Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
    NOMOR SE-43/PJ/2020


    TENTANG
     
    PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 86/PMK.03/2020 TENTANG INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK TERDAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019
     
    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Yth.
    1.
    Pejabat Eselon II di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
     
    2.
    Kepala Kantor Wilayah;
     
    3.
    Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
     
    4.
    Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan; dan
     
    5.
    Kepala Unit Pelaksana Teknis,
     
    di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
     
     
    A.

    Umum

     
    Sehubungan dengan telah diundangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (yang selanjutnya disebut PMK-86/2020), yang mengatur mengenai pemberian insentif terhadap Wajib Pajak untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan produktivitas sektor tertentu terkait dengan pandemi Corona virus Disease 2019 (COVID-19), perlu menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak mengenai petunjuk pelaksanaan PMK-86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019.
     
     
    B.

    Maksud dan Tujuan

     
    1.
    Maksud
     
     
    Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengenai pelaksanaan PMK-86/2020.
     
    2.
    Tujuan
     
     
    Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk:
     
     
    a.
    menciptakan keseragaman dalam pelaksanaan PMK-86/2020;
     
     
    b.
    menjelaskan mengenai tata cara:
     
     
     
    1)
    penyampaian pemberitahuan/permohonan pemanfaatan insentif pajak oleh Pemberi Kerja/Wajib Pajak;
     
     
     
    2)
    penyampaian surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja/Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif pajak;
     
     
     
    3)
    pelaporan realisasi pemanfaatan insentif pajak; dan
     
     
     
    4)
    pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
     
     
     
     
     
    C.

    Ruang Lingkup

     
    Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:
     
    1.
    pengertian;
     
    2.
    tata cara pemberian insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung Pemerintah (PPh Pasal 21 DTP);
     
    3.
    tata cara pemberian insentif PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 ditanggung Pemerintah (PPh final DTP)
     
    4.
    tata cara pembebasan PPh Pasal 22 Impor;
     
    5.
    tata cara pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
     
    6.
    ketentuan mengenai penyampaian kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
     
    7.
    tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final DTP, laporan realisasi pemanfaatan Insentif PPh final DTP, pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
     
    8.
    tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
     
    9.
    ketentuan terkait kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN;
     
    10.
    ketentuan terkait perusahaan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat (PDKB) yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN; dan
     
    11.
    tata cara pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN.
     
     
     
    D.

    Dasar

     
    1.
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP);
     
    2.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang PPh);
     
    3.
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Undang-Undang PPN);
     
    4.
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
     
    5.
    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
     
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23 Tahun 2018);
     
    7.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
     
    8.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang;
     
    9.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
     
    10.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2018;
     
    11.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019 (PMK-39/2018);
     
    12.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
     
    13.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor;
     
    14.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
     
    15.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019;
     
    16.
    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2015;
     
    17.
    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan PER-21/PJ/2014;
     
    18.
    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
     
    19.
    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2018 tentang Penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Perlakuan atas Selisih Kelebihan Pembayaran Pajak yang Belum Dikembalikan dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
     
    20.
    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2019 tentang Tata Cara Pembatalan dan Pencabutan Surat Keterangan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018; dan
     
    21.
    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
     
     
     
    E.

    Materi

     
    1.
    Pengertian
     
     
    a.
    Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
     
     
    b.
    Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada Pemberi Kerja, berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Pemberi Kerja.
     
     
    c.
    Pemberi Kerja adalah orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan, atau unit, termasuk Instansi Pemerintah, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan/atau pembayaran lain dengan nama atau dalam bentuk apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh Pegawai.
     
     
    d.
    Nomor Pokok Wajib Pajak, yang selanjutnya disingkat NPWP, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
     
     
    e.
    Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
     
     
    f.
    Wajib Pajak Berstatus Pusat, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Pusat, adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan kode 3 (tiga) digit terakhirnya 000.
     
     
    g.
    Wajib Pajak Berstatus Cabang, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Cabang, adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sama dengan Wajib Pajak Pusat untuk kode 9 (sembilan) digit pertama dan dengan kode 3 (tiga) digit terakhirnya selain 000.
     
     
    h.
    Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, yang selanjutnya disebut KITE, meliputi Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
     
     
    i.
    Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan insentif KITE sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
     
     
    j.
    Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
     
     
    k.
    Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.
     
     
    l.
    Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.
     
     
    m.
    Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.
     
     
    n.
    Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
     
     
    o.
    Pemotong atau Pemungut Pajak adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.
     
     
    p.
    Surat Keterangan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, yang selanjutnya disebut Surat Keterangan, adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
     
     
    q.
    Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 lmpor, yang selanjutnya disingkat SKB Pemungutan PPh Pasal 22 lmpor, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memperoleh insentif dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor berdasarkan PMK-86/2020.
     
     
    r.
    Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
     
     
    s.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
     
     
    t.
    Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
     
     
    u.
    Pengusaha Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat PKP, adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
     
    2.
    Tata cara pemberian insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP)
     
     
    a.
    PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada Pegawai dengan kriteria:
     
     
     
    1)
    menerima atau memperoleh penghasilan dari Pemberi Kerja yang:
     
     
     
     
    a)
    memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A PMK-86/2020;
     
     
     
     
    b)
    telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
     
     
     
     
    c)
    telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
     
     
     
    2)
    memiliki NPWP; dan
     
     
     
    3)
    pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
     
     
    b.
    Tata cara penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai berikut:
     
     
     
    Penyampaian pemberitahuan dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai berikut:
     
     
     
    1)
    Pemberi Kerja, mengajukan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id;
     
     
     
    2)
    dalam hal Pemberi Kerja merupakan Wajib Pajak Pusat dengan kode KLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a angka 1 PMK-86/2020 dan memiliki cabang, pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah baik untuk pusat maupun cabang dilakukan oleh Wajib Pajak Pusat;
     
     
     
    3)
    dalam hal Pemberi kerja yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP berdasarkan kriteria Perusahaan KITE atau mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, pemberitahuan pemanfaatan Insentif diajukan oleh Wajib Pajak Pusat dan/atau Wajib Pajak Cabang yang memenuhi kriteria;
     
     
     
    4)
    jika hasil pengecekan sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id, Pemberi Kerja dinyatakan:
     
     
     
     
    a)
    berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, sistem aplikasi akan menyampaikan notifikasi bahwa Pemberi Kerja telah berhasil menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP;
     
     
     
     
    b)
    tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, sistem aplikasi akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP;
     
     
    c.
    Insentif PPh Pasal 21 DTP diberikan sejak Masa Pajak pemberitahuan disampaikan sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
     
     
    d.
    Dengan mempertimbangkan bahwa PMK-86/2020 diundangkan pada tanggal 16 Juli 2020, maka pemberitahuan untuk memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP untuk Masa Pajak Juli 2020 dapat disampaikan paling lambat tanggal 10 Agustus 2020.
     
     
    e.
    Tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak PPh Pasal 21 DTP dan cetakan kode billing sebagai berikut:
     
     
     
    1)
    Pemberi Kerja, baik Wajib Pajak Pusat maupun Wajib Pajak Cabang, yang telah menyampaikan pemberitahuan atas PPh Pasal 21 DTP sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) dan angka 3) wajib membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020";
     
     
     
    2)
    dalam hal Pemberi Kerja telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 21 sebagai sarana penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), maka perekaman kode NTPN diganti perekaman kode billing dengan di awali angka 9 secara elektronik pada aplikasi e-SPT dan jumlah Rupiah sebesar nilai PPh Pasal 21 DTP (misalnya: kode billing yang terbentuk adalah 123456789012345, maka kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan 9123456789012345).
     
     
     
    3)
    SSP/cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada angka 1) disimpan dan diadministrasikan oleh pemberi kerja.
     
     
    f.
    Dalam hal Pemberi Kerja memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1) huruf a), huruf b), atau huruf c), namun Pemberi Kerja telah melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diberikan kepada pegawai, maka:
     
     
     
    1)
    Pemberi Kerja dapat melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21;
     
     
     
    2)
    kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 sebagai akibat pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada angka 1) dapat:
     
     
     
     
    a)
    dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya, dalam hal pada Masa Pajak berikutnya terdapat PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan insentif DTP, paling sedikit sebesar kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 tersebut; atau
     
     
     
     
    b)
    diajukan pemindahbukuan atas keseluruhan kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 dalam hal pada Masa Pajak berikutnya tidak terdapat PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan insentif DTP, atau atas selisih kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 dalam hal PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan insentif DTP lebih kecil dibandingkan dengan kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP;
     
     
     
    3)
    dan atas PPh Pasal 21 yang terlanjur dipotong oleh Pemberi Kerja, dibayarkan kepada Pegawai.
     
     
    g.
    Dalam hal Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB dicabut, insentif PPh Pasal 21 DTP berakhir sampai dengan Masa Pajak dilakukannya pencabutan.
     
     
    h.
    Dikecualikan dari pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP, dalam hal penghasilan yang diterima Pegawai berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan PPh Pasal 21 telah ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
     
    i.
    Dalam hal pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 DTP menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2020 dan menyatakan kelebihan pembayaran, maka kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21 DTP sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dapat dikembalikan.
     
    3.
    Tata cara pemberian insentif PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 ditanggung Pemerintah (DTP)
     
     
    a.
    Insentif PPh final DTP diberikan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu terhadap PPh final yang terutang atas penghasilan usaha sebagaimana diatur dalam PP 23 Tahun 2018.
     
     
    b.
    Pemanfaatan insentif PPh final DTP dilakukan dengan menyampaikan laporan realisasi secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 pada bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
     
     
    c.
    Penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b bagi Wajib Pajak yang belum memiliki Surat Keterangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018, dapat diperlakukan sebagai pengajuan Surat Keterangan dan terhadap Wajib Pajak tersebut dapat diterbitkan Surat Keterangan.
     
     
    d.
    Kewajiban penyampaian SPT Masa PPh dianggap telah dipenuhi, jika Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b.
     
     
    e.
    Dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki peredaran usaha pada bulan tertentu, Wajib Pajak tidak wajib menyampaikan SPT Masa PPh.
     
     
    f.
    Insentif PPh final DTP diberikan untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
     
     
    g.
    Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh final DTP yaitu penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 PP 23 Tahun 2018.
     
     
    h.
    Tata cara konfirmasi Surat Keterangan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak sebagai berikut:
     
     
     
    1)
    Pemotong atau Pemungut Pajak, dalam kedudukannya sebagai pembeli atau pengguna jasa, melakukan pemotongan atau pemungutan PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 dalam hal:
     
     
     
     
    a)
    Wajib Pajak menyerahkan fotokopi Surat Keterangan;
     
     
     
     
    b)
    transaksi penjualan atau penyerahan jasa termasuk dalam kelompok penghasilan dari usaha yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018; dan
     
     
     
     
    c)
    transaksi penjualan atau penyerahan jasa termasuk objek pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh.
     
     
     
    2)
    Saat terutang PPh atas transaksi dengan pihak pemotong atau pemungut berdasarkan PP 23 Tahun 2018 mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh.
     
     
     
    3)
    Sebelum melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada angka 1), Pemotong atau Pemungut Pajak melakukan konfirmasi atas kebenaran Surat Keterangan yang diserahkan oleh Wajib Pajak antara lain dengan cara:
     
     
     
     
    a)
    scan barcode;
     
     
     
     
    b)
    mengakses laman www.pajak.go.id; atau
     
     
     
     
    c)
    menghubungi Kring Pajak.
     
     
     
    4)
    Dalam hal Surat Keterangan sesuai hasil konfirmasi menyatakan bahwa:
     
     
     
     
    a)
    terkonfirmasi, maka Pemotong atau Pemungut Pajak membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020" dan tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh; atau
     
     
     
     
    b)
    tidak terkonfirmasi, maka Pemotong atau Pemungut Pajak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh.
     
     
     
    5)
    Untuk transaksi impor atau pembelian barang, jika Surat Keterangan terkonfirmasi Surat Keterangan berfungsi juga sebagai Surat Keterangan Bebas.
     
     
     
    6)
    Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 4) huruf a) wajib melaporkan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020" dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
     
     
     
    7)
    Dalam hal Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 6) telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai sarana penyampaian SPT, maka perekaman kode NTPN diganti perekaman kode billing dengan di awali angka 9 dan jumlah Rupiah sebesar nilai PPh final DTP (misalnya: kode billing yang terbentuk adalah 123456789012345, maka kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan 9123456789012345).
     
     
     
    8)
    SSP/cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada angka 1) disimpan dan diadministrasikan oleh Wajib Pajak.
     
     
     
    9)
    Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain karena Wajib Pajak memanfaatkan insentif sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka kelebihan pembayaran PPh tersebut dapat:
     
     
     
     
    a)
    diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang oleh Wajib Pajak; atau
     
     
     
     
    b)
    diajukan permohonan pemindahbukuan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak di KPP tempat pembayaran diadministrasikan, ke pembayaran pajak Wajib Pajak.
     
    4.
    Tata cara pembebasan PPh Pasal 22 lmpor
     
     
    a.
    Wajib Pajak dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 lmpor, dengan kriteria:
     
     
     
    1)
    memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H PMK-86/2020;
     
     
     
    2)
    telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
     
     
     
    3)
    telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.
     
     
    b.
    Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 lmpor sebagaimana dimaksud pada huruf a diberikan melalui SKB Pemungutan PPh Pasal 22 lmpor.
     
     
    c.
    Tata cara penyampaian permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 lmpor sebagai berikut:
     
     
     
    1)
    Wajib Pajak menyampaikan permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 lmpor secara daring (online) pada menu Permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 lmpor melalui laman www.pajak.go.id;
     
     
     
    2)
    atas permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1), berdasarkan pengecekan sistem akan diterbitkan:
     
     
     
     
    a)
    SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dalam hal Wajib Pajak memenuhi; atau
     
     
     
     
    b)
    Surat Penolakan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi;
     
     
     
     
    kriteria KLU, Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J atau huruf K PMK-86/2020.
     
     
     
    3)
    SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor atau Surat Penolakan diterbitkan segera setelah Wajib Pajak menyampaikan Permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor melalui laman www.pajak.go.id.
     
     
    d.
    Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor berlaku sejak tanggal SKB diterbitkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.
     
     
    e.
    Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dapat melakukan konfirmasi kebenaran SKB Pemungutan PPh Pasal 22 lmpor yang diperoleh Wajib Pajak melalui sarana daring (online) atau layanan yang disediakan oleh DJP.
     
     
    f.
    Tata cara pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai berikut:
     
     
     
    1)
    dalam hal terdapat penetapan KMK mengenai pencabutan Perusahaan KITE, pencabutan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB diterbitkan oleh DJBC, DJBC mengirimkan data dan/atau informasi mengenai KMK pencabutan Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB yang dicabut kepada DJP;
     
     
     
    2)
    berdasarkan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1), DJP secara jabatan melakukan pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 lmpor secara sistem melalui laman www.pajak.go.id;
     
     
     
    3)
    atas pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada angka 2) Wajib Pajak tidak berhak atas pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor sejak tanggal diterbitkannya KMK mengenai pencabutan Perusahaan KITE, pencabutan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.
     
    5.
    Tata cara pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
     
     
    a.
    Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 diberikan kepada Wajib Pajak dengan kriteria:
     
     
     
    1)
    memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M PMK-86/2020;
     
     
     
    2)
    telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
     
     
     
    3)
    telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.
     
     
    b.
    Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yaitu 30% (tiga puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang untuk setiap Masa Pajak berdasarkan:
     
     
     
    1)
    perhitungan angsuran PPh Pasal 25 sesuai dengan SPT Tahunan PPh Tahun 2019;
     
     
     
    2)
    besarnya angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Desember 2019 dalam hal Wajib Pajak belum menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun 2019;
     
     
     
    3)
    Keputusan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 karena penurunan kondisi usaha; atau
     
     
     
    4)
    perhitungan angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai penghitungan angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
     
     
    c.
    Tata cara penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan DJP sebagai berikut:
     
     
     
    1)
    Wajib Pajak mengajukan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 25 secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id;
     
     
     
    2)
    dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id Wajib Pajak dinyatakan berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 25, sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id akan menyampaikan notifikasi bahwa Wajib Pajak telah berhasil menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 25;
     
     
     
    3)
    dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id Wajib Pajak dinyatakan tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 25, sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
     
     
    d.
    Insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 diberikan sejak Masa Pajak pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 disampaikan sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
     
     
    e.
    Dengan mempertimbangkan bahwa PMK-86/2020 diundangkan pada tanggal 16 Juli 2020, maka pemberitahuan untuk memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli 2020, dapat disampaikan paling lambat tanggal 15 Agustus 2020.
     
     
    f.
    Dalam hal Wajib Pajak telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 yang seharusnya diberikan pengurangan pada Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf e, Wajib Pajak dapat mengajukan pemindahbukuan atas kelebihan pembayaran PPh Pasal 25 tersebut.
     
     
    g.
    Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada huruf f dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomer 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
     
     
    h.
    Dalam hal Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB dicabut, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berakhir sampai dengan Masa Pajak dilakukannya pencabutan.
     
    6.
    Ketentuan mengenai penyampaian kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
     
     
    a.
    Dalam hal Pemberi Kerja atau Wajib Pajak mendapat:
     
     
     
    1)
    surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP;
     
     
     
    2)
    surat penolakan atas permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor; dan/atau
     
     
     
    3)
    surat pemberitahuan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
     
     
     
    sehubungan dengan tidak terpenuhinya persyaratan bahwa Pemberi Kerja/Wajib Pajak telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, maka Pemberi Kerja atau Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id sepanjang:
     
     
     
    a)
    telah mendapatkan KMK mengenai penetapan perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB; atau
     
     
     
    b)
    telah memenuhi:
     
     
     
     
    (1)
    ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A;
     
     
     
     
    (2)
    ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H; dan/atau
     
     
     
     
    (3)
    ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M;
     
     
     
     
    PMK-86/2020.
     
     
    b.
    Insentif PPh Pasal 21 DTP dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan kembali disampaikan sampai dengan Masa Pajak Desember 2020. Sedangkan, insentif pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 lmpor berlaku sejak tanggal SKB Pemungutan PPh Pasal 22 lmpor diterbitkan sampai dengan 31 Desember 2020.
     
    7.
    Tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final DTP, pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 lmpor, dan/atau pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
     
     
    a.
    Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak mengunduh format dan jenis file laporan realisasi:
     
     
     
    1)
    PPh Pasal 21 DTP;
     
     
     
    2)
    PPh final DTP; dan/atau
     
     
     
    3)
    pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 lmpor,
     
     
     
    di laman www.pajak.go.id.
     
     
    b.
    Wajib Pajak mengisi data realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 di laman www.pajak.go.id.
     
     
    c.
    Pemberi Kerja mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1) yang telah diisi dengan lengkap dan benar, termasuk kode billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) PMK-86/2020, melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
     
     
    d.
    Wajib Pajak mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2) yang telah diisi dengan lengkap dan benar, termasuk kode billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) PMK-86/2020, melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
     
     
    e.
    Dalam hal Wajib Pajak yang telah memanfaatkan insentif PPh final DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) PMK-86/2020, Wajib Pajak tidak memiliki penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) PMK-86/2020 dalam suatu Masa Pajak maka Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2).
     
     
    f.
    Wajib Pajak mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 3) yang telah diisi dengan lengkap dan benar paling lambat:
     
     
     
    1)
    tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
     
     
     
    2)
    tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, untuk Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020;
     
     
     
    melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id.
     
     
    g.
    Wajib Pajak mengisi data realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b dengan lengkap dan benar paling lambat:
     
     
     
    1)
    tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
     
     
     
    2)
    tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, untuk Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020;
     
     
     
    melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id.
     
     
    h.
    Dalam hal Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak belum menyampaikan laporan realisasi sesuai tanggal sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g sistem informasi DJP akan memberikan notifikasi kepada Account Representative Pemberi Kerja/Wajib Pajak bersangkutan untuk selanjutnya ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
    8.
    Tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
     
     
    a.
    KPP tempat PKP diadministrasikan memproses permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah yang diterima berdasarkan:
     
     
     
    1)
    SPT, dalam hal PKP mengisi kolom Pengembalian Pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN dalam SPT Masa PPN; atau
     
     
     
    2)
    surat permohonan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F PMK-39/2018, untuk permohonan pengembalian pendahuluan atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang diterbitkan sebelumnya, sepanjang terhadap PKP belum mulai dilakukan tindakan pemeriksaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atas Masa Pajak yang dimohonkan Pengembalian Pendahuluan.
     
     
    b.
    Satu surat permohonan yang disampaikan tersendiri, digunakan untuk 1 (satu) Masa Pajak.
     
     
    c.
    Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN memenuhi persyaratan:
     
     
     
    1)
    Diajukan oleh PKP yang:
     
     
     
     
    a)
    memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P PMK-86/2020;
     
     
     
     
    b)
    telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
     
     
     
     
    c)
    telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.
     
     
     
    2)
    jumlah Lebih Bayar dalam SPT yang diajukan Pengembalian Pendahuluan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
     
     
     
    3)
    Masa Pajak yang diajukan Pengembalian Pendahuluan yaitu Masa Pajak April 2020 sampai dengan Desember 2020; dan
     
     
     
    4)
    Permohonan Pengembalian Pendahuluan disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2021.
     
     
     
    maka permohonan Pengembalian Pendahuluan PPN tersebut ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur pengembalian pendahuluan PKP Berisiko Rendah sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
     
     
    d.
    Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf c maka permohonan pengembalian pendahuluan PPN tersebut ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur pengembalian pendahuluan sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE10/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
     
     
    e.
    PKP sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi PKP yang telah ditetapkan sebagai PKP Berisiko Rendah maupun PKP yang belum ditetapkan sebagai PKP Berisiko Rendah.
     
     
    f.
    Kepala KPP menerbitkan SKPPKP berdasarkan penelitian administrasi yang meliputi penelitian kewajiban formal dan penelitian materiil pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah.
     
     
    g.
    Penelitian kewajiban formal pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam huruf f meliputi:
     
     
     
    1)
    PKP:
     
     
     
     
    a)
    memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P PMK-86/2020; atau
     
     
     
     
    b)
    melampirkan:
     
     
     
     
     
    (1)
    Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE; atau
     
     
     
     
     
    (2)
    Keputusan Menteri Keuangan mengenai izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB,
     
     
     
     
     
    pada SPT Masa PPN yang di dalamnya terdapat permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN;
     
     
     
    2)
    jumlah lebih bayar dalam SPT Masa PPN termasuk pembetulan SPT Masa PPN secara akumulatif tidak melebihi Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
     
     
     
    3)
    SPT Masa PPN, pembetulan SPT Masa PPN, termasuk pengajuan surat permohonan tersendiri, yang diajukan pengembalian pendahuluan merupakan Masa Pajak April sampai dengan Desember 2020 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2021;
     
     
     
    4)
    PKP tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
     
     
     
    5)
    PKP tidak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum SPT Masa PPN disampaikan.
     
     
    h.
    Penelitian materiil pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam huruf c meliputi:
     
     
     
    1)
    memastikan kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, meliputi kebenaran penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan dalam penghitungan pajak;
     
     
     
    2)
    Pajak Masukan, meliputi Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang dikreditkan oleh PKP Berisiko Rendah telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh PKP yang menerbitkan Faktur Pajak; dan
     
     
     
    3)
    Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh PKP Berisiko Rendah telah divalidasi dengan NTPN.
     
     
    i.
    Petugas peneliti tidak perlu melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) PMK-39/2018 pada Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. Kegiatan tertentu tersebut meliputi:
     
     
     
    1)
    ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
     
     
     
    2)
    penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN;
     
     
     
    3)
    penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang PPN-nya tidak dipungut;
     
     
     
    4)
    ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
     
     
     
    5)
    ekspor Jasa Kena Pajak.
     
     
    j.
    Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pad a huruf h angka 2) dilakukan berdasarkan aplikasi atau data dan/atau informasi yang tersedia di sistem informasi DJP.
     
     
    k.
    Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf h dilakukan, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
     
     
    1)
    Pajak Masukan yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon dan tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat Faktur Pajak, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak; dan/atau
     
     
     
    2)
    Pajak Masukan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat Faktur Pajak dan tidak dikreditkan Wajib Pajak pemohon, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak.
     
     
    l.
    Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada huruf h hanya terbatas pada Pajak Masukan yang dilaporkan pada SPT Masa PPN Lebih Bayar Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian, tidak termasuk Pajak Masukan pada SPT Masa Pajak sebelumnya yang menyatakan kelebihan pembayaran yang dikompensasikan.
     
     
    m.
    Atas nilai lebih bayar yang dikompensasikan di Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan diakui sebesar nilai PPN lebih bayar yang dikompensasikan dalam SPT Masa PPN Masa Pajak sebelumnya atau SPT Masa PPN Masa Pajak yang dilakukan pembetulan dan mengakibatkan lebih bayar yang selanjutnya dikompensasikan ke Masa Pajak saat dimintakan pengembalian pendahuluan.
     
     
    n.
    Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak tetap diberikan kepada PKP meskipun kelebihan pajak disebabkan karena adanya kompensasi Masa Pajak sebelumnya dan tidak ada ekspor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak pada Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan.
     
     
    o.
    Setelah SKPPKP diterbitkan, atas SPT Masa PPN lebih bayar kompensasi pada Masa Pajak sebelumnya diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan.
     
     
    p.
    Berdasarkan hasil penelitian, Kepala KPP:
     
     
     
    1)
    menerbitkan SKPPKP sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H PMK-39/2018, dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan:
     
     
     
     
    a)
    memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada huruf g; dan
     
     
     
     
    b)
    berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan; atau
     
     
     
    2)
    tidak menerbitkan SKPPKP dan menerbitkan surat pemberitahuan kepada PKP sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G PMK-39/2018, dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan:
     
     
     
     
    a)
    tidak memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada huruf g; atau
     
     
     
     
    b)
    berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan.
     
     
    q.
    Dalam hal berdasarkan hasil penelitian PKP tidak diterbitkan SKPPKP karena tidak memenuhi kewajiban formal, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
     
     
    r.
    Dalam hal saat penelitian kewajiban formal dalam rangka pengembalian pendahuluan sesuai PMK-86/2020 juga diketahui PKP memiliki penetapan sebagai PKP Berisiko Rendah yang diterbitkan berdasarkan PMK-39/2018 namun tidak memenuhi syarat berlakunya keputusan penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, maka KPP menindaklanjuti dengan melakukan pencabutan keputusan Penetapan sebagai PKP Berisiko Rendah yang dilakukan berdasarkan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf E angka 9 SE-10/PJ/2018.
     
     
    s.
    Dalam hal berdasarkan hasil penelitian PKP tidak diterbitkan SKPPKP karena tidak memenuhi persyaratan materiil, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
     
     
    t.
    Dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SKPPKP tidak sama dengan jumlah lebih bayar dalam SPT Masa PPN, maka pengembalian atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP tersebut diproses dalam hal PKP Berisiko Rendah mengajukan kembali permohonan pengembalian pendahuluan melalui surat tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F PMK-39/2018.
     
     
    u.
    Surat tersendiri sebagaimana dimaksud pada huruf t disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2021. Dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan melalui surat tersendiri disampaikan setelah 31 Januari 2021, Kepala KPP tidak menerbitkan SKPPKP dan menindaklanjuti permohonan tersebut dengan menerbitkan surat pemberitahuan kepada PKP sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G PMK-39/2018.
     
     
    v.
    Dalam hal terdapat selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP dan jangka waktu 31 Januari 2021 telah berakhir, selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya dengan melakukan pembetulan SPT Masa PPN.
     
     
    w.
    Dalam hal PKP menyampaikan pembetulan SPT Masa PPN yang diajukan permohonan Pengembalian Pendahuluan sebelum diterbitkan SKPPKP dan SPT pembetulan tersebut telah diterima secara lengkap, maka dasar penerbitan SKPPKP adalah SPT Pembetulan, dan jangka waktu pengembalian pendahuluan dihitung sejak diterimanya SPT pembetulan.
     
     
    x.
    Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan yang menyatakan lebih bayar dan mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan, serta atas SPT Masa PPN pembetulan tersebut telah dinyatakan lengkap maka kelebihan pembayaran pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan yaitu kredit pajak yang belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang dilakukan pembetulan yang telah diterbitkan SKPPKP.
     
     
    y.
    Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan yang menyatakan kurang bayar, nihil atau lebih bayar yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai SKPPKP pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111 dan PKP mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan, serta atas SPT pembetulan tersebut telah dinyatakan lengkap maka SPT Masa PPN pembetulan tersebut akan mengakibatkan PPN kurang bayar pada bagian II huruf F Formulir SPT Masa PPN 1111 setelah memperhitungkan nilai SKPPKP pada bagian II huruf E Formulir SPT Masa PPN 1111. Untuk selanjutnya:
     
     
     
    1)
    SKPPKP tetap ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP; dan
     
     
     
    2)
    PKP dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP.
     
     
    z.
    Dalam hal PKP menyampaikan SPT masa PPN pembetulan tidak memperhitungkan nilai SKPPKP yang telah diterbitkan pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111, dan dalam hal jika nilai SKPPKP tersebut diperhitungkan mengakibatkan SPT Masa PPN Pembetulan menjadi kurang bayar, maka ditindak lanjuti dengan:
     
     
     
    1)
    menyampaikan SP2DK kepada PKP tersebut untuk melakukan pembetulan SPT Masa PPN; dan
     
     
     
    2)
    menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP dalam hal PKP tidak melakukan pembetulan SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud pada angka 1).
     
     
    aa.
    Dalam hal telah diterbitkan SKPPKP dan PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP, atas kelebihan pembayaran pajak berdasarkan SPT Pembetulan diproses melalui ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
     
     
    bb.
    SKPPKP atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf p, diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan.
     
     
    cc.
    Yang dimaksud dengan tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf bb adalah:
     
     
     
    1)
    tanggal bukti penerimaan SPT Masa PPN atau surat permohonan, dalam hal SPT Masa PPN atau surat permohonan disampaikan secara langsung;
     
     
     
    2)
    tanggal penyampaian SPT Masa PPN atau surat permohonan secara lengkap, dalam hal SPT atau surat permohonan disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau
     
     
     
    3)
    tanggal penyampaian SPT Masa PPN atau surat permohonan secara lengkap, dalam hal SPT Masa PPN atau surat permohonan disampaikan melalui saluran tertentu (e-filing) yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
     
     
    dd.
    Tanggal penyampaian SPT Masa PPN diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud pada huruf cc ditentukan berdasarkan penelitian SPT Masa PPN yang dilakukan oleh KPP sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan.
     
     
    ee.
    Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf bb terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan SKPPKP atau pemberitahuan, permohonan PKP dianggap dikabulkan dan Kepala KPP menerbitkan SKPPKP paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf bb berakhir.
     
     
    ff.
    SKPPKP yang telah diterbitkan ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP sesuai dengan ketentuan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam PMK-244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
     
     
    gg.
    Prosedur penyelesaian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yaitu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
     
    9.
    Ketentuan mengenai kode KLU yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 lmpor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
     
     
    a.
    bagi Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh pada tahun 2018, kode KLU yang digunakan yaitu kode KLU sebagaimana yang tercantum dan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 baik:
     
     
     
    1)
    SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 status normal; atau
     
     
     
    2)
    SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 status pembetulan, yang disampaikan oleh Wajib Pajak baik sebelum maupun setelah tanggal berlakunya PMK-86/2020.
     
     
    b.
    bagi Pemberi Kerja yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018, kode KLU yang digunakan sebagai dasar pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP yaitu kode KLU yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile) Wajib Pajak Pusat.
     
     
    c.
    bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar setelah Tahun Pajak 2018, kode KLU yang digunakan sebagai dasar pemberian insentif pembebasan PPh Pasal 22 lmpor dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yaitu kode KLU yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile) Wajib Pajak.
     
     
    d.
    dalam hal terdapat ketidaksesuaian kode KLU sehingga Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak tidak termasuk dalam kode KLU dalam lampiran PMK-86/2020 padahal KLU yang sebenarnya termasuk dalam lampiran tersebut, karena beberapa sebab di antaranya:
     
     
     
    1)
    tidak menuliskan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018;
     
     
     
    2)
    belum melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018; atau
     
     
     
    3)
    salah mencantumkan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018;
     
     
     
    Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan KLU tersebut melalui penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 baik berstatus normal atau pembetulan, sepanjang atas SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 belum dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KUP.
     
     
    e.
    Dalam hal SPT Tahunan Tahun Pajak 2018 sudah atau sedang dilakukan pemeriksaan, kode KLU yang digunakan yaitu kode KLU sebagaimana yang tercantum dalam Masterfile Wajib Pajak, dengan ketentuan bahwa Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak:
     
     
     
    1)
    dapat melakukan perubahan kode KLU melalui penyampaian permohonan perubahan data sehingga sesuai dengan kode KLU yang sebenarnya; atau
     
     
     
    2)
    tidak perlu melakukan perubahan kode KLU dalam hal kode KLU Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak telah sesuai dengan KLU yang sebenarnya.
     
     
    f.
    Dalam hal Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak mencantumkan kode KLU dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018, baik yang berstatus normal atau pembetulan, termasuk dalam kode KLU dalam lampiran PMK-86/2020, namun kode KLU dalam SPT tersebut berbeda dengan kode KLU pada:
     
     
     
    1)
    Surat Keterangan Terdaftar Wajib Pajak; atau
     
     
     
    2)
    Masterfile Wajib Pajak;
     
     
     
    maka Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak tersebut tetap berhak mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 lmpor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan/atau pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN.
     
    10.
    Ketentuan mengenai perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 lmpor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
     
     
    a.
    Pengajuan pemberitahuan/permohonan dilampiri dengan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.
     
     
    b.
    Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a yaitu Keputusan Menteri Keuangan yang ditetapkan sebelum dan setelah PMK-86/2020 berlaku.
     
    11.
    Tata cara pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final DTP, pembebasan PPh Pasal 22 lmpor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
     
     
    a.
    Pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 lmpor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN adalah sebagai berikut:
     
     
     
    1)
    Dalam hal Pemberi Kerja telah memanfaatkan fasilitas insentif PPh Pasal 21 DTP kemudian diketahui berdasarkan data dan/atau informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Pemberi Kerja tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-86/2020 atau tidak berhak mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, maka diterbitkan SP2DK agar Pemberi Kerja menyetorkan kembali PPh Pasal 21 terutang yang seharusnya dipotong dan melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21.
     
     
     
    2)
    Dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan pembebasan PPh Pasal 22 lmpor, dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 padahal berdasarkan data dan/atau informasi yang diketahui bahwa Wajib Pajak tidak termasuk KLU dalam Lampiran PMK-86/2020 atau tidak termasuk perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, maka diterbitkan SP2DK agar Wajib Pajak melakukan pembayaran PPh Pasal 22 lmpor dan PPh Pasal 25.
     
     
     
    3)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan sebagaimana dimaksud pada angka 1), dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP untuk menagih kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 terutang sebagaimana dimaksud pada angka 1).
     
     
     
    4)
    Penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3) tidak dilakukan jika Wajib Pajak selaku Pemberi Kerja telah memperhitungkan dan membayar kekurangan pemotongan PPh Pasal 21 yang seharusnya tidak mendapatkan fasilitas PPh Pasal 21 DTP dalam perhitungan PPh Pasal 21 terutang di Masa Pajak Desember.
     
     
     
    5)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan sebagaimana dimaksud pada angka 2), dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP.
     
     
     
    6)
    Penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5) tidak dilakukan jika SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020 telah disampaikan.
     
     
     
    7)
    Penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3) atau angka 5), dilakukan dengan terlebih dahulu memastikan kebenaran KLU dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 melalui pelaksanaan pemeriksaan tujuan lain dalam rangka pencocokan data dan/atau alat keterangan atau pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
     
     
     
    8)
    Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 7) juga dapat digunakan sebagai dasar perubahan data KLU Wajib Pajak dalam Masterfile Wajib Pajak.
     
     
     
    9)
    Dalam hal PKP telah diterbitkan SKPPKP, namun berdasarkan data dan/atau informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Wajib Pajak tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-86/2020 atau tidak termasuk perusahaan yang mendapatkan pengembalian pendahuluan, maka terhadap Masa Pajak diterbitkannya SKPPKP diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan.
     
     
    b.
    Pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh final DTP adalah sebagai berikut:
     
     
     
    1)
    Dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif PPh final DTP, namun tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) PMK-86/2020, maka Wajib Pajak tersebut tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final DTP dan:
     
     
     
     
    a)
    wajib menyetorkan PPh final sebesar 0,5% atas penghasilan dari usaha yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018; atau
     
     
     
     
    b)
    wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud huruf a).
     
     
     
    2)
    Dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif PPh final DTP serta menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) PMK-86/2020, namun tidak termasuk Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018, maka atas penghasilan tersebut Wajib Pajak:
     
     
     
     
    a)
    tidak dapat memanfaatkan PPh final DTP; dan
     
     
     
     
    b)
    wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh.
     
     
     
    3)
    Kepala KPP berwenang melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas PPh final DTP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
     
     
     
     
    F.

    Penutup

     
    1.
    Bahwa penjelasan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini sehubungan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK-86/2020 yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 16 Juli 2020.
     
    2.
    Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
    3.
    Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, diminta agar seluruh unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan sehubungan dengan pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing.
     
     
     
    Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
     
    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 28 Juli 2020
    DIREKTUR JENDERAL,
    ttd.
    SURYO UTOMO

    Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-43/PJ/2020 - Perpajakan DDTC