Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
1081/B/PK/PJK/2016

 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
 
 
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
1.
CATUR RINI WIDOSARI, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak.
2.
BUDI CHRISTIADI, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
3.
FARCHAN ILYAS, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
4.
ANNDY DAILAMI, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
 
 
 
 
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. SKU-302/PJ./2015 tanggal 30 Januari 2015;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
PT. LAFARGE CEMENT INDONESIA, beralamat dahulu di Jalan Imam Bonjol No. 42A, Kel. Jati Medan Maimun, Sumatera Utara, 20152, sekarang beralamat di Gedung Graha CIMB Niaga, Lantai 25, Jalan Jenderal Sudirman Kavling 58, Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;
 
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
 
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-56142/PP/M.IVA/11/2014, Tanggal 14 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Permohonan Banding Nomor: TGH/DN/064/LCI-M/V/2012 tanggal 24 Mei 2012, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut ini:
 
Ketentuan Formal
Bahwa pada tanggal 14 Desember 2010, KPP Penanaman Modal Asing (PMA) Satu menerbitkan SKPKB PPh Pasal 22 Nomor 00001/202/08/052/10 Masa Pajak Januari-Desember 2008 sebagai hasil pemeriksaan pajak tahun 2008 yang dilakukan oleh KPP PMA Satu dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
Bahwa atas SKPKB PPh Pasal 22 Nomor: 00001/202/08/052/10 tersebut, Pemohon Banding mengajukan permohonan keberatan kepada KPP PMA Satu melalui surat Nomor: WBK/DN/160/LCI-M/III/2011 tanggal 3 Maret 2011 yang diterima oleh KPP PMA Satu pada tanggal 7 Maret 2011;
 
Bahwa pada tanggal 27 Februari 2012, Terbanding melalui Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus menerbitkan Surat Keputusan Terbanding Nomor: KEP-371/WPJ.07/2012 yang memutuskan mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak atas SKPKB PPh Pasal 22 Nomor: 00001/202/08/052/10 tanggal 14 Desember 2010 dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
Bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang KUP dan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Pengadilan Pajak dengan ini Pemohon Banding:
a.
Mengajukan permohonan Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
b.
Surat Banding ini diajukan atas Surat Keputusan Terbanding Nomor: KEP-371/WPJ.07/2012 tanggal 27 Februari 2012 yang Pemohon Banding terima melalui pos pada tanggal 5 Maret 2012.
c.
Surat Banding ini disampaikan kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya Keputusan Keberatan.
d.
Berdasarkan point 7 SKPKB PPh Pasal 22 No. 00001/202/08/052/10 tanggal 3 Maret 2011 dinyatakan bahwa besarnya pajak terutang yang disetujui berdasarkan pembahasan akhir pemeriksaan adalah nihil, sehingga tidak ada pajak terutang yang seharusnya Pemohon Banding setorkan;
 
 
 
 
Permohonan Banding
Koreksi Positif Objek PPh Pasal 22 sejumlah Rp182.577.971.807,00
 
Menurut Pemohon Banding
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi positif Terbanding atas peredaran usaha sebesar 134.625 MT (ekuivalen dengan Rp182.577.971.807,00) karena pada dasarnya pihak Terbanding keliru dalam memahami laporan persediaan perusahaan Pemohon Banding dimana pihak Terbanding menemukan adanya selisih antara jumlah persediaan di dalam laporan persediaan dengan laporan pembelian persediaan aktual. adapun selisih jumlah persediaan tersebut dianggap oleh pihak Terbanding sebagai tambahan penjualan yang belum Pemohon Banding laporkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2008;
 
Bahwa lebih lanjut, selisih antara jumlah persediaan di dalam laporan persediaan dengan laporan pembelian persediaan aktual tersebut memiliki penjelasan sebagai berikut:
a.
Koreksi Net off Inventory Issue (II)
 
Bahwa inventory issue (II) adalah merupakan kode yang Pemohon Banding pergunakan di dalam sistem inventory Pemohon Banding untuk mencatat mutasi pengeluaran persediaan. Lebih lanjut, terjadi kesalahan input mutasi pengeluaran persediaan/mutasi kredit yang dilakukan oleh bagian terminal sehingga untuk melakukan koreksi atas kesalahan input tersebut dilakukan pembalikan (reversing) terhadap pengeluaran persediaan dengan jumlah yang sama dengan jumlah mutasi debet untuk kemudian dilakukan input ulang mutasi kredit pengeluaran persediaan yang seharusnya;
 
Bahwa adapun contoh data inventory movement dengan kode II pada bulan Februari 2008 adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sesuai dengan tabel tersebut di atas bahwa pada tanggal 11 Februari 2008 terdapat kesalahan input pengeluaran persediaan di sisi kredit sebesar (1.401) yang kemudian dikoreksi dengan cara melakukan input penambahan di sisi debet dengan jumlah yang sama (bertanda plus) sebesar 1.401, serta kemudian dilakukan di sisi kredit persediaan dengan jumlah yang seharusnya yaitu sebesar (1.376);
 
Bahwa atas kesalahan input pengeluaran persediaan di sisi kredit sebesar (1.401) beserta reversingnya 1.401 kemudian dianggap oleh Terbanding sebagai tambahan pembelian semen (koreksi negatif Harga Pokok Penjualan) yang pada akhirnya juga dianggap oleh Terbanding sebagai tambahan penjualan yang belum dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2008 (koreksi peredaran usaha);
 
 
 
 
 
b.
Koreksi Nett off Receipt/Penerimaan (Kode: OV)
 
Bahwa receipt/penerimaan (OV) adalah merupakan kode yang Pemohon Banding pergunakan di dalam sistem inventory Pemohon Banding untuk mencatat mutasi penambahan persediaan. Lebih lanjut, terjadi input sejumlah penerimaan persediaan yang dilakukan oleh pihak staff terminal perusahaan Pemohon Banding yang bertanda debet, tetapi kemudian terjadi revisi harga/unit cost tanpa merubah kuantitas barang, sehingga kemudian dilakukan koreksi atas pengurangan persediaan (mutasi kredit) dengan jumlah dan harga/cost yang sama dengan sebelum revisi. Selanjutnya, dilakukan input atas penerimaan inventory dengan kuantitas yang sama tetapi dengan unit cost/harga yang telah direvisi;
 
Bahwa adapun contoh inventory movement dengan kode OV pada bulan September 2008 adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sesuai dengan tabel tersebut di atas bahwa pada tanggal 24 September 2008 terdapat input penerimaan persediaan di sisi debet sebesar 4.904 dengan unit cost sebesar Rp365.204,00 yang kemudian terjadi revisi unit cost sehingga dilakukan koreksi dengan cara melakukan input pengurangan persediaan di sisi kredit sebesar -4.904 dan unit cost sebesar Rp365.204,00 serta selanjutnya pada tanggal 25 September 2008 dilakukan input penerimaan persediaan sebesar 4.904 dan unit cost yang telah direvisi sebesar Rp362.458,00;
 
Bahwa atas kesalahan input persediaan di sisi debet sebesar 4.904 beserta koreksinya (-4.904) kemudian dianggap oleh Terbanding sebagai tambahan pembelian semen (koreksi negatif Harga Pokok Penjualan) yang pada akhirnya juga dianggap oleh Terbanding sebagai tambahan penjualan yang belum dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2008 (koreksi peredaran usaha);
 
 
 
 
 
c.
Koreksi Reclass (Kode: UR)
 
Bahwa reclass (UR) adalah merupakan kode yang Pemohon Banding pergunakan di dalam sistem inventory Pemohon Banding untuk melakukan reklasifikasi atas persediaan dari tempat penyimpanan (silo) jenis semen satu ke dalam silo jenis semen lainnya;
 
Bahwa contoh inventory movement dengan kode UR pada bulan September 2008 adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sesuai dengan tabel tersebut di atas bahwa pada tanggal 23, 24, dan 26 September 2008 terdapat reklasifikasi persediaan dari silo semen OPC ke PCC sebesar 3.674 MT;
 
Bahwa atas reklasifikasi persediaan tersebut/mutasi debet sebesar 3.674 MT kemudian dianggap oleh Terbanding sebagai tambahan pembelian semen (koreksi negatif Harga Pokok Penjualan) yang pada akhirnya juga mutasi kredit sebesar 3.674 MT dianggap oleh Terbanding sebagai tambahan penjualan yang belum dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2008 (koreksi peredaran usaha);
 
 
 
 
 
d.
Koreksi Penyesuaian inventory (Kode: PI)
 
Bahwa penyesuaian/adjustment inventory (PI) adalah merupakan kode yang Pemohon Banding pergunakan di dalam sistem inventory Pemohon Banding untuk melakukan penyesuaian persediaan berdasarkan perhitungan secara fisik melalui stock take dengan perhitungan berdasarkan sistem persediaan yang dapat merupakan penambahan atau pengurangan mutasi persediaan;
 
Bahwa contoh inventory movement dengan kode PI pada bulan Februari 2008 adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa sesuai dengan tabel tersebut di atas bahwa pada tanggal 27 Februari 2008 terdapat penyesuaian/adjustment positif persediaan sebesar 3.148 MT;
 
Bahwa penyesuaian positif persediaan tersebut sebesar 3.148 MT kemudian dianggap oleh Terbanding sebagai tambahan pembelian semen (koreksi negatif Harga Pokok Penjualan) yang pada akhirnya juga dianggap oleh Terbanding sebagai tambahan penjualan yang belum dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2008 (koreksi peredaran usaha);
 
 
 
 
Bahwa berdasarkan point-point penjelasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa total pembelian semen sepanjang tahun 2008 menurut Pemohon Banding adalah tetap sebesar 1.585.158 MT sebagaimana yang tercantum di dalam laporan pembelian, dan bukan sebesar 1.719.783 MT (1.585.158 MT + koreksi 134.625 MT), seperti perhitungan yang dipertahankan pihak Terbanding. Lebih lanjut, atas penjualan Pemohon Banding sepanjang tahun 2008 adalah tetap sebesar 1.560.227 MT dan bukan sebesar 1.694.852 MT (1.560.227 MT + koreksi 134.625 MT) sebagaimana perhitungan menurut Terbanding;
 
Bahwa di samping itu, perlu Pemohon Banding informasikan pula bahwa seluruh pembelian semen yang Pemohon Banding lakukan selama tahun pajak 2008 adalah berasal dari pembelian impor yang melalui mekanisme penerbitan Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 diatur bahwa terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean, dan pemeriksaan pabean meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang;
 
Bahwa berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 139/PMK.04/2007 tentang Pemeriksaan Pabean di bidang Impor diatur bahwa Pemeriksaan fisik barang impor dilakukan oleh pejabat pemeriksa fisik berdasarkan instruksi pemeriksaan yang diterbitkan oleh pejabat bea dan cukai; Bahwa sehingga berdasarkan peraturan tersebut diatas, Pemohon Banding tidak mungkin dapat melakukan pembelian impor tanpa didahului oleh penerbitan PIB melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan atas seluruh pembelian impor Pemohon Banding telah melalui pemeriksaan pabean/fisik oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea & Cukai;
 
Bahwa Pasal 8 point (a) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.04/2007 juga mengatur bahwa dalam hal berdasarkan pemeriksaan pabean terdapat Barang impor yang tidak diberitahukan maka pejabat pemeriksa dokumen menyerahkan pemberitahuan pabean beserta dokumen pelengkap pabeannya tersebut kepada pejabat bea dan cukai yang bertanggung jawab di bidang pengawasan untuk dilakukan penyelidikan. Sehingga menurut pendapat Pemohon Banding dikarenakan wewenang penetapan barang impor yang tidak diberitahukan ada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, maka pemeriksa Direktorat Jenderal Pajak tidak berwenang untuk melakukan penetapan/koreksi pembelian impor yang belum diberitahukan sebagai dasar koreksi positif peredaran usaha/penjualan;
 
Bahwa selanjutnya, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang No 36 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun..."
 
Bahwa lebih lanjut, Pemohon Banding dapat membuktikan melalui perhitungan uji arus kas (uji arus kas telah Pemohon Banding sampaikan pada saat proses pemeriksaan dan keberatan berlangsung) bahwa tidak terdapat penjualan/penerimaan kas lainnya yang menyebabkan bertambahnya kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh, selain penjualan yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan Badan Tahun Pajak 2008;
 
Bahwa dengan demikian, berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka Terbanding seharusnya membatalkan koreksi positif atas Objek PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00 menjadi nihil;
 
Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka perhitungan PPh Pasal 22 untuk Masa Pajak Januari-Desember 2008 menurut Pemohon Banding memiliki perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-56142/PP/M.IVA/11/2014, Tanggal 14 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
 
Menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-371/WPJ.07/2012 tanggal 27 Februari 2012, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 22 Nomor: 00001/202/08/052/10 tanggal 14 Desember 2010, atas nama: PT. Lafarge Cement Indonesia, NPWP: 01.000.660.9-052.000, beralamat di Jalan Imam Bonjol No. 42A, Kel. Jati, Medan Maimun, Sumatera Utara, 20152, sehingga Pajak Penghasilan Pasal 22 Tahun Pajak 2008, harus dihitung menjadi sebagai berikut:
 
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-56142/PP/M.IVA/11/2014, Tanggal 14 Oktober 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 14 November 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-302/PJ./2015, Tanggal 30 Januari 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 06 Februari 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 06 Februari 2015;
 
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 27 Agustus 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 18 Maret 2016;
 
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
 
Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali
 
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut:
 
Sengketa koreksi atas obyek PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00 yang terkait dengan nilai koreksi Peredaran Usaha PPh Badan yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
 
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
 
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, meneliti, dan mempelajari lebih lanjut atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.56142/PP/M.IVA/11/2014 tanggal 14 Oktober 2014 tersebut, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru dengan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak (tegenbewijs) atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan dalil-dalil dan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
1.
Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa peninjauan kembali ini sebagaimana tertuang dalam putusan a quo, antara lain berbunyi sebagai berikut:
 
Halaman 44
Bahwa sengketa banding ini adalah mengenai koreksi positif Dasar Pengenaan Pajak atas PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00 berkaitan dengan koreksi positif Peredaran Usaha pada sengketa PPh Badan;
 
Bahwa sebagaimana koreksi Peredaran Usaha, penyebab sengketa ini karena Terbanding menemukan adanya selisih antara jumlah persediaan di dalam laporan persediaan dengan laporan pembelian, sehingga selisih tersebut dianggap Terbanding sebagai tambahan penjualan yang belum Pemohon Banding laporkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2008;
 
Bahwa dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT-56143/PP/M.IVA/15/2014 Majelis berkesimpulan Terbanding tidak dapat membuktikan adanya tambahan pembelian dan penjualan yang tidak dilaporkan oleh Pemohon Banding, selisih nilai persediaan merupakan selisih pembukuan dengan kondisi aktual yang oleh Pemohon Banding telah diadjust di dalam GL Inventory, namun dari hasil uji bukti dalam persidangan masih terdapat selisih 2282 MT atau senilai Rp1.992.391.380,00 mutasi kredit persediaan OPC yang tidak dapat dijelaskan Pemohon Banding;
 
Bahwa oleh karenanya Majelis berpendapat koreksi Terbanding atas peredaran usaha sebesar Rp180.585.580.427,00 tidak dapat dipertahankan dan koreksi Terbanding sebesar Rp1.992.391.380,00 tetap dipertahankan; bahwa pembahasan dalam sengketa ini mengikuti pembahasan materi sengketa Peredaran Usaha, dan sesuai hasil uji bukti PPh Pasal 22 masih terdapat selisih jumlah persediaan yang belum dapat dijelaskan Pemohon Banding senilai Rp1.992.391.380,00, sehingga menurut Majelis koreksi Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 22 sebesar Rp180.585.580.427,00 tidak dapat dipertahankan dan koreksi Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 22 sebesar Rp1.992.391.380,00 tetap dipertahankan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Bahwa ketentuan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum mengajukan Peninjauan Kembali dalam perkara banding ini, adalah sebagai berikut:
 
2.1.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (“UU Pengadilan Pajak”), yang antara lain menyatakan:
 
Pasal 69 ayat (1):
Alat bukti dapat berupa:
 
 
 
 
 
 
a.
surat atau tulisan;
 
 
b.
keterangan ahli;
 
 
c.
keterangan para saksi;
 
 
d.
pengakuan para pihak; dan/atau
 
 
e.
pengetahuan Hakim; 
 
 
 
 
 
 
Pasal 76:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
 
Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan.
 
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.
 
Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim. Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.2.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 (“UU KUP”), yang antara lain mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 1 angka 25:
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Pasal 12 ayat (3):
Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
 
Penjelasan Pasal 12 ayat (3):
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Pasal 26A ayat (4):
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
 
Pasal 29 ayat (1):
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Penjelasan Pasal 29 ayat (1):
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
 
Pasal 29 ayat (3):
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
a.
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
 
 
b.
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;dan/atau
 
 
c.
memberikan keterangan lain yang diperlukan.
 
 
 
 
 
2.3.
Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 (“UU PPh”), yang antara lain mengatur sebagai berikut;
 
Pasal 4 ayat (1)
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
 
Pasal 22 ayat (1)
Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
 
Pasal 22 ayat (2)
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata cara penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.4.
Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 Tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22. Sifat Dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran Dan Pelaporannya sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.03/2008, mengatur tentang:
 
Pasal 1 butir 5
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, adalah Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
 
Pasal 2 ayat (1) butir c
Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5,6, dan 7 berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
 
Pasal 4 ayat (4)
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5 terutang dan dipungut pada saat penjualan.
 
Pasal 5 ayat (3)
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5 dilaksanakan dengan cara pemungutan dan penyetoran oleh pemungut pajak atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.5.
Bahwa Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-401/PJ./2001 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Penjualan Hasil Produksi Industri Semen Di Dalam Negeri, mengatur:
 
Pasal 2
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut atas penjualan semua jenis semen sebagaimana dimaksud pada pasal 1 adalah sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.6.
Bahwa Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak (“PMK-199”), antara lain mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 3 ayat (1):
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
 
Pasal 6 ayat (1):
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.7.
Bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2010 tanggal 01 Maret 2010 Tentang Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (“PER-9”), antara lain mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 1 angka 8:
Metode Pemeriksaan adalah teknik dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan terhadap buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain, yang terdiri atas metode langsung dan metode tidak langsung.
 
Pasal 1 angka 9:
Teknik Pemeriksaan adalah cara-cara pengumpulan bukti, pengujian, dan/atau pembuktian yang dikembangkan oleh Pemeriksa Pajak untuk meyakini kebenaran pos-pos yang diperiksa.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak sependapat dengan kesimpulan dan putusan Majelis yang tidak dapat mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas sengketa a quo dengan pertimbangan sebagai berikut: (Bahwa sengketa banding ini adalah mengenai koreksi positif Dasar Pengenaan Pajak atas PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00 berkaitan dengan koreksi positif Peredaran Usaha pada sengketa PPh Badan, sehingga pembahasannya mengikuti sengketa PPh Badan)
 
3.1.
Bahwa dalam salah satu dasar pertimbangannya, Majelis menyampaikan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyimpulkan adanya penjualan yang tidak dilaporkan sebesar Rp182.577.971.807,00 berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan persediaan dimana terdapat pembelian dan penjualan semen yang belum dilaporkan di Tahun 2008.
 
 
 
 
 
3.2.
Bahwa menanggapi dasar pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas, perlu disampaikan:
3.2.1. 
Bahwa dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU KUP, diatur bahwa:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.2. 
Bahwa dalam ketentuan tersebut di atas sangat jelas diatur adanya kewenangan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) untuk melakukan pemeriksaan terhadap semua Wajib Pajak termasuk Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
 
Bahwa pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak ataupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.3. 
Bahwa selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 UU KUP diatur mengenai definisi pemeriksaan, yaitu serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Bahwa dalam memori penjelasan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU KUP juga disebutkan bahwa:
 
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
 
Bahwa dari kedua ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan dilakukan dengan cara mengolah data, keterangan dan bukti-bukti yang ditemukan, baik dalam Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan Wajib Pajak ataupun dalam pembukuan dan pencatatan Wajib Pajak.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.4.
Bahwa faktanya, dalam melakukan pemeriksaan terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) juga mendasarkan koreksinya dari hasil penelusuran bukti-bukti yang ditemukan dalam pembukuan atau pencatatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), yaitu bukti berupa dokumen Inventory Report.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.5.
Bahwa selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 12 ayat (3) UU KUP diatur bahwa:
 
Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
 
Bahwa dalam memori penjelasannya disebutkan bahwa: Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.6. 
Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas koreksi positif Dasar Pengenaan Pajak atas PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00 yang terkait dengan nilai koreksi Peredaran Usaha PPh Badan adalah koreksi yang benar, didasarkan pada bukti berupa dokumen Inventory Report dan telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.7. 
Bahwa apabila Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berpendapat bahwa bukti yang ditemukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam dokumen Inventory Report adalah bukti yang tidak benar atau tidak valid, maka Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) seharusnya membantah atau menyanggahnya pada saat proses pemeriksaan berlangsung.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.8.
Bahwa hal ini karena dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU KUP diatur secara jelas bahwa:
 
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
 
 
a.
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
 
b.
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;dan/atau
 
c.
memberikan keterangan lain yang diperlukan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.9. 
Bahwa apabila Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak menyampaikan bantahan dan sanggahan berikut dokumen pendukungnya pada saat proses pemeriksaan berlangsung, maka hak Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tersebut telah ditutup dengan ketentuan Pasal 26A ayat (4) UU KUP yang mengatur bahwa:
 
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.10.
Bahwa perlu disampaikan juga bahwa dalam PMK-199, diatur beberapa ketentuan sebagai berikut:
 
Pasal 3 ayat (1):
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
 
Pasal 6 ayat (1):
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.11.
Bahwa dalam PER-9, diatur beberapa ketentuan sebagai berikut:
 
Pasal 1 angka 8:
Metode Pemeriksaan adalah teknik dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan terhadap buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain, yang terdiri atas metode langsung dan metode tidak langsung.
 
Pasal 1 angka 9:
Teknik Pemeriksaan adalah cara-cara pengumpulan bukti, pengujian, dan/atau pembuktian yang dikembangkan oleh Pemeriksa Pajak untuk meyakini kebenaran pos-pos yang diperiksa.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.12.
Bahwa dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PMK-199 dan PER-9 tersebut di atas, dapat diketahui bahwa metode pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam menentukan besarnya nilai penjualan, tidak semata-mata dengan menggunakan metode langsung, seperti rekap faktur penjualan, rekap invoice, rekap sales order ataupun rekap bukti penerimaan uang/kas. Tetapi dapat juga dilakukan dengan metode tidak langsung, salah satunya dengan melihat mutasi pengeluaran produk dalam dokumen Inventory Report ataupun Kartu Stock.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.13.
Bahwa hal inilah yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam menentukan koreksi positif Dasar Pengenaan Pajak atas PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00 yang terkait dengan nilai koreksi Peredaran Usaha PPh Badan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.14.
Bahwa artinya, metode pemeriksaan yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) adalah metode yang lazim dipergunakan dalam teknik audit, dan hal tersebut nyata-nyata tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan perpajakan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.15.
Bahwa dalam Butir 3.1.2 SE-06, disebutkan beberapa pendekatan yang disarankan dalam melakukan pemeriksaan, yaitu:
 
Adapun pendekatan pemeriksaan yang disarankan adalah:
 
 
-
Menilai dan menganalisis SPT Tahunan PPh dan SPT PPN.
 
-
Menganalisis persentase laba kotor secara horizontal dan membandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis.
 
-
Menganalisis rasio biaya pegawai terhadap omzet secara horizontal.
 
-
Menganalisis sumber dan penggunaan dana;
 
-
Melakukan cross-check data/informasi yang relevan pada SPT Tahunan PPh, SPT PPh Pasal 21, SPT PPN dan bila perlu meminta konfirmasi kepada instansi lain, seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
 
-
Melakukan pengujian arus uang, arus piutang, arus hutang dan arus barang dalam rangka menentukan kewajiban penjualan.
 
-
Melakukan cross-check antara PPN-masukan yang dikreditkan dengan jumlah pembelian yang dilaporkan dalam Daftar Rugi Laba dan Neraca, misalnya pembelian bahan baku/pembantu dan pembelian fixed asset atau lainnya.
 
-
Melakukan cross-check antara komponen-komponen penghasilan karyawan dan pihak ketiga yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 21 dengan biaya-biaya yang  relevan yang dibebankan dalam Daftar Rugi Laba.
 
-
Melakukan cross-check antara omzet PPh dan DPP PPN.
 
-
Melakukan penghitungan kapasitas produksi atau occupation rate;
 
-
Melakukan perhitungan rendemen/formula pemakaian bahan baku dibandingkan dengan volume produksi, yang dipakai untuk pendekatan terhadap kewajaran atas laporan produksi.
 
-
Lakukan analisis dengan seksama perhitungan-perhitungan yang berkenaan dengan pengurang laba kotor misalnya,:
 
 
a.
Beban bunga dengan besarnya hutang
 
 
b.
Biaya Leasing (angsuran + bunga) dengan jumlah penyusutan
 
 
c.
Selisih Kurs dengan pinjaman valas
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.2.16.
Bahwa adanya SE-06 tersebut di atas semakin memberi penegasan bahwa teknik audit yang dilakukan pemeriksaan, berdasarkan mutasi pengeluaran produk dalam dokumen Inventory Report ataupun Kartu Stock (atau lazim juga disebut sebagai pengujian arus barang/persediaan), adalah teknik audit yang sah dan diperbolehkan menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan.
       
 
3.3.
Bahwa dari beberapa tanggapan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar pertimbangan Majelis yang menyebutkan bahwa Terbanding tidak dapat menunjukkan adanya dokumen bukti invoice/faktur pajak/sales order (bukti penjualan) maupun bukti terima uang yang mendukung simpulan adanya penjualan yang tidak dilaporkan tersebut, seharusnya diabaikan dalam mengambil kesimpulan dan putusan, karena ketentuan perundang-undangan perpajakan telah mengatur secara jelas bahwa metode pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam menentukan besarnya nilai penjualan, tidak semata-mata dengan menggunakan metode langsung, seperti rekap faktur penjualan, rekap invoice, rekap sales order ataupun rekap bukti penerimaan uang/kas; tetapi dapat juga dilakukan dengan metode tidak langsung, salah satunya dengan melihat mutasi pengeluaran produk dalam dokumen Inventory Report ataupun Kartu Stock.
 
 
 
 
 
3.4.
Bahwa dalam dasar pertimbangan yang lain, Majelis Hakim menyatakan bahwa:
 
 
-
dalam Berita Acara Uji Bukti, Pemohon Banding telah menyerahkan beberapa jenis dokumen kepada Terbanding terkait koreksi Peredaran Usaha,
 
 
-
menurut Terbanding, koreksi ini terkait dengan koreksi peredaran usaha pada sengketa PPh Badan.
 
 
-
Oleh karena Majelis telah membatalkan koreksi Terbanding atas Peredaran Usaha dalam sengketa PPh Badan Tahun 2008, maka berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis berpendapat koreksi Terbanding atas Peredaran Usaha PPh Badan Rp15.907.162.733,00 tidak dapat dipertahankan;
 
 
 
 
 
3.5.
Bahwa menanggapi dasar pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas, perlu disampaikan beberapa penjelasan sebagai berikut:
3.5.1. 
Bahwa dalam Berita Acara Uji Bukti, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah menyampaikan bahwa data dan dokumen yang diserahkan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dalam proses uji bukti sebelumnya tidak diberikan kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), baik dalam proses pemeriksaan ataupun dalam proses keberatan.
 
Bahwa pernyataan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut dikutip dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.56143/PP/M.IVA/15/2014 halaman 68 paragraf pertama.
 
 
3.5.2. 
Bahwa karena data dan dokumen tersebut sebelumnya tidak diberikan kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), baik dalam proses pemeriksaan ataupun dalam proses keberatan, maka tidak seharusnya data ataupun dokumen ini dipertimbangkan dalam mengambil kesimpulan dan putusan Majelis.
 
 
3.5.3. 
Bahwa telah disampaikan pada uraian terdahulu bahwa dalam ketentuan Pasal 26A ayat (4) UU KUP diatur secara jelas bahwa:
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
 
 
 
3.5.4. 
Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut, maka dalam melakukan pembuktian di persidangan, Majelis Hakim tidak seharusnya mempertimbangkan data dan dokumen yang sebelumnya tidak disampaikan baik dalam proses pemeriksaan ataupun dalam proses keberatan sebagai alat bukti dalam mengambil kesimpulan dan putusan.
 
 
3.5.5. 
Bahwa terlebih dalam ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak telah diberikan amanat bahwa:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.
 
 
 
3.5.6.
Bahwa keyakinan Hakim pun bukanlah keyakinan yang tanpa dasar, tetapi keyakinan yang tetap didasarkan pada penilaian pembuktian dan ketentuan perundang-undangan perpajakan, sebagaimana disebutkan dalam memori penjelasan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak, sebagai berikut:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
 
 
3.5.7. 
Bahwa dari beberapa uraian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dipertimbangkannya data dan dokumen yang sebelumnya tidak disampaikan baik dalam proses pemeriksaan ataupun dalam proses keberatan sebagai alat bukti dalam mengambil kesimpulan dan putusan, nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 26A ayat (4) UU KUP dan ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak berikut memori penjelasannya.
 
 
3.5.8. 
Bahwa oleh karena kesimpulan dan putusan Majelis yang tidak dapat mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas koreksi Dasar Pengenaan Pajak atas PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00 yang terkait dengan nilai koreksi Peredaran Usaha PPh Badan didasarkan pada data dan dokumen tersebut.
Bahwa artinya kesimpulan dan putusan Majelis yang tidak dapat mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas koreksi positif Dasar Pengenaan Pajak atas PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00 yang terkait dengan nilai koreksi Peredaran Usaha PPh Badan, juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 26A ayat (4) UU KUP dan ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak berikut memori penjelasannya.
 
 
 
3.5.9. 
Bahwa perlu diperhatikan juga bahwa dalam kesimpulan dan putusan akhir Majelis terkait sengketa banding Peredaran Usaha PPh Badan (tersebut dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.56143/PP/M.IVA/15/2014) dinyatakan bahwa oleh karenanya Majelis berpendapat koreksi Terbanding atas peredaran usaha sebesar Rp180.585.580.427,00 tidak dapat dipertahankan dan koreksi Terbanding sebesar Rp1.992.391.380,00 tetap dipertahankan;
 
 
3.5.10.
Bahwa dengan pertimbangan terdapat keterkaitan antara koreksi Peredaran Usaha PPh Badan tersebut di atas, dengan koreksi koreksi positif Dasar Pengenaan Pajak atas PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00 juga tetap dipertahankan Majelis Hakim.
 
 
3.5.11.
Bahwa faktanya, semua koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Dasar Pengenaan Pajak atas PPh Pasal 22 yang terkait dengan koreksi Peredaran Usaha PPh Badan telah dibatalkan seluruhnya oleh Majelis Hakim.
 
 
3.5.12.
Bahwa artinya terdapat ketidak konsisten Majelis Hakim dalam mengambil kesimpulan dan putusan.
 
Bahwa kesimpulan dan putusan yang demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, dan karenanya sudah sepatutnya apabila kesimpulan dan putusan Majelis Hakim tersebut dibatalkan.
 
 
 
 
 
4.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.56142/PP/M.IVA/11/2014 tanggal 14 Oktober 2014 harus dibatalkan.
 
 
 
 
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor PUT.56142/PP/M.IVA/11/2014 tanggal 14 Oktober 2014 yang menyatakan: Menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-371/WPJ.07/2012 tanggal 27 Februari 2012, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 22 Nomor: 00001/202/08/052/10 tanggal 14 Desember 2010, atas nama: PT. Lafarge Cement Indonesia, NPWP: 01.000.660.9-052.000, beralamat di Jalan Imam Bonjol No. 42A, Kel. Jati, Medan Maimun, Sumatera Utara, 20152, dan pajaknya dihitung kembali menjadi sebagaimana tersebut di atas,
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
 
 
 
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa, alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding atas Keputusan Terbanding Nomor: KEP-371/WPJ.07/2012 tanggal 27 Februari 2012, mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 22 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2008 Nomor: 00001/202/08/052/10 tanggal 14 Desember 2010, atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.000.660.9-052.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih dibayar sebesar Rp7.371.847,00; adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
a.
Bahwa alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi atas obyek PPh Pasal 22 sebesar Rp182.577.971.807,00; yang terkait dengan Nilai Koreksi PPh Badan sebesar Rp76.440.545.338,81; yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo telah dilakukan Uji Kebenaran Materi oleh para pihak di hadapan Majelis Pengadilan Pajak dan Termohon Peninjauan Kembali telah menyerahkan 13 bukti pendukung yang memadai, sehingga substansi dalam perkara a quo memiliki keterkaitan peredaran usaha pada PPh badan dan hubungan hukum dengan perkara Nomor 1069/B/PK/PJK/2016 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 14 September 2016, dan oleh karenanya koreksi Terbanding sekarang Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b.
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
 
 
 
 
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari: Rabu, tanggal 26 Oktober 2016, oleh Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Yosran, S.H., M.Hum., dan Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis dan dibantu oleh Elly Tri Pangestuti, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis:
ttd.
Yosran, S.H., M.Hum.
ttd.
Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N. 
Ketua Majelis
ttd.
Dr.H.M.Hary Djatmiko, SH.,MS.
   
  Panitera Pengganti:
 ttd.
 Elly Tri Pangestuti, S.H., M.H
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

1081/B/PK/PJK/2016