Quick Guide
Hide Quick Guide
  • Pajak Pertambahan Nilai atas Kebutuhan Pokok
  • A.
    Dasar Hukum
  • B.
    Latar Belakang
  • C.
    Definisi PPN atas Kebutuhan Pokok
  • D.
    Perlakuan Pajak Barang Kebutuhan Pokok
  • D.1
    Barang Kebutuhan Pokok yang Dibebaskan dari PPN
  • D.2
    Pengenaan Faktur Pajak
  • D.3
    Kode Faktur yang Digunakan
  • D.4
    Ketentuan Khusus
  • D.5
    Tarif PPN yang Berlaku
  • E.
    Ilustrasi Kasus
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Request Terjemahan
Bagikan

Pajak Pertambahan Nilai atas Kebutuhan Pokok

  Diperbaharui terakhir pada tanggal 04 Maret 2024  
 

A.        Dasar Hukum

Sumber hukum yang mendasari panduan pajak ini adalah sebagai berikut:
(i)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP);
(ii)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UU PPN);
(iii)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PMK 99/2020);
(iv)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2012 tentang Saat Lain Sebagai Saat Pembuatan Faktur Pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak dengan Karakteristik Tertentu (PMK 238/2012);
(v)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak (PER-3/PJ/2022);
(vi)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 Tentang Faktur Pajak. (PER-11/PJ/2022); dan
(vii)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2021 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Usaha di Bidang Ekspor dan Impor Barang Kena Pajak Berwujud. (PER-07/PJ/2021).
 
 

B.        Latar Belakang

Pajak atas kebutuhan pokok merupakan salah satu elemen yang berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi suatu negara. Kebijakan mengenai pajak atas kebutuhan pokok di Indonesia menjadi perhatian utama pemerintah dalam rangka menjaga kesejahteraan masyarakat. Adapun, kebijakan ini bertujuan untuk mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka Pembangunan nasional.
Salah satu aspek yang menarik dalam Undang-Undang tersebut adalah Pasal 16B ayat 1 huruf (a) yang membahas tentang pemberian pengecualian atau pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan pokok tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat.
Pembebasan pajak ini menjadi strategi pemerintah dalam mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Salah satu contoh kebutuhan pokok yang dibebaskan dari pajak PPN adalah beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, gula konsumsi, dan ikan.
Penetapan jenis kebutuhan pokok yang dikenai pembebasan pajak didasarkan pada pertimbangan kebutuhan esensial dalam kehidupan sehari-hari serta upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial kepada lapisan masyarakat yang lebih rentan secara ekonomi. Dengan demikian, pembebasan pajak atas kebutuhan pokok merupakan instrumen kebijakan yang strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial dan mengurangi disparitas ekonomi di masyarakat.
 
 

C.        Definisi PPN atas Kebutuhan Pokok

Dalam pembahasan ini, penulis membahas mengenai pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok. Adapun barang kebutuhan pokok, merupakan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Untuk kemudahan Perpajakan dalam Pasal 16B ayat 1 huruf (a) huruf (j) angka 1 UU PPN s.t.d.d UU HPP memperjelas apa saja barang kebutuhan pokok yang masuk dalam klasifikasi Barang Kena Pajak (BKP) tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN. PPN dibebaskan adalah fasilitas yang mana pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP tersebut tidak dapat dikreditkan.
 
 

D.        Perlakuan Pajak Barang Kebutuhan Pokok

UU PPN merupakan instrumen hukum yang mengatur pengenaan PPN di Indonesia. Baru-baru ini, terjadi perubahan signifikan terkait kebijakan PPN atas barang kebutuhan pokok. Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan barang-barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN, pengenaan faktur pajak, kode faktur yang digunakan, kewajiban pelaporan, serta tarif PPN yang berlaku.

D.1

Barang Kebutuhan Pokok yang Dibebaskan dari PPN

 
Dalam pembahasan ini, penulis membahas mengenai pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok. Adapun barang kebutuhan pokok, merupakan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Berikut rincian barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
 
Tabel 1. Rincian Barang Kebutuhan Pokok Dibebaskan PPN
 
 
Sumber: diolah oleh Penulis.

D.2

Pengenaan Faktur Pajak

 
Merujuk UU HPP, disebutkan bahwa kebutuhan pokok yang awalnya merupakan barang non BKP atau dikecualikan dari BKP, saat ini kebutuhan pokok termasuk ke dalam BKP. Namun terdapat pemberian fasilitas tertentu berupa PPN dibebaskan. Kebutuhan Pokok sendiri diberikan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN-nya. Dengan Demikian apabila dibebaskan dari pemungutan PPN, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan tetap harus menerbitkan faktur pajak.
 
Dalam konteks pengenaan faktur pajak yang diatur dalam Pasal 20 PER 3/2022 tentang Faktur Pajak, menjelaskan bahwa pada barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN, meskipun tidak ada pajak yang harus dibayar, penerbitan faktur pajak tetap merupakan keharusan bagi PKP. Faktur pajak diperlukan sebagai bukti sah transaksi dan merupakan bagian integral dari administrasi perpajakan yang akurat.
 
Setiap transaksi penjualan atau pembelian barang kebutuhan pokok harus diiringi dengan penerbitan faktur pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Meskipun tidak ada jumlah pajak yang tertera dalam faktur tersebut, tetap penting untuk mencatat transaksi dengan tepat guna memastikan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan yang berlaku.
 
Hal ini membantu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan bisnis serta mempermudah proses pelaporan pajak yang dilakukan oleh pemilik usaha. Dengan demikian, meskipun barang kebutuhan pokok dibebaskan dari pembayaran PPN, penerbitan faktur pajak tetap merupakan langkah penting yang harus dijalankan oleh para pelaku usaha untuk menjaga kepatuhan dan keteraturan dalam administrasi perpajakan.

D.3

Kode Faktur yang Digunakan

 
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Dikatakan sebagai PKP bila pengusaha tersebut telah memiliki peredaran bruto selama 1 tahun lebih dari Rp4.800.000.000 sehingga, pengusaha tersebut memiliki kewajiban untuk mengukuhkan dirinya menjadi PKP.
 
Berdasarkan PER 03/2022 dijelaskan dalam lampiran bahwa kode transaksi untuk faktur pajak penyerahan BKP dibebaskan adalah 08. Dengan demikian, kode faktur pajak yang digunakan untuk mencatat transaksi penyerahan atas impor barang kebutuhan pokok yang dibebaskan PPN adalah menggunakan kode faktur pajak "08".
 
Perlu diingat, faktur yang diterbitkan harus mencantumkan keterangan bahwa telah diberikan fasilitas pembebasan dan disertakan dasar hukumnya. Adapun ketentuan lain untuk penerbitan faktur pajak mengacu pada beleid PER-3/PJ/2022. Faktur penjualan yang diterbitkan oleh PKP dibuat dengan menggunakan aplikasi atau sistem yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dicantumkan tanda tangan berbentuk tanda tangan elektronik (e-Faktur). PKP wajib meng-upload e-Faktur ke Direktorat Jenderal Pajak menggunakan aplikasi e-Faktur atau coretax dan memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-Faktur.

D.4

Ketentuan Khusus

 
SPT Masa PPN merupakan sebuah form yang digunakan oleh Wajib Pajak Badan untuk melaporkan penghitungan jumlah pajak baik untuk melapor PPN maupun Pajak Penjualan Barang Mewah yang terhutang. Fungsi SPT Masa PPN selain untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, namun juga dapat digunakan untuk melaporkan harta dan kewajiban serta penyetoran pajak dari pemotong atau pemungut. SPT Masa PPN harus dilaporkan setiap bulannya. Jatuh tempo pelaporan adalah pada hari terakhir (tanggal 30 atau 31) bulan berikutnya setelah akhir masa pajak yang bersangkutan. Jika tak melapor, dikenakan denda sebesar Rp500.000. Pelaporan SPT Masa PPN harus dilakukan melalui coretax atau efaktur.

D.5

Tarif PPN yang Berlaku

 
Dalam konteks PPN dibebaskan pengenaan pajak seharusnya tetap berlaku tarif PPN normal yaitu sebesar 12% sebagaimana diatur dalam UU PPN dan PPnBM. Artinya meskipun tarif PPN umumnya adalah 12%, akan tetapi atas penyerahan barang kebutuhan pokok PPN tersebut tidak perlu ditagihkan kepada pembeli.

E.        Ilustrasi Kasus

Ilustrasi I
Tuan Andi adalah seorang penjual beras di pasar. Tuan Andi memiliki penghasilan peredaran bruto selama setahun sebesar Rp5.000.000.000. Berdasarkan jumlah penghasilan bruto tersebut, Tuan Andi termasuk ke dalam golongan dengan penghasilan lebih dari Rp4.800.000.000, sehingga Tuan Andi perlu mengukuhkan diri untuk menjadi PKP.
Setelah dikukuhkan menjadi PKP, Tuan Andi memiliki kewajiban untuk menerbitkan faktur pajak atas penjualan beras tersebut. Faktur Pajak yang digunakan menggunakan kode 08 sesuai yang telah diatur dalam PER-03/PJ/2022. Faktur pajak wajib dibuat meskipun PPN atas penjualan beras yang dilakukan oleh Tuan Andi dibebaskan dari pengenaan PPN. Tuan Andi dapat melakukan pelaporan PPN melalui aplikasi e-Faktur. Maksimal lapor tetap akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Ilustrasi II
Tuan Aldi menjual telur di pasar dan Tuan Aldi memiliki penghasilan sebesar Rp1.000.000.000/tahun atau masih di bawah Rp4.800.000.000 untuk peredaran bruto selama 1 tahun. Dalam hal ini, Tuan Aldi tidak perlu mengukuhkan diri menjadi seorang Pengusaha Kena Pajak dan menerbitkan faktur pajak.
Akan tetapi, apabila Tuan Aldi memilih untuk mengukuhkan dirinya sebagai PKP, maka Tuan Aldi memiliki kewajiban untuk membuat Faktur Pajak. Seperti yang telah disampaikan di atas mengenai kode faktur yang digunakan yaitu kode faktur 08 meskipun PPN atas penjualan telur yang dilakukan oleh Tuan Aldi dibebaskan dari pengenaan PPN. Selanjutnya, Tuan Aldi tetap melaporkannya melalui e-Faktur maksimal akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

Pajak Pertambahan Nilai atas Kebutuhan Pokok - Panduan Pajak Transaksi