Quick Guide
Hide Quick Guide
  • Pemberian Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
  • A.
    Dasar Hukum
  • B.
    Latar Belakang
  • C.
    Definisi
  • D.
    Perlakuan Pajak
  • D.1
    Perlakuan PPh bagi Pemberi
  • D.2
    Perlakuan PPh bagi Penerima
  • D.3
    Contoh Kasus
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Bagikan

Pemberian Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib

  Diperbaharui terakhir pada tanggal 04 April 2023  
 

A.        Dasar Hukum

Sumber hukum yang mendasari panduan pajak ini adalah sebagai berikut:
(i)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UU PPh);
(ii)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU No. 23/2011);
(iii)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan (PP 18/2009);
(iv)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 90/PMK.03/2020 tentang Bantuan atau Sumbangan, serta Harta Hibahan yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak Penghasilan (PMK 90/2020); dan
(v)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (PER-06/PJ/2011).
 
 

B.        Latar Belakang

Atas suatu transaksi pemberian zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, perlu diketahui perlakuan pajaknya, baik dari sisi pihak pemberi maupun pihak penerima, terutama pajak penghasilan (PPh).
Perlakuan pajak atas bantuan atau sumbangan sebagaimana diatur dalam PMK 90/2020 ditetapkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak yang memberi maupun menerima sumbangan, khususnya terkait ketentuan PPh yang berlaku.
 
 

C.        Definisi

Definisi “zakat” adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf ‘a’ UU PPh, yang dimaksud dengan "zakat" adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 23/2011, “zakat” adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Lebih lanjut, “badan keagamaan” merupakan badan yang tidak mencari keuntungan dengan mengurus tempat-tempat kegiatan ibadah utamanya dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan termasuk lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (2) PMK 90/2020.
Kemudian, yang dimaksud dengan “Badan Amil Zakat Nasional” (BAZNAS) adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Adapun “Lembaga Amil Zakat” (LAZ) adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 UU No. 23/2011.
 
 

D.        Perlakuan Pajak

Berikut perlakuan pajak, yaitu PPh, atas transaksi pemberian zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia dilihat dari perspektif pihak pemberi dan pihak penerima sumbangan.

D.1

Perlakuan PPh bagi Pemberi

 
D.1.1
Perlakuan Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
 
 
Sebagai pihak yang mengalihkan hartanya, pemberi zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia perlu memperhatikan ketentuan yang berlaku atas perlakuannya sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
 
 
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Namun, dalam pasal ini, zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia tidak disebutkan sebagai salah satu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
 
 
Artinya, zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia tidak dapat dijadikan sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak (non-deductible expense).
 
D.1.2
Ketentuan Pengecualian
 
 
Zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia dapat dijadikan sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak apabila:
 
 
(i)
zakat diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; atau
 
 
(ii)
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
 
 
Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf ‘g’ UU PPh yang pada dasarnya tidak membolehkan sumbangan sebagai biaya pengurang pajak, tetapi mengecualikan zakat dan sumbangan yang diterima oleh badan atau lembaga tersebut dari larangan tersebut. Dengan demikian, zakat atau sumbangan keagamaan wajib yang diberikan kepada badan atau lembaga tersebut boleh dijadikan sebagai biaya pengurang (deductible expense) untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak.
 
 
Ketentuan zakat sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak diatur pula dalam Pasal 22 UU No. 23/2011 yang menyebutkan bahwa zakat yang dibayarkan oleh muzaki (seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat) kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.
 
 
Dalam Pasal 23 UU No. 23/2011 juga disebutkan bahwa BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. Bukti setoran zakat tersebut digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
 
 
Ketentuan mengenai zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia sebagai pengurang penghasilan kena pajak diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) PER-06/PJ/2011.
 
 
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa wajib pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
 
 
Pasal 2 ayat (2) PER-06/PJ/2011 juga mengatur bahwa bukti pembayaran tersebut:
 
 
(i)
dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM); dan
 
 
(ii)
paling sedikit memuat:
 
 
 
a.
nama lengkap wajib pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
 
 
 
b.
jumlah pembayaran;
 
 
 
c.
tanggal pembayaran;
 
 
 
d.
nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
 
 
 
e.
tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
 
 
 
f.
validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.
 
 
Sebagaimana diatur pula dalam Pasal 3 PER-06/PJ/2011, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila:
 
 
(i)
tidak dibayarkan oleh wajib pajak kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
 
 
(ii)
bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) PER-06/PJ/2011.

D.2

Perlakuan PPh bagi Penerima

 
D.2.1
Sumbangan Bukan Merupakan Objek PPh
 
 
Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dikecualikan sebagai objek PPh sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf ‘a’ UU PPh serta dipertegas dalam Pasal 1 PP 18/2009.
 
 
Perlu diperhatikan, meskipun terdapat hubungan kepemilikan atau penguasaan, zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima tetap dikecualikan sebagai objek PPh sepanjang pihak penerima merupakan badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan.
 
 
Hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dan pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung.
 
 
Dalam Pasal 2 PP 18/2009, zakat yang dimaksud adalah zakat yang diterima oleh:
 
 
(i)
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
 
 
(ii)
penerima zakat yang berhak.
 
 
Sementara itu, berdasarkan Pasal 3 PP 18/2009, sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia sebagaimana disebutkan di atas adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh:
 
 
(i)
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
 
 
(ii)
penerima sumbangan yang berhak.
 
 
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
 
 
(i)
zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; serta
 
 
(ii)
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak,
 
 
diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan, yaitu dikecualikan dari objek PPh.
 
 
Selanjutnya, dalam Pasal 4 PP 18/2019, bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dapat berbentuk uang atau barang yang diberikan kepada orang pribadi atau badan. Ketentuan ini juga dipertegas dalam Pasal 6 PMK 90/2020.
 
 
Bantuan atau sumbangan berupa harta yang berbentuk barang dibukukan oleh pihak penerima dengan nilai perolehan sebesar:
 
 
(i)
nilai sisa buku fiskal, apabila pihak pemberi wajib menyelenggarakan pembukuan; atau
 
 
(ii)
nilai lain, apabila pihak pemberi tidak wajib menyelenggarakan pembukuan. Nilai lain tersebut meliputi:
 
 
 
a.
untuk harta berupa tanah dan/atau bangunan sebesar:
 
 
 
 
1.
nilai jual objek pajak yang tercantum dalam surat pemberitahuan pajak terutang pajak bumi dan bangunan tahun pajak saat terjadi pengalihan; atau
 
 
 
 
2.
surat keterangan dari instansi pemerintah yang membidangi urusan pajak daerah di mana tanah dan/atau bangunan terdaftar dalam hal tidak terdapat surat pemberitahuan pajak terutang pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud pada angka 1.
 
 
 
b.
untuk harta selain tanah dan/atau bangunan, sebesar harga pasar harta tersebut saat terjadi pengalihan.
 
 
Nilai perolehan harta yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sepanjang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan.
 
D.2.2
Ketentuan Pengecualian
 
 
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pemberian zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang tidak memenuhi ketentuan pengecualian objek PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf ‘a’ UU PPh dan Pasal 1 PP 18/2009, atas sumbangan tersebut merupakan objek PPh bagi pihak yang menerima.
 
 
Ini sejalan dengan bunyi Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menyebutkan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Atas sumbangan tersebut dikenai PPh non-final dengan tarif umum.

D.3

Contoh Kasus

 
Berikut beberapa contoh terkait perlakuan pajak atas pemberian zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
 
(i)
Tuan A merupakan pemeluk agama yang diakui di Indonesia. Tuan A pada tahun Desember 2020 membayar sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebesar Rp5.000.000 kepada yayasan rumah ibadah tempat Tuan A secara rutin beribadah setiap hari Minggu, yang bukan merupakan lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. Antara Tuan A dan yayasan tersebut tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan. Tuan A menerima bukti pembayaran atas sumbangan tersebut.
 
 
Bagi Tuan A, sumbangan keagamaan wajib tersebut tidak dapat dijadikan sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak sebab sumbangan tersebut tidak dibayarkan oleh Tuan A kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
 
 
Sementara itu, bagi yayasan rumah ibadah sebagai penerima sumbangan, sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tersebut dikecualikan sebagai objek PPh sebab tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara Tuan A sebagai pemberi dan yayasan rumah ibadah sebagai penerima sumbangan keagamaan tersebut.
 
(ii)
Nyonya B membayar zakat yang bersifat wajib kepada BAZNAS senilai Rp10.000.000 pada tahun 2020.
 
 
Biaya pembayaran zakat tersebut dapat dijadikan sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak bagi Nyonya B sebagaimana zakat tersebut diberikan kepada badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
 
 
Meskipun demikian, agar Nyonya B dapat membebankan biaya zakat tersebut dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak, Nyonya B harus melampirkan fotokopi bukti pembayaran zakat yang diberikan oleh BAZNAS pada SPT Tahunan PPh tahun pajak 2020.
 
 
Selanjutnya, bagi BAZNAS sebagai penerima zakat, zakat yang diterima tersebut dikecualikan sebagai objek PPh karena BAZNAS merupakan badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

Pemberian Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib - Panduan Pajak Transaksi