui Keputusan Keberatan dimaksud dan karenanya Pemohon Banding mengajukan Permohonan Banding atas Keputusan Terbanding Nomor KEP-294/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 12 April 2011 dengan penjelasan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
POKOK SENGKETA
|
||||||||||||||||||
Koreksi Positif atas Harga Pokok Penjualan-Royalti sebesar Rp597.813.818.985,00
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Menurut Terbanding
|
||||||||||||||||||
Bahwa koreksi dilakukan berdasarkan Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 2000 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/1993 tentang petunjuk penanganan kasus-kasus transfer pricing;
Bahwa Terbanding pada saat pemeriksaan berpendapat bahwa Pemohon Banding tidak dapat menyediakan dokumentasi transfer pricing untuk pembayaran Royalti dan Technical Assistance yang berupa studi analisa dan kertas kerja yang dapat menyatakan:
|
||||||||||||||||||
(a)
|
Penerapan prinsip kewajaran (harga wajar);
|
|||||||||||||||||
(b)
|
Metodologi transfer pricing; dan
|
|||||||||||||||||
(c)
|
Perhitungan penerapan harga wajar;
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Bahwa berdasarkan pada paragraf 5.28 dan 5.29 dalam Organization for Economic Co-operation and Development Transfer Pricing Guidelines, dijelaskan bahwa Terbanding berhak untuk memperoleh dokumentasi seperti yang telah disebutkan di atas, atas dasar alasan tersebut, semua biaya Royalti sebesar Rp597.813.818.985,00 dikoreksi oleh Terbanding pada saat pemeriksaan melalui Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Nomor: Pem-163/WPJ.19/KP.0205/2009 tanggal 01 Desember 2009;
Bahwa selanjutnya, Terbanding tetap mempertahankan koreksi Terbanding pada saat pemeriksaan dengan alasan koreksi Terbanding pada saat pemeriksaan sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku sebagaimana terurai dalam Surat Pemberitahuan Untuk Hadir Nomor: S-640/WPJ.19/2011 tanggal 29 Maret 2011;
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Menurut Pemohon Banding
|
||||||||||||||||||
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding atas Harga Pokok Penjualan atas Biaya Royalti sebesar Rp597.813.818.985,00 dengan penjelasan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
-
|
DASAR HUKUM ATAS DOKUMENTASI TRANSFER PRICING DI INDONESIA
|
|||||||||||||||||
|
Bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa koreksi Terbanding pada saat pemeriksaan atas dokumentasi transfer pricing untuk Tahun Pajak 2007 adalah tidak mempunyai dasar hukum, sehingga seharusnya koreksi tersebut dapat dibatalkan;
Bahwa Pemohon Banding tidak dapat memenuhi permintaan Terbanding pada saat pemeriksaan atas dokumentasi transfer pricing pada waktu itu, karena Pemohon Banding berpendapat bahwa tidak ada peraturan yang secara detail mengatur hal tersebut untuk Tahun Pajak 2007;
Bahwa Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, tidak dapat digunakan sewenang-wenang oleh Terbanding pada saat pemeriksaan untuk melakukan koreksi atas Pengurangan Penghasilan Bruto karena Terbanding harus menggunakan beberapa pendekatan untuk menentukan nilai kewajaran transaksi tersebut, seperti data pembanding, lebih lanjut, dalam pasal tersebut juga tidak ditegaskan mengenai kewajiban atas dokumentasi transfer pricing oleh Pemohon Banding;
Bahwa Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 09 Maret 1993, diterbitkan dengan tujuan, sebagaimana tercantum dalam konsiderans, untuk mengatur tata cara pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Lainnya;
Bahwa selanjutnya, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/1993 yang diterbitkan tanggal 09 Maret 1993 adalah merupakan petunjuk penanganan kasus-kasus transfer pricing;
Bahwa Pemohon Banding memahami bahwa peraturan-peraturan tersebut di atas, yaitu KEP-01/PJ.7/1993 dan SE-04/PJ.7/1993, diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai petunjuk bagi Terbanding pada saat pemeriksaan pajak dalam menangani kasus transfer pricing, di dalam peraturan-peraturan tersebut tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan Wajib Pajak untuk membuat, menyimpan, dan/atau melaporkan dokumentasi transfer pricing, namun, peraturan-peraturan tersebut memuat hal-hal yang wajib dilakukan oleh Terbanding dalam menangani kasus transfer pricing, sebagai contoh, salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh Terbanding yang tercantum dalam SE-04/PJ.7/1993 diantaranya adalah melakukan permintaan data ke luar negeri apabila diperlukan data pembanding dari luar negeri;
Bahwa lebih lanjut, ketentuan yang mengatur tentang dokumentasi transfer pricing adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-43/PJ/2010 tanggal 06 September 2010 mengenai penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dalam Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut diatur tentang kewajiban Wajib Pajak untuk mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian, Pemohon Banding berpendapat bahwa kewajiban terkait dengan dokumentasi transfer pricing baru secara jelas dan tegas diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak setelah PER-43/PJ/2010 diterbitkan;
Bahwa mengingat bahwa PER-43/PJ/2010 yang mengatur tentang kewajiban dokumentasi transfer pricing baru berlaku sejak 06 September 2010, maka Pemohon Banding berpendapat ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan untuk transaksi yang dilakukan Pemohon Banding dalam Tahun Pajak 2007, penerapan kewajiban membuat, menyimpan, dan/atau melaporkan dokumentasi transfer pricing berdasarkan PER-43/PJ/2010 atas transaksi yang dilakukan Pemohon Banding dalam Tahun Pajak 2007 bertentangan dengan asas hukum tidak berlaku surut (asas non retroaktif) dan prinsip keadilan yang dianut dalam Hukum Pajak di Indonesia;
Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dalam proses pemeriksaan untuk Tahun Pajak 2007, adalah hal yang menyulitkan bagi Pemohon Banding untuk memberikan dokumentasi transfer pricing kepada Terbanding pada saat pemeriksaan dalam proses pemeriksaan, mengingat kewajiban Pemohon Banding terkait dokumentasi transfer pricing tersebut belum diatur secara jelas dalam peraturan perpajakan di Indonesia;
Bahwa Pemohon Banding juga tidak setuju dengan referensi yang digunakan oleh Terbanding pada saat pemeriksaan dengan mengacu pada paragraf 5.28 dan 5.29 Organization for Economic Co-operation and Development Transfer Pricing Guidelines dimana Direktorat Jenderal Pajak berhak untuk mendapatkan dokumentasi transfer pricing;
Bahwa adapun alasan Pemohon Banding adalah bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai kedaulatan sendiri, dimana Hukum Internasional hanya dapat diterapkan di Indonesia apabila memenuhi prinsip Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian harus dan hanya ditaati oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian. Adapun suatu perjanjian internasional baru akan mengikat Indonesia apabila Indonesia menyepakati atau menerima isi perjanjian internasional tersebut atau apabila Indonesia telah melakukan pengesahan perjanjian internasional sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU Perjanjian Internasional);
Bahwa sampai dengan sekarang, Indonesia bukanlah negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development, yaitu organisasi yang menerbitkan Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations (selanjutnya disebut OECD TP Guidelines), sehingga Indonesia tidak diwajibkan untuk mengikuti Organization for Economic Co-operation and Development Transfer Pricing Guidelines tersebut. Lebih dari itu, tidak terdapat satu pun ketentuan hukum Indonesia yang mewajibkan Direktorat Jenderal Pajak atau Wajib Pajak mengikuti apa yang tercantum dalam OECD TP Guidelines tersebut;
Bahwa dari sudut pandang perjanjian internasional, OECD TP Guidelines bukanlah suatu perjanjian internasional yang disusun berdasarkan hukum internasional dan Indonesia tidak pernah mengikatkan diri pada isi OECD TP Guidelines tersebut, yaitu dengan melakukan pengesahan OECD TP Guidelines sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perjanjian Internasional;
Bahwa dengan demikian, Pemohon Banding berpendapat penggunaan OECD TP Guidelines sebagai dasar untuk melakukan koreksi adalah tidak mempunyai dasar hukum, penerapan OECD TP Guidelines oleh Terbanding pada saat pemeriksaan dalam proses pemeriksaan pajak adalah tidak adil, mengingat bahwa Pemohon Banding dalam menerapkan ketentuan perpajakan secara self assessment mendasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan tidak mendasarkan pada OECD TP Guidelines yang nyata-nyata bukanlah peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Penerapan OECD TP Guidelines dalam proses pemeriksaan pajak seolah-olah sebagai ketentuan perpajakan yang berlaku dan harus dipatuhi oleh Pemohon Banding telah menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon Banding, tidak proporsional, bersifat tipikal, dan jelas-jelas mengabaikan asas pemerintahan yang baik;
|
|||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
-
|
PENYAMPAIAN DOKUMEN TRANSFER PRICING DALAM PROSES KEBERATAN
|
|||||||||||||||||
|
Bahwa dalam rangka memperhatikan permintaan Terbanding sebagaimana dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan untuk menunjukkan itikad baik Pemohon Banding, maka Pemohon Banding telah membuat dokumentasi Transfer Pricing berupa Functional/Risk Analysis yang disusun oleh pihak konsultan independen, yaitu Price Waterhouse Coopers (“PwC”) di Indonesia, untuk menganalisis penerapan metode CUP (Comparable Uncontrolled Price) atau CUT (Comparable Uncontrolled Transaction) dan TNMM (Transactional Net Margin Method), sehingga Pemohon Banding dapat melampirkannya dalam Surat Permohonan Keberatan Nomor: ADM.Fa/Dir/004/IV.10 tanggal 13 April 2010 yang diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua pada tanggal 14 April 2010;
Bahwa dalam proses keberatan, Pemohon Banding telah menyerahkan dokumen-dokumen yang terkait koreksi biaya royalti terutama dokumentasi transfer pricing sebagaimana terlampir dalam Surat Keberatan Pemohon Banding Nomor: ADM.Fa/Dir/004/IV.10 tanggal 13 April 2010, seperti:
|
|||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
a.
|
Analisa fungsi dan risiko;
|
||||||||||||||||
|
b.
|
Analisa Comparable Uncontrolled Transaction;
|
||||||||||||||||
|
c.
|
Analisa Transactional Net Margin Method;
|
||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
Bahwa lebih lanjut, dalam proses keberatan tersebut Pemohon Banding juga telah menyerahkan dokumen-dokumen yang dijelaskan di dalam tanda terima Pemohon Banding tanggal 01 September 2010, seperti:
|
|||||||||||||||||
|
a.
|
Contoh dokumen terkait dengan informasi, know-how, sertifikat paten, sertifikat merk, sertifikat desain;
|
||||||||||||||||
|
b.
|
Fotokopi Technical Assistance Agreement Xenia (U-IMV), Terios, Gran Max;
|
||||||||||||||||
|
c.
|
Rekapitulasi Royalti, Invoice dan Bukti Aplikasi Transfer pembayaran Royalti;
|
||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, Pemohon Banding berpendapat seharusnya Terbanding dapat mempertimbangkan dan meneliti dokumen-dokumen tersebut dalam proses keberatan, dan bukan mengabaikannya serta menolak seluruh keberatan Pemohon Banding;
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
-
|
KEWAJARAN TARIF ROYALTI
|
|||||||||||||||||
|
Bahwa Pemohon Banding telah mencatat biaya royalti dengan benar sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, dimana Biaya Royalti tersebut dapat menjadi Pengurang Penghasilan Bruto karena dikeluarkan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara Penghasilan;
Bahwa adapun besarnya royalti yang dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah menerapkan prinsip kewajaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;
Bahwa berikut ini adalah penjelasan Pemohon Banding mengenai kewajaran royalti yang dibayarkan kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa:
Bahwa untuk menguji nilai pasar wajar atas persentase nilai royalti antara Pemohon Banding dengan Toyota Motor Corporation Limited dan Daihatsu Motor Corporation Limited sehubungan dengan perjanjian Technical Assistance, Price water house Coopers Indonesia telah mengadakan penelitian database untuk membandingkan perjanjian know how, patent, process, product, technology, trademark and trade name antara perusahaan yang independen berdasarkan database Royalti Stat;
Bahwa sehubungan dengan perjanjian tersebut, maka dipilih 16 (enam belas) buah perjanjian yang sebanding (comparable). Dari 16 (enam belas) perjanjian ini, berdasarkan metode Comparable Uncontrolled Transaction, dikategorikan nilai pasar wajar yang menggunakan nilai interquartile adalah dalam jarak (range) antara 3,00% sampai 5,00% dengan median 5,00%, berdasarkan hasil penelitian ini, angka 4,40% untuk biaya royalti yang dibebankan oleh Pemohon Banding berada dalam range nilai pasar yang wajar, sehingga biaya royalti tersebut dapat dianggap telah memenuhi prinsip kewajaran;
|
|||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
Bahwa lebih lanjut, berdasarkan metode Transactional Net Margin Method yang menggunakan Profit Level Indicator (ROS) dalam dokumentasi transfer pricing tersebut, terdapat 8 (delapan) perusahaan yang sebanding (comparable), dimana dikategorikan nilai pasar wajar dengan menggunakan nilai interquartile yang berada dalam jarak antara 2,28% sampai 6,27% dengan median 4,48%, berdasarkan hasil penelitian ini, angka 4,74% untuk ROS yang diperoleh Pemohon Banding berada dalam range nilai yang wajar, sehingga biaya royalti tersebut dapat dianggap telah memenuhi prinsip kewajaran;
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
bahwa dengan demikian, berlandaskan pada hasil-hasil pengujian tersebut tersebut di atas, Pemohon Banding berkeyakinan bahwa pembayaran dan pembebanan royalti kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah wajar;
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
-
|
PENJELASAN TAMBAHAN
|
|||||||||||||||||
|
Bahwa Terbanding pada saat pemeriksaan tidak melakukan koreksi negatif atas biaya royalti sebagai objek yang terutang Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri, yaitu atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean, yang sudah dikreditkan oleh Pemohon Banding dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Terbanding pada saat pemeriksaan juga tidak melakukan koreksi negatif atas biaya royalti sebagai objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, berdasarkan hal tersebut, Terbanding pada saat pemeriksaan sebenarnya telah mengakui adanya biaya royalti yang terjadi pada Tahun Pajak tersebut, namun Terbanding pada saat pemeriksaan tidak konsisten dalam penghitungan Pajak Penghasilan Badan, yaitu dengan melakukan koreksi atas seluruh biaya royalti;
Bahwa antara Pemerintah Indonesia dan Jepang telah menyepakati sebuah perjanjian yang berjudul “Agreement Between Japan and The Republic of Indonesia for The Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income” yang berlaku efektif sejak 01 Januari 1983, dari bunyi judul perjanjian tersebut secara tegas terlihat bahwa tujuan pembentukan perjanjian oleh kedua negara adalah untuk mencegah pengenaan pajak berganda dan mencegah pengelakan pajak;
Bahwa salah satu cara untuk mencapai tujuan mencegah pengenaan pajak berganda tersebut adalah kedua negara membagi hak pemajakan atas royalti sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Jepang, dalam ketentuan tersebut, hak pemajakan atas royalti dibagi oleh kedua negara dengan cara membatasi hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber yaitu Indonesia tidak boleh mengenakan pajak melebihi 10% dari jumlah bruto royalti, apabila Indonesia, dalam hal ini Terbanding melakukan koreksi sehingga biaya royalti tersebut tidak dapat dibebankan dalam menghitung Pajak Penghasilan Pemohon Banding, sedangkan royalti tersebut merupakan penghasilan bagi pihak penerimanya dan terutang pajak di negaranya, maka koreksi yang dilakukan oleh Terbanding telah menyebabkan terjadinya pajak berganda, hal tersebut tentu saja bertentangan dengan maksud pembentukan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Jepang;
Bahwa di samping itu, pembebanan atas biaya royalti yang dibayarkan kepada Toyota Motor Corporation Limited dan Daihatsu Motor Corporation Limited tidak pernah dilakukan koreksi oleh Terbanding, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua, untuk Tahun-Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2007;
Bahwa dengan demikian, Pemohon Banding berpendapat bahwa berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, koreksi Terbanding pada saat pemeriksaan sebesar Rp597.813.818.985,00 seharusnya dibatalkan;
Koreksi Positif atas Biaya Usaha Lainnya-Biaya Bunga sebesar Rp4.548.369.400,00
|
|||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
Menurut Terbanding
|
|||||||||||||||||
|
Bahwa koreksi pajak didasarkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-46/PJ.4/1995 tanggal 05 Oktober 1995, dimana sesuai dengan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Nomor: Pem-163/WPJ.19/KP.0205/ 2009 tanggal 01 Desember 2009;
Bahwa selanjutnya, Terbanding tetap mempertahankan koreksi Terbanding pada saat pemeriksaan dengan alasan koreksi Terbanding pada saat pemeriksaan sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku sebagaimana diuraikan dalam Surat Pemberitahuan Untuk Hadir Nomor: S-640/WPJ.19/2011 tanggal 29 Maret 2011;
|
|||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
Menurut Pemohon Banding
|
|||||||||||||||||
|
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding atas biaya usaha lainnya yaitu biaya bunga sebesar Rp4.548.369.400,00 dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa deposito Pemohon Banding bukan berasal dari pinjaman, namun berasal dari kelebihan dana operasional;
Bahwa biaya bunga yang dikoreksi oleh Terbanding pada saat pemeriksaan berasal dari pinjaman oleh Daihatsu Motor Co., Ltd., dimana dana hasil pinjaman tersebut digunakan oleh Pemohon Banding untuk melakukan investasi dalam wujud mesin dan peralatan sebagaimana dituangkan secara tegas dalam setiap loan agreement, Pemohon Banding berpendapat bahwa dana yang diperoleh dari pinjaman tersebut telah digunakan untuk kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih dan memelihara Penghasilan yang terutang pajak penghasilan, dengan demikian, perolehan pinjaman tersebut secara jelas dilandasi oleh tujuan bisnis (business purpose) dan tidak dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak di Indonesia;
Bahwa dasar yang digunakan oleh Terbanding pada saat pemeriksaan adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-46/PJ.4/1995 tanggal 05 Oktober 1995, Pemohon Banding berpendapat bahwa Surat Edaran tersebut seharusnya tidak mempunyai kekuatan secara hukum untuk melakukan koreksi atas biaya bunga, Surat Edaran tersebut juga bukanlah suatu perintah Undang-Undang dalam rangka menjalankan Undang-Undang Pajak Penghasilan, sehingga memberikan dasar kewenangan bagi Terbanding pada saat pemeriksaan melakukan koreksi atas biaya bunga, mengingat bahwa pembebanan biaya bunga tersebut dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sehingga dapat dibebankan sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan bukan termasuk dalam pengeluaran yang tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka Pemohon Banding berkeyakinan bahwa SE-46/PJ.4/1995 tidak boleh diterapkan secara menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan, dengan demikian, biaya bunga yang sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak dapat dikoreksi dengan menggunakan dasar SE-46/PJ.4/1995;
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, koreksi Terbanding pada saat pemeriksaan sebesar Rp4.548.369.400,00 tidak didukung dengan dasar dan alasan yang sah, sehingga koreksi tersebut seharusnya dibatalkan;
Bahwa dengan demikian, maka seharusnya perhitungan Pajak Penghasilan Badan untuk Tahun Pajak 2007 menurut Pemohon Banding adalah sebagai berikut:
|
|||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-58510/PP/M.IIIB/15/2014, Tanggal 16 Desember 2015, yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-294/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 12 April 2011, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2007 Nomor: 00015/206/07/092/10 tanggal 15 Januari 2010, atas nama: PT. Astra Daihatsu Motor, NPWP: 01.000.571.8-092.000, beralamat di: Jl. Gaya Motor III No. 5 Sunter II, Jakarta 14330, sehingga perhitungan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2007 menjadi sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI |
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-58510/PP/M.IIIB/15/2014, Tanggal 16 Desember 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 20 Januari 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1359/PJ/2015 tanggal 30 Maret 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 10 April 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 10 April 2015;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 28 September 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 28 Oktober 2015;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI |
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
I.
|
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali
|
|||||||||||||||||
|
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut:
Koreksi Harga Pokok Penjualan Biaya-Royalti sebesar Rp597.813.818.985,00 yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
|
|||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
II.
|
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
|
|||||||||||||||||
|
1.
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana tertuang dalam putusan a quo, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
|
|
Halaman 70-72:
Bahwa substansi yang menjadi pokok sengketa antara Pemohon Banding dengan Terbanding adalah koreksi harga pokok penjualan atas biaya royalti sebesar Rp597.813.818.985,00 untuk tahun pajak 2007 karena pada saat pemeriksaan Pemohon Banding tidak dapat menyediakan dokumentasi transfer pricing terkait dengan pembayaran royalti berupa studi analisa (transfer pricing documentation);
Bahwa menurut Pemohon Banding, Pemohon Banding tidak dapat memenuhi permintaan Terbanding pada saat pemeriksaan atas dokumentasi transfer pricing, karena Pemohon Banding berpendapat Bahwa tidak ada peraturan yang secara detail mengatur hal tersebut untuk Tahun Pajak 2007, bahwa ketentuan yang mengatur tentang dokumentasi transfer pricing adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-43/PJ/2010 tanggal 06 September 2010;
Bahwa dalam proses keberatan, Pemohon Banding telah menyerahkan dokumen yang terkait dengan koreksi biaya royalti terutama dokumentasi Transfer Pricing yaitu berupa Functional/Risk Analysis yang disusun oleh pihak konsultan independen untuk menganalisis penerapan metode CUP (Comparable Uncontrolled Price) atau CUT (Comparable Uncontrolled Transaction) dan TNMM (Transactional Net Margin Method). Namun menurut Terbanding Bahwa data/dokumen yang disampaikan Pemohon Banding dalam proses keberatan tidak dapat dipertimbangkan dalam proses keberatan sesuai dengan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 seharusnya data/dokumen tersebut dapat diberikan pada saat pemeriksaan, oleh karena Pemohon Banding tidak dapat membuktikan/mendemonstrasikan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi pembayaran royalti kepada Daihatsu Motor Co., Ltd. dan Toyota Motor Corporation, maka sesuai dengan Organization for Economic Co-operation and Development Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, Pemohon Banding seharusnya mengikuti keseluruhan tahapan-tahapan sebagaimana dijelaskan dalam peraturan a quo. Referensi yang digunakan oleh Terbanding pada saat pemeriksaan mengacu pada paragraf 5.28 dan 5.29 Organization for Economic Co-operation and Development Transfer Pricing Guidelines dimana Terbanding berhak untuk mendapatkan dokumentasi transfer pricing;
Bahwa menurut Pemohon Banding penggunaan Organization for Economic Co-operation and Development Transfer Pricing Guidelines sebagai dasar untuk melakukan koreksi adalah tidak mempunyai dasar hukum;
Bahwa dalam persidangan terungkap bahwa menurut Terbanding yang menjadi pokok sengketa royalti adalah terkait dengan know how, sedangkan menurut Pemohon Banding pembayaran royalti didasarkan kepada 3 perjanjian yaitu; Perjanjian Bantuan Teknis untuk U-IMV tanggal 26 Desember 2003 antara Pemohon Banding (Penerima Lisensi) dengan TMC dan DMC (Pemberi Lisensi), Perjanjian Bantuan Teknis untuk D40D dan D88D (Grandmax) tanggai 31 Mei 2007 antara Pemohon Banding dengan DMC, dan Perjanjian Bantuan Teknis untuk Terios tanggal 20 November 2006 antara Pemohon Banding dengan DMC yang pada dasarnya jenis intangible property yang dibayarkan sesuai dengan 3 perjanjian tersebut di atas berupa technical and manufacturing know how, design, trademark, dan patent;
Bahwa selanjutnya, dalam persidangan Terbanding menambahkan 2 dasar koreksi data Pembanding berupa Annual Report tahun 2011 dari Aftab Automobiles Ltd., perusahaan perakitan otomotif untuk Hino Diesel Bus, Hino minibus dan Hino RM-2 bus yang berkedudukan di Bangladesh, yang menunjukkan bahwa Aftab tidak membayar royalty, dan rule of thumb atas royalti rate sebesar 25% dari operating margin perusahaan;
Bahwa atas tambahan koreksi a quo Pemohon Banding mendalilkan, bahwa data Pembanding dari Aftab Automobiles tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar Pembanding karena Aftab Automobiles merupakan afiliasi dari Navana Group dimana Principal dari Navana Ltd. adalah Toyota Tsusho Corporation, Hino Motors Ltd. sedangkan pemegang saham dan manajemen dari Pemohon Banding adalah Toyota Tsusho Corporation, dan Daihatsu Motor Corporation dengan ultimate parent adalah Toyota Motor Corporation;
Bahwa selanjutnya untuk penggunaan Rule of Thumb atas royalti rate sebesar 25% dari operating margin perusahaan, menurut Pemohon Banding tidak berdasar karena tidak ada ketentuan hukum di Indonesia yang mewajibkan Direktorat Jenderal Pajak atau Wajib Pajak mengikuti rule of thumb tersebut;
Bahwa Rule of thumb digunakan untuk memperkirakan berapa persen tingkat royalti yang harus dibayarkan oleh licensee kepada licensor dalam menggunakan patent selama proses negosiasi antara kedua pihak;
Bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian terhadap keterangan dan bukti-bukti yang disampaikan oleh para pihak dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa pokok sengketa antara Pemohon Banding dan Terbanding adalah murni sengketa yuridis fiskal, yaitu atas koreksi yang dilakukan oleh Terbanding yang mendasarkan pada tidak dipenuhinya kewajiban penyampaian dokumentasi transfer pricing terkait dengan pembayaran royalti berupa studi analisa;
Bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Terbanding adalah: Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-01/PJ.7/1993 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/1993, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-43/PJ/2010 tanggal 06 September 2010, Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, serta paragraf 5.28 dan 5.29 Organization for Economic Co-operation and Development Transfer Pricing Guidelines, sedangkan dasar hukum yang digunakan oleh Pemohon Banding adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-01/PJ.7/1993 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/1993;
Bahwa menurut Majelis peraturan terkait dengan penanganan kasus-kasus transfer pricing untuk tahun 2007 adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-01/PJ.7/1993 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/1993 dimana peraturan a quo tidak mengatur baik secara eksplisit maupun implisit tentang kewajiban menyampaikan dokumentasi transfer pricing bagi Pemohon Banding, sedangkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-43/PJ/2010 tanggal 06 September 2010 tidak dapat digunakan untuk tahun 2007, sementara paragraf 5.28 dan 5.29 Organization for Economic Co-operation and Development Transfer Pricing Guidelines hanyalah merupakan suatu petunjuk dan bukan merupakan ketentuan perpajakan Indonesia;
Bahwa ketentuan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan,
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi: biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan”;
Bahwa ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa, ''Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim"
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum a quo Majelis berkesimpulan untuk menerima seluruhnya permohonan Pemohon Banding, dan membatalkan koreksi yang dilakukan oleh Terbanding atas Harga Pokok Penjualan berupa Royalti sebesar Rp597.813.818.985,00
|
||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
2.
|
Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pokok sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara lain sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
|
|
2.1.
|
Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), antara lain menyatakan sebagai berikut:
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
Pasal 69 ayat (1):
|
|||||||||||||||
|
|
|
Alat bukti dapat berupa:
|
|||||||||||||||
|
|
|
a.
|
Surat atau tulisan;
|
||||||||||||||
|
|
|
b.
|
Keterangan ahli;
|
||||||||||||||
|
|
|
c.
|
Keterangan para saksi;
|
||||||||||||||
|
|
|
d.
|
Pengakuan para pihak; dan/atau
|
||||||||||||||
|
|
|
e.
|
Pengetahuan Hakim
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
Pasal 76:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
Penjelasan Pasal 76:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang perpajakan.
Pasal 77 ayat (3):
Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.
Penjelasan Pasal 78:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan Pasal 81:
|
|||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
(1)
|
Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.
|
||||||||||||||
|
|
|
(2)
|
Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Surat Gugatan diterima.
|
||||||||||||||
|
|
|
(3)
|
Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
Pasal 84 ayat (1) huruf f:
Putusan Pengadilan Pajak harus memuat:
|
|||||||||||||||
|
|
|
f.
|
pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
Pasal 91 huruf c dan huruf e:
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
|
|||||||||||||||
|
|
|
c.
|
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
|
||||||||||||||
|
|
|
e.
|
Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
2.2.
|
Bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan UU KUP), mengatur sebagai berikut:
|
|||||||||||||||
|
|
|
Pasal 26A ayat (4)
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
|
|||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
2.3.
|
Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan UU PPh), antara lain mengatur sebagai berikut:
|
|||||||||||||||
|
|
|
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
Pasal 18 ayat (3)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Memori penjelasan Pasal 18 ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa.Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya Penghasilan dan/atau Biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Pasal 18 ayat (4)
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
|
|||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
a.
|
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
|
||||||||||||||
|
|
|
b.
|
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
|
||||||||||||||
|
|
|
c.
|
terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
|
||||||||||||||
|
|
2.4.
|
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor; SE-04/PJ.7/1993 Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing (Seri TP-1):
|
|||||||||||||||
|
|
|
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Badan dapat terjadi karena pemilikan atau penguasaan modal saham suatu badan oleh badan lainnya sebanyak 25% atau lebih, atau antara beberapa badan yang 25% atau lebih sahamnya dimiliki oleh suatu badan. Sedangkan untuk Wajib Pajak Perseorangan hubungan istimewa dapat terjadi karena hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus atau kesamping satu derajat.Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Perseorangan dianggap terjadi misalnya antara ayah, ibu, anak, saudara (kandung), mertua, anak tiri dan ipar. Hubungan istimewa dimaksud dapat mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha.
Secara universal transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dikenal dengan istilah transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke Wajib Pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas Wajib Pajak Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Kekurang wajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada:
|
|||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
(1)
|
Harga Penjualan;
|
||||||||||||||
|
|
|
(2)
|
Harga Pembelian;
|
||||||||||||||
|
|
|
(3)
|
Alokasi Biaya Administrasi dan Umum (overhead cost);
|
||||||||||||||
|
|
|
(4)
|
Pembebanan Bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan);
|
||||||||||||||
|
|
|
(5)
|
Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya;
|
||||||||||||||
|
|
|
(6)
|
Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
|
||||||||||||||
|
|
|
(7)
|
Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center).
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
3.
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan dalam butir V.I di atas, dengan alasan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
|
|
3.1.
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa di tahun 2007 Termohon Peninjauan Kembali melakukan transaksi pembayaran royalti senilai Rp597.813.818.985,00 kepada Toyota Motor Corporation (TMC) dan Daihatsu Motor Corporation (DMC) selaku pihak afiliasi Termohon Peninjauan Kembali.
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
3.2.
|
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya pengurangan/biaya untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
3.3.
|
Dalam tahapan penelitian kewajaran transaksi pembayaran royalti terdapat 3 (tiga) masalah utama (main issues) yang harus diperhatikan pada saat melakukan penelitian penerapan prinsip kewajaran dalam transaksi pembayaran royalti atas pemanfaatan intangible property (IP), yaitu:
|
|||||||||||||||
|
|
|
a)
|
Keberadaan harta tidak berwujud (Intangible Property/IP). Penelitian dilakukan dengan meminta informasi dari Termohon Peninjauan Kembali sebagai bahan bagi Pemeriksa untuk membentuk keyakinan terkait keberadaan (eksistensi) IP. Pada tahap ini Termohon Peninjauan Kembali harus dapat membuktikan keberadaan dari IP yang pembuktiannya mencakup jenis-jenis atau tipe IP, kepemilikan, nilai, dan cara penilaian IP.
|
||||||||||||||
|
|
|
|
●
|
Jenis-jenis atau tipe IP (Marketing atau Trade Intangible) Terdapat dua jenis Intangible Properti (IP) yaitu: Marketing Intangible dan Trade Intangible. Marketing Intangible adalah IP yang terbentuk dari kegiatan Advertising, Marketing and Promotion (AMP). Contoh Marketing Intangible adalah Trademark (merek), Logo dan Simbol. Trade Intangible adalah IP yang terbentuk dari kegiatan Research and Development (R&D). Contoh Trade Intangible adalah Patent dan Know-how.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
Hal lain mengenai pentingnya mengetahui tipe IP adalah bagaimana IP tersebut dibentuk, apakah melalui riset atau melalui pemasaran atau melalui kegiatan lain dan seterusnya karena tidak semua kegiatan riset atau pemasaran akan menghasilkan IP sesuai dengan OECD TP Guidelines paragraf 6.6.
Identifikasi atas tipe IP tersebut adalah hal yang sangat penting karena pengaruh dari kedua jenis IP tersebut sangat berbeda. Dalam paragraf 6.8 OECD TP Guidelines dijelaskan bahwa Marketing Intangible berhubungan langsung dengan penjualan sedangkan Trade Intangible berhubungan langsung dengan produksi. Selain itu, siklus umur dari Trade Intangibles cenderung menurun dan terbatas.Sebagai contoh, paten hanya berumur 20 Tahun. Sementara itu, Marketing Intangible, contohnya adalah trademark, siklus umurnya tidak terbatas sepanjang kegiatan AMP tetap dilakukan.
Dengan demikian Termohon Peninjauan Kembali harus dapat menentukan tipe dari masing-masing IP yang dimanfaatkan karena perbedaan jenis IP dapat mempengaruhi cara penilaian IP dan cara penghitungan besaran royalti yang akan dibebankan. Juga perlu dipastikan apakah yang dinyatakan sebagai IP tersebut memang IP atau hanyalah standar prosedur yang tidak memenuhi kriteria untuk dapat disebutkan sebagai IP atau bahkan sebenarnya merupakan pemberian jasa/servis yang tidak seharusnya membayar royalti. Selain itu terdapat IP yang dengan kondisi tertentu tidak berbentuk pembayaran royalti namun merupakan “one stop payment” seperti know how karena sesuai dengan definisi know how dalam Para 6.5 OECD TP Guidelines, know how didefinisikan sebagai “Undivulged information of an industrial...Any disclosure of know-how or a trade secret could substantially reduce the value of property” sehingga begitu pihak yang bersangkutan diberikan informasi atas know how tersebut maka know how tersebut sudah tidak menjadi informasi rahasia lagi dan nilai dari know-how tersebut telah berkurang secara substansial atau signifikan sehingga tidak perlu terus menerus dibayar royalti-nya.
Apabila sudah dapat diyakini dan ditentukan tipe dari IP yang digunakan Termohon Peninjauan Kembali, maka langkah selanjutnya adalah menentukan kepemilikan dari IP.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
●
|
Kepemilikan atas IP
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
Sesuai dengan OECD TP Guidelines paragraf 6.3, kepemilikan IP menentukan siapa yang berhak atas pembayaran royalti. Kepemilikan dibagi 2 yaitu kepemilikan legal dan ekonomi. Kepemilikan ini harus diketahui karena Termohon Peninjauan Kembali sebagai licensee ternyata dapat juga melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan nilai IP sehingga membuat Termohon Peninjauan Kembali secara tidak langsung menjadi pemilik ekonomi dari IP tersebut, maka seharusnya Termohon Peninjauan Kembali mendapat kompensasi atas keikutsertaannya sebagai pemilik secara ekonomi. Dalam praktik internasional, Kantor Pajak Inggris secara tegas mengatur masalah kepemilikan tersebut (lihat HMRC INTM464070) yang menyatakan bahwa yang berhak menerima income royalti adalah pemilik ekonomi dan bukan pemilik legal.
Apabila sudah dapat ditentukan siapa pemilik IP maka langkah selanjutnya adalah menentukan nilai dari IP.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
●
|
Nilai dan Cara Penilaian IP
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
Dalam OECD TP Guidelines paragraf 6.3, 6.14 dan 6.22 diatur bahwa IP harus mempunyai nilai (value). Pada paragraf 6.14 dinyatakan bahwa “...from the perspective of the transferee, a comparable independent enterprise may or may not be prepared to pay such a price, depending on the value and ...”, jadi nilai suatu IP adalah hal yang penting untuk diketahui, dan penentuan besaran royalti yang akan dibebankan selalu berdasarkan dari nilai IP tersebut. Adalah menjadi tidak wajar apabila Termohon Peninjauan Kembali membebankan pembayaran imbalan royalti atas IP yang sudah tidak ada nilai lagi atau IP yang nilainya sudah nol atau atas IP yang tidak dapat didefinisikan nilainya. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa keberadaan nilai IP tidak serta merta dapat dibuktikan dengan adanya aktifitas dan biaya R&D atau marketing, karena seperti telah disebutkan sebelumnya pada paragraf 6.6 OECD TP Guidelines bahwa tidak semua kegiatan research and development maupun kegiatan pemasaran akan menghasilkan IP.
Seandainya transaksi pembayaran royalti terjadi di antara pihak yang independen, maka pembayar royalti akan mempertanyakan tentang tipe IP yang ia peroleh, kepemilikan IP dan nilai dari IP yang ia gunakan.
Dengan demikian jika Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menunjukkan tipe, kepemilikan dan nilai dari IP, maka seharusnya dapat diartikan bahwa sebagaimana transaksi antar pihak independen, wajarnya Termohon Peninjauan Kembali tidak akan bersedia membayar royalti atas IP yang tidak eksis.
Namun demikian, walaupun eksistensi IP tidak dapat diyakini, Pemeriksa akan tetap melanjutkan pengujian ke step berikutnya untuk memastikan bahwa keberadaan penyerahan hak untuk menggunakan IP tersebut dapat diyakini.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
b)
|
Keberadaan penyerahan hak untuk menggunakan IP
|
||||||||||||||
|
|
|
|
Setelah diperoleh kesimpulan mengenai keberadaan dari IP, maka penelitian pada tahap kedua dilakukan dengan meminta Termohon Peninjauan Kembali untuk memberikan informasi terkait keberadaan peristiwa pengalihan (transfer) hak untuk menggunakan IP tersebut. Pada tahap ini Termohon Peninjauan Kembali harus dapat membuktikan keberadaan peristiwa pengalihan hak untuk menggunakan IP yang ditunjukkan dengan adanya manfaat ekonomis bagi pihak yang menerima hak menggunakan IP, Siklus Umur Produk dan umur IP, serta syarat-syarat transaksi pengalihan hak untuk menggunakan IP.
Di dalam praktik internasional, agar pembayaran royalti tersebut dapat dinyatakan wajar (arm’s length), maka Termohon Peninjauan Kembali harus bisa menunjukkan keberadaan manfaat yang diterima Termohon Peninjauan Kembali atas pembebanan royalti tersebut. Pada paragraf 6.14 OECD TP Guidelines disebutkan bahwa
“From the perspective of the transferee, a comparable independent enterprise may or may not be prepared to pay such a price, depending on the value and the usefulness of the intangible property to the transferee in its business”.
Dalam “Discussion Draft-Revision Of The Special Considerations For Intangibles In Chapter VI of The OECD Transfer Pricing Guidelines and Related Provisions” yang akan menggantikan Guidelines yang sekarang ada, pada paragraf 10 menekankan “Care should be taken in determining whether or when an intangible exists and whether an intangible has been used or transferred.” Artinya, tidak hanya eksistensi atas IP yang perlu diperhatikan, tetapi juga sekaligus eksistensi atas penyerahan IP.
Untuk menentukan ada tidaknya manfaat yang diterima Termohon Peninjauan Kembali atas adanya IP, perlu ditentukan terlebih dahulu substansi usaha Termohon Peninjauan Kembali tersebut. Jika Termohon Peninjauan Kembali berdasarkan analisis fungsi, aset dan risiko adalah perusahaan contract manufacturing, maka fungsi yang dilaksanakan hanya terbatas pada pengadaan bahan baku dan proses produksi barang jadi sehingga tidak ada manfaat yang diterima Termohon Peninjauan Kembali atas pembebanan biaya royalti karena IP tetap dimiliki oleh pemesan, sesuai dengan lampiran 1, butir C.7 Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan nomor S-153/PJ.04/2010.
Apabila Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat membuktikan keberadaan penyerahan hak untuk menggunakan IP, maka seharusnya dapat diartikan bahwa Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat membuktikan eksistensi IP tersebut, dan dapat dinyatakan pula bahwa eksistensi IP dan eksistensi penyerahan hak untuk menggunakan IP tersebut tidak dapat diyakini.
Namun demikian, pemeriksa seharusnya tetap melanjutkan pengujian ke step berikutnya yaitu penentuan kewajaran nilai imbalan royalti.
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
c)
|
Kewajaran nilai dari IP (Arm’s Length Price)
|
||||||||||||||
|
|
|
|
Pada tahap ketiga, setelah diperoleh kesimpulan mengenai keberadaan IP dan keberadaan peristiwa pengalihan hak untuk menggunakan IP, maka penelitian pada tahap ini ditujukan untuk meneliti penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam penentuan nilai wajar dari IP dan nilai royalti sebagai imbalan atas hak menggunakan IP sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Pada saat menentukan kewajaran nilai dari IP harus terlebih dahulu dilakukan analisis kesebandingan. Berdasarkan hasil analisis kesebandingan dicari transaksi pembanding yang sebanding dengan transaksi afiliasi Termohon Peninjauan Kembali, baru kemudian ditentukan metode transfer pricing yang digunakan.
Terkait dengan analisa kesebandingan dalam rangka menguji kewajaran royalti, seharusnya dilakukan analisis kesebandingan dengan mempertimbangkan special factors dalam menguji kesebandingan royalti sesuai paragraf 6.20 OECD TP Guidelines yang antara lain meliputi kesebandingan atas expected benefits from the intangible property (possibly determined through a net present value calculation), any limitations on the geographic area in which rights may be exercised; export restrictions on goods produced by virtue of any rights transferred; the exclusive or non-exclusive character of any rights transferred; the capital investment (to construct new plants or to buy special machines), the start-up expenses and the development work required in the market; the possibility of sub-licensing, the licensee’s distribution network, and whether the licensee has the right to participate in further developments of the property by the licensor.
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
3.4.
|
Penelitian atas ketiga masalah utama di atas, dilakukan secara bertahap dan apabila pada penelitian mengenai masalah utama yang pertama, Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat membuktikan keberadaan dari IP tersebut, maka pemeriksa tetap perlu melakukan penelitian untuk masalah utama yang kedua dan ketiga dengan tujuan untuk memastikan bahwa tidak terdapat pihak independen yang bersedia melakukan transaksi yang sebanding. Apabila terjadi hal demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi peristiwa pemanfaatan hak untuk menggunakan IP sehingga atas biaya royalti yang telah dibebankan/dibayarkan tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto di dalam SPT Tahunan PPh Badan, dan bagi pihak terafiliasi yang menerima pembayaran tersebut dianggap menerima penghasilan dividen yang dikenakan pajak.
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
3.5.
|
Adapun hasil pengujian kewajaran transaksi pembayaran royalti yang dilakukan Termohon Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut:
|
|||||||||||||||
|
|
|
a)
|
Penelitian Keberadaan dari IP
|
||||||||||||||
|
|
|
|
Tipe IP
|
||||||||||||||
|
|
|
|
Dalam surat tambahan penjelasan tertulis nomor TTD-2101 tanggal 8 Agustus 2012 Termohon Peninjauan Kembali menyatakan bahwa jenis IP yang dibayarkan berupa technical and manufacturing know how, design, trademark, dan patent.
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
Pendekatan secara legal
|
||||||||||||||
|
|
|
|
Apakah atas IP yang diuraikan dalam kontrak perjanjian bantuan teknis dan digunakan dalam proses produksi Termohon Peninjauan Kembali adalah IP yang telah didaftarkan pada badan-badan internasional yang menangani hak-hak kekayaan intelektual.Berdasarkan hasil pemeriksaan Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menunjukkan IP yang digunakan dalam proses produksi adalah IP yang didaftarkan.
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
Pendekatan secara ekonomi
|
||||||||||||||
|
|
|
|
Pendekatan kedua adalah pendekatan secara ekonomi yaitu apakah DMC/TMC adalah pemilik secara ekonomi (yang mengeluarkan biaya dan menanggung risiko atas penciptaan IP) atas IP yang mana Termohon Peninjauan Kembali diharuskan membayar royalti.Kepemilikan secara ekonomi ditunjukkan dari apakah IP tersebut dilaporkan sebagai Intangible Asset dalam laporan keuangan DMC/TMC. Berdasarkan penelitian terhadap laporan keuangan Toyota Manufacturing Corp (TMC) Jepang (terlampir) diperoleh data dan informasi bahwa Intangible Asset yang dimiliki oleh TMC terutama/sebagian besar adalah software. Dalam pemeriksaan, Termohon Peninjauan Kembali menunjukkan contoh-contoh dokumen yang menurut Termohon Peninjauan Kembali adalah IP yaitu:
|
||||||||||||||
|
|
|
|
1.
|
Cetak biru (drawing) untuk membuat mobil;
|
|||||||||||||
|
|
|
|
2.
|
Permohonan perancangan dan pengembangan suku cadang
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
Menurut pendapat Pemohon Peninjauan Kembali, sesuatu disebut sebagai IP apabila memiliki nilai yang tinggi, sebagai contoh kegiatan riset dan pengembangan tidak selalu akan menjadi IP meskipun telah mengeluarkan biaya yang besar dan menanggung risiko yang tinggi serta hanya dibebankan sebagai biaya usaha di tahun buku yang bersangkutan karena hasil dari riset dan pengembangan tersebut tidak menghasilkan IP yang memiliki nilai yang tinggi. Permohonan perancangan dan pengembangan hanyalah sebuah prosedur sederhana yang sama sekali tidak memerlukan suatu kegiatan riset dan pengembangan yang membutuhkan biaya besar dan risiko yang tinggi. Dengan kata lain patut dipertanyakan bahwa apakah permohonan perancangan dan pengembangan adalah apa yang disebut IP atau sebuah pedoman atau manual produksi supaya berjalan sesuai standarisasi.
Pengertian Intangible Asset dan Characteristics of Intangible Asset menurut IAS No. 38 (revisi) dan PSAK 19 (revisi) adalah sebagai berikut:
Kutipan IAS 38 (revisi):
Intangible assets
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
9.
|
Often, entities expend resources, or incur liabilities in the acquisition, development, maintenance or enhancement of intangible resources such as scientific or technical knowledge, design and implementation of new processes or systems, licenses or concessions, intellectual property, commercial knowledge or trademarks (including brand names and publishing rights). Common examples of items that fall under these broad headings are computer software, patents, copyright, movies, customer lists, mortgage servicing rights, fishing licenses, import quotas, the franchises, business relations with customers or suppliers, customer loyalty, market share and marketing rights.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
10.
|
Not all the items described in paragraph 9 meet the definition of an intangible asset, that is, identifiability, control over a resource and existence of future economic benefits. If an element within the scope of this Standard does not meet the definition of intangible asset, the amount derived from its purchase or generate it internally by the entity, is recognized as an expense in the period in which incurred. However, if the item had been acquired in a business combination will form part of goodwill recognized on the date of acquisition (see paragraph 68).
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
Kutipan PSAK 19 (revisi 2000) adalah sebagai berikut:
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
Isi IAS 38 (revisi) sama dengan PSAK 19 yang jelas-jelas menyatakan bahwa apabila pengeluaran yang dilakukan dalam rangka memperoleh atau menciptakan sendiri aktiva tersebut tidak memenuhi semua unsur yaitu keteridentifikasian, adanya pengendalian sumber daya dan adanya manfaat ekonomis di masa depan, maka bukan merupakan aktiva tidak berwujud (Intangible Property) dan hanya diperlakukan sebagai beban pada saat terjadinya. Namun apabila memenuhi ketiga unsur diatas maka didefinisikan sebagai aktiva tidak berwujud dan tercantum dalam neraca perusahaan. Sehingga apa yang dinyatakan oleh Termohon Peninjauan Kembali menguatkan pendapat Pemohon Peninjauan Kembali bahwa memang tidak ada Intangible Property/Aktiva Tidak Berwujud karena pengeluaran-pengeluaran R&D DMC/TMC tidak memenuhi ketiga unsur agar dapat didefinisikan sebagai Intangible Property/aktiva Tidak Berwujud.
Sebagai tambahan informasi, dalam majalah Autobild edisi 196 tanggal 27 Oktober-9 November 2010 diuraikan dengan panjang lebar bagaimana peran Termohon Peninjauan Kembali maupun TMMIN dalam kolaborasi pembuatan produk terutama Avanza dan Xenia yang sangat dominan. Termohon Peninjauan Kembali mempunyai peran yang dominan dalam R&D terutama riset pasar. Karena berdasarkan riset pasar inilah diperoleh satu konsep mobil yang bisa diterima masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat Asia pada umumnya. Berdasarkan berita tersebut jelas bahwa Termohon Peninjauan Kembali dan TMMIN telah mengeluarkan biaya, tenaga, dan risiko penciptaan Avanza. Imbalan (remunerasi) justru seharusnya diterima oleh Termohon Peninjauan Kembali dan TMMIN karena melakukan fungsi R&D, bukan malah dibebani biaya royalti.
Pemohon Peninjauan Kembali menganggap bahwa baik Termohon Peninjauan Kembali maupun DMC/TMC melakukan kegiatan R&D dan Marketing. Namun demikian, yang berhasil menciptakan IP adalah Termohon Peninjauan Kembali.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
1)
|
DMC/TMC tidak memiliki IP baik secara legal maupun secara ekonomis yang mana atas penggunaannya Termohon Peninjauan Kembali diharuskan membayar royalti.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
2)
|
DMC/TMC tidak mendefinisikan IP sesuai IAS 38/PSAK 19 (semua unsur harus terpenuhi) yaitu keteridentifikasian, pengendalian atas sumber daya, dan adanya keuntungan ekonomis di masa depan. Suatu aset dikatakan:
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
a.
|
Dapat diidentifikasi jika:
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Dapat dipisahkan, yaitu dapat dipisahkan atau dibedakan dari entitas dan dijual, dipindahkan, dilisensikan, disewakan atau ditukarkan, baik secara tersendiri atau bersama-sama dengan kontrak terkait, aset atau liabilitas teridentifikasi, terlepas dari apakah entitas bermaksud untuk melakukan hal tersebut; atau
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Timbul dari kontrak atau hak legal lainnya, terlepas dari apakah hak tersebut dapat dialihkan atau dipisahkan dari entitas atau dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya.
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
Dalam kasus Termohon Peninjauan Kembali, apakah permohonan perancangan dan pengembangan dapat dipisahkan atau dibedakan dari entitas dan dijual, dipindahkan, dilisensikan, disewakan atau ditukarkan, baik secara tersendiri atau bersama-sama dengan kontrak terkait, aset atau liabilitas teridentifikasi, terlepas dari apakah entitas bermaksud untuk melakukan hal tersebut? Menurut Pemohon Peninjauan Kembali jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|
b.
|
Pengendalian atas sumber daya:
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
Entitas mengendalikan aset jika entitas memiliki kemampuan untuk memperoleh manfaat ekonomis masa depan yang timbul dari aset tersebut dan dapat membatasi akses pihak lain dalam memperoleh manfaat ekonomis tersebut. Kemampuan entitas untuk mengendalikan manfaat ekonomis masa depan dari suatu aset tidak berwujud biasanya timbul dari hak legal yang memiliki kekuatan dalam suatu pengadilan. Walaupun entitas tidak memiliki hak legal atas aset, namun apabila ada transaksi pertukaran, maka hal ini memberikan bukti bahwa entitas mampu memiliki pengendalian atas manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut. Dengan kata lain pengendalian timbul karena kepemilikan legal dan/atau ekonomi yang mana dalam kasus Termohon Peninjauan Kembali kepemilikan secara legal dan ekonomi tidak terpenuhi.
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|
c.
|
Keuntungan ekonomis di masa depan:
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
Manfaat ekonomis masa depan yang timbul dari aset tidak berwujud dapat mencakup pendapatan dari penjualan barang atau jasa, penghematan biaya, atau manfaat lain yang berasal dari penggunaan aset tersebut oleh entitas. Misalnya, penggunaan hak kekayaan intelektual dalam suatu proses produksi tidak meningkatkan pendapatan masa depan, tetapi menekan biaya produksi masa depan. Dalam kasus Termohon Peninjauan Kembali tidak diperoleh penekanan biaya produksi (= peningkatan laba baik laba bruto maupun laba neto).
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
b)
|
Penelitian Keberadaan Transaksi Pengalihan Hak Untuk Menggunakan IP
|
||||||||||||||
|
|
|
|
Keberadaan transaksi pengalihan hak atas penggunaan IP dibuktikan dengan adanya manfaat yang diterima oleh Penerima hak untuk menggunakan IP.
Suatu IP akan memiliki manfaat apabila dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan dibanding dengan apabila tidak menggunakan IP tersebut. Berdasarkan pemeriksaan dalam kasus Termohon Peninjauan Kembali tidak diperoleh penekanan biaya produksi (= peningkatan laba baik laba bruto maupun laba neto).
Sebagai tambahan informasi, dalam majalah Autobild edisi 196 tanggal 27 Oktober-9 November 2010 diuraikan dengan panjang lebar bagaimana usaha Termohon Peninjauan Kembali dan TMMIN untuk bisa menciptakan dan memproduksi Avanza dan Xenia. Berdasarkan berita tersebut jelas bahwa Termohon Peninjauan Kembali dan TMMIN telah mengeluarkan biaya, tenaga, dan risiko penciptaan Avanza dan Xenia dan terdapat tulisan bahwa “Sukses penjualan Avanza sesaat launching di Indonesia langsung diumumkan via pengeras suara di pabrik Toyota di Jepang.“ Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menerima manfaat atas segala usaha dan kerja keras dari sumberdaya terutama karyawan-karyawan di Indonesia adalah induk perusahaan di Jepang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat keberadaan IP dan keberadaan transaksi pengalihan hak untuk menggunakan IP.
Terkait substansi transaksi yang menjadi sengketa yaitu pembayaran royalti sebesar 6% dapat dijelaskan bahwa berdasarkan informasi kontrak pembayaran royalti, dinyatakan bahwa pembayaran royalti dibayarkan atas local value added. Menurut perjanjian tersebut local value added adalah suku cadang (komponen) yang diproduksi oleh supplier lokal sehingga Termohon Peninjauan Kembali tidak perlu lagi membayar royalti atas barang lokal tersebut. Selain itu royalti adalah pembayaran atas penggunaan IP, dalam hal ini tidak ada IP yang digunakan oleh Termohon Peninjauan Kembali dari TMC karena yang memproduksi adalah supplier lokal. Oleh sebab itu Termohon Peninjauan Kembali seharusnya dapat menunjukkan dan menjelaskan dengan lengkap royalti dibayarkan atas apa (substansi dari royalti) dan bagaimana formula perhitungan royalti tersebut diaplikasikan.
Lebih lanjut Pemohon Peninjauan Kembali menyatakan bahwa terdapat ketidakwajaran pembayaran royalti yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali karena pada dasarnya kegiatan yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali hanyalah merakit yang merupakan sebuah prosedur sehingga tidak dapat digolongkan sebagai Intangible Property. Termohon Peninjauan Kembali menunjukkan dalam persidangan mengenai patent-patent yang menurut Termohon Peninjauan Kembali digunakan oleh Termohon Peninjauan Kembali. Sebagai contoh adalah patent mengenai bagaimana membuat sebuah mekanisme mesin pengatur waktu katup bervariasi, apabila Termohon Peninjauan Kembali membuat mekanisme mesin pengatur waktu katup bervariasi dengan memanfaatkan teknologi yang dipatenkan tersebut maka adalah wajar jika Termohon Peninjauan Kembali membayar royalti. Namun pada kenyataannya apa yang dilakukan Termohon Peninjauan Kembali hanyalah merakit, sehingga tidak wajar apabila Termohon Peninjauan Kembali membayar royalti.
Selain itu dapat dijelaskan bahwa kedudukan Termohon Peninjauan Kembali serupa dengan kedudukan supplier-supplier lokal dengan penjelasan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
a.
|
DMC/TMC dan Termohon Peninjauan Kembali (= pemberi desain) sama-sama memberikan desain kepada pihak yang mengerjakan (sub-con) agar hasilnya sesuai dengan keinginan pemberi desain dan hasil produksinya dijual kembali kepada pemberi design.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
b.
|
Supplier Lokal tidak membayar royalti kepada Termohon Peninjauan Kembali karena Supplier Lokal adalah pihak yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa pada saat bertransaksi dengan Termohon Peninjauan Kembali sehingga Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat memaksa Supplier Lokal untuk membayar royalti atas design yang telah digunakan oleh Supplier Lokal.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
c.
|
Apabila Termohon Peninjauan Kembali bertransaksi secara wajar (tidak dipengaruhi hubungan istimewa) dengan DMC/TMC, maka seharusnya Termohon Peninjauan Kembali bertindak sama seperti Supplier Lokal yaitu tidak membayar royalti.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
d.
|
Pernyataan bahwa Termohon Peninjauan Kembali adalah royalti kolektor. Royalti seharusnya dibayarkan oleh pihak yang menikmati IP. Dengan pernyataan bahwa Termohon Peninjauan Kembali hanyalah sebagai royalti kolektor maka semakin menguatkan bahwa Termohon Peninjauan Kembali bukanlah pihak yang menikmati IP sehingga Termohon Peninjauan Kembali tidak seharusnya membayar royalti sesuai dengan pengertian royalti sebagaimana diatur dalam P3B antara Indonesia-Jepang.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
Lazimnya, assembling company tidak mendapatkan tagihan royalti karena memang dalam proses produksinya tidak membutuhkan teknologi yang merupakan milik prinsipal produk. Contoh assembling company yang tidak mendapatkan tagihan royalti adalah Aftab Automobiles Limited (Aftab).
Data dan informasi yang diperoleh tentang Aftab berdasarkan Annual Report Tahun 2010 adalah sebagai berikut:
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
●
|
Perusahaan yang berdomisili di Bangladesh,
|
|||||||||||||
|
|
|
|
●
|
Merupakan assembling company bagi Toyota,
|
|||||||||||||
|
|
|
|
●
|
Perusahaan Terbuka yang dikendalikan oleh keluarga Syaiful Islami di Bangladesh, sehingga merupakan pihak yang independen terhadap kelompok usaha Toyota (100% sahamnya tidak dimiliki oleh TMC,
|
|||||||||||||
|
|
|
|
●
|
Mendapat lisensi dari TMC untuk memproduksi Land Cruiser dan truk Hino,
|
|||||||||||||
|
|
|
|
●
|
Dalam Laporan Keuangan Aftab Automobiles Limited (rincian COGS, FOH dan Administrative Expenses) tidak ditemukan adanya biaya royalti.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
Berdasarkan data dan informasi tersebut diatas, disimpulkan bahwa:
|
||||||||||||||
|
|
|
|
1.
|
Aftab adalah perusahaan assembling yang independen terhadap TMC.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
2.
|
Pada saat TMC melisensikan kepada pihak independen (dalam hal ini Aftab), Aftab tidak membayar satu sen pun royalti kepada TMC.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
3.
|
Aftab adalah perusahaan yang sebanding dengan Termohon Peninjauan Kembali (internal comparable).
|
|||||||||||||
|
|
|
|
4.
|
Karena Aftab tidak membayar royalti, maka seharusnya Termohon Peninjauan Kembali pun tidak membayar royalti karena merupakan pembebanan yang tidak wajar.
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
Bahwa penggunaan data Annual Report Aftab Tahun 2010 untuk sengketa banding Tahun Pajak 2008 adalah bukan kondisi atau keadaan yang mempengaruhi kesebandingan karena dalam hal ini yang ingin disebandingkan adalah proses bisnis dan karakteristik usaha Aftab yang sebanding dengan Termohon Peninjauan Kembali dimana Aftab ternyata tidak membayar royalti.
Dalam putusan Pengadilan Pajak hal. 71 Majelis menyatakan bahwa
“Menurut Majelis peraturan terkait dengan penanganan kasus-kasus transfer pricing untuk tahun 2007 adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-01/PJ.7/1993 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/1993 dimana peraturan a quo tidak mengatur baik secara eksplisit maupun implisit tentang kewajiban menyampaikan dokumentasi transfer pricing bagi Termohon Peninjauan Kembali, sedangkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-43/PJ/2010 tanggal 06 September 2010 tidak dapat digunakan untuk tahun 2007, sementara paragraf 5.28 dan 5.29 Organization for Economic Co-operation and Development Transfer Pricing Guidelines hanyalah merupakan suatu petunjuk dan bukan merupakan ketentuan perpajakan Indonesia”.
Atas pernyataan Majelis tersebut Pemohon Peninjauan Kembali menyatakan bahwa sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) dan 29 ayat (3) UU KUP, Termohon Peninjauan Kembali diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan dan memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali. Terkait dengan transaksi antara Termohon Peninjauan Kembali dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa maka Termohon Peninjauan Kembali diwajibkan untuk membuat dan menyerahkan dokumen-dokumen yang menjadi dasar tentang bagaimana penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi tersebut.
Bahwa sesuai dengan referensi/acuan yang sudah diterima secara internasional yaitu OECD TP Guidelines, dokumen-dokumen tentang bagaimana penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi hubungan istimewa disebut TP Documentation. Dengan demikian ketentuan mengenai kewajiban untuk menyelenggarakan dan meminjamkan dokumentasi berupa buku/catatan/dokumen yang menjadi dasar tentang bagaimana penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi hubungan istimewa yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali sudah diatur dalam Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (3) UU KUP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak antara lain diatur bahwa
"Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim".
Dengan demikian maka Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa kesimpulan Majelis Hakim yang tidak mempertahankan koreksi Harga Pokok Penjualan-biaya royalti sebesar Rp597.813.818.985,00 tidak tepat karena tidak didasarkan pada pembuktian yang dilakukan dalam persidangan maupun ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sehingga atas koreksi Harga Pokok Penjualan-Biaya Royalti sebesar Rp597.813.818.985,00 diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
III.
|
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.58510/PP/M.IIIB/15/2014 Tanggal 16 Desember 2014 yang menyatakan:
|
|||||||||||||||||
|
Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-294/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 12 April 2011, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2007 Nomor: 00015/206/07/092/10 tanggal 15 Januari 2010, atas nama: PT. Astra Daihatsu Motor, NPWP: 01.000.571.8-092.000, beralamat di: Jl. Gaya Motor III No. 5 Sunter II, Jakarta 14330, sehingga perhitungan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2007 menjadi sebagaimana tersebut diatas (halaman 2);
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
|
|||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG |
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan Mengabulkan Seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-294/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 12 April 2011 tentang Keberatan Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2007 Nomor: 00015/206/07/092/10 tanggal 15 Januari 2010 atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.000.571.8-092.000, sehingga Pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp465.790.608,00; adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
|
||||||||||||||||||
a.
|
Bahwa alasan permohonan peninjauan kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Harga Pokok Penjualan-Biaya Royalti sebesar Rp597.813.818.985,00; yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam memori peninjauan kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo telah dilakukan pemeriksaan dan pengujian oleh Majelis Pengadilan Pajak sudah benar, di antaranya royalti merupakan penggunaan atas merk yang telah dibayar dan dipotong PPh Pasal 26 dengan pihak pemilik IP (intangible properties) dan laba rugi kurs terkait dengan royalti dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) mengenai perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UU KUP jo UU Pajak Penghasilan.
|
|||||||||||||||||
b.
|
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;
|
||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MENGADILI
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu, tanggal 14 September 2016, oleh Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Yosran, S.H. M.Hum., dan Is Sudaryono, S.H., M.H. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Rut Endang Lestari, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota Majelis
ttd. Yosran, S.H., M.Hum. ttd.
Is Sudaryono, S.H., M.H. |
Ketua Majelis
ttd. Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., MS. |
|
|
|
Panitera Pengganti
ttd. Rut Endang Lestari, S.H. |
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum